Jumat, 28 Desember 2007

Membina Keakraban Balai Bahasa dan Sastrawan

Membina Keakraban Balai Bahasa dan Sastrawan

Mahmud Jauhari Ali

Pencinta Bahasa dan Sastra

Radar Banjarmasin

Beberapa kali saya membaca sejumlah tulisan yang dimuat di salah satu surat kabar lokal di Kalimantan Selatan tentang sastra dan kehidupannya. Tulisan-tulisan tersebut membuat hati saya terenyuh dan otak saya mulai berpikir soal kehidupan sastra di Kalimantan Selatan. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini, apalagi menyudutkan pihak tertentu. Dalam tulisan ini saya hanya mencoba mengakrabkan jiwa para sastrawan Kalsel dengan Balai Bahasa Banjarmasin. Sebenarnya tulisan ini tidak perlu muncul jika rekan-rekan saya di Balai Bahasa Banjarmasin bersedia menulis sepatah dua patah kata mengenai masalah kehidupan sastra di provinsi ini yang sedang diusung oleh para sastrawan Kalimantan Selatan saat ini. Saya sudah menunggu beberapa waktu munculnya tulisan mereka menanggapi unek-unek sebagian sastrawan Kalsel dalam tulisan mereka tersebut. Akan tetapi, sampai detik ini belum juga ada tulisan yang muncul. Entah saya yang kurang membaca media masa ataukah memang benar kata-kata saya dalam kalimat terakhir tadi. Hal itu terjadi mungkin mereka tidak sempat menulis karena pekerjaan mereka sangat banyak di Balai Bahasa Banjarmasin berkenaan dengan bahasa dan sastra. Semoga tulisan saya ini tidak salah isi dan semoga pula rekan-rekan di Balai Bahasa Banjarmasin tidak merasa dilangkahi oleh saya.

Baiklah saya mulai saja mengungkapkan pikiran saya seputar masalah sastra dan kehidupannya di Kalimanatan Selatan yang kita cintai ini. Tidak kurang dan tidak lebih isi tulisan yang saya baca beberapa waktu yang lalu berkaitan dengan sastra di Kalimantan Selatan. Tentunya dalam hal ini selalu melibatkan sastrawan sebagai pelaku aktif dunia sastra. Hidup matinya sastra salah satunya bergantung pada mereka. Oleh karena itu, wajar saja mereka “berteriak” dengan lantangnya mengenai hal yang menjadi bagian penting hidup mereka, yakni hidupkan sastra! Kehidupan sastra selain bergantung pada sastrawan, juga memerlukan apresiasi bahkan lebih daripada itu dari berbagai pihak, salah satunya adalah lembaga yang berkecimpung di dunia sastra. Sebut saja Balai Bahasa Banjarmasin yang memiliki tugas pokok mengadakan pembinaan dan penelitian di bidang bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra di Kalimantan Selatan. Sudah cukup banyak pembinaan-pembinaan dan penelitia-penelitan di bidang bahasa dan sastra yang telah diselesaikan oleh pihak Balai Bahasa Banjarmasin. Misalnya saja penyuluhan bahasa dan bengkel sastra, keduanya merupakan tindakan nyata pembinaan di bidang bahasa dan sastra yang diperuntukkan bagi masyarakat Kalimantan Selatan. Hasil-hasil penelitian seperti penelitian Pemetaan dan Kekerabatan Bahasa-Bahasa di Kalimantan Selatan dan penelitian Mantra Banjar juga merupakan wujud nyata kerja pihak Balai Bahasa Banjarmasin di bidang kebahasaan dan kesastraan. Intinya, pihak Balai Bahasa Banjarmasin telah banyak memberikan kontribusi bagi Provinsi Kalimantan Selatan, baik di bidang kebahasaan maupun kesastraan.

Sayangnya, pihak luar kurang mengetahui hal itu sehingga Balai Bahasa Banjarmasin dianggap oleh beberapa sastrawan tidak memiliki kepedulian terhadap kehidupan sastra di provinsi ini. Hal ini ternyata merembet pada masalah honorium untuk sastrawan yang cipta sastranya dimuat di surat kabar. Menutrut saya sastarwan dalam hal ini tidak salah. Wajar saja jika sebuah tulisan dihargai karena sebuah tulisan tidak akan muncul dengan sendirinya, melainkan dengan jerih payah penulisnya.

Menurut saya, masalah ini harus segera dijernihkan melalui diskusi antara pihak sastrawan Kalimantan Selatan dan pihak Balai Bahasa Bajarmasin. Harus ada pembicaraaan langsung antara kedua belah pihak, misalnya para sastrawan dan pihak Balai Bahasa Banjarmasin berinisiatif membicarakannya dengan baik di Aula Balai Bahasa Banjarmasin yang luas itu. Di sana harus dibicarakan secara tuntas masalah kehidupan sastra di Kalimatan Selatan, termasuk masalah honorium sastrawan yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan saat ini. Dengan pembicaraan dalam diskusi tersebut diharapkan hubungan sastrawan dan pihak Balai Bahasa Banjarmasin semakin akrab dan membuahkan kerja sama yang baik demi kehidupan sastra di banua kita.



arsyad indradi




Rabu, 26 Desember 2007

Ada Apa dengan Seniman Banjarbaru ?




Ada yang bilang di Banjarbaru, dulu kota ini bisa memberikan sebuah kenangan kepda siapapun. Barangkali masih ada yang ingat, bagaimana sebuah taman yang kecil saja menumbuhklan banyak kerinduan ? Orang-orang selalu ingin datang ke sana. Sebenarnya bukan tempat yang pantas jika seniman ingin menampilkan karyanya di tempat itu. Sebuah taman yang langsung bertemu dengan jalan raya.

Memang selalu ada yang mengeluh. Suara mereka habis ditelan hiruk pikuknya lalu lalang kendaraan. Apalagi kalau yang lewat sepeda motor yang sudah di modif knalpotnya. Ampun. Tak ada rumusnya pembacaan puisi bersaing dengan knalpot. Tapi percayalah, semua itu cukup bagi seniman untuk menunjukkan karyanya. Setiap sabtu sore, komunitas Godong Kelor selalu memainkan teater kisah kocak (Tekicak), tapa ada yang membayar, tanpa diminta, mereka tetap saja teater lainnya, di taman itu mereka saling menunjukkan hasil karya.berkarya di taman itu. Begitu juga komunitas-komunitas sastra dan

Diam-diam, ada sebuah kerinduan yang hilang ketika orang datang ternyata bukan untuk sekadar taman saja. Tapi juga kesenian. Tapi sekarang, di sana hanya ada sebuah taman. Tidak ada lagi seniman yang ngumpul sekadar ingin bercengkrama. Satu persatu mulai pergi dan tak ada janji untuk kembali. Taman itu kini seperti sebuah wajah yang diliputi murung dan muram. Kenapa seniman Banjarbaru tak lagi membaringkan tubuhnya ketika lelah, malam hari, saat-saat puisi ingin selalu dibacakan lagi ?

Sebuah taman tentulah menawarkan perubahan. Tak ada yang tetap kecuali keyakinan. Siapakah yang memiliki keyakinan bahwa Banjarbaru kelak menjadi kota yang sarat dengan aktivitas seni dan budaya ? Pastilah mereka tetap ada atau memang sudah tidak ada lagi.

Segala kemungkinan bisa terjadi kapan saja tapi bukan tanpa ada sebabnya. Kemandegan komunitas seni di Banjarbaru itu sedang terjadi secara massal. Sangat disayangkan jika sebabnya tak jelas. Tanpa mengetahui masalahnya, bagaimana mungkin dapat memulihkan keadaan.

Tak ada seorang pun patut disahkan. Zaman telah berubah, dermikian juga para seniman. Burukkah akibatnya jika taman itu tak lagi dikunjungi para seniman ? Barangkali tidak. Arsyad Indradi misalnya, ia kurung dirinya di sebuah rumah dengan tumpukan kertas. Melipat, menggunting, mengiris hiongga jadilah Antologi Puisi Penyair Nusantara. Hasil kerja kerasnyaitu membuahkan hasil yang ia sendiri tak menduganya.

Sebuah harian cCina memuat ulasan tentang buku tersebut. Tentu saja dengan bahasa Cina. Sebuah persembahan yang luar biasa dari Arsyad Indradi untuk Banjarbaru. Dalam benak orang Cina, dimanakah itu Banjarbaru ? Seperti apakah itu kota Banjarbaru ? Dengan buku itu pastilah orang Cina menganggap Banjarbaru sedermikian asyiknya. Lantas adakah Banjarbaru ingin memberikan sebuah penghargaan kepadanya ? Seperti ketika Sutardji Calzoum Bachri mengadakan ulang tahun. Datang seorang utusan mengucapkan salam dan selamat dari pemerintah Provinsi Riau dengan membawa sedikit hadiah untuknya.

Dalam hati kecil berkata, betapa Banjarbaru banyak memiliki orang-orang hebat. Shah Kalana Al Haji di Godong Kelor, Aziz Muslim di Tetas, Rifani Djamhari di Forum TamanHati, Isuur L.S di Loeweng Production, Hamami di Parimata, Eza Thabry Husano di Kilang Sastra Batu Karaha, dan masih banyak lagi nama yang pantas disebut. Lantas kemana mereka dan ada apa dengan mereka ?

Tanda tanya ini tidak memiliki jawaban. Barangkali Anda ingin menjawabnya atau tidak usah dijawab saja ? [ ]

http://hariesaja.wordpress.com

email : harie_saja@yahoo.co.id

Tragika Karya Sastra Urang Banjar



Oleh : Setia Budhi

Siapa yang mampu melawan ketangguhan penulis cerita rakyat banjar yang produktif seperti Syamsiar Seman ? Dan siapa pula yang berani menantang kegilaan seorang Arsyad Indradi ? Dan seorang lagi sastrawan yang paling nekad, Jamaluddin “ Galuh “ ? Dan saya ingin mendiskusikan perihal tiga orang sakti itu dalam esai, yang biarkan kita beri saja permulaan katanya dengan Allahu Rabbi Sastra Banjar.

Benarkah bahwa karya sastra yang tidak pernah dipublikasikan dapat disebut karya sastra ? Benarkah seribu kumpulan puisi yang masih tersimpan rapi di bawah lacipenulisnya belum dapat disebut karya sastra sebelum karya itu dipublikasikan ? Benarkah sebait syair yang tersimpan di bawah bantal penulisnya belum menjaci karya sastra sebelum syair itu dibacakan ke tengah orang ramai ?

Dalam ruang ini tak usah diperdebatkan apa itu sastra Banjar. Sebab masih banyak lagi sastra-sastra lain yang antre dibaca dan dipahami. Tak perlu risau ada apakah dengan sastra Dayak, sastra Pahuluan, sastra Urang Alabio atau sastra Urang Martapura, atau sastra Urang Unlam, syair Bubuhan IAIN, sastra Bubuhan Banjarbaru, sastra Oloh Bakumpai, puisi Dayak Iban, puisi mantra Dayak Meratus, atau sastra Orang Eropa Timur atau sastra Tiongkok. Sebab yang penting bagiku adalah keagungan sebuah karya. Yang terpenting adalah kemuliaan mereka-mereka yang berkarya.

Tetapi ada masalah besar yang menghantui para penggeiat sastra di daerah ini. Dan kalaulah saya tidak salah menduga, bahwa hantu-hantu yang memerangkap kekaryaan para sastrawan itu adalah soal publikasi dan niat baik lembaga-lembaga publikasi untuk karya sastra Kqalimantan Selatan.

Belajar pada tiga orang sakti

Masuklah ke toko - toko buku yang ada di Banjarmasin dan Banjarbaru. Anda paling tidak, atau kalau tidak kehabisan stok barang, akan sangat mudah mendapatkan buku – buku cerita yang dikarang oleh Syamsiar Seman. Karya – karya yang biasanya kisah dari orang – orang Banjar itu, walaupun dicetak dengan “tri warna” hitam, putih, kuning pada sampulmuka, menunju8kkan sebuah publikasi yang sederhana sepertinya cocok dengan kesederhanaan penulisnya.

Dari manakah Syamsiar Seman mendapatkan amunisi untuk menerbitkan buku-buku yang sebagian telah dipergunakan sebagai “muatan lokal” itu ? Kalaupun buku-buku seperti Gerilya Hasan Basri nampak dicetak secara murah, tetapi isi buku itu nampak bertengger dengan ruang yang kecil di antara buku-buku besar ruang perpustakaan atau toko buku. Seperti juga Syamsiar Seman, untuk kasus Asal Mula Urang Banjar yang dikarang oleh Tajuddin Noor, nampak pula kebersahajaan karya ini apabila apabila dipersandingkan dengan karya-karya sejenis.

Orang sakti kedua adalah Jamal “Batu Ampar” Suryanata, dalam karya yang cukup monumental kumpulan cerita pendek bahasa Banjar “Galuh”. Kumpulan cerita pendek yang pernah dimuat di harian Radar Banjarmasin ini, sungguh beruntung nasibnya sebab pihak management koran Radar Banjarmasin”terpanggil” dan merasa peduli dengan karya sastra ini. Buku kumpulan cerpen bahasa Banjar ini pula kemudian mengisi kekosongan buku-buku dari hasil karya urang Banua bahkan bisa “mejeng” di toko buku ternama di kota Banjarmasin.

Orang sakti semacam Jamal mungkin mempunyai keberuntungan sendiri sebab karya sastranya itu telah mendapat tempat di hati publik dan meminat sastra di daerah ini. Tetapi masalahnya adalah kalau tidak karena Radar Banjarmasin, maka seperti yang nampak belakangan, kita belum menemukan publikasi serupa “Galuh”. Oleh sebab itu, sebenarnyapeminat sastra masih merindui terbitnya Galuh-Galuh yang lain. Dimanakah kesusahan itu bersemayam, manakala “tangan kuasa” tak lagi berpihak pada penerbitan karya-karya sastra itu.

Dengan menghabiskan dua buah printer canon, empat lusin tinta printer dan puluhan rim kertas A4, telah mematangkan orang sakti ketiga, yaitu Arsyad Indradi. Bersyukurlah saya sempat beberapa kali menyaksikan bagaimana ingar bingar ruang tamu yang berantakan oleh buku dan bunyi mesin printer di rumah Arsyad Indradi ketika ingin memasukkan janin ke rahim puisi, menunggunya dan melahirkannya sendiri tanpa bantuan oleh “bidan” siapapun juga. Maka lahirlah Antologi Puisi Penyair Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan.

Kalauipun kita susah sungguh untuk mendapatkan buku kumpulan puisi Arsyad Indradi di toko-tokobuku ataupun perpustakaan sebagai bahan bacaan sastra atau kajian sastra, buku kumpulan puisi yang dengan edisi terbatas itu telah pula “menggema” sampai negeri-negeri Lampung dan Riau di Sumatera atau paling tidak ke negeri sastrawan yang masuk dalam kumpulan puisi itu.

Tragika Ajamuddin Tifani

Kalaulah tidak ada ketulusan dari tiga orang “pendekar” sastra di kota Banjarmasin seperti YS Agus Suseno, Micky Hidayat dan Maman S Tawie, karya-karya puisi Ajamuddin Tifani Insya Allah masih berserakan dimana-mana dan tak ketahuan rimbanya pula. Kalau kemudian karya sastra itu masuk perangkap dan diterbitkan oleh orang lain, begitulah nasib kita. Kalaupun penerbitan itu pada akhirnya dikatakan sebagai “tak berperikemanuisaan” karena lebih menonjolkan pihak penerbit, maka begitulah nasib karya sastra Urang Banua.

Tetapi ketika ada keinginan agar karya sastra tidak terbit dengan menghancurleburkan rasa estetika, maka marilah kita meradang pada nasib sendiri mengapa kumpulan karya sastra atau puisi itu jatuh ke tangan para pedagang ? Saya memalingkan muka dan tersenyum gembira dengan Arsyad Indradi, tersebab buku kumpulan puisinya itu tidak hendak “dicoreng moreng” dengan berbagai iklan sabun colek, maka biarlah diterbitkan sendiri.

Sambil membetulkan letaki topinya, Arsyad Indradi berkata , “Tuntas sudah gawian mangayuh jukung saurang.”

Sambil menoleh kiri kanan aku berkata, “Iya am maraga Gadis Dayak, tajual pahumaan”. Maksudku menoleh kiri kanan, supaya memastikan tiada orang lain yang mendengar perbincangan soal berapa biaya untuk menghabiskan sebuah buku karya sastra.

Kalaulah kumpulan puisi Ajamuddin Tifani sebagai sebuah tragika, maka saya mengusulkan marilah kita terbitkan untuk edisi cetak ulang yang tentu saja dengan penerbit lain yang memahami empat lima ribu makna estetika penerbitan sebuah karya sastra.

Tetapi adalah akan lebih penting lagi, bagaimana kumpulan puisi Ajamuddin Tifani yang masih berserakandengan tulisan tangan, tulisan spidol atau pinsil pada kertas buram atau kertas-kertas lain itu dapat diselamatkan oleh pihak keluarganya. Tiada jarang hasil karya sastra besar tak menghasilkan apa-apa untuk sebuah jerih payahnya. Sudah waktunya berpikir dengan rasio berapa banyak buku itu dipakai oleh publik melalui toko buku dan bagaimana pula royalti yang dihasilkan dari pencetaknya.

Menunggu Rembulan

Lima tahun yang lalu, ketika Micky6 Hidayat melontarkan keinginan mendirikan semacam “Pustaka Hijaz Yamani”, ini adalah gagasan yang perlu mendapat sokongan banyak pihak. Paling tidak tatkala sang maestro telah pergi menemui Sang Maha Karya, kita masih dapat menikmati karya sastra melalui pembacaan karyanya. Dan pada waktunya kelak rembulan akan terbit di kaki langit sastra karya-karya sastrawan lainnya di Kalimantan Selatan.***

Depok, Ramadan 2007

*) Setia Budhi, Penikmat sastra, penulis buku cerpen “Gadis Dayak”.

Minggu, 23 Desember 2007

Antologi Puisi Penyair Nusantara:





Sebuah Catatan Ringan


Oleh: Sudaryono


Fenomena yang muncul di tengah masyarakat dan menjadi semacam “wabah” di nusantara adalah hadirnya orang-orang yang memiliki obsesi menulis puisi, menerbitkan puisi, dan memanfaatkan puisi untuk berbagai jenis keperluan. Hal yang fenomenal adalah banyaknya penyair yang melahirkan sejumlah puisi di nusantara ini. Dalam konteks ini lantas ada sinyalemen tentang terjadi inflasi penyair dan puisi di nusantara. Penyair dan puisi seperti jamur di musim hujan. Apakah yang melatari banyaknya penyair memproduksi puisi di nusantara? Apakah ada relevansi antara bencana, musibah, penderitaan, dan berbagai tekanan kehidupan di nusantara dengan kelahiran puisi dan penyair? Atau, apakah puisi yang digali dari rahim ibu pertiwi merupakan semacam pelarian aman untuk mendapatkan kenikmatan sesaat atau kebahagiaan sesat? Apakah buku kumpulan puisi menjadi tujuan, sarana, atau target bagi sejumlah penyair? Siapakah yang rela mendanai penerbitan buku puisi yang merupakan “proyek rugi” secara materiil selain seorang yang di luar batas kenormalan? Fenomena ini ada pada sosok Arsyad Indradi.

Arsyad Indradi lahir di Barabah 31 Desember 1949. Ia acap mengenakan topi dalam penampilannya (Jika di Film Anak-anak ada Pahlawan Bertopeng, pantaskah dia disebut Seniman/Budayawan/Penyair Bertopi?). Lantaran banyak cabang seni yang ia geluti, pantaslah Bung Arsyad ini disebut seniman dan budayawan. Seniman/budayawan/penyair bertopi ini bermukim di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Perhatiannya terfokus pada dunia kebudayaan dan kesenian terutama tari, teater, dan puisi. Lantaran ia juga pendidik, kegiatan berkesenian didedikasikan juga untuk pendidikan seni. Sebagai penyair, Arsyad Indradi terkesan konsisten dan produktif. Hal ini tampak pada titimangsa puisi yang diciptakannya merentang dari masa ke masa. Komitmennya di lapangan puisi ini ditandai oleh diterbitkannya beberapa antologi puisi pribadi yang dibidaninya (didukuni?) sendiri seperti Nyanyian Seribu Burung (April, 2006) memuat 122 puisi yang ditulis dalam kurun 1970—1999; Narasi Musyafir Gila (Juni, 2006) memuat 90 puisi yang digubah dalam kurun 2000—2006; Kalalatu (September, 2006) memuat 100 puisi berbahasa Banjar dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia; dan terakhir adalah Antologi Puisi Penyair Nusantara (Desember, 2006) merangkum 142 penyair nusantara. Hal yang pantas dicatat lantaran fenomenal ialah semua buku ini diterbitkan dengan biaya sendiri!

Sebagai seniman, Ia pernah dijebloskan ke penjara bersama 15 seniman Banjarmasin karena perang melawan tirani pada tahun 1972. Ia bersama kawan-kawan waktu itu secara nyata memperjuangkan kebenaran dan keadilan serta melakukan unjuk rasa membacakan puisi-puisi jalanan melawan segala bentuk penindasan. Lewat pesan singkat (SMS), Arsyad Indradi menulis seperti ini: “Saat diinterogasi sebelum masuk bui, kurebut rokok penginterogasi”. Lalu ditambahkannya, “kami baca puisi di depan aparat hanya mengenakan cawat”. Ganjaran bagi orang yang kuat mempertahankan hati nurani adalah bui dan julukan “Musyafir Gila” pantas disandangnya.

Pendiri Galuh Marikit Dance dan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru ini seperti dukun yang membantu lahirnya Antologi Puisi Penyair Nusantara “142 Penyair Menuju Bulan” (Kelompok Studi Puisi Banjarbaru, 2006). Buku yang didedikasikan untuk ulang tahun ke-7 Kota Banjarbaru, Tahun baru 2007, ulang tahun Arsyad Indradi ke-57, dan dimaksudkan sebagai warisan bagi generasi mendatang ini tergolong spektakuler. Buku ini memuat 427 puisi yang ditulis 142 penyair dari seluruh pelosok nusantara.

Hal yang layak dicatat, bukanlah jumlah penyair atau kuantitas puisi yang dimuat dalam buku, melainkan bagaimana kisah di balik obsesinya seperti Gadjah Mada dengan sumpah Amukti Palapa dan ingin menyatukan nusantara. Bayangkan, antologi puisi penyair nusantara ini dikumpulkannya sendiri melalui pergaulannya yang luas (Ia menyebutnya silaturahmi kultural). Lewat pesan singkat (SMS) dan juga brosur ia meminta partisipasi penyair yang berdomisili di Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Ambon, Bali, Mataram, Jawa, dan seterusnya. Puisi-puisi dari seluruh penjuru nusantara (kecuali tanah Papua tidak ikut serta, sebab tak ditemukannya jejak alamat penyair) yang berdatangan ke rumahnya (tempat Kelompok Studi Sastra Banjarbaru beraktivitas) memenuhi ruang privasinya. Naskah-naskah puisi itu lalu diseleksi, ditik, diedit, dilayout, dicetak, dan didokumentasikan, dan didistribusikan dengan biaya sendiri. Sekali lagi didanai dari dompetnya yang tipis dan lusuh. Sebagai rasa simpati dan apresiasi yang tinggi atas tekadnya, pernah saya tanyakan nomor rekening bank kepadanya agar bisa berpartisipasi meringankan beban pembiayaan dan dijawab “Terima kasih. Rekeningku kering, Cuma duit pensiun kusisihkan lembar demi lembar. Biarlah ini sebagai amal sebelum aku diajalkan”. Barangkali hal ini layak dicatat oleh Museum Rekor Nusantara (MURI) sebab kinerjanya itu terkesan “tanpa pamrih”. Dengan perasaan tulus tanpa pamrih dan jauh dari kesan sombong, Arsyad Indradi tampil sebagai dukun puisi! Ya, dukun puisi (Kawan lain menyebutnya Maesenas, Maestro, atau Musyafir Gila).

Dukun puisi? Dukun adalah orang yang ahli mengobati penyakit atau gangguan jiwa dengan jampi-jampi. Puisi adalah anak kandung kehidupan yang dicipta oleh sperma kreativitas dan dibuahi pemikiran reflektif di atas ranjang hati nurani. Lantas apakah kandungan maksud “Dukun Puisi”? Ia adalah seorang yang dapat mengobati semacam “penyakit gangguan jiwa” dengan jampi-jampi (doa-doa, motivasi, nyata kerja, dll.). Dukun puisi dapat juga dimaknai sebagai orang yang membantu kelahiran puisi.

Gangguan jiwa? Ya, pada galibnya seorang penyair adalah seorang yang (dalam tanda petik) “terganggu jiwanya”. Setiap penyair “terganggu jiwanya” untuk melahirkan puisi yang paling sublim, paling kental, paling kenyal, paling gurih, paling sedap, dan paling cantik. Setiap penyair terobsesi melahirkan puisi yang paling puncak (paling tuak, SDY) sebagai prestasi dalam dunia kreativitas. Setiap penyair semacam mengidap “penyakit akut” untuk melahirkan puisi yang selain mengandung estetika, juga memancarkan pesona makna yang tidak habis digali nilai-nilainya. Puisi yang baik, konon, puisi yang abadi. Puisi yang abadi selalu menampilkan pancaran cinta, kasih, sayang, dan berbagai makna lainnya sepanjang masa.

Penyair merupakan orang tua bagi anak-anaknya: puisi. Sayang, banyak puisi yang menjadi yatim piatu lantaran orang tuanya tidak serius mengurus anak-anaknya. Puisi yang dilahirkan oleh penyair dan acap terkesan kurang gizi dan menjadi tumpahan segala pemikiran serta perasaan. Lantaran penyair belum puas terhadap puisi-puisi yang dilahirkannya (sebab terdapat cacat pada puisi), ia terobsesi untuk terus berkarya melahirkan puisi yang lebih baik. Keinginan melahirkan puisi yang paling elok, paling manis, dan paling cantik mengganggu jiwa penyair bersangkutan. Setiap melahirkan puisi ada semacam perasaan puas dan sekaligus kecewa dan bahkan berbagai perasaan lainnya. Pelahiran puisi acap dihubungkan dengan perasaan “plong” seperti seorang ibu yang berhasil melahirkan bayinya secara normal. Para penyair pun tahu bahwa perasaan “plong” itu pun sesaat sifatnya, sebab iia terusik untuk melahirkan puisi baru.

Setelah dilahirkan, sebuah puisi memerlukan ruang pengasuhan yang representatif menyangkut ruang publik, ruang sosialisasi, dan ruang apresiasi. Ruang-ruang ini tampaknya semakin menyempit sehingga puisi kurang mendapatkan tempat terhormat. Satu dua ruang yang tersedia untuk denyut kehidupan puisi sebut saja media massa atau buku misalnya, memang tersedia bagi ruang hidup puisi. Akan tetapi, ruang puisi yang bernama buku menjadi terkesan amat mahal. Padahal, kehadiran buku yang menyediakan ruang bagi puisi dipandang urgen dan strategis dalam upaya “memanjakan, mengasuh, mendidik, dan merawat” puisi.

Antologi Puisi Penyair Nusantara (APPN) yang diterbitkan oleh Kelompok Studi Puisi Banjarbaru Kalimantan Selatan selain merupakan obsesi seorang Arsyad Indradi tampaknya juga didedikasikan untuk keperluan studi puisi bagi berbagai kalangan. Dalam kerangka studi puisi pulalah tulisan ini diturunkan. Tulisan sederhana ini tentu saja hanya mampu memberikan gambaran umum bagaimana mendekati puisi dan memaknai puisi. Pembicaraan ini lebih mirip dengan pembicaraan “ngalor-ngidul” alias tidak diarahkan pada satu fokus. Hal-hal yang dibicarakan pun menyangkut hal-hal yang umum. Pembicaraan ini boleh dianalogikan dengan “gado-gado” yang rasanya menggoda lidah. Tulisan ini diturunkan tanpa berpretensi menilai penyair atau mengadili puisi sebagai hasil gubahan. Soal penilaian dan pengadilan terhadap puisi dan kiprah penyairnya memerlukan kesempatan serta ruang yang lapang.


***


Puisi, sebagai buah kreativitas penyair, merupakan bentuk karya puisi yang paling tua. Puisi besar dan agung seperti Mahabarata, Rama­yana, Wedatama, Tripama, Babad Tanah Jawi, diungkapkan dalam bentuk puisi; bahkan semua Kitab Suci ditulis dalam format puisi, setidaknya terasa kesan puitisNya. Sebagai salah satu bentuk dan hasil ekspresi, kreasi, dan imajinasi penyair, puisi merupakan simbol verbal. Simbol verbal puisi ini selanjutnya dapat didekati dan dikaji sebagai cara pemahaman (mode of comprehension), cara komunikasi (mode of communication), dan cara penciptaan (mode of creation). Tiga cara kajian ini tentunya berkitan dengan perspektif sejarah. Tiga cara mendekati puisi seperti itu dapat dirunut dari model komunikasi puisi yang diperkenalkan oleh Abrams (1976) dalam bagan seperti ini.



Bagan Model Komunikasi Puisi (Abrams, 1976)


Bagan model komunikasi puisi yang dikemukakan oleh Abrams ini secara sederhana menunjukkan empat wawasan dasar dalam mendekati puisi, yakni (1) pendekatan objektif, (2) pendekatan ekspresif, (3) pendekatan mimetik, dan (4) pendekatan pragmatik. Pertama, pendekatan objektif memandang puisi sebagai dunia yang otonom. Pendekatan ini dalam praktiknya mengabaikan penyair dan lingkungan sosial budaya. Menurut pendekatan ini puisi harus dilihat sebagai objek yang mandiri dan menonjolkan puisi sebagai struktur verbal yang otonom dengan koherensi internal. Dalam pendekatan ini terjalin secara jelas antara konsep-konsep linguistik dengan kajian puisi, baik secara metaforis maupun secara ekletis.

Kedua, pendekatan ekspresif menonjolkan peranan penyair. Titik berat pendekatan ini adalah pada diri penyair seperti kesadaran penyair secara psikologis, wawasan budaya penyair, dan respon penyair terhadap problem dasar kehidupan. Dalam perspektif historis, pendekatan ekspresif berusaha mencari asal-usul terciptanya puisi, yaitu bagaimana puisi itu diciptakan, apa yang menjadi motif atau latar penciptaan, dan bagaimana model transformasi dunia penyair.

Ketiga, pendekatan mimetik menonjolkan aspek referensial. Dasar pandangan pendekatan mimetik ini adalah adanya anggapan bahwa puisi merupakan tiruan alam atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia di semesta raya ini. Sasaran yang diteliti adalah sejauh mana puisi merepresentasikan dunia nyata atau semesta dan kemungkinan adanya intertektualitas dengan karya lain. Oleh karena itu, pendekatan mimetik ini berhubungan dengan teori intertekstualitas, teori dekonstruksi, dan teori strukturalisme genetik.

Keempat, pendekatan pragmatik atau lazim disebut estetika resepsi menonjolkan peranan pembaca sebagai penyambut, penghayat, dan pemberi makna puisi. Anggapan dasar pendekatan pragmatik ini adalah puisi dipandang sebagai artefak tidak berarti apa-apa tanpa keterlibatan pembaca sebagai penyambut, penghayat, dan pemberi makna. Dalam bagan yang telah dikemukakan itu tidak terlihat hubungan antara pembaca dan penyair. Hubungan antara pembaca dan penyair tidak dapat dilakukan secara langsung, melainkan harus melalui puisi yang dibacanya. Dalam konteks ini pembaca dituntut kreativitasnya untuk menemukan pesan penyair melalui puisi yang dibacanya. Pembaca dalam komunikasi puisi dapat berfungsi sebagai subjek atau objek. Sebagai subjek, pembaca adalah pemberi makna, perebut amanat dan pemberi nilai terhadap puisi yang menjadi objeknya. Sebaliknya, sebagai objek pembaca selalu terkena bermacam-macam pengaruh dan kekuatan sosial budaya yang melingkupinya.

Kajian puisi dalam perspektif model komunikasi sebagaimana dikemukakan oleh Abrams itu berkaitan dengan berbagai faktor bahasa dan fungsinya. Enam faktor bahasa dan fungsinya itu, meliputi (1) faktor penyampai (addresser), yaitu seorang penyair berusaha menyampaikan gagasan melalui karya berupa puisi kepada pembaca—dalam hal ini faktor penyampai memiliki fungsi emotif atau ekspresif; (2) faktor penerima (addressee), yaitu pembaca atau khalayak sebagai objek yang dituju oleh si penyair—dalam hal ini pembaca berusaha menerima atau menanggapi pesan yang disampaikan oleh penyair dalam rangka menjalankan fungsi konatif, reseptif, atau pragmatik; (3) faktor konteks (context), yaitu faktor-faktor yang turut mempengaruhi penyampaian pesan penyair—dalam hal ini konteks berhubungan dengan fungsi referensial bahasa atau fungsi acuan; (4) faktor amanat (message), yaitu sebagai tanda puisi memiliki amanat berupa pesan yang harus dipahami oleh pembaca—dalam hal ini pesan berhubungan dengan fungsi puitik atau estetik; (5) faktor kontak (contact), yaitu pembaca harus menghubungkan dirinya dengan puisi yang dibaca dan dinikmatinya—dalam hal ini berlangsung fungsi fatik; dan (6) faktor kode (code), yaitu pembaca harus dapat memahami kode-kode bahasa sesuai dengan konvensi puisi dan konvensi budaya yang melingkupi puisi—dalam hal ini berlaku fungsi metalingual atau sosio-budaya.

Selanjutnya, kajian aspek bahasa puisi berhubungan dengan kemampuan penyair secara ekspresif dalam menyatakan pendapat, mengemukakan gagasan, dan menyampaikan buah imajinasi dalam wadah bahasa yang dipilihnya. Kajian terhadap bahasa puisi dapat diarahkan pada kemampuan penyair dalam menggunakan bahasa untuk mencapai efektivitas komunikasi. Kajian terhadap bahasa puisi juga terfokus pada sistem lambang bahasa yang muncul dalam komunikasi yang meliputi (1) karakteristik hubungan antara bentuk, lambang, dan makna; (2) hubungan antara bentuk keba­hasaan dengan dunia luar yang diacunya; dan (3) hubungan antara lam­bang dan pemakaiannya. Kajian seperti itu juga berkaitan dengan sistem sosial budaya dalam suatu masyarakat bahasa, sistem kebahasaan yang melandasi, bentuk kebahasaan yang digunakan, serta aspek semantis yang dikandungnya.

Kajian aspek makna puisi difokuskan pada nilai, kontribusi atau kegunaannya dalam kehidupan manusia. Puisi mengandung muatan nilai-nilai budaya yang berharga dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai budaya yang terdapat di dalam puisi merupakan konsepsi ideal tentang sesuatu yang dipan-dang dan diakui berharga serta dijadikan pedoman, pengendali ucapan, tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makluk ber-Tuhan.

Kajian puisi sebagai cara komunikasi mengacu pada bagaimana seorang penyair melalui karyanya dapat berkomunikasi dengan para pembacanya. Kajian puisi sebagai cara komunikasi dalam khazanah kajian puisi termasuk ke dalam kajian pendekatan ekspresif dan reseptif. Kajian respon pembaca dalam meresepsi makna puisi le­bih cenderung termasuk ke dalam kajian sosiologi puisi yang mengangkat per­soalan penyair, karya berupa puisi, dan respon masyarakat pembaca. Kajian tentang ekspresi dan kreasi berhubungan dengan pro­ses kreatif penyair dalam penciptaan puisi. Dengan demikian, yang menjadi fokus per­hatian kajian ekspresif adalah (1) proses kreatif yang dilakukan oleh penyair dalam menciptakan puisi; (2) faktor-faktor yang mendorong penyair berkarya; (3) visi, misi, dan konsepsi yang dianut oleh penyair; (4) aliran puisi yang diciptakan oleh penyair; dan (5) latar belakang sosial-bu­daya, agama, keyakinan, dan pandangan hidup penyair bersangkutan.

Sebuah kajian yang ideal melibatkan keempat cara pendekatan tersebut secara komprehensif dan integratif. Penerapan keempat pendekatan secara komprehensif dan integratif dapat menyingkap­kan misteri teks puisi yang digubah oleh penyair secara utuh-menyeluruh. Namun demikian, pemilihan salah satu pendekatan kajian dimungkinkan, sebab penerapan empat pendekatan kajian ter­sebut merupakan “peker­jaan raksasa” yang selain memerlukan banyak waktu, tenaga, biaya, juga menuntut kemampuan pengkaji. Se­jalan dengan hal itu, maka pe­milihan pada satu atau dua pendekatan di­mungkinkan. Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini ialah pendekatan yang bersifat gado-gado, campuran beberapa pendekatan.


***

Teks puisi yang dimuat dalam buku APPN memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap berbagai ma­salah kehidupan penyairnya. Berbagai ma­salah kehidupan penyair, baik berupa peris­tiwa yang terjadi dalam kehidupan se­hari-hari, se­suatu yang dialami oleh penyair, masalah sejarah-so­sial-politik-ekonomi-bu­daya, maupun berbagai fenomena kehidupan yang menjadi bahan renungan, ha­yatan, pe­mikiran penyair diekspresikan secara unik dan menarik. Keunikan dan daya tarik teks puisi yang dimuat dalam buku APPN realisa­sinya berhubungan dengan misi, visi, dan konsepsi penyair selaku kreator. Penyair yang kreatif akan dapat menghasilkan teks puisi yang khas, dan dengan demikian memiliki daya tarik tersendiri. Teks puisi di­bentuk dan dicipta­kan oleh penyair berdasarkan de­sakan emosional dan rasional. Puisi merupakan se­buah ciptaan, se­buah kreasi, dan bukan sebuah imi­tasi. Oleh karena itu, wajar apa­bila un­sur-unsur pribadi penyair yang tergabung dalam buku APPN seperti pengetahuan penyair, peristiwa penting yang dialami, visi, misi, dan konsepsi penyair meronai puisi yang dicipta­kannya.

Secara fisik, teks puisi dalam buku APPN terungkap melalui pemaparan bahasa yang pe­nuh dengan simbol, bahasa kias, dan sarana kepuitisan lainnya. Peng­gunaan simbol, bahasa kias, metafora, dan sarana kepuitisan oleh seorang penyair dimaksudkan untuk me­madatkan pengungkapan dan mengefektifkan pengung­kapan. Dengan pemakaian simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa tersebut penyair dapat mencipta­kan puisi yang mengutamakan intensifikasi, korespondensi, dan musikalitas. Intensi­fi­kasi, korespondensi, dan musikalitas inilah yang tampil dominan dalam karya puisi berbentuk puisi dan terangkum dalam buku APPN. Intensifikasi merupakan upaya penyair memperdalam intensitas penuturan dengan berbagai cara pemaparan bahasa. Korespon­densi merupakan upaya penyair menjalin gagasan menjadi satu ke­satuan. Musikalitas meru­pakan upaya penyair mempermanis, mem­perkuat, dan menonjolkan efek puitik kepada hasil kreasinya. Dengan intensifikasi, korespondensi, dan mu­sikalitas yang baik penyair mampu men­ciptakan puisi yang secara fisik berbeda dengan prosa. Jika prosa lebih bersifat menerangjelaskan, maka puisi bersi­fat memusat dalam perenungan.

Bagaimanakah karakteristik puisi yang terangkum dalam buku APPN? Riffaterre dengan tepat mengungkapkan karakteristik teks puisi dalam ungkapan “Says one thing, means another” atau dalam ungkapan penyair Sapardi Djoko Damono “bilang begini, maksudnya begitu”. Kedua ungkapan yang dikemukakan oleh pakar puisi itu memiliki maksud bahwa puisi sebagai teks mengungkapkan sesuatu hal dan berarti hal lain secara tidak langsung. Menurut Riffaterre ketidaklangsungan itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya pemakaian kias seperti metafora dan metonimi; (2) penyimpangan arti (distorting of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaran baris.

Teks puisi dalam buku APPN cenderung berisi monolog. Artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu di dalamnya. Instansi atau pihak yang bermonolog itu lazimnya disebut “aku lirik”. Aku lirik ini di dalam teks puisi tidak selalu dapat ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti “aku” atau “-ku”. Kata-kata ini dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi.

Puisi dapat dipandang sebagai sis­tem lam­bang budaya yang intersubjektif dari suatu masyarakat. Sebagai lam­bang budaya yang inter­subjektif, puisi bukanlah artefak (ar­tefact) atau fakta kebendaan seba­gaimana dinyatakan oleh beberapa ahli puisi. Puisi adalah sebuah teks yang merupakan inskripsi yang menjadi fakta mentalitas (mentifact), fakta kesadaran kolektif bu­daya, dan fakta sosial (sociofact) dari masyarakat yang menghasil­kannya. Sebagai sistem lambang budaya puisi berhubungan dengan dunia hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan terhadap nilai tertentu dalam konteks dialektika bu­daya tertentu.

Teks puisi selalu berhubungan dengan konstruksi pengetahuan budaya ter­tentu. Se­bagai con­toh, puisi yang dihasilkan oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya Jawa; puisi yang ditulis kawan-kawan dari Bugis merepresentasikan kon­struksi realitas nilai bu­daya Bugis; puisi yang digubah penyair berdarah Banjar merepresentasikan konstruksi realitas budaya Banjar; puisi Nusantara merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya Nusantara, dan seeterusnya dan seterusnya. Hal ini menunjukkan bahwa puisi selalu erat berkaitan dengan nilai budaya tertentu karena ke­beradaan dan kedudukannya sebagai sistem lambang budaya mem­buat­nya selalu terlekati nilai budaya dalam konteks dan proses dialektika bu­daya tertentu.

Puisi-puisi yang terangkum dalam APPN menam­pilkan ha­yatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan tentang kon­struksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialek­tika bu­daya nusantara. Dalam hubungan ini dapat dinyatakan bahwa puisi Nusantara yang ditulis oleh penyair berlatar belakang budaya beragam menam­pilkan ha­yatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan tentang kon­struksi realitas budaya yang majemuk di tengah konteks dan proses dialek­tika bu­daya nusantara. Puisi nusantara selalu membayangkan atau menghadirkan ten­tang konstruksi re­alitas bu­daya nusantara yang dihayati, direnungi, diingat, dipikirkan, diga­gas, dan dipandang oleh penyairnya.

Puisi-puisi karya penyair nusantara juga dipandang sebagai teks dan sekali­gus inskripsi yang selalu merepresentasikan konstruksi re­alitas budaya nusantara. Yang terepresentasi dalam puisi Nusantara adalah konstruksi realitas nilai bu­daya nusantara. Dengan dasar pemikiran seperti itu, buku APPN yang penyairnya berasal dari beragam etnis tentulah selalu membayangkan atau menghadirkan ten­tang konstruksi re­alitas bu­daya nusantara yang dihayati, direnungi, diingat, dipikirkan, diga­gas, dan dipandang oleh penyairnya. Beragam latar belakang budaya penyairnya tentulah turut meronai sosok budaya yang beragam pula. Keberagaman (dan perbedaan) budaya yang melatari penyair turut memperkaya khasanah untaian bunga budaya yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.

***

Pada akhirnya, puisi-puisi yang terangkum dalam buku APPN secara umum dapat ditandai dan diberikan catatan seperti ini. Pertama, puisi selain merupakan bentuk karya tertua, ia merupa­kan teks yang di dalamnya penuh dengan misteri. Kemisterian itu antara lain tampak ketika dilakukan pemba­caan sering terjadi pembaca mengalami kesulitan dalam mema­hami keseluruhan makna puisi, sebab dalam realitasnya penyair sering menggunakan cara pengungkapan yang unik. Oleh karena itu, teks puisi yang termuat dalam APPN perlu dipaparkan dan diberi penjelasan secukupnya sehingga pembaca puisi memperoleh informasi yang diperlukan dalam memahami ‘kemisterian puisi’.

Kedua, di dalam teks puisi-puisi APPN terdapat cara ekspresi atau strategi komunikasi yang mengandung unsur per­mainan, ekspresi yang ‘menunjukkan’ tanpa kata-kata, berisi kias, lambang, dan lain-lain. Fenomena ini berkaitan dengan pemakaian bahasa kias dan lambang serta strategi komuni­kasi yang dipilih oleh penyair dalam fung­sinya untuk mengkomuni­kasikan ide-idenya.

Ketiga, teks puisi yang terekspresikan oleh para penyairnya mengandung nilai-nilai budaya seperti: nilai edukatif, nilai religius, nilai filosofis, ni­lai etis, dan nilai estetis. Nilai edukatif ini berhubungan dengan adanya ajaran, pesan, atau amanat yang terungkapkan. Nilai religius berhubungan dengan keteri­katan manusia kepada kekudusan dan kesucian Tuhan Yang Maha Esa. Nilai filosofis berhubungan dengan keterikatan manusia kepada ke­benaran dan kete­patan. Nilai etis berhubungan dengan persoalan ke­baikan dan kesusi­laan. Nilai estetika ber­hubungan dengan per­soalan keindahan dan keelo­kan fenomena estetis. Beragam nilai budaya itu perlu dipaparkan dan dijelaskan sehingga dapat menambah kekayaan rohani pembaca terhadap khazanah budaya bangsanya.

Keempat, realitas yang disebut puisi merupakan ‘gejala komunikasi khas berupa bahasa yang diabdikan pada fungsi estetis’. Puisi mengandung unsur-unsur yang yang hadir secara simultan, yaitu bdrupa paparan bahasa, struktur isi, dan aspek keindahan. Berdasarkan ciri hubungan, ciri kehadiran, dan tingkatan hubungan antarunsur dalam membangun totalitas puisi dapat diketahui bahwa unsur pembangun itu dapat bersifat internal, yaitu unsur yang hadir secara simultan, mengandung pasangan langsung, dan saling berinter-dependensi, dan unsur yang bersifat eksternal, yakni unsur yang apabila ditinjau dari perspektif entitas puisi merupakan unsur-unsur yang memiliki hubungan kausal dan fungsional. Penjelasan dan pemaparan aspek intrinsik dan ekstrinsik teks puisi akan menambah khazanah wawasan pembaca dalam upaya merebut maknanya.

Kelima, di hadapan sebuah puisi berbahasa Indonesia yang terangkum di dalam buku APPN, muncul kesan seperti dinyatakan oleh Goenawan Mohamad bahwa kita tidak dapat menengok ke dalam ‘dunia bahasa puisi yang penghuninya berjejal kelewat rapat’. Bahasa yang ada masih seperti dusun datar yang baru saja dihuni para transmigran—lokasi yang di­ancam wa­bah, perdu yang di­ham­piri hama. Tetapi itu, bagi penyair Nusantara, ada­lah satu-satunya bahasa yang mungkin. Penyair Indonesia tak bisa menghindari pemakaian bahasa Indonesia yang dalam hal tertentu masih miskin sebagai bahasa literer.

Keenam, ada beberapa penyair masih menghadapi persoalan dengan bahasa Indonesia. Dalam hubungan dengan persoalan bahasa Indonesia ini lantas muncul pertanyaan, seberapa jauh (seberapa dalam) bahasa Indonesia dapat menjalankan fungsi sosio-kulturalnya sebagai saluran komu­nikasi dan sebagai unsur integratif sebuah karya cipta dalam hal ini puisi? Pertanyaan ini mengindikasikan jawaban tentang per­soalan di­namika hubungan antara wujud, makna, dan fungsi komunikatif ba­hasa sebagai saluran komunikasi simbolik bagi penyampaian pe­san, realitas “objektif”, dan berita pikiran dengan lingkungan khalayak pemakai bahasa, baik pengirim pe­san maupun pene­rima pesan. Apakah ba­hasa sebagai saluran komuni­kasi yang membentuk realitas, yang mewujudkan pesan, atau­kah, khalayak pema­kai yang menentukan corak saluran pesan itu? Dalam hubungan ini dapat dinyatakan bahwa penambahan dan pem­besaran perbendaharaan pengeta­huan, tentang berbagai gejala alam, so­sial, dan kemanusiaan, kerap menim­bulkan keha­rusan perubahan “kata” menjadi “istilah” atau “kon­sep”, yang me­wakili seperangkat ide. Ketika perubahan ini ter­jadi, maka terpu­tuslah hubungan kata dengan artinya yang semula “telah disetu­jui” oleh komunitas penutur bahasa. Konsep bu­kan lagi yang bisa ditentukan artinya, sebagai­mana tertera dalam ka­mus, tetapi se­suatu yang maknanya harus dirumuskan dan kalau perlu di­per­debatkan.

Ketujuh, satu paradoks puisi yang dimuat dalam buku APPN ialah dalam upayanya un­tuk menjadi ekspresi verbal yang otentik, puisi tidak sepe­nuh­nya mewujudkan diri sebagai ‘tindak verbal’. Beberapa puisi karya penyair yang tergabung dalam buku APPN masih ber­sandar pada kekuatan kata dan variasinya. Ada sejumlah penyair tampil serupa perupa, tetapi kurang mengenal bahasa warna. Ada sejumlah penyair tampil seperti penyanyi, tetapi belum menguasai notasi. Ada penyair yang tampil serupa pekerja teater, namun belum didasarkan pada penguasaan tata pentas. Padahal, puisi yang elegan mestinya memberikan ruang perenungan (ruang samadi/pertapaan) yang menurut pujangga Jawa abad ke-10, Ronggowarsito, disebut sebagai ke­heningan yang sekali­gus kebe­ningan, kehampaan yang sesung­guhnya berisi (weninging ati kang suwung, nanging sajatining isi). Demikian, salam budaya.


Jambi, 2007-05-13

Pemerhati Seni, Sastra,dan Budaya serta Dosen FKIP Universitas Jambi

Selasa, 04 Desember 2007

“NARASI PENYAIR GILA” ARSYAD INDRADI



Oleh : Dr. Sudaryono M.Pd
Staf Pengajar FKIP Universitas Jambi

Kalau ada kegilaan adalah kegilaan kreatif. Dengan kreativitas, kegilaan penciptaan dimungkinkan. Dengan kegilaan pula dapat dikecap capaian-capaian artistic sebuah sajak. Penyair terkadang seperti orang “gila” (gila dalam tanda kutip). Artinya ,di tengah-tengah masyarakatnya penyair acap tampil anomaly, menyendiri, mengasingkan diri dari interaksi massif, dan secara personal menampilkan sosok yang sering “nyleneh”, aneh, dan sulit dipahami. Hal seperti itu tidak ditemukan pada puisi-puisi penyair dari Banjarbaru : Arsyad Indradi yang menyedot perhatian untuk digumuli.
Kegilaan Arsyad Indradi dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi segenap inderanya dalam menciptakan puisi masih dapat dinikmati. Niscaya merupakan sebuah kegilaan manakala dalam satu tahun diterbitkan buku kumpulan puisi : Nyanytian Seribu Burung (April 2006), Narasi Musafir Gila (Mei 2006), Romansa Setangkai Bunga (Juni 2006), dan Kalalatu (September 2006) yang semuanya diterbitkan secara swadana oleh Kelompok Studi Sastra Banjarbaru yang dipimpinnya. Gila ! Mungkin begitu komentar orang. Kali ini perhatian secara khusus mengarah pada Narasi Musafir Gila yang memuat 90 puisi yang ditulis tahun 2000-an.
Dari mana pembicaraan ini dimulai ? Pembicaraan puisi bisa dimulai dari mana saja. Antologi ini dibuka dengan “ Narasi Ayat Batu”. Sebagai pembaca kita lantas ingat adanya prasasti, tugu, daun lontar dan sebagainya yang menyimpan kearifan. Kubelah ayatayat batumu di kulminasi bukit/ Yang terhampar di sajadahku / Kujatuhkan di tebingtebing lautmu / Cuma gemuruh ombak dalam takbirku// ...Kuseru namamu tak hentihenti / Di ruasruas jari tanganku/ Yang gemetar dan berdarah/ Tumpahlah semesta langit / Di mata anak Adam yang sujud di kakimu (Banjarbaru,2000). Puisi ini secara intens mengungkapkan pergulatan penyair dalam menghayati “misteri” illahi.
Arsyad Indradi yang memasuki usia 54 tahun pada Desember 2008 ini seterusnya menulis “Narasi Pohon Senja” seperti ini : Kukalungkan lampulampu di ranjangmu/ Lalu kujadikan pengantin/ Lalu kunikahi daunmu kepompong birahi dendam/ Lahirlah kupukupu/ Betapa nikmat dalam dahaga / Menjelajahi tubuhmu/ Mencari rangkaian bunga/ jauh dalam lubuk jantungmu (Hal.2). Sajak ini lebih mengedepankan kontemplasi dengan ilahi ditampilkan melalui penginsanan-hubungan manusiawi dengan idiom symbol hubungan pengantin di ranjang. Dalam “Narasi Gairah Embun” secara manis penyair menulis seperti ini “Mulutmu wangi sarigading/ Menyentuh gordengorden jendela/ Tapi jangan kau buka/ Sebentar lagi pagi beranjak tiba (hal.3). Secara analogis, metaforis, dan liris dalam “Narasi Tanah Kelahiran” dinyatakan “Kau beri aku sampan/ Riakriak menyusuri uraturat nadi/ Wajahmu sudah lain tapi begitu angkuh/ Tumbuh rumahrumahbatu” (hal.4). Pergulatan dan pergumulan penyair sampai pada kenyataan bahwa “Aku/Anak Adam/ Yang tersesat di sajadahMu (“Zikir Senja”, hal.8).
Memasuki usia senja, penyair semakin intens mengolah rahasia pertemuan dengan sang Khalik. Intensitas itu membuahkan puisi-puisi relegius yang lembut dan kongkret. Lebih kongkret lagi ketika penyair lantas mengkaji bumi yang dipaijak. Bumi yang memberikan kesadaran bahwa persoalan manusia tidaklah semata berkomunikasi dengan Sang Khalik, melainkan juga perlu membaca denyut kehidupan di bumi. Puisi-puisi yang mewakili tema kehidupan di bumi yang ia pijak antara lain “Ekstase Seorang Pejalan Jauh”,”Etam Sayang Gunung” , “Romansa Bulan Saga””, Romansa Seekor Hong”, “Romansa Setangkai Bunga”, “Romansa Di Bawah Hujan Cinta Pun Abadi “, “Pertemuan”, “Jalan Begitu Lengang”.
Hal yang unik dan menarik, penyair Arsyad Indradi mencoba menawarkan cara ungkap multikultur dengan memanfaatkan campur code bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam beberapa puisinya seperti : “As One of the Song, Mamimeca”, “ Elly : Sonata is Silent”, dan “In My Last Mirrage”. Kita cermati bagaimana penyair memakai campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam puisinya. Dalam “As One of the Song, Mamimeca” ditulis begini “ ... Aku tahu betapa letih wajahmu/ Dalam gugusan maha kelam / May soul stay in the wind, Mami” (hal 27). “Aku musafir/ Liriklirik yang jatuh dari matamu/ Jatuh gemersik : Give to me one the world/ Di kulminasi bukit/ Kupetik kembang ilalang :/ may sure not at all raincloud / Elly di tebingtebing :/I have lost my wind (Elly : Sonata is Silent, hal 29). Pemanfaatan campur kode dalam puisi ibarat membuat gado-gado, bahan-bahan yang berlainan dipadu jadi satu, dan ternyata enak juga.
Mengahiri pembicaraan ini , kita tampilkan puisi yang dijadikan judul buku kumpulan puisi. Judul puisi yang dijadikan judul buku , biasanya dijagokan sebagai gambaran pencapaian estetis dan gambaran sikap penyairnya. Bagaimanakah capaian estetis dan gambaran sikap penyair Arsyad Indradi ? Kita simak sajak “ Narasi Musafir Gila “ selengkapnya.
Mendadak cahaya itu terjebak dalam belitan kabut
Porakporandalah cakrawala dan aku kembali harus
bergumul dengan persimpangan jalan
Tapi aku tak sudi mengatakan : Ajalkan aku di sini

Kudakudaalas berloncatan pada goncangan bumi
Pada angin yang menepuk dada
Kugilakan musafirku ke padang luas
Padang abadabad persembunyianmu

Sebab aku telah mengatakan :
Kuabukan s’luruh mimpimimpi purbaku
Dan kutapakan dalam tubuh tembokmu
Agar tak kan kau usik lagi s’luruh jejakmu

Puisi yang ditulis di Bandung pada 2006 seakan menandai pengembaraan spiritual penyair. Arsyad Indradi tampaknya sampai “Pada Suatu Halte”, tempat istirah sejenak, tujuan perjalanan, dan tempat bertolak melakukan petualangan yang lebih gila. Estetika yang ditawarkan penyair, pola ucap puisi-puisinya, dan tematis puisi-puisinya tampak akan serupa air yang mengalir menuju muara makna. Demikianlah pembicaraan sederhana, semoga silaturrahmi batiniah terjembatanni. Salam budaya.

Jambi, 21 Januari 2007

PUISI – PUISI DIMENSI ! SIMPAN RUH BUMI KALIMANTAN

Oleh : Diah Hadaning

Catatan khusus tentang antologi puisi sepuluh penyair Banjarbaru ( Arsyad Indradi, Eza Thabry Husano, Hamami Adaby, Hudan Nur, Isuur Loeweng, S.Fatimah Adam, Harie Insani Putra, Nina Idhiana, Syamsuri Barak, Ali Syamsudin Arsi ) ini, merupakan jembatan panjang persahabatan sastra antarkawasan. Catatan dari Warung Sastra DIHA. Buku dengan tebal 108 halaman yang dieditori Ogi Fajar Nuzuli diterbitkan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru (2005), ini baru merupakan sebagian peta kepenyairan Kalsel khususnya Banjarbaru.

Ada beberapa hal khusus yang bisa kita garis bawahi selama membaca dan menikmati karya – karya terhimpun dalam DIMENSI. Antara lain, bahasanya yang tetap santun, tema – temanya tetap bebas dari aura GSM atau Gerakan Syahwat Merdeka. Di luar DIMENSI adalah di luar koridor antologi ini. Nampaknya, sepuluh nama dalam kebersamaan ini tetap memegang etika dan estetika dalam menoreh karya, meski ada ‘ lesensia poetika ‘, hal yang sangat dibanggakan para ‘penyair’ yang memberhalakan kebebasan.

Kita temukan nafas cinta kota kelahiran, hulu dari rasa cinta tanah air, seperti kita baca pada puisi ‘ Perempuan Itu Bernama Pertiwi’ (hl 9), ‘ Notasi di Atas Kota ‘ (hl 16), ‘Cikang’ (hl 19), Khasidah Kemerdekaan’ (hl 36), ‘Tafsir Sebuah Kota’ (hl 37), ‘Banjarbaru Kota Pendidikan’ (hl 49),’Kotaku Indah’ (hl 53), ‘Banjarbaru’ (hl 68),’Kubangunkan Banjarbaru’ (hl 93), sayang tak mungkin WSD kutipkan lengkapnya puisi – puisi tersebut atau dengan kata lain pembaca harus membaca langsung DIMENSI (2005).

Modernisasi, teknologi, kemajuan di satu sisi, menghadirkan ‘kehancuran’ di sisi lain yaitu nilai – nilai tradisi yang menafasi eksistensi bangsa ini, yang menjaga ‘mahkota jiwa’ bangsa ini. Penyair dalam DIMENSI bukan tak menangkap fenomena ini. Muncul pula kritik – kritik kepada atau terhadap perwujudan yang banyak ‘membunuh’ – menghilangkan – bahkan ‘menindas’ ruh yang hidup oleh mantra – mantra ( yang ikut jadi korban ) budaya modern yang kontroversial dan membuat banyak ‘manusia’ jadi marjinal (hl 25,27). Ya, kritik keras terhadap perilaku manusia pengusung peradaban baru. Semua itu menimbulkan kegetiran, parodi karena tak berdaya menepis keangkuhan yang merajalela berpasangan dengan kerakusan duniawi yang kini sering dijadikan ‘panglima’. Tertera pada hal. 22 misalnya, merupakan protes keras pada pelaksanaan pelestarian lingkungan hidup namun dalam bahasa yang tetap santun. Lebih merupakan mawas diri atas ketidakberdayaan menghadapi kondisi dan situasi yang menghampar.

Pilihan tema yang beraneka seperti, kerinduan pada Tuhan, rindu perubahan, lingkungan hidup, juga tak meninggalkan tema – tema indahnya persahabatan, cinta kota kelahiran bahkan dalam memaknai kemerdekaan. Pula kemerdekaan daqlam berkarya yang tetap berada dalam koridor etika dan estetika. Dalam DIMENSI ‘ruh bahasa’ tetap dijaga para penyair sepuluh nama. Bahasa memang menunjukkan bangsa. Dalam bahasa ada ‘mahkota’.

DIMENSI berhasil menepis perbedaan senior – yunior. Penyair dalam DIMENSI benar – benar lintas generasi yang menampilkan kebersamaan. Mereka yang lahir antara tahun 1938 – tertua ( E.Thabri Husano ) dan tahun 1987 – termuda ( Nina Idhiana ) merupakan hutan humus Kalimantan, tetap menyimpan harapan masa depan. Sementara Si Abah ( Arsyad Indradi – 1949, Barabai ) yang menyimpan ‘ruh pamong’ terwakili dalam sajaknya SEBUAH KATA YANG PECAH (hl 15) menurut kacamata WSD, coba kita nikmati : Kueja setiap ziarah ayat batumu/ Rekuiem isak bumi / Bumi yang menapaskan ruh / Yang senantiasa kunapaskan / pada namamu / Kubangun kecemasan / Karena kehilangan alifmu / di setiap pintu rumahmu / disetiap aku menyeru / Aku rebah di bumi / Rebah menciumi tapakdemitapak kakimu / Menciumi rahasia katademikata/ yang kau tebarkan di sajadahmu / Aku rebah di sebuah kata / yang kau ayatkan pada napasku //.

Menulis panjang banyak diminati ( dalam DIMENSI ). Bisa kita temukan pada Perempuan Itu Bernama Pertiwi ( Indradi ), Leluhur, Sebab Aku Bukan Orang Bukit, Rumah – Rumah Padang Ilalang, Guru Para Penyair Berkata, Indonesia Dalam Kaca Mata Luka ( Arsi ), Sebuah Kota Menggesek Biola Ajaib, Orkestrasi Danau Air Mata, Tafsir Sebuah Kota, Improfisasi Abad – Abad Kehidupan, ( Husano ), SDM, Andai ( Fatimah ), Aku Menulus, Intan, Atikah, ( Hamami), Kemusnahan Peradaban Bukit, Demam Peluru Hujan ( Harie ), Auraku Terukir di Prasastiku ( Hudan ), Yang Ada Di Antara Mimpi, Aku Berdiri Di Antara Butiran Cinta ( Isuur).

Sajak – sajak pendek menarik juga kita nikmati dalam DIMENSI. Keangkuhan Malam I, Epigram I & II, ( Hudan ), Penat ( Nina ), Kubangunkan Banjarbaru, Dia Yang Kucari, Aku Ingin Cinta-Mu ( Samsuri ). Kita nikmati satu di antaranya, Epigram Nasib I dari Hudan : riak aliran sungai itu menghempaskan aku ke batu – batu kasat / dari satu sudut ke sudut lain / juga menghalau dayungku dari kanan ke kiri // Ada sesuatu yang patut digarisbawahi adalah : Kebahasaan yang mendukung ide – ide penyair dihadirkan secara sederhana namun bermakna, gambaran dari dunia tradisi yang khas ( Kalimantan Selatan ). Sajak – sajak rimbun dan panjang masih simpan misteri bumi Kalimantan. Dan catatan ini, ruh di seberang yang menyapa ruh kata – katamu.

( Catatan Dari Warung Sastra DIHA, Depok- Bogor )

SETANGKAI BUNGA DALAM SERIBU AROMA
EKSPRESI CINTA LELAKI BANJAR
Oleh : Diah Hadaning
“ ... Sempurnakan jerit setangkai bunga/Agar mimpi jangan gelisah/Waktu pagi dibasuh tangisan kecil/Tapi aku tak ingin siapa pun/Mengusik ujung kelopaknya/Sebab setiap tetes embun/Adalah suara rintihan riwayat/Kerinduan/ Tak perlu jambangan/Sebab akulah jambangan setiap rintihan/Tuhan kutaruh keyakinan/Jangan kau sembunyi di balik anganangan...” Ekspresi cinta atau kata-kata pujangga yang sarat makna ? Tentu hanya sang penyair dan Tuhan yang mengetahui. Pembaca adalah penikmat yang ‘ bersih’ tanpa pisau bedah, membiarkan hati terbuka.
“ Romansa Setangkai Bunga “ yang diangkat dari judul puisi pertama merupakan ‘pernyataan’ penyair pada dunia (seni) yang mengetengahkan etika dan estetika serta tetap percaya pada kata, modal penting bagi penciptaan puisi.
Jagad kecil dan jagad agung yang menyatu, sang diri dan Tuhannya yang saling tahu, nyata sebentuk keindahan yang tak akan pernah pudar dari jagad kepenyairan seseorang. Semua bisa memesona manusia dalam ‘seruas waktu’ : pagi,embun, bunga, mimpi, kerinduan, tempat, dan jiwa, adalah nuansa percik-percik kasih sayang.
Bagi seseorang, banyak cara untuk mewujudkan mimpi yang menyatu dengan kenyataan serta harapan. Puisi merupakan salah satunya selain sebagai saksi jaman dan saksi perjalanan usia. Bagi Arsyad Indradi ( Barabai, 1949 ), puisi mempunyai makna yang cukup pribadi. Manusiawi jika seorang penyair juga ingin mengenang masa muda, bagian awal dari perjalanan panjang anak manusia dalam menjalani kehidupan. Tentu saja termasuk di dalamnya, persahabatan – karunia yang memperkaya jiwa – dan juga kebersamaan yang selalu menambah pengalaman, itu memberi nuansa kebahagiaan tersendiri.
Hal-hal itulah yang ingin dituangkan penyair dalam antologi puisinya berisi 85 judul bertajuk ‘ Romansa Setangkai Bunga ‘. Menikmati ‘ bunga rampai album puisi cinta Arsyad Indradi’ yang bertitimangsa periode 1970 – 1979, 1980 – 1988, 1993 – 1998, dan 2000 – 2006, pembaca dibawa memasuki taman bunga dunia kata. Yang terhampar adalah warna-warna yang elok, bersih, dan santun. ‘Pakem’ perpuisian merupakan suatu nilai yang tetap dipertahankan sang penyaair.
Sebagai puisi bernuansa cinta tentu banyak ungkapan tentangnya seperti terwakili dalam kata-kata cinta, asmara, rindu, sunyi, senyum., tangis, dan isak sembilu mendaki mimpi-mimpi (spesifik Arsyad ?). Juga bisa ditemukan idiom-idiom yang unik seperti larva bintang, semak ganggang, serbuk bintang, serbuk ganggang, musik batu kolam (sebuah judul puisi hlm 80, ditulis 1985).
Lebih lama menyimak lebih terasa nafas konfensional yang nampaknya memang menjadi bagian dari gaya penyairnya. Namun ada juga yang terasa kenes seperti diwakili oleh judul puisi Di Kolam Garden City Waktu Pagi, Aku tersesat dalam Gumpalan Pekat, Renjana, puisi-puisi yang ditulisnya tahun 1977, pada saat penyair berusia 28 tahun.
Puisi-puisi dalam ‘RSB’ sesuai dengan maksudnya, kental dengan aroma cinta. Sebagai contoh, Puisi Kau Kirim Gerimis memuat impian-impian yang wajar pada orang muda usia (21 tahun). Tapi ia juga telah bicara tentang ajal, kegamangan serta kecemasan-kecemasan. Semuanya menjadi bagian dari nuansa jiwa seorang penyair, sedang tumbuh maupun telah menemukan ‘dunianya’.
Di tahun 2006 pada saat penyair berusia 57, masih menunjukkan gairah jiwa muda ‘ yang kaya aroma anggur ‘ masih tersimpan hasrat indah ingin memetik dengan lembut bunga-bunga yang bermekaran di hati “sang kekasih’ dan masih memiliki semangat ‘menangkap’ suatu yang bermanfaat bagi dunia kehidupan. Setiap insan yang menjalani kehidupan dan mengusung misi NYA, bukankah harus menjaga yang satu ini ? Menangkap yang bermanfaat !
Ada lagi pada hlm 22, sebuah judul yang akan ada dan terjadi sepanjang jaman, di setiap mana, di setiap siapa, yaitu ‘Kisah Kasih di Suatu Taman’ – sebuah pesona peristiwa kejiwaan, sebuah lukisan indahnya kesetiaan, yang mengingat terbatasnya ruang bisa dikutipkan sebagian dari puisi tersebut. “ Asmara tiada pernah mengenal musim/Bersemi pada siapa pun dalam kehidupan/Mekar dibungakan/Dan wangi pun diharumkan/ ...” Sebuah kisah yang bisa dialami siapa saja ( tanpa beban dosa ? ) – tentunya jika oleh mereka yang masing-masing masih ‘sendiri’. Dalam pengertian, menjalin kisah tanpa merugikan dan menyakiti sesama, bukan ? ( Wahai penyair, jika itu yang dimaksud, itulah keindahan sejati ! ).
Ya, insan seni dalam konteks ini penyair, adalah pencatat jaman, perekam sejarah dalam skala mikro maupun makro. Seniman (sastra) adalah manusia yang diberkahi, maka ia punya pertanggungjawaban moral kepada sang Pemberi, kepada bangsa dan negeri, tempat ia tumbuh, hidup dan berkembang, dan tentunya kepada nurani sebagai insan yang tahu berterimakasih kepada Penciptanya. Arsyad sangat menyadarinya. Menyadari bahwa dunia penyair adalah ‘dunia kata-kata’ maka ia memberi tempat dan kepercayaan yang baik kepada kata-kata.
Arsyad yang baru saya kenal lewat nama dan karya, pada saat saya menulis ini, terasa sekali kami bagaikan sedang berdialog, tukar pikiran, saling memahami dan bisa saling mengerti pada bagian-bagian tertentu. Sepertinya saya bisa meraba hatinya, menggarisbawahi pemikirannya ( ya, tulisan/catatan ini lantas menukik lantaran saya bukan kritikus tapi sesama pelaku seni yang ketemu mitra sewawasan ), jadi perasaan lebih ikut berperan. Bukankah begitu mitraku penunggu bumi Kalimantan yang tetap setia ?
Kita sama-sama tahu bahwa insan seni bukan penonton di pinggir gelanggang melainkan pelaku peristiwa di gelar arena kehidupan. Ia juga bukan pejalan kaki di trotoar yang lewat sesaat lalu hilang bersama perjalanan waktu. Masalahnya adalah bagaimana menjaga semuanya ini relatif berdaya guna baik bagi diri maupun sesama.
Saya yakin setiap penyair yang berangkat dari sebuah kesadaran dan bukan dari ‘ sekedar ‘, sepanjang usia proses kreatif yang tak kenal henti akan selalu berjuang di arenanya untuk tidak pernah ‘ merasa lelah ‘. Senantiasa memadukan intelektualitas, pengalaman hidup ( lahir batin ), keterampilan ‘ mengendalikan ‘ kebahasaan dengan segala perniknya, kemudian membingkai motivasi diri. Semoga puisi tetap mampu bicara dengan caranya sendiri, mampu menjembatani segala hati, meskipun bukan tandingan bagi amunisi. Salam kreatif dari seberangt.

Bogor, awal musim tahun 2007, Pengelola Warung Sastra DIHA, Depok Bogor.