Kamis, 21 Oktober 2010

TADARUS PUISI 2010: PENYAIR ARSYAD INDRADI BERBAGI MAKNA



Oleh: HE. Benyamine

Arsyad Indradi (Status Facebook, 10/7/10): Terserahlah Banjarbaru ini mau jadi apa. Tapi yang kusesalkan adalah burung-burung bebas yang berkicau di samping rumahku telah lama sunyi dan bunga karamunting yang tumbuh alami yang kucium setiap pagi dan sore telah berganti rupa. Sesungguhnya sejak puluhan tahun telah kutanam cinta di jantung Banjarbaru, kini aku menatap langit, cemas akan cintaku.
Kota Banjarbaru terbayang gemerlap kata pada malam Minggu (21/8/2010), saat taburan kata (kapita selekta) yang diambil dari Si Penyair Gila bertaburan bersanding bintang menghiasi langit malam yang juga dilengkapi para penyair lainnya dengan galuh-galuh (intan) kata mereka yang juga memancarkan sinar terangnya. Pada penyelenggaraan Tadarus Puisi dan Silaturahmi Sastra VII Tahun 2010 yang digagas Dewan Kesenian Kota Banjarbaru yang pada tahun ini memilih tema Selecta Kapita Kepanyairan Arsyad Indradi (Si Penyair Gila) yang sekaligus Penganugerahan Penghargaan kepada beliau (Radar Banjarmasin, 8 Agustus 2010: 5).
Tadarus puisi yang diupayakan Dewan Kesenian Kota Banjarbaru untuk diselenggarakan setiap tahun ini merupakan bagian suatu bentuk pengakuan bahwa ada kebutuhan yang penting dan bermakna terhadap kehadiran dunia sastra untuk mengiringi detak hidup dan kehidupan kota ini. Jauh lebih dari hanya sekedar berdenyut di kota Banjarbaru, tetapi dengan silaturahmi sastra yang diundang dari berbagai daerah lainnya, menunjukkan bahwa dunia sastra sudah seharusnya dipandang mempunyai makna dan kontribusi sebagai bagian dari bernafasnya banua ini.
Penganugerahan kepada (Arsyad Indradi) Si Penyair Gila tentu berdasarkan pertimbangan yang tidak sulit ataupun mengada-ngada, karena beliau termasuk merupakan penyair senior yang hingga usianya jelang 61 tahun masih konsisten berkarya dan aktif berkreasi serta terus berbuat untuk perkembangan dunia sastra khususnya dan kebudayaan pada dasarnya. Kecintaannya pada dunia sastra begitu jelas terlihat saat tekad yang luar biasa dan pancaran murni kesahajaan dalam diri beliau untuk menerbitkan buku Antologi Puisi Penyair Nusantara, 142 Penyair Menuju Bulan (2006) -- dapat dilihat pada http://menubul.blogspot.com/, bahkan beliau bersedia merelakan sebidang tanah untuk membiayai sendiri penerbitan buku tersebut. Begitu juga dengan buku-buku beliau lainnya, yang memberikan suatu inspirasi dan semangat dalam berkarya dan berbuat, yang percaya pada kesungguhan dan ketulusan tidak ada yang sia-sia. Beliau benar-benar mewujudkan ide besar tersebut, yang bagi orang lain dianggap muluk tidak sebanding dengan kemampuan (kagubihan).
Pada saat membaca undangan Tadarus Puisi 2010 di koran Radar Banjarmasin, teringat pada status Facebook (10/7/10) beliau sebagaimana tertulis di atas, yang merupakan suatu kepedulian dan kecintaan beliau pada kota Banjarbaru yang terus mengalami perubahan dan perkembangan yang begitu pesat, yang juga secara bersamaan ada yang hilang seakan tinggal kenangan bagaimana kicau burung dan bau karamunting, suatu kecemasan atas cinta terhadap keadaan kota Banjarbaru yang patut menjadi perhatian pemerintah kota dan elit kekuasaan sebagai suatu yang dirasakan banyak warga.
Kepedulian, keberpihakan pada nurani, kesederhanaan, ketulusan, dan kesungguhan berkarya begitu nampak dalam rekam jejak karya-karya Si Penyair Gila. Selain itu, kemauan untuk terus belajar meskipun pada yang jauh lebih muda, memperlihatkan suatu semangat yang terus muda dan terbuka, sehingga dengan mengalir beliau mengelola beberapa website (blog) yang berkenaan dengan dunia sastra dan kesusastraan serta kebudayaan, terutama tentang budaya Banjar yang dapat dijadikan referensi dan sebagai media belajar bagi guru-guru Muatan Lokal (Mulok). Beberapa karya beliau dibuat dalam bahasa Banjar, seperti cerita pendek Kai Adul (2009) yang dapat dijadikan bahan pembelajaran bahasa Banjar, yang ada tuntutan yang patut bagi para pelajar sebagaimana yang tertulis di akhir cerita pendek tersebut, "Sampai wayahini nang kami pingkuti papadah sidin. Bismillah nitu anak kunci pambuka lawang surga."
Sikap Si Penyair Gila yang tidak tergantung pada pengakuan pusat (kekuasaan) dalam menentukan suatu karya, seperti apakah karya pernah dimuat media nasional atau tidak sebagai ukuran pengakuan, merupakan suatu pandangan yang sadar kebudayaan, sadar perbedaan pengungkapan makna dalam suatu budaya tentang suatu hal dalam suatu karya. Hal ini memberikan suatu pengakuan pada cara pandang berdasarkan budaya di mana seorang penyair berdiri, dengan pemaknaan dan pamahaman terhadap denyut kehidupan dengan budaya tersebut. Sehingga, menjadi tidak mengherankan jika berkarya seperti mengalirnya sungai-sungai kenangan hingga sungai-sungai yang tersisa, meski dengan kedangkalan dan kekeruhannya tidak sanggup mengeringkan inspirasi sang penyair dalam menuliskan karyanya. Dalam hal ini, kepedulian dan kesadaran pemerintah daerah (juga elit kekuasaan dan elit ekonominya) untuk menghargai karya warganya dalam bidang sastra (dan bidang lainnya) sangat penting, karena berhubungan dengan pemaknaan pada kemajuan dan perkembangan daerah yang telah diraih.
Penganugerahan penghargaan kepada Si Penyair Gila merupakan kebanggaan bagi dunia sastra kota Banjarbaru juga Kalimantan Selatan, kebahagiaan atas kesungguhan dan ketulusan dalam menapaki jalan semangat berkarya yang memberikan keteladanan kepada urang banua atas kebudayaan sendiri dengan tetap menghargai kebudayaan lainnya.
Sebagaimana status facebook di atas yang mengunduh kegundahan cintanya pada kota Banjarbaru, begitu juga dengan kegelisahannya pada keadaan banua yang tercermin dari beberapa puisi-puisinya, sebenarnya Si Penyair Gila sedang berbagi makna dan mencoba mengetuk pintu kebaikan yang ada pada setiap orang untuk menjadi terbuka dan melakukan tidakan yang bermakna dan sadar. Dalam puisi Cermin Akhir Tahun yang ada dalam buku Antologi Puisi Anggur Duka (KSSB, 2009) karya beliau berikut: Hanya itu yang mampu terucapkan, semuanya luluh di matamu/bulan yang tinggal seiris diamdiam bergegas ke rerumpun ilalang menumpahkan/anggurdukanya, nampak harapan tumbuhnya berbagi makna dalam kebahagiaan dan kedukaan.

(Radar Banjarmasin, 19 Agustus 2010: 3)

Tidak ada komentar: