Kamis, 01 Desember 2011

LOMBA MENULIS PUISI NASIONAL KOMUNITAS RUMAH SUNGAI (KMRS)

(Menumbuhkembangkan Sastra Melalui Penerbitan Buku)

Sejak berdirinya pada tanggal 23 Juli 2008, Komunitas Rumah Sungai Lombok Timur tidak henti-hentinya menggaungkan perkembangan sastra di NTB, khususnya di Lombok Timur. Berbagai acara sastra dan kesenian kerap digelar, baik berupa acara-acara workshop / pelatihan sampai pada acara-acara yang berupa pementasan panggung. Ini semua tiada lain hanya dimaksudkan untuk terus menggeliatkan perkembangan sastra yang sudah ada, terutama pada kalangan muda. Dan untuk itu sebagai komunitas yang ada di Indonesia, Komunitas Rumah Sungai pun bermaksud mengadakan lomba Menulis Puisi Nasional. Lomba ini dihajatkan untuk menumbuhkembangkan Penulis-Penulis Muda se-Indonesia, yaitu melalui Buku Antologi Puisi yang akan diterbitkan nantinya. Adapun ketentuan lomba menulis puisi nasional ini adalah sebagai berikut :

Ketentuan Umum
1) Peserta berwarga Negara Indonesia dengan melampirkan Identitas Diri (SIM, KTP, Kartu Pelajar, dan lain-lain)
2) Tidak ada batas usia.
3) Tema Puisi bebas. Naskah puisi tidak boleh bersinggungan dengan unsur SARA,Pornografi, Narkoba maupun sejenisnya.
4) Naskah puisi ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar (EYD), tidak menggunakan bahasa SMS.
5) Karya tidak pernah dipublikasikan di media cetak dan tidak sedang diikutsertakan dalam lomba yang sejenis.
6) Diharuskan bergabung di grup Komunitas Rumah Sungai. Dengan mengklik link ini http://www.facebook.com/?ref=tn_tnmn#!/groups/kmrslotim/
7) Mengcopy paste pengumuman ini ke dalam catatan facebook dan menandai minimal 20 orang.
8) Melampirkan Biografi singkat Penulis dan nomer kontak di akhir naskah puisi.
9) Biaya pendaftaran hanya Rp. 10.000,- untuk satu judul puisi. Semua peserta boleh mengirimkan tulisan lebih dari satu judul puisi (maksimal 5 judul puisi).

Ketentuan Khusus
1) Bila Karya dikirim via email :
• Naskah puisi ditulis dengan kerta A4 dengan Font Times New Roman spasi 1,5
• Puisi dikirim ke email rifatkhan21@ymail.com dengan nama file Lomba Puisi_Nama Penulis, dan melampirkan scan Foto copy identitas diri dan bukti sudah membayar pendafataran.
• Uang Pendaftaran dikirim ke rekening BRI : 4737-01-008429-53-0 atas nama Effendi Danata.
• Pengiriman karya paling lambat tanggal 28 Januari 2012 pukul 24.00.

2) Bila karya dikirim lewat POS :
• Naskah Puisi dikirim ke alamat : Rifat Khan (NW Net) Jalan TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid (Depan SMA NW Pancor) 83611 Selong, Lombok Timur, NTB. Dengan melampirkan Identitas diri dan uang pendaftaran.
• Naskah boleh ditulis tangan, akan tetapi alangkah baiknya diketik dengan kertas A4 spasi 1,5.
• Pengiriman karya paling lambat tanggal 28 Januari 2012.

Hadiah
1) Juara 1 : Tabungan Rp. 700.000,- Piagam dan Buletin Embun
2) Juara II : Tabungan Rp. 500.000,- Piagam dan Buletin Embun
3) Juara III : Tabungan Rp. 200.000,- Piagam dan Buletin Embun
4) Juara Harapan I mendapat Tabungan Rp. 100.000,- Piagam dan Buletin Embun
5) 100 Puisi terbaik akan dipilih dewan juri dan akan dibukukan menjadi Antologi Puisi.

Pengumuman pemenang akan diumumkan secara terbuka pada tanggal 28 Februari 2012 di Grup Komunitas Rumah sungai dengan link http://www.facebook.com/?ref=tn_tnmn#!/groups/kmrslotim/ dan Blog Rifat Khan dengan link http://rifatkhanblog.blogspot.com/

Hal-Hal yang belum jelas dapat ditanyakan dengan kontak Facebook melalui :
Effendi danata
Rifat Khan
Fatih Kudus Jaelani
Amier Fawaz

Atau Nomer kontak :
087763151315 (Rifat Khan)
081918215184 (Effendi Danata)

disamping itu juga Komunitas Rumah Sungai Membuka Pendaftaran untuk anggota baru sampai dengan tanggal 30 Desember 2011. Info lebih lanjut hubungi Amier Fawaz ( 081997929312 )

Tertanda,
Panitia Lomba

Jumat, 14 Oktober 2011

REVIEW BUKU PUISI Nanang Suryadi “ BIAR ! “ : [MASIH DALAM CORETAN KECIL PSIKOLOGI] LUBANG HOMEOSTASIS PUISI DALAM EKSPERIMENTASI DIALOG PENYAIRNYA*


Oleh A.Ganjar Sudibyo (Ganz)

Melaboratoriumkan Keberadaan

"Keberadaanmu adalah pilihan-pilihanmu!”
Secara tegas Sartre menyatakan betapa vokal ia dalam perutusan eksistensialis. Begitupun ia mengamini apa yang diyakini Nietzsche bahwa individualitas, keluhuran, dan martabat adalah aufgegeben (yaitu sesuatu yang diberikan kepada manusia sebagai tugas yang harus dijalankan). Dalam kehidupan proses kreatif mencipta dalam karya, secara tidak disadari terbangun sistem di dalam diri sang pencipta tersebut. Seyakin apa yang telah dipercayai olah Sartre maupun Nietzsche, Freud membungkus kebutuhan-kebutuhan manusia dalam mekanisme yang telah sedemikian rupa tertata. Selanjutnya akan bekerja sesuai fungsinya masing-masing. Hal ini berkorelasi dengan apa yang disebut dengan sistem homeostatik manusia. Sebuah sistem di mana terdapat kerangka psikologis yang meletakkan nilai-nilai kebutuhan dan dorongan dalam diri manusia. Kerangka ini adalah tuan yang baik bagi proses mempertahankan keadaan stabil atau keseimbangan hidup. Kemampuan untuk mempertahankan diri sendiri dalam ruang yang nyaman dapat menggambarkan diri seseorang dalam bermotif, dalam memetakan konsep kognitif seseorang. Kemampuan ini akan muncul bilamana seseorang mulai mampu berkaca terhadap keberadaannya (dalam konteks ini adalah sebuah karya).
Di sini tidak akan dibahas tentang bagaimana reaksi fisiologis muncul sebagai variabel yang diregulasi. Namun, sebenarnya ada yang lebih mendasar dari sekedar pembahasan reaksi tersebut (apabila dikaitkan dengan karya sastra berupa puisi). Keberadaan puisi-puisi yang ditelurkan oleh para penyairnya menawarkan interpretasi yang lebih dari hanya sekedar inter- atau antartekstual saja. Di dalamnya terdapat apa yang disebut Freud sebagai fenomena gunung es yang begitu luas, banyak yang tak terjamah dan penuh teka-teki. Fenomena ini menuntut keberanian untuk membuka rangsangan bagaimana si penyair merepresi seluruh kebutuhannya lalu mengemasnya diam-diam dalam puisi-puisi yang perlahan membeku, lantas menemu puncaknya masing-masing.
Ketika seorang penyair berulang kali menuliskan puisi, itu pun berarti bahwa ia mengalami puncak-puncak neurotik untuk menjadi individu yang ingin lepas dari manifestasi pengingkarannya. Namun, tidak semuanya bisa digeneralisasikan seperti ini. Meski demikian hal ini dapat menjadi tolok penilaian psikoanalisis bagaimana memandang sebuah proses psikologis melalui penciptaan sebuah karya.
Dalam buku puisi “Biar!”, Nanang Suryadi terlihat sedang memperlakukan eksperimentasi-eksperimentasi emosionalnya melalui citraan-citraan dengan tingkat diferensiasi yang renggang antara tiap tema. Atau, jangan-jangan Nanang sedang asyik dalam laboratorium dirinya, memakai jas-jas baru untuk mengamankan diri? Nah!
Berikut ini merupakan salah satu sajak yang telah dibekukan dalam laboratoriumnya dengan bahasa-bahasa temuannya:

Biar!
tak kau ingat lampu-lampu yang menyihir kita menjadi
orang yang mentertawakan dunia. tak kau ingat keringat
meleleh di langkah kaki, di punggung, kening, menantang
matahari! menunggingkan pantat ke muka-muka orang-
orang yang dipuja sebagai dewa!

o, engkau telah membunuh kenangan sedemikian cepat.
seperti kulindas kecoak dengan ujung sepatuku. perutnya
yang memburai, putih, mata yang keluar dari kepala, masih
bergerak-gerak. aku menjadi pembunuh. seperti dirimu.
demikian telengas. tanpa belas. kepada kenangan.

biar. jika kau tak mau temani. biar kurasakan nyeri sendiri.
di puncak sepiku sendiri!

(halaman 5)

Adapun Nanang menggambarkan komponen emosional yang dikerucutkannya ke dalam judul. Pada kalimat: “biar. jika kau tak mau temani. biar kurasakan nyeri sendiri.” Seolah ada mekanisme di mana si penyair ingin menyangkal perasaannya sendiri, mencoba untuk mendistorsikan apa yang disebut Rogers sebagai diri nyata. Semakin dekat diri nyata dengan diri ideal, maka pengaruh emosional yang dirasakan akan lebih bahagia. Namun, di sisi lain, si penyair ingin memfungsikan untuk menjadi sepenuhnya memberikan penghargaan positif dari keambivalensian antara kenyataan dan keidealan dalam dirinya. Dengan demikian, ia dapat mencukupi kebutuhan rasa amannya untuk menutupi tingkat keresahannya terhadap kenyataan yang dihadapi. Kalimat tersebut sekaligus menjadi klimaks dari sepanjang dialog antara dirinya dengan tubuh yang ia hadirkan melalui puisi.
Sementara itu di puisi di bawah ini, si penyair ingin mengungkapkan semacamimagery bahasa keterasingannya terhadap pengalaman inderanya:

Bahkan
Bahkan aku tak ingin menjadi huruf, karena huruf masih
Mengingatkanku pada puisi, bahkan...

Lalu ingin kututup buku catatanku, kerekat dengan isolatip,
Agar tak kukenang lagi, huruf-huruf itu yang merayu dengan
Matanya yang meredup sayu, bahkan...

Jangan sebut aku penyair, karena aku hanya debu, yang
Menghampiri telapak kakimu

(halaman 43)

Dalam puisinya, ia berusaha mengkonkretkan konflik dengan sesuatu yang tak terhindarkan. Sesuatu yang tak terhindarkan itu kemudian merasuk di dalam bawah sadar si penyair. Lantas, mencoba untuk dipertahankan dan diterima di dalam konsep dirinya. “Bahkan aku tak ingin menjadi huruf, karena huruf masih/Mengingatkanku pada puisi, bahkan...” Ada semacam rasa penolakan yang dikatarsiskan dalam kalimat tersebut, sehingga memunculkan permusuhan yang pelik di dalam penyangkalan perasaannya sendiri. “Lalu kututup buku catatanku...Agar tak kukenang lagi...” Pada bunyi puisi selanjutnya itu, ia sepertinya ingin menjauhi kegaduhannya dengan menampilkan diksi perlawanan atas kesadarannya bahwa sumber keresahannya adalah “buku catatannya”. Lalu, siapa dan apakah “buku catatannnya” itu? Citraan si penyair mengenai “buku catatan” tidak lain adalah pengalihan bahasa dari sumber kecemasan dalam pengalaman pribadinya--hubungan si penyair dengan kepenyairannya. Menurut Prof.Suminto dalam bukunya “Mengenal Puisi”, ia pernah menuliskan bahwa penggunaan kosakata aneka bahasa dalam puisi memang didasari oleh persepsi masing-masing penyair. Kata-kata tertentu dipilih dan dipakai oleh penyair karena kata-kata itu memang bersifat “siap pakai’, yang bagi penyair mungkin lebih kaya dan lebih bervariasi guna mengekspresikan berbagai jenis emosi, yang memang merupakan aspek yang sangat mengedepan pada bahasa puisi (hal.159).
Di lain tempat, si penyair memiliki tingkat kepekaan terhadap isyarat-isyarat yang tertangkap di lubang-lubang inderanya. Namun, untuk mengetahui tingkat kepekaan seperti itu tidak dapat disamakan dengan proses kreatif penyair lain. Setiap penyair memiliki trait-trait sendiri dalam mengasah kepekaanya. Nanang Suryadi di kumpulan puisinya kali ini seolah ingin mempertontonkan bagaimana ia mengolah laboratorium kepekaan puitiknya—laboratorium yang sekaligus diletupi oleh asap keberadaan dirinya sebagai seorang manusia. Namun sejauh mana ia berhasil dalam eksperimennya? Maka bertolak dari uraian Paz tentang puisi: sejauh kemampuan si penyair mentrasendensikan dirinya antara puisi dengan apa yang ia puisikan.
Menggali Lubang Diri demi Menutupinya, Menggali Sajak demi Memasukinya

Kutuk Puisi
Dapatkah ia lepas
Dari kutuk puisi

Ke mana ia
Akan berlari

Puisi terus memburu
Hingga ambang mati

(halaman 78)

Puisi tersebut seakan mengetengahkan kesadaran si penyair akan situasinya, situasi yang menjadi stimulus untuk melakukan dialog-dialog lain. Dialog kali ini, sepertinya penyair ingin menerjemahkan relasinya dengan puisi. Lalu, apakah si penyair sedemikian brutal hingga menyebut puisi itu berkutuk? “Puisi terus memburu/Hingga ambang mati”. Penggambaran si penyair mengenai konsep “kutuk” dalam puisi perlahan berhenti sampai di klimaks ini. Demikian si penyair memiliki “self concept” yang meyakini bahwa ada adegan kejar mengejar dalam kepenyairannya. Tidak ada yang salah dengan ini. Bahwasanya si penyair mengalami langkah perburuan antara diri dan realita adalah sebuah fragmen yang sah, sebab tahapan perkembangan dalam kepenyairan memiliki asosiasi dekat dengan bagaimana seorang penyair mempersepsikan objek maupun subjek dalam pola-pola kebahasaan. Dalam puisi tersebut ada kata-kata: “lepas”, “berlari”, “ke mana”, “memburu”, “hingga”, kemunculan kata-kata tersebut sebenarnya ditujukan untuk mengikuti alur tema. Terlebih dari itu, ibaratnya Nanang masih berlarian gonjang-ganjing dalam mencari jalan ke persinggahan ternyaman dengan jalan yang tak banyak kelokannya. Hala ini mendorong sisi emosionalitas kepenyairannya mudah pecah yang kemudian menyebabkan ia terus menggali kedalaman dirinya untuk menutupi lelubang proyeksi kebutuhannya sebagai langkah adjusment terhadap pencarian-pencarian self concept yang baru. Sementara itu, ia masih terperdaya bagaimana menutupi lubang-lubang lain berkaitan dengan interaksi kepribadian seorang Nanang dan lingkungannya. Terhadap lingkungan, ia tak sepenuhnya bisa menyalahkan. Lantas ia melakukan spekulasi-spekulasi intrapersonal di mana kepuisiannya itu tiba, seperti dalam potongan puisi berikut:

Di sebalik bunyi, suara bolak balik, mungkin gema yang
Patah. Seperti ingin disimpan rahasia dari lengking, tak
Tuntas. Ucapmu dari kedalaman jiwa, tak
....
(Adalah dirimu, Gema yang Patah; halaman 64)

Sebagian puisi-puisi Nanang juga ingin menunjukkan ikatan-ikatan emosionalnya dengan kehadiran orang-orang yang ia jumpai. Salah satunya demikian:

Tak Sampai Engkau
--:scb

telah sampaikah engkau pada titik di mana rindu tak ada di
mana puncak segala puncak tergapai. siapa paling besar di
antara paling besar. engakukah? mengekeh dalam luka tak
sampai rindumu. cuma gerutu konyol dan kelakar liar.
karena tak sampai pada rindu. tak sampai engkau.

aih, kutahu, demikian pedih hatimu, dan teriak: pukimak!
demikian kau?

(halaman 49)

Apakah Nanang ingin kembali meneriakkan kedekatannya dengan seseorang, mengangkatnya dalam puisi atau sekedar sebuah penggalian emosionalitas untuk memasukki ruang-ruang percakapan baru? Atkinson memaparkan beberapa komponen emosi antara lain, rangsangan otonomik, penilaian kognitif, ekspresi emosi dan reaksi emosi. Apabila dikorelasikan dengan puisi tersebut, rangsangan otonomik yang terjadi dapat diinterpretasikan seberapa kuat relasi emosional si penyair dengan seseorang berinisial sbc. Penilaian kognitif berkaitan dengan suatu analisis situasi si penyair yang menghasilakn suatu keyakinan emosional. Bahwasbc adalah kawan terdekatnya saat itu, ini adalah keyakinan emosional yang sedang ia punyai saat itu. Ekspresi emosi adalah bagaimana subjektivismenya mengkomunikasikan kedekatannya itu dalam bahasa puitik. Sedangkan reaksi emosi adalah bunyi bahasa yang ia tuliskan. “...dan teriak: pukimak!/demikian kau?” Melalui pungtuasi dan diksi, di situ ada reaksi emosi yang dipertunjukkan sebagai buah peretemuannya dengan sbc. Demikian Nanang pun mempuisikan relasinya dengan orang-orang lain yang dianggap mempunyai hubungan personal. Penggalian emosionalitas dirinya akan hubungan interpersonal ini dapat dipahami sebagai tahapan prakognitifnya menuju eksperimentasi keberadaannya untuk menyusun keseimbangan-keseimbangan baru di dalam relasi dunia personal (keaku-an) dan lingkungannya (kekau-an). Hal ini tercermin bagaimana ia memperlakukan diri dengan puisi dalam bukunya itu. Keberadaannya sebagai manusia dan penyair yang kemudian memunculkan eksperimentasi dialog-dialog yang intens dalam puisi, membutuhkan penyadaran benar akan pentingnya mekanisme sistem homeostatik yang ia ciptakan sebelum terjebak di lubangnya sendiri. Jangan-jangan ia bukan Nanang yang sejatinya? Atau kesejatiannya itu sepanjang warna-warni pelangi? Maka, Nanang sepertinya perlu mengambil dan menyulut rokoknya sejenak, mengendapkan teh kepyur yang saya sajikan sebelum diteguk pelan-pelan untuk berelasi dengan ilustrasi Pascal tentang kesadaran manusia akan keberadaannya:

“Manusia hanyalah sepotong alang-alang, alang-alang yang paling lemah yang pernah hidup di semesta raya ini. Meski demikian, ia adalah alang-alang yang berpikir. Alam tidak perlu mempersenjatai diri untuk membinasakannya: sekepul asap, sedikit tetesan air, sudah cukup untuk membunuhnya. Akan tetapi, meski alam mampu menghancurkannya, manusia lebih agung daripada yang membunuhnya, karena ia mengetahui bahwa ia akan mati,.....padahal tentang hal itu, alam tidak pernah tahu sedikit pun.”

Semarang, 2011

*Ditulis sebagai catatan apresiasi atas terbitnya buku kumpulan puisi Nanang Suryadi: “Biar!” (IBC;2010) Oleh A.Ganjar Sudibyo (Ganz) seorang mahasiswa psikologi yang juga bertekun meniti puisi.


BUKU KUMPULAN Puisi Nanang Suryadi BIAR! sudah terbit. Bagi rekan-rekan yang berminat memilikinya silakan kirim pesan di email: nanangsuryadi@yahoo.com twitter: @penyaircyber atau di inbox facebook: http://facebook.com/nanangsuryadi dengan menulis alamat kirim dan jumlah pemesanan. Harga perbuku: 30.000 + ongkos kirim. Silakan ditransfer melalui: BRI KCP Unibraw 0579-01-015778-50-2 Atas nama: Nanang Suryadi
Kumpulan puisi BIAR! masuk dalam 10 besar KLA 2011

Minggu, 25 September 2011

Pergerakan Perempuan dalam Penulisan Kreatif

(Disampaikan pada acara ARUH SASTRA Kalsel di Barabai
16-19 September 2011)

Oleh : Yvonne de Fretes



1: Perempuan dan Karya

Perempuan Indonesia sebenarnya mempunyai posisi yang sama pentingnya dengan kaum pria hampir dalam semua lapangan kehidupan tak terkecuali dalam dunia tulis-menulis. Sejak abad ke-17 bahkan sudah ada perempuan penulis (dalam hal ini penulis puisi) yaitu Sultanah Safiatuddin di Aceh, kemudian di abad ke-19 muncul Siti Aisah We Tenriolle di Sulawesi yang dikenal dengan puisi panjangnya (7000 hal) yang ditulis dalam bahasa Bugis, La Galigo. Dari Sunda pada akhir abad ke-19 muncul Raden Ayu Lesminingrat. Ada beberapa perempuan setelah itu tapi yang sangat terkenal dan perlu dicatat adalah Raden Ajeng Kartini (1879 – 1904) dengan karyanya “Habis Gelap Terbitlah Terang.

Sedangkan dalam sejarah sastra Indonesia boleh dibilang diawali oleh Seleguri (nama asli) atau Sariamin (nama samaran) yang lalu lebih dikenal dengan nama Selasih (kelahiran Sumatra Barat 1909) yang kemudian diikuti dengan beberapa nama seperti Hamidah (1915 – 1953) dengan novel “Kehilangan Mestika”. Maria Amin asal Bengkulu(berkarya tahun1940-an), diiukuti dengan Walujati dan S.Rukiah,keduanya dari Jawa Barat.
Sekilas tampak bahwa memang perkembangannya agak lamban disebabkan karena memang dunia kepenulisan pada saat itu masih dimonopoli laki-laki, meskipun Majalah Wanita (Jakarta) dan majalah Dunia Wanita (Medan) sudah ada sekitar 1950-1956 an.

Barulah pada awal tahun 1970-an yang boleh dibilang sebagai the first booming women writer dengan munculnya perempuan2 penulis seperti La Rose, NH Dini, Titie Said (meskipun pada 1953 sudah ada karyanya).
Fenomena ini muncul bersamaan dengan munculnya majalah-majalah wanita a.l.seperti Femina (1972),Kartini, Pertiwi,Sarinah, Sartika, Famili, yang merupakan wadah bagi para perempuan penulis untuk berekspresi. Mereka lantas merasa menemukan domain tempatnya menyuarakan suara hati sekaligus mengembangkan bakat dan minatnya dalam dunia tulis menulis. Belum ada organisasi secara khusus pada saat itu, para perempuan berupaya secara sendiri-sendiri melahirkan karya dan memublikasikannya kepada pembaca yang mayoritas tentu saja adalah perempuan. Karya perempuan penulis juga mulai tampak di berbagai media cetak.

Periode 1980-an mulai dirasakan perlu adanya wadah yang menghimpun para penulis dan pengarang. Maka lahirlah organisasi Himpunan Pengarang Indonesia AKSARA pada tahun 1981 atas prakarsa beberapa penulis/pengarang pada waktu itu a.l.La Rose, Titie Said, Sari Narulita, K.Usman, Titiek WS, pokoknya hampir semua pengarang beken pada waktu itu disusul dengan terdaftarnya para pengarang seperti Hamzad Rangkuti,Gerson Poyk,Korrie Layun Rampan Yvonne de Fretes,Saut Poltak Tambunan, Pipiet Senja,dll, sebagai anggota yang kemudian menjadi pengurus. Bila HPI Aksara beranggotakan pengarang baik perempuan maupun pria, tidak demikian dengan organisasi yang muncul hanya beberapa waktu setelah itu tepatnya pada tahun 1985 yang khusus untuk mewadahi para perempuan penulis yaitu WANITA PENULIS INDONESIA (kami masih menggunakan kata ‘wanita’ yang lebih marak pada kurun waktu itu daripada istilah ‘perempuan’).
Menjelang tahun 2000 muncul lagi sebuah fenomena baru yang sangat menggembirakan yaitu dengan munculnya perempuan2 penulis yang lebih muda, dengan latar belakang budaya dan pendidikan yang variatif. Tentu saja dengan letupan-letupan karya yang begitu ekspresif, beragam, beberapa di antaranya sangat intens dan dalam, dan beberapa di antaranya juga cenderung sangat terbuka sehingga terkesan vulgar.
Betapapun adalah merupakan hak individual untuk mengutarakan apa saja secara terbuka, tertulis, terpublikatif berdasarkan nilai budaya dan moral yang dimilikinya secara pribadi. Fenomena ini oleh saya boleh dibilang sebagai the second booming woman writers. Nama-nama seperti Ayu Utami, Dewi Lestari, Jenar Maesa Ayu, Rahmaniah, terus menghiasi blantika dunia perempuan penulis dengan karya-karyanya yang kadang menimbulkan krenyit di dahi sebagian pembacanya.

Seiring dengan itu semakin banyaknya stasiun teve turut menopang kehadiran perempuan penulis dan penampilan mereka yang identik dengan aura glamour turut menambah pesona dan bisa menciptakan penggemar tersendiri. Bisa dikata perempuan penulis khususnya yang muncul di era itu sejajar popularitasnya dengan artis film dan musik. Sebuah gejala yang tentu saja membanggakan setelah sekian lama ada kesan bahwa dunia kepenulisan adalah dunia sunyi. Lihat saja penampilan Ayu, Dewi,Jenar, pada jajaran selebriti. Suatu waktu malah mereka pernah dijuluki penulis berbau wangi (jelas mereka akrab dengan parfum bukan). Muda, ceria, memesona, itulah pribadi mereka. Terbuka, ekspresif, vulgar, itulah karya mereka.

Kemudian dengan perkembangan dan pertumbuhan era digital yang begitu pesat, memunculkan karya-karya sastra cyber. Dipelopori oleh Medy Lukito dan kawan-kawan mereka mendirikan Multimedia Sastra Cyber yang memberi ruang bagi para peminat yang ingin memublikasikan karyanya lewat media elektronik.
Fenomena ini terus melaju hingga kini, di zaman facebook. Penemuan canggih mahasiswa Harvard itu benar-benar telah membuat perubahan besar dalam berkomunikasi a.l.juga dalam dunia tulis-menulis. Dunia maya ini malah telah melahirkan penulis-penulis baru (kebanyakan mereka adalah perempuan) bahkan telah berhasil melahirkan komunitas-komunitas dan telah berhasil menerbitkan beberapa antologi puisi maupun cerpen. Bukan main. Sebuah fenomena yang menarik.
Kesimpulan:
1st booming 1970-an
2 nd booming 2000-an
Terakhir booming Facebooker writers

2: Kapan dan Dimana Perempuan Berkarya?

Atau adakah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki dalam Proses Kreatif?
Sastra memang tidak mengenal gender tapi mengapa ada kesenjangan dalam jumlah antara perempuan dengan laki-laki yang wara-wiri di dunia ini.
Apakah memang lebih banyak tantangan yang bakal dihadapi seorang perempuan? Apalagi bila perempuan itu adalah juga seorang istri dan ibu? Kapan mau menulis di antara kesibukan mengurus suami dan anak. Bagaimana kreativitas bisa berjalan. Sebaliknya, mengapa posisi sebagai istri dan ibu dijadikan alasan untuk tidak kreatif. Saya mengenal beberapa perempuan yang justru di usia ketika putra-putrinya sudah meningkat remaja kembali menekuni kegiatan menulis yang memang sudah digemarinya sejak lama.
Proses kreatif seorang dengan yang lain tentu saja berbeda, begitu juga dalam dunia kepenulisan. Tapi saya meyakini suatu hal, ialah bahwa kesenangan dan kegemaran menulis itu dimulai dari kesenangan dan kegemaran membaca. Dan itu dimulai sejak masa anak atau remaja. Bila kita memang senang menulis pasti ada waktunya kesenangan itu menemukan waktu sekaligus lahan yang tepat.Lingkungan bisa sangat berpengaruh dan tentu saja kegemaran itu tak luput dari pengalaman pasang surut. Masalah yang juga saya alami.
Di mana setelah melewati kurun waktu yang cukup lama maka ketika bekerja sebagai wartawan pada sebuah majalah di Jakarta(1981), kegemaran menulis kembali menggeliat. Di samping sibuk menulis artikel dan merangkum hasil wawancara, menyempatkan diri untuk menulis puisi dan cerpen yang dimuat di media massa. Baru pada 1994 terbitlah antologi puisi saya yang pertama. Disusul 1995: kumpulan cerpen tunggal (BDL)dll, begitulah sampai sekarang kurang lebih ada 30-an antologi (berdua, bersama) dan terbit di berbagai daerah di Indonesia (Lampung,Bengkulu,Aceh,bahkan Malaysia). Pada umumnya puisi dan cerpen.
Mengapa tidak menulis novel? Ya, mengapa? Salah seorang teman pernah berkata: “Pantas saja novelmu ga terbit2, bacaanmu novel lawas penulis dunia sih, acuannya ketinggian.”
Mungkin ada benarnya (Milan Kundera,Paulo Chelho adalah novel-novel favorit). Di samping itu saya terus terang merasa kurang punya nafas panjang (yang dibutuhkan sebuah novel), begitu saya memulai sebuah kisah dan mengangkat sebuah konflik saya lantas ingin cepat2 menuntaskannya…its another problem!

Waktu dan tempat juga terkait erat dengan proses kreatif. Ini pun berbeda satu dengan lainnya. Saya mencoba ambil contoh para sastrawan dunia:
Nadine Gordimer,1923 Afsel, (Yahudi-Inggris), pemenang Nobel sastra 1991. Nadine gemar ke perpustakaan dan bisa menulis kapan saja dan dimana saja,meskipun lebih memilih kamar kerja.
Simone de Beauvoir 1908-1980 (Perancis) yang menolak pernikahan dan memilih untuk hidup bersama Jean-Paul Sartre(atheis). Sejak anak-anak senang membaca. Sebagai rutinitasnya setiap hari: pukul 10.00-13.00 menulis, setelah minum teh dan baca majalah di pagi hari. Setelah 13.00 mengunjungi teman-teman atau sekedar shopping.
Maya Angelou (1928 AS), penulis puisi,novel,otobiografi,scenario,esei,kolom,dll, termasuk sutradara perempuan pertama di Hollywood punya kebiasaan unik. Maya biasanya memulai dengan ritual kecil: ruang yang apik, kamus, bunga yang wangi, juga dihiasi alunan music dan sebotol sherry. Maya bahkan sering menyewa kamar hotel bukan untuk ditiduri tapi untuk menulis dari pagi sampai sore tanpa terganggu.

Bagaimana dengan Anda dan saya? Butuh motivasi? Motivasi ada dua: internal dan eksternal. Internal termasuk mood yang berasal dari dalam diri kita sendiri, jangan menunggu tapi ciptakanlah mood itu. Dan kalau bicara tentang motivasi eksternal ya kita berbicara tentang lingkungan, juga tentang komunitas. Bila membaca coretan mas DAM dan melihat sendiri kegiatan teman-teman, sering menerbitkan buku, menghadiri even-even penting nasional maupun internasional, luar biasa Kalsel. Pertanyaannya ada berapa perempuan yang juga merambah dan berkiprah di wilayah ini. Maaf saya kurang mengetahui peta pergerakan sastra khususnya pergerakan perempuan penulis di Kalsel tapi saya yakin ada beberapa nama yang perlu barangkali kita sebutkan di sini, yang kiranya dapat menjadi cikal bakal lahirnya lebih banyak perempuan yang mencintai sastra dan dunia tulis-menulis di masa datang.

3: Perlukah sebuah komunitas?

Yang terbuka bagi siapa saja yang gemar menulis, karena dengan adanya komunitas, motivasi kita bisa terpacu. Lewat komunitas kita bisa saling asuh,saling asah, di samping terus meningkatkan ketrampilan kita dalam menulis. Membuat workshop menulis bagi remaja, atau langsung terjun ke sekolah2. Bakat itu ada di luar sana, temukanlah.
Virus membaca dan menulis perlu ditularkan kepada siapa saja, di mana saja.

Kalsel sebagai gudangnya para sastrawan tentu sadar akan hal ini, dapat kita lihat dari begitu banyaknya komunitas sastra yang bahkan sudah ada sejak 1980-an misalnya Himpunan Penyair Muda Banjarmasin(HPMB),Kelompok Studi Sastra Banjarbaru,dll (dari catatan Mas Dam). Juga iklim berkarya tumbuh pesat di wilayah ini ditandai dengan penerbitan buku-buku, di antaranya 142 Penyair Menuju Bulan,Gumam-nya Asa,dll.

Kembali sebuah pertanyaan: bagaimana dengan para perempuan penulis mau pun perempuan penyair Kalsel? Adakah mereka memerlukan sebuah komunitas tersendiri? Ataukah memang mereka tidak membutuhkannya sama sekali. Mari kita tanya mereka. Wanita Penulis Indonesia terbuka bagi siapa saja, propinsi mana saja...***

Note: semoga penyajian yang sederhana ini mengakrabkan silaturahim antara kita, Jakarta-Barabai.






Minggu, 14 Agustus 2011

"MENEBAR BENIH SASTRA PADA ZAMAN" (Aruh Sastra VIII Barabai 2011)



Oleh: Arief Rahman Heriansyah

Aruh Sastra sebagai even akbar ini merupakan agenda setiap tahun. Secara bergiliran antar Kabupaten yang menjadi tuan rumah untuk pelaksanaan acara ini. Dan kebetulan Kabupaten Hulu Sungai Tengah (Barabai) mendapat kehormatan untuk menjadi tuan rumah pada tahun ini. Dapat dipastikan acara ini akan berlangsung selama tiga hari mulai tanggal 16-19 September 2011. Dengan bertajuk “Menebar Benih Sastra di Banua Murakata”, sepertinya slogan tersebut memang benar-benar akan memberikan benih-benih ilmu sastra di ‘kota apam’ tersebut. Tak bisa dipungkirkan kenyataannya.

Dalam pelaksanaannya, difokuskan pada apresiasi kesenian, bahasa dan sastra. Acara Aruh Sastra VIII dilaksanakan dalam berbagai bentuk kegiatan, yakni :
- Lomba cipta puisi B.Indonesia se-Kalimantan Selatan
- Lomba mengarang Cerpen B.Indonesia se-Kalimantan Selatan
- Lomba penulisan Cerita Rakyat Kab. Hulu Sungai Tengah se-Kalsel
- Penerbitan antologi kumpulan puisi Penyair Kalimantan Selatan
- Safari Sastrawan ke sekolah-sekolah / madrasah
- Festival ‘pergelaran sastra’
- Seminar / dialog sastra bersama Sastrawan & Budayawan Kalsel dan Nasional
- Pelatihan penulisan karya sastra, serta tehnik pembacaan puisi pra-aruh sastra
- Penerbitan buku pemenang lomba cipta puisi, cerpen, dan cerita rakyat HST
- Panggung sastra & gelar sastra
- Pleno Aruh Sastra
Nah, di kegiatan yang seabrek dan sangat penting ini sungguh rugi kalau kita tidak berperan di dalamnya, paling tidak keikutsertaan anda dalam lomba sudah turut meramaikan dan membangkitkan acara ini agar lebih meriah.

Sepertinya para panitia pelaksana sudah sangat mempersiapkan acara ini pada jauh-jauh hari. Dapat kita buktikan pada ‘pelatihan penulisan karya sastra serta tehnik pembacaan puisi’ pra-aruh sastra yang dilaksanakan pada 27-28 Juli lalu pada tiap sekolah di Barabai yang sudah menuai kesuksesan. Dengan menghadirkan dua orang maestro yakni; Ayahanda Arsyad Indradi dan Ali Syamsudin Arsi pada acara tersebut, seperti mengukir sejarah baru pada pelaksanaan Aruh Sastra dari pelaksanaan di tahun-tahun sebelumnya, karena hanya tahun ini yang mengadakan acara pra-aruh sastra tersebut.
Sungguh kabar mengembirakan, bahkan telah terbentuk Komunitas Teater dan Sastra yang beranggotakan para pelajar se-Kabupaten HST. Kepengurusannya dan anggotanya langsung dilantik oleh Ketua DKD HST, Bpk. H.M.Fahmi Wahid, M.Pd yang sekaligus juga mengetuai pelaksanaan Aruh sastra VIII pada tahun ini.
Dikabarkan pula pada acara ini nantinya akan mendatangkan Sastrawan dari daerah Kalsel sebagai pembicara/narasumber yakni; Dimas Arika Mihardja (Dr. Sudarjono, M.Pd) dari Jambi dan Akhmad Subhanudin Alwi dari Cirebon yang telah menyatakan siap hadir di Barabai pada Aruh Sastra VIII tanggal 16 – 19 September 2011 nanti. Serta ada pula pemakalah dari Kalsel sendiri yaitu; Drs. Tajuddinnoor Ganie dan Dr.H.Rustam Efendi. Diperkirarakan para peserta dan tamu undangan yang akan berhadir dalam Aruh Sastra VIII ini berjumlah 400 orang lebih.

Sekarang kita kembali ke masa 7 tahun silam. Pertama kalinya Aruh Sastra Kalsel ini dilaksanakan di kota Kandangan (Kab Hulu Sungai Selatan) pada tahun 2004. Kemudian pada tahun 2005 pelaksanaan Aruh Sastra II bertempat di Batu Licin (Kab Tanah Bumbu). Lalu pada Aruh Sastra yang ke III di tahun 2006, Kota Baru (Kab Pulau Laut) menyatakan siap sebagai tuan rumah selanjutnya. Pada tahun 2007, kota kelahiran saya yakni; Amuntai (Kab Hulu Sungai Utara) juga menjadi tuan rumah pada pelaksanaan acara Aruh Sastra ke-IV tersebut. Dan selanjutnya pada tahun 2008 kota Paringin (Kab Balangan) juga turut sukses menyelenggararakan Aruh Sastra ke-V. Lalu pada pelaksanaan Aruh Sastra ke-VI, yakni di tahun 2009 kota Marabahan (Kab Barito Kuala) juga turut andil untuk menyemarakkan acara ini sebagai tuan rumah. Dan selanjutnya kota Tanjung (Kab Tabalong) telah sukses pula menyelenggarakan Aruh Sastra VII pada tahun 2010 lalu. Dan saya percaya bahwa Bung Raji Abkar lah yang menjadi penggagas utama pada acara ini.

Lalu setelah Aruh Sastra VIII Barabai (Kab Hulu Sungai Tengah) di tahun 2011 ini, siapakah yang siap menjadi tuan rumah untuk Aruh Sastra selanjutnya? Kota idaman Banjarbaru kah? Atau kota seribu sungai Banjarmasin, atau bisa juga Kab Tanah Laut? Di manapun itu pelaksanaannya, harapannya tetap berjalan acara ini pada tiap tahunnya sudah cukup menjawab setumpuk pertanyaan di benak saya.

Aruh Sastra Kalimantan Selatan adalah agenda yang sangat penting bagi para tokoh Sastrawan, Budayawan, Seniman, serta Pegiat sastra. Acara ini seperti menyatukan keberadaan mereka, yang selama ini terkadang jauh dari jamahan pemerintah untuk kelayakan mereka. Hanya dengan ‘seni’ mereka dapat berbagi kepada khalayak. Dan mungkin pula pertumbuhan dan perkembangan bahasa sastra daerah & sastra Indonesia di bumi lambung mangkurat ini memperlihatkan kemajuan signifikan. Maraknya penerbitan buku puisi, cerpen, maupun antologi sepertinya juga sudah turut andil dalam perkembangan sastra di banua kita tercinta ini. Namun ironisnya pula betapa banyak anak muda yang nantinya diharapkan sebagai penerus bangsa sepertinya semakin terseret oleh arus budaya luar yang lebih menjurumus ke arah moderenisasi, mereka seperti tidak akrab dengan budaya lokalitas itu. Betapa negara kita Indonesia adalah negeri yang berbudaya dan memiliki nilai seni yang eksotis pada kacamata dalam negeri maupun dari luar negeri. Tengok saja orang luar (bule) begitu tertariknya mereka dengan kebudayaan negeri kita, sampai-sampai ada yang sengaja mengambil kuliah di sini demi mendapatkan ilmu seni & budaya pada negeri Indonesia. Bukankah itu adalah suatu hal yang ironis? Karena sejatinya masih banyak penduduk dalam negeri yang tidak mengenal budaya mereka sendiri.

Lalu informasi terakhir yang saya dapat melalui koran “Media Kalimantan” (05/8) bahwa naskah lomba yang diterima para juri yakni; Cerpen (89 naskah), Puisi (205 naskah), dan Cerita rakyat (30 naskah). Hal ini sungguh memicu pada bangkitnya semangat para pegiat sastra, dan gairah berkarya itu sepertinya memang betul-betul terbakar.
Pelaksanaan Aruh Sastra VIII ini, mengingatkan kembali saat undangannya diserahkan Bung Raji Abkar (salah seorang anggota Dewan Kesenian Daerah HSU ) kepada saya yang masih seperti anak bawang ini. Paling sudut atas kertas itu tertera tulisan ;
“PANITIA PELAKSANA ARUH SASTRA KE-8 KALIMANTAN SELATAN”.
Ada perasaan meletup di hati saya saat itu, entah kenapa jiwa sastra saya yang akhir-akhir ini padam gara-gara bayang PPN-V Palembang tempo lalu, hari ini seperti bangkit & terbakar kembali. Saya tersenyum atau lebih tepatnya sumringah saat mengetahui bahwa karya yang dilombakan tahun ini adalah cerpen dan puisi berbahasa Indonesia. Karena dua tahun berturut-turut saya mengikuti lomba puisi – yang saat itu berbahasa Banjar- saya tidak pernah menang, bahkan masuk karya pilihan pun tidak.

Mengingat pentingnya even seperti ini, maka sudah sepatutnya bagi kita sebagai generasi muda untuk tetap memperjuangkan agar acara Aruh Sastra ini tidak terhenti dan dapat terus terlaksana serta berjalan lancar pada setiap tahunnya. Salam Sastra.

Amuntai,
10/08/2011

Minggu, 31 Juli 2011

RUMUSAN DAN REKOMENDASI PERTEMUAN PENYAIR NUSANTARA (PPN) V PALEMBANG

oleh Dimas Arika Mihardja

Puji syukur ke hadirat Allah SWT bahwa Pertemuan Penyair Nusntara (PPN) V telah berlangsung dengan lancar di Palembang, pada tanggal 16—19 Juli 2011. PPN V isi beberapa acara utama, yakni Seminar Internasional Perpuisian Nusantara, penerbitan buku kumpulan puisi Akulah Musi, Temu Kerja, Jerayawara (roadshow) Apresiasi Sastra ke beberapa sekolah dan perguruan tinggi , serta Tarung Penyair Nusantara.

I. Rumusan dan Rekomendasi Seminar
Seminar berlangsung sehari penuh dalam 10 sesi, diawali dengan pleno dan dilanjutkan dengan 9 sesi panel dalam 3 kelas paralel, telah menghasilkan rumusan dan rekomendasi sebagai berikut.
1. Ruh puisi nusantara tidak terlepas dari kebudayaan dan masyarakat nusantara. Oleh karena itu, diperlukan: (a) pertemuan yang intensif secara periodik dan berkelanjutan antar penyair nusantara; (b) penerbitan antologi puisi karya penyair nusantara di luar PPN; (c) pemanfaatan internet untuk kegiatan publikasi puisi dan kritik puisi secara daring (online) yang dapat diakses secara luas; (d) pengembangan kritik puisi melalui berbagai pendekatan yang memungkinkan terungkapnya kekayaan teks puisi berkenaan dengan ruh puisi nusantara; (e) pemahaman atas ruh puisi nusantara dapat menjadi jembatan untuk memahami kebudayaan dan masyarakat nusantara.
2. Media massa cetak maupun elektronik masih berpengaruh dalam sejarah perkembangan puisi nusantara mutakhir, oleh sebab itu diperlukan komitmen dari insan atau pelaku pers untuk mempertahankan keberadaan rubrik puisi. Bagi media massa yang tidak memiliki rubrik puisi dianjurkan untuk mengadakan atau menyediakannya.
3. Penyair perlu memperhatikan fungsi dan sifat media massa yang tepat, ringkas, dan aktual agar tercipta bentuk estetika baru yang merepresentasikan puisi media massa.
4. Media massa digital terutama internet, telah menunjukkan peran dan fungsi yang besar dalam perluasan ruang publikasi puisi. Namun, untuk menghindari degradasi nilai puitika diperlukan sistem seleksi pada puisi yang akan diunggah, dengan tanpa mengurangi sifat-sifat internet sebagai media yang sangat terbuka bagi kebebasan berkreasi. Oleh karena itu setiap situs web sastra harus menempatkan editor yang memiliki kompetensi bahasa dan sastra.
5. Pertemuan Penyair Nusantara selanjutnya diharapkan mengakomodasi berbagai jenis puisi klasik dan kontemporer.
6. Pelaksanaan pengajaran sastra di lembaga pendidikan, sebagai bagian dari strategi kebudayaan nusantara, khususnya pengajaran puisi, sangat memerlukan kreativitas guru/pengajar guna memaksimalkan hasil pembelajaran dan mengatasi hambatan yang ada.
7. Pemerintah wajib menyediakan sarana dan prasarana pembelajaran sastra khususnya pengajaran puisi.
8. Untuk menciptakan komunikasi yang baik antara penyair dan dunia pendidikan serta untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran puisi, para penyair harus lebih aktif membantu proses pembelajaran di sekolah.


II. Hasil Temu Kerja
Temu Kerja dalam rangka PPN V diikuti wakil-wakil dari Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Singapura. Musyawarah dalam Temu Kerja tersebut menghasilkan keputusan sebagai berikut.
1. PPN VI 2012 akan dilaksanakan di Jambi, Indonesia.
2. Delegasi dari Singapura menyanggupi menjadi tuan rumah PPN VII tahun 2013.
3. Guna meningkatkan manfaat PPN bagi peserta dan masyarakat sastra di nusantara, penyelenggara PPN seyogyanya melaksanakan kegiatan pokok berupa: (a) penerbitan buku antologi puisi peserta melalui sistem kurasi yang dapat dipertanggungjawabkan; (b) seminar puisi internasional; (c) temu kerja antardelegasi negara peserta; (d) jerayawara (road show) ke sekolah, perguruan tinggi, dan komunitas; serta (e) panggung pertunjukan puisi dan panggung tarung penyair nusantara.
4. Merekomendasikan kepada penyelenggara PPN berikutnya untuk memberikan penghargaan kepada penyair terpilih dengan nama Anugerah Penyair Nusantara.
5. Pemerintah yang menjadi tuan rumah agar memfasilitasi secara penuh penyeleganggaraan PPN.
6. Memandatkan kepada panitia PPN VI untuk mengajak Filipina, Vietnam, Kamboja dan Timor Leste menjadi peserta PPN VI.

Palembang, 18 Juli 2011

TIM PERUMUS PPN V:
Ahmadun Yosi Herfanda (Indonesia) Ketua
Zulkhair Ali (Indonesia) Anggota
Anwar Putra Bayu (Indonesia) Anggota
Fakhrunnas MA Jabbar (Indonesia) Anggota
Chavchay Syaifullah (Indonesia) Anggota
Isbedy Stiawan ZS (Indonesia) Anggota
Ahmad MD Tahir (Singapura) Anggota
Nor Herman Maryuti (Singapura) Anggota
Dimas Arika Mahardja (Indonesia) Anggota
Jamal Tukimin (Singapora) Anggota
M Husyairi (Indonesia) Anggota
Aprion (Indonesia) Anggota
Suyadi San (Indonesia) Anggota
Dad Murniah (Indonesia) Anggota
Gunoto Saparie (Indonesia) Anggota
Nik Abdul Rakib Nik Hassan (Thailand) Anggota
Mohamad Saleh Rahamad (Malaysia) Anggota
Shamsudin Othman (Malaysia) Anggota
Eva Rosdiana (Indonesia) Anggota
Zeffri Ariff (Brunei Darussalam) Anggota
Eva Rosdiana (Indonesia) Anggota

Rekomendasi dialog borneo kalimantan xi

Dialog Borneo-Kalimantan XI yang berlangsung sejak 13 Juli telah selesai dan ditutup oleh Gubernur Kalimantan Timur pada 15 Juli malam. Acara inti yang berupa seminar atau dialog telah melahirkan banyak gagasan dan pemikiran dari para pemakalah yang hadir dari Malaysia Timur dan empat provinsi di Kalimantan serta para peserta yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia. Pada akhir sesi dialog, diadakan rapat tim perumus rekomendasi, yang diambil dari perwakilan berbagai daerah anggota Dialog
Borneo-Kalimantan. Rapat telah berhasil merumuskan rekomendasi berupa 6 poin penting, di antaranya adalah menunjuk Wilayah Persekutuan Labuan sebagai tuan rumah Dialog Borneo-Kalimantan XII, yang direncanakan akan dilaksanakan pada tahun 2013 nanti. Rekomendasi ini dibacakan dalam acara penutupan Dialog Borneo-Kalimantan XI. Dalam acara penutupan ini, selain dibacakan rekomendasi, diadakan juga penandatangan MoU kerjasama pengembangan sastra di Kaltim antara Gubernur Kaltim, Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim, dan Rumah Sastra Korrie Layun Rampan.
Gubernur, dalam pidato penutupannya menyatakan rasa bangga karena
terselenggaranya pertemuan sastra internasional sepulau di Kaltim ini dapat menjadi penanda adanya jalinan kekerjasamaan di bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan di antara wilayah-wilayah senegara dan antarnegara sepulau Borneo-Kalimantan, melengkapi kekerjasamaan di bidang lain, seperti ekonomi, politik, keamanan, dan sebagainya. Gubernur juga menyatakan bahwa Pemerintah akan berusaha memberi
perhatian yang lebih untuk kemajuan dunia sastra ini karena bangsa yang berbudaya tinggi adalah bangsa yang menghargai sastra. Bentuk-bentuk perhatian yang akan diupayakan itu bisa berupa:
(1) memberikan kemudahan dan dukungan pendanaan bagi para sastrawan untuk
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sastra di wilayah ini;
(2) memberikan kemudahan dan dukungan pendanaan bagi para sastrawan Kalimantan Timur untuk mengikuti even sastra di tempat lain, baik nasional maupun internasional; (3) memberikan kemudahan dan dukungan pendanaan bagi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh komunitas-komunitas atau kelompok-kelompok sastra di wilayah ini;
(4) memberikan penghargaan jasa atau hadiah seni secara berkala kepada para sastrawan yang berjasa di wilayah ini; dan sebagainya.

Minggu, 03 Juli 2011

ANTOLOGI PUISI SEPULUH KELOK DI MAOUSELAND

Oleh: Janoary M Wibowo

Jalanan di sini gelap dan penuh kelokan. Seperti hidup, bukan? Jika terpeleset di tikungan, pahamilah setiap luka adalah tanda kau pernah berkunjung ke Mouseland.
“You know, Michael. The worst thing in this world is to know too much. You’d better try to stay naïve. It’s much better.” kata Eli Wurman—diperankan oleh Al Pacino—dalam film People I Know. “Dunia ini relatif. Yang salah di tempat ini bisa jadi sahih di tempat lain.” perkataan Tristan kepada Bodhi dalam Supernova karya Dewi Lestari. “Let’s keep it undergound. Nobody out there would understand it anyway.” sebaris lirik dari lagu hip hop yang dinyanyikan oleh Grandmaster Flash—rapper asal Bronx. Saya lupa judul lagu itu.

Mengapa saya menuliskan judul lalu kutipan-kutipan yang mungkin—sampai pada kalimat ini—tak nampak berhubungan antara yang satu dengan yang lain? Sederhana, itu alasan politis. Ya. Politik. Usaha saya untuk didengarkan—dalam kesempatan ini dibaca oleh dunia yang telah terlalu terlena pada nama. Ada nama Al Pacino, ada nama Dewi Lestari, ada nama Grandmaster Flash—entah siapa dia saya juga tidak begitu mengenal. Begitulah proses politik. Memilih apa-atau-siapa yang didengarkan dan kemudian digunakan sebagai rujukan. Apakah tarikan logika saya tentang politik berbeda dengan pemahaman khalayak umum? Tak apa. Anggap saja itu politik diri saya. Pancasila-nya NKRJ, Negara Kesatuan Republik Janoary, yang gelap.

Politik itu keterlanjuran sejarah. Sejarah saya sendiri. Saya terlanjur menonton People I Know sebelum menulis ini. Saya terlanjur membuka-buka halaman Supernova sambil menikmati lagu hip-hop Grandmaster Flash sebelum menulis ini. Saya juga terlanjur membaca The Politics of Literature-nya Jaqcues Ranciere sebelum membaca Sepuluh Kelok di Mouseland. Lalu kemudian, saya mencoba menghubung-hubungkan keduanya—dengan kata lain putus asa menarik keduanya pada satu garis. Antara Politik dalam Sastra dan Sepuluh Kelok di Mouseland berhubungan, paling tidak itu yang saya tangkap.

Apabila yang saya tangkap tak jelas dan gelap bagi pembaca. Itu resiko bagi saya. Namun, beruntung saya—atau kasihan saya—bisa menggunakan nama Ranciere untuk berlindung. Merujuk pada Ranciere, politik pada umumnya adalah cara-cara manusia yang dipikirkan lalu digunakan untuk mewujudkan—atau tidak mewujudkan—suatu hal apapun untuk mendapatkan—atau tidak mendapatkan—apapun. Politik adalah cara-cara agar individu dapat didengarkan sebagai pernyataan, bukan hanya didengar sebagai keramaian. Sedangkan, politik dalam sastra—lebih tepatnya adalah politik dalam seni menulis—adalah cara-cara menyelaraskan cara pandang, cara berpikir, dan cara berperilaku manusia dengan keadaan sekitarnya pada sebuah objek berupa tulisan. Politik dalam sastra selanjutnya akan saya tuliskan dengan politik diri penulis—murni kenekatan saya dalam membuat istilah tanpa merujuk pada satu namapun.

Politik diri dalam Sepuluh Kelok di Mouseland

Politik diri terasa kental Sepuluh Kelok di Mouseland. Ada Husni Hamisi, Arif F Kurniawan, Aras Sandi. Ada Dalasari Pera, Arganita Widyawati. Ada Arther Panther Olii. Ada Kang Arief, ada Mbak Lina Kelana. Ada Reski Kuantan, juga Noegi Arur. Ada sepuluh penyair. Ada sepuluh cara-cara menulis puisi. Ada sepuluh sejarah-sejarah yang menyusun mengapa penyair ini menulis puisi seperti itu, penyair itu menulis puisi seperti ini. Jauh sebelum buku ini terbit, saya berani beranggapan mereka telah berpolitik dengan memutuskan diri untuk menulis puisi. Memutuskan diri untuk membuat akun facebook. Memutuskan diri juga untuk memberikan atau menerima permintaan pertemanan di facebook. Juga, memutuskan untuk saling bertemu kata bertemu sapa—entah bertemu muka, lalu bersepakat untuk mengumpulkan puisi menjadi sebuah antologi. Bagaimana proses politis yang sebenarnya ada dalam diri masing-masing penyair.

Ya, keberagaman politik diri yang berkumpul dalam satu buku, satu wilayah. Mouseland. Entah dimana di peta letak wilayah itu, mungkin ada dalam tiap-tiap kepala masing-masing penyairnya—bahkan pada tiap-tiap kepala pembacanya. Ya, Mouseland adalah wilayah fiksi, dengan sepuluh politik diri menjadi kelokan-kelokannya. Puisi adalah fiksi—menuliskan apa yang pernah dituliskan Sartre, sebab fiksi adalah mengimitasi kehidupan. Bukan lagi merekonstruksi kejadian di depan mata, tetapi mereproduksi yang diketahui di hadapan kata. Aras Sandi dalam Negeri Bumi menuliskan,

sorak sorai dan tepuk tangan dijadikan kebanggaan
kekalahan dan kemenangan dijadikan lencana kehidupan
diarak arai, disorak sorai
padahal;
hanya untuk sebuah negeri

Sekilas saya menangkap gambaran sebuah Negeri bernama Indonesia di sajak itu. Namun, Aras seperti memutuskan diri untuk mengimitasi apa yang terjadi pada Negeri Indonesia ke Negeri Bumi di wilayah Mouseland. Politik diri Aras berselaras dengan politik di sekitarnya, masyarakat Indonesia.
Arif F Kurniawan pun begitu. Pinokio yang dia ambil dari cerita yang sudah banyak orang ketahui, hidung Pinokio bertambah panjang setiap kali dia berbohong. Namun, Arif menciptakan Pinokio-nya sendiri.

ia ingin berhenti menanggung malu menerima ejekan,
kata orang-orang, tanduk hidungnya
selalu tumbuh lebih panjang dari kebohongan.

Lalu pada 2 bait berikutnya, Arif semakin kentara memperlihatkan bahwa Pinokio-nya berbeda.

ia tampak semakin bodoh,kini.
seorang diri di sesungging tepian,
menggergaji batang hidung sendiri

Arif dengan Pinokio-nya menampilkan jalinan antara politik diri dengan politik. Sebuah hubungan yang harus selalu ada, walau kali ini hubungan itu adalah pertentangan.
Berbeda dengan penyair Arther Panther Olii, di puisinya Senja di Tepi Sungai Bone. Dia menuliskan keterangan—semacam footnote untuk puisi—di bawah puisinya tersebut. Sungai Bone ada di Gorontalo. Dan Gorontalo ada di Indonesia. Indonesia itu bukan Mouseland. Jadi, sebuah senja di tepi Sungai Bone bukan fiksi. Nyata. Namun, melihat bagaimana Arther menuliskan bait terakhir dalam puisinya tersebut, nampak ada unsur imajineri—bolehlah serampangan dihubung-hubungkan dengan fiksi.

di tepi sungai bone, senja telah tenggelam
dan kenangan tentang kita : tersisa kelam

Bisa jadi saya—dengan politik diri dan sejarah saya sendiri—tidak akan merasa kelam ketika berada di tepi Sungai Bone ketika senja. Namun, saya bukan pemilik wilayah Mouseland. Arther-lah yang memiliki wilayah Mouseland.

Menuliskan tiga gejala dari tiga penyair memang tidak bisa sepenuh-penuhnya mewakili sepuluh. Namun, alasan politis saya bukan bahwa ketujuh yang lain tak menampilkan politik dirinya, melainkan lebih kepada alasan teknis. Terlalu panjang untuk ditulisbacakan semua—baik bagi saya dan pembaca tulisan saya yang gelap ini.

Bagaimanapun tulisan itu, kegelapan akan tetap menyertainya. Sebab, pada dasarnya, tulisan lahir untuk tulisan itu sendiri. Merujuk pada yang dikatakan Grandmaster Flash, keep it underground. Juga, sekali lagi pada Sartre, tulisan adalah objek yang terlahir tanpa makna apapun dan tidak mempunyai peran apapun. Penulis dan pembaca yang memasukkan makna dan perannya pada apapun—sesuai politik diri masing-masing penulis juga masing-masing pembaca.

Disneyland adalah wilayah Walt Disney berpolitik diri. Di sana dia menciptakan wahana-wahana. Di sana dia menciptakan nama-nama. Ada Donald Duck, ada Daisy Duck. Ada Pluto, ada Minnie Mouse, Ada Mickey Mouse. Mouseland adalah wilayah kesepuluh penyair berpolitik diri. Di sana mereka menuliskan puisi. Di sana mereka menciptakan sejarahnya sendiri. Proses menulis dan menerbitkan antologi adalah tanda bahwa sebuah sejarah diri—dari kesepuluh penyair—sedang dibangun. Sedang, ya, sedang. Sebab, politik diri adalah proses. Proses menyelaraskan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh manusia dengan apa yang akan dilakukannya di dunia sekitarnya. Politik diri akan terus bergerak—berubah—seiring dengan berubahnya sejarah diri—apa-apa yang dialami. Mouseland adalah sejarah bagi kesepuluh penyairnya dalam kaitan penulisan. Mouseland adalah sejarah bagi kesekian banyak pembaca—juga calon pembacanya—dalam kaitan pembacaan. Sepuluh kelok di sana akan terus berkelok-kelok seiring kelokan kehidupan yang akan dialaminya nanti. Nikmatilah tiap kelokannya.

*) apresiasi impresif—yang mungkin terlalu berkelok-kelok—terhadap Sepuluh Kelok di Mouseland, sebuah buku antologi bersama sepuluh penyair nusantara

Penulis di buku 10 KELOK DI MOUSELAND
Arif Fitra Kurniawan - Semarang
Arther Panther Olii - Manado
Reski Kuantan - Riau
Dalasari Pera Belawa - Belawa
Arganita Widawati - Pontianak
Aras Sandi - Semarang
Husni Hamisi - Makassar
Kang Arief - Ngawi
Lina Kelana - Lamongan
Neogi Arur - Batu Sangkar

Sumber : http://www.facebook.com/notes/fahrur-rozi-atma/esai-ii-launching-antologi-puisi-sepuluh-kelok-di-maouseland/240301695997881

Rabu, 29 Juni 2011

Kesastraan Kalsel Sebelum, Semasa dan Sesudah tahun 70-an

Oleh : Arsyad Indradi

Alhamdulillah aku masih menyimpan buku Data-Data Kesenian Daerah Kalsel yang berupa stensilan yang diterbitkan Depdikbud Kan.Wil Prov.Kalsel, Proyek Pusat Pengenbangan Kesenian Kalsel 1975/1976, karena pada tahun 90-an kantor ini terbakar, arsip Data Seni Budaya yang lainnya entahlah apakah dapat diselamatkan. Buku ini sangat penting untuk mengetahui perkembangan kesastraan Kalsel pada masa itu.

Tulisan ini khusus mengetengahkan data perkembangan kesastraan Kalsel merujuk pada buku Data-Data Kesenian Daerah Kalsel tersebut.

Perkembangan kesastraan Kalsel tentu saja tidak terlepas dari perkembangan kesastraan Indonesia, karena sastrawannya ikut memberikan andilnya bagi perkembangan kesastraan Indonesia. Ini tampak dalam periode - periode perkembangannya dari masing- masing periode tersebut. Periode – periode tersebut adalah :
1. Periode Sebelum Perang 2. Periode Pendudukan Jepang / Revolusi Fisik 3. Periode Tahun 50-an 4. Periode Tahun 60-an 5. Periode Tahun 70-an

1. Periode Sebelum Perang

Pada periode ini yang paling menonjol adalah Merayu Sukma ( nama aslinya : Muhammad Sulaiman ). Ada beberapa bukunya yaitu :
Putra Mahkota Yang Terbuang ( roman sejarah ), Yurni Yusri ( roman detektif ), Kunang-Kunang Kuning ( roman detektif ), Sinar Memecah Rahasia ( roman detektif ), Berlindung dibalik Tabir ( roman ), Jiwa yang Disiksa Dosa (roman), dan Jurang Meminta Korban ( roman ). Hampir semua bukunya diterbitkan di Medan. Sayangnya buku-bukunya ini tidak dicetak ulang sehingga sulit didapat. Masa produktifitasnya terhenti ditahun 50-an sampai akhir hayatnya.

Penulis lainnya adalah Arthum Artha karyanya berupa cerpen banyak dimuat di majalah Terang Bulan (Surabaya). Selain cerpen ia menulis roman antara lain : Gadis Zaman Kartini ( Gemilang,1949,Kandangan), Tahanan Yang Hilang ( Pustaka Dirgahayu,1950, Balikpapan), Kepada Kekasihku Rokhayanah ( Mayang Mekar,1951,Banjarmasin). Puisi-puisinya juga bertebaran di majalah Mimbar Indonesia, Siasat/Gelanggang, Indonesia, Pelopor, Mutiara, Zenith,Gajahmada dan lain-lain.

Pada periode ini muncul Maseri Matali (Kandangan) dan puncak karyanya menjelang akhir revolusi fisik sampai tahun 1952. Ia satu-satunya Penyair Kalsel yang disoroti kritikus HB Yassin. Puisi-puisinya umumnya dimuat di Mimbar Indonesia, Pancawarna, Waktu dan Bakhti. Ia dianggap penyair yang kuat pada zamannya. Ia tidak sempat menerbitkan semua karyanya dalam satu antologi. Tetapi setahun setelah ia wafat (1969), sebanyak 15 puisinya dibukukan oleh D.Zauhidhie dkk. dalam judul “ Nyala “ (stensilan).
Muncul di periode ini seperti, M.Yusuf Aziddin, Mugeni Jafri, Haspan Hadna. Karya-karya mereka hampir tak pernah dibaca oleh generasi berikutnya karena di samping tidak banyak juga tidak pernah dibukukan.

2. Periode Pendudukan Jepang / Revolusi Fisik

Disamping sastrawan terdahulu masih berkarya, diperode ini muncul sederetan nama antara lain, Aliansyah Luji ( penyair,prosais, Banjarmasin), Zafri Zamzam ( penyair, Banjarmasin ), H.Ahmad Basuni ( cerpenis, Banjarmasin ), SM Darul ( penyair, Kandangan ), Masdan Rozhani ( penyair, cerpenis, Kandangan ), Asycor Z (Asyikin Noor Zuhri, penyair, Jakarta ).

Yang paling produktif pada periode ini, menjelang dan sesudah tahun 50-an adalah Alinsyah Luji. Banyak puisinya di majalah Mimbar Indonesia, Siasat/Gelanggang, Mutiara dan lain-lain. Romannya antara lain, Memperebutkan Mawar di Candi Agung ( Getaran Masyarakat,1955,Banjarmasin), Intan Berlumur Darah ( Fa.Widya,1956, Bandung ) dalam dua jilid.

Puisi – puisi Asycor Z (Asyikin Noor Zuhri) dan SM Darul dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia menjelang dan sesudah tahun 50-an.

3. Periode Tahun 50-an

Semarak dalam berkarya pada periode ini setelah bermunculan sastrawan-sastrawan muda. Hal ini karena sarana – sarana penerbitan sangat menunjang seperti Mimbar Indonesia, Indonesia, Siasat/Gelanggang, Budaya, Konfrontasi, Merdeka/Genta, Kisah,Roman, Basis, Media, Gajahmada, serta surat kabar baik di Jakarta mau pun di Kalsel sendiri.

Umumnya sastrawan muda tersebut adalah penyair dengan sederetan nama seperti Ramtha Martha nama aslinya Rahmad Marlin ( Martapura ), Darmansyah Zauhidie (Kandangan ), Hijaz Yamani ( Banjarmasin ), Azn.Ariffin ( Banjarmasin ), Yiustan Aziddin ( Banjarmasin ), Dachri Oskandar ( Banjarmasin ), Syamsul Suhud ( Banjarmasin ), Mugeni HM ( Banjarmasin ), Taufiqurrahman ( Banjarmasin ), Syamsul Bachriar AA ( Jakarta ), Abdul Kadir Ahmad ( Banjarmasin ), Syamsiar Seman ( Barabai ), Salim Fachry ( Kandangan ), Ardiansyah M ( Banjarmasin ), Gapfuri Arsyad ( Banjarmasin ), Rustam Effendi Karel ( Banjarmasin ), Korsen Salman ( Banjarmasin ), Imran Mansur ( Banjarmasin ), Gumberan Saleh ( Banjarmasin ), Adham Burhan ( Banjarmasin ), dan Sir Rosihan ( Sayarkawi, Banjarmasin).

Disamping penyair juga cerpenis seperti, Hijaz Yamani, Syamsiar Seman, Adham Burhan, Ramtha Martha dan Yustan Aziddin. Sedang Gumberan Saleh juga menulis novel. Sebelum menulis puisi Yustan Aziddin lebih dulu menulis cerpen untuk “cerita minggu pagi pada RRI Banjarmasin dan juga sandiwara radio. Pada tahun 50-an Ramtha Martha khusus menulis cerpen yang dimuat di “Mimbar Indonesia” dan “Kisah”.

Banyak penulis pada periode ini yang lahir dan tumbuh namun tidak bisa bertahan dan berhenti sama sekali sampai pada periode berikutnya, kecuali beberapa orang seperti D.Zauhidhie, Hijaz Yamani, Ramtha Martha dan Salim Fachry. Sedangkan Yutan Aziddin dan Adham Burhan lama istirahat kemudian berkarya lagi ditahun 70-an. Yustan Aziddin, Adham Burhan dan Hijaz Yamani ikut dalam 19 penyair Banjarmasin ( Panorama,1974, DKD Kalsel ).

Banyak penulis pada periode ini tidak sempat membukukan sendiri hasil karya mereka, kecuali D,Zauhidhie ( Imajinasi ) dan Syamsiar Seman ( Bingkisan Pagi ) dan Gumberan Saleh novelnya ( Affair di Tanjung Silat ).

Syamsiar Seman lebih produktif lagi sampai tahun 2000-an dengan beberapa buah buku baik berupa pantun Banjar, cerita rakyat, Peribahasa Banjar, dan adat istiadat Banjar yang diterbitkan oleh penerbit lokal. Buku-bukunya menjadi bahan ajaran mata pelajaran muatan lokal di sekolah.

Pada tahun 1963 terbit kumpulan puisi “ Perkenalan di dalam Sajak” diterbitkan oleh CV.Himmah Banjarmasin yang diprakarsai oleh Yustan Aziddin dan Syamsul Suhud.
Penyairnya yang tergabung menurut wilayah geografis dan kurun kepenyairannya . Ini merupakan antologi penyair-penyair Kalimantan baik periode pendudukan Jepang/revolusi fisik, 50-an, dan 60-an, serta penyair Kalbar,Kalteng dan Kaltim.

4. Periode Tahun 60-an

Pada periode ini tidak banyak muncul sastrawan baru. Yang muncul seperti, A.Shafwani Ibahy ( Banjarmasin ), Mh.Hadhariah Roch ( Banjarmasin ), Murjani Bawy ( Banjarmasin ), Andi Amrullah (Banjarmasin ). Mereka semua penyair. Mereka tidak sempat membukukan karyanya sendiri kecuali dalam Perkenalan di dalam Sajak. Mh Hadhariah Roch ikut dalam Panorama. Sedangkan Andi Amrullah ketika masih studi di Malang bersama penyair-penyair Jawa Timur dalam kumpulan Laut Pasang ( Pemda Kotapraja Surabaya,1963 ). Kemudian ia menerbitkan sendiri antologi puisinya Demi Buah Tin dan Zaitun (1974).

5. Periode Tahun 70-an

Pada periode ini, sangat terasa hiruk pikuknya kesastraan Kalsel karena bertumbuhannya sastrawan baru dengan ramainya penciptaan sastra terutama puisi. Umumnya karya mereka termuat di harian surat kabar di Banjarmasin seperti bulanan kebudayaan “Bandarmasih” dan rubrik – rubrik “Persepektif” dari Banjarmasin Post, “Dian” pada “Media Masyarakat”, dan juga “Dinamika”, hanya Ayamuddin Tifani dan Eza Thabri Husano di majalah Mimbar dengan ruang budayanya “Matahari”.

Yang muncul pada periode ini : Ayamuddin Tifani ( Banjamasin ), Arsyad Indradi ( Banjarmasin ), Eza Thabri Husano ( Banjarbaru ),Ismed M.Muning nama aslinya Ismail Effendi ( Banjarmasin ), Hamami Adaby ( Banjarbaru ), Ibramsyah Barbary ( Banjarmasin ), A.Rasidi Umar ( Banjarmasin ), Sabri Hermantedo ( Banjarmasin ), Backtiar Sanderta ( Banjarmasin ), Ajim Ariyadi ( Banjarmasin ), Swastinah MD ( Banjarmasin ), Ulie S.Sebastian ( Banjarmasin ), A.Ruslan Barkahi ( Negara ), Arifin Hamdie ( Banjarmasin ), A.Mujahiddin S ( Banjarmasin ), S.Surya ( Banjarmasin ), Ibrahim Yatie ( Banjarmasin ), A.Rachman ( Banjarmasin ), M.Armin Azhardhie ( Banjarmasin ), Johan Kalayan ( Banjarmasin ), Abdul Karim Amar ( Banjarmasin ), Abdussamad SA ( Negara ),

Kemudian sederetan nama tersebut di atas, menyusul nama-nama seperti, Nayan Muhamad (Yan Pieter AK,Banjarmasin ), Hamberan Syahbana ( Hamberan Basuwinda, Banjarmasin ), Haderawi Yose ( Banjarmasin ), A’ans Anjar Asmara ( Banjarmasin ), Annie Mienty ( Banjarmasin ), Masry A.Gani ( Pagatan/Kotabaru), Amiddin B.Fuad ( Pleihari ), Amansyah Noor ( Negara ), Suriansyah Ramli ( Banjarbaru ), A.Chair Karim ( Banjarbaru ), RA Benawa ( Banjarbaru ), T.Noor Is. Amendy ( Banjarbaru ), Hanna ( Banjarbaru ), Muhammad Rais Salam ( Banjarbaru ), Akhmad Fajeri Astanti ( Banjarbaru ), A.Syahrani Hasyim ( Banjarbaru ), M.Hasfiany Sahasby ( Banjarbaru ), Roek Syamsuri ( Banjarbaru ), Ada sebelas penyair Banjarbaru termasuk Eza Thabri Husano dan Hamami Adaby menghimpun puisinya dalam antologi Puisi Banjarbaru Kotaku yang diterbitkan oleh DKD Banjarbaru.

Penyair - penyair Amuntai HSU juga menghimpun puisinya dalam sebuah antologi puisi Antologi Sajak 10 Penyair Hulu Sungai Utara diterbitkan oleh DKD HSU, yang tergabung di dalamnya yaitu Yusni Antemas, Rosdiansyah Habib, Darmawinata, Amir Husaini Zamzam, Rachman Rosdhy, Alfisamadhi, Asmuri Aman, M.Umairan Baqir, dan Amir Hasan Arsya.

Mereka yang tergolong dalam periode ini disamping aktif menulis puisi juga aktif menulis naskah Drama seperti Ajim Ariyadi, Hamberan Syahbana ( Drama dan cerpen ), Backtiar Sanderta ( teater Tradisional dan cerpen), Ismed M.Muning (teater tradisional) dan Swastinah MD menulis cerpen.

Sesudah tahun 70-an yakni kurun waktu tahun 80-an, tahun 90-an dan sampai pada tahun 2000-an, sastrawan yang tergolong periode 70-an ini kreatifitas penulisannya mulai menurun bahkan ada yang berhenti sama sekali, masa istirahat, dan ada yang meninggal dunia. Sayangnya mereka baik yang berhenti, masa istirahat mau pun yang meninggal dunia tidak sempat membukukan karya-karyanya antara lain, Ayamudin Tifani setelah meninggal dunia ( 23.09.1951- 06.05.2002 )baru sastrawan lain mencari dan mengumpulkan karyanya yang berserakan disana-sini, kemudian menghimpunnya dalam sebuah antologi puisi Tanah Perjanjian ( Hasta Mitra bekerjasama dengan Yayasan Bengkel Seni’78 Jakarta,2005 ).

Kemudian yang tergolong periode tahun 70-an yang eksis berkarya sampai tahun 2000-an antara lain, Arsyad Indradi, Hamami Adaby dan Eza Thabri Husano. Hamami Adaby ada beberapa karya puisinya yang dibukukan berupa antologi puisi tunggalnya : Desah (84), Iqra (97), Nyanyian Seribu Sungai (2001), Kesumba (2002), Bunga Angin (2003), Dermaga Cinta (2004), Kaduluran ( Puisi Bahasa Banjar,2006). Dan karya bersama antara lain : Banjarbaru Kotaku (74), Dawat (82), Bunga Api (94), Bahalap (95), Pelabuhan (96), Jembatan Asap ( 97), Bentang Bianglala (98),Cakrawala (2000), Tiga Kutub Senja ( Arsyad Indradi,Eza Thabri Husano,Hamami Adaby,2001), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Bula Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman (2004), Baturai Sanja ( Bhs Banjar,2004),Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005),Garunum (2006). Menerima Penghargaan Seniman Sastra dari Walikota Banjarbaru (2004).

Eza Thabri Husano ada beberapa karya puisinya yang dibukukan berupa antologi puisi tunggalnya : Rakit Bambu (1984), Surat Dari Langit ( 1985), Clurit Dusun (1993), Aerobik Tidur (1996). Dan karya bersama antara lain : Banjarbaru Kotaku (74), Dawat (82), Bunga Api (94), Getar (Bulsas Kreatif Kota Batu Jatim (1995), Getar II (Bulsas Kreatif Kota Batu Jatim, 1996), Bangkit III (Bulsas Kreatif Kota Batu Jatim,1996), Bentang Bianglala (98),Datang Dari Masa Depan (1999), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir 2000), Cakrawala (2000), Tiga Kutub Senja ( Arsyad Indradi,Eza Thabri Husano,Hamami Adaby,2001), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002), Sajadah Kata (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Bulan Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman (2004), Baturai Sanja ( Bhs Banjar,2004),Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005). Menerima Penghargaan Seni Bidang Sastra dari Gubernur Provensi Kalsel,1996 dan Penghargaan dari Walikota Banjarbaru bidang Sastra, 2004.

Arsyad Indradi baru dapat menghimpun karya puisinya dalam bentuk antologi puisi tunggalnya : Nyanyian Seribu Burung ( KSSB, 2006 ),
Puisi Bahasa Banjar dan Terjemahan Bahasa Indonesia “Kalalatu “ ( KSSB, 2006 ), Romansa Setangkai Bunga ( KSSB, 2006 ), Narasi Musafir Gila ( KSSB, 2006 ), Anggur Duka ( KSSB,2009), Puisi Bahasa Banjar dan Terjemahan Bahasa Indonesia “Burinik” (KSSB,2009), Kumpulan Esai dan Artikel dari beberapa sastrawan Indonesia dengan tajuk : Risalah Penyair Gila (KSSB,2009)
Antologi Puisi bersama antara lain :
Jejak Berlari ( Sanggar Budaya, 1970 ), Edisi Puisi Bandarmasih, 1972, Panorana (Bandarmasih, 1972), Tamu Malam ( Dewan Kesenian Kalsel, 1992), Jendela Tanah Air ( Taman Budaya /DK Kalsel, 1995), Rumah Hutan Pinus ( Kilang Sastra, 1996),Gerbang Pemukiman ( Kilang Sastra, 1997 ), Bentang Bianglala ( Kilang Sastra,1998), Cakrawala ( Kilang Sastra, 2000 ), Bahana ( Kilang Sastra, 2001 ), Tiga Kutub Senja ( Kilang Sastra, 2001 ), Bulan Ditelan Kutu ( Kilang Sastra, 2004 ),Bumi Menggerutu ( Kilang Sastra, 2004 ), Baturai Sanja ( Kilang Sastra, 2004 ),Anak Jaman ( KSSB, 2004 ), Dimensi ( KSSB, 2005 ), Seribu Sungai Paris Barantai (2006),Penyair Kontemporer Indonesia dalam Bhs China (2007),Kenduri Puisi Buah Hati Untuk Diah Hadaning (2008),Tarian Cahaya Di Bumi Sanggam (2008),Bertahan Di Bukit Akhir (2008),Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009),Konser Kecemasan (2010). Pada tahun 2006 menghimpun puisi dari Penyair Se Nusantara dalam antologi Puisi Penyair Nusantara : “ 142 Penyair Menuju Bulan (KSSB,2006).
Anugrah yang pernah diterima bidang :
Tari dari Majelis Bandaraya Melaka Bersejarah pada Pesta Gendang Nusantara VII Malaysia (2004), Tari dari Majelis Bandaraya Melaka Bersejarah pada Pesta Gendang Nusantara XII Malaysia (2009),
Tari dari Walikota Banjarbaru (2004), Pengawas Seni Budaya Berprestasi I Kabupaten Banjar dan Provinsi Kalimantan Selatan (2009),. Sastra dari Walikota Banjarbaru (2010) dan Sastra dari Gubernur Prov.Kalsel (2010)

Hamberan Syahbana dan Ibramsyah Barbary lama tidak muncul, pada tahun 2008 mereka kembali menulis dan aktif mengikuti kegiatan sastra di Kalsel. Hamberan Syahbana sudah beberapa cerpen ditulisnya, disamping menulis esai dan artikel kesastraan dan juga puisi, sedang Iberamsyah Barbary menghimpun puisinya yang ditulisnya dari tahun 1963 – 2011 dalam antologi puisinya Perjalanan ke Istana Putih. Hamberan Syahbana menerima penghargaan bidang Teater oleh Gubernur Provinsi Kalsel,2010.

Demikianlah periodesasi Perkembangan Kesastraan Kalimantan Selatan walau secara singkat namun inilah sebagai perspektif perjalanan Kesastraan Kalimantan Selatan yang hidup dan berkembang dari masa kemasa.

Banjarbaru, 25 Juni 2011

Sabtu, 25 Juni 2011

ME
NEBAR BENIH SASTRA DI BANUA MURAKATA


oleh Yessika Susastra

INI catatan ringan sebagai bahan untuk sebuah iven sastra "Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII di Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 16--19 September 2011. Catatan ringan ini sengaja dibuat selagi ada kesempatan, dan tentu saja perlu masukan dan saran dari pembaca budiman demi sesuatu yang lebih bermanfaat dan mendatangkan martabat bagi pergerakan sastra. Judul catatan ini, sepenuhnya menuruti tema yang diusung oleh panitia penyelenggara. Lantaran belum ada deskripsi lengkap mengenai maksud dan tujuan hajatan Aruh Sastra (setidaknya belum membaca TOR), saya masih meraba-raba apakah yang sebaiknya dikemukakan dalam iven tahunan yang mulai melegenda itu.
Agar pembaca memiliki gambaran betapa aktivitas sastra di Kalimantan Selatan selama ini, akan saya nukilkan historisitas jejak kesastrawanan Kalimantan Selatan, setelah itu barulah saya coba kemukakan kiat atau strategi "menebar benih sastra di Banua Murakata".
Pergerakan Sastrawan Kalsel
Sastra Indonesia di Kalimantan Selatan sesungguhnya sudah mulai dilakukan sebelum perang dunia kedua, di sekitar pertengahan atau akhir tahun 1930-an, atau hampir bersamaan dengan kurun waktu kegiatan penulisan yang dilakukan oleh para sastrawan Angkatan 1930-an (Angkatan Pujangga Baru). Meskipun pada kurun waktu awal penulisan para sastrawan Kalsel tidak setenar Angkatan Pujangga Baru, karena mereka umumnya menulis pada penerbitan (majalah dan koran) lokal, tidak sebagaimana sastrawan Angkatan Pujangga Baru yang menciptakan karya-karyanya yang menjadi karya monumental karena menulis dalam majalah Pujangga Baru – satu-satunya penerbitan penting yang memuat karya sastra para sastrawan di zamannya. Para sastrawan Kalsel yang memulai kegiatan penulisan karya sastra ini antara lain Merayu Sukma, Anggraini Antemas (Yusni Antemas), M. Yusuf Aziddin, Artum Artha, Ramlan Marlim, Hadharyah M, Merah Danil Bangsawan, dan lain-lain. Mereka juga telah mempunyai sejumlah buku, baik yang diterbitkan Kalsel atau usaha sendiri, maupun di luar Kalsel.
Dapat dikemukakan bahwa setiap periodisasi sastra Indonesia, sastrawan Kalsel melibatkan diri. Pada kurun waktu 1942 s.d. awal 1950-an bermunculan pula karya para sastrawan Kalsel baik dari mereka yang menulis sebelum tahun 1940-an maupun mereka yang baru memublikasikan karyanya dalam peeiode ini, seperti Artum Artha yang produktif memublikasikan karya puisi, cerpen dan romannya di media massa berwibawa di Jakarta seperti majalah Mimbar Indonesia dan Siasat/Gelanggang. Sederet nama lain yang juga intensif menulis dan memublikasikan puisi-puisinya ke majalah Mimbar Indonesia, Waktu, Pantja Warna, dll. adalah Maseri Matali, Asyikin Noor Zuhri, Masrin Mastur, dll. Penyair Maseri Matali sendiri sempat disinggung oleh Paus Sastra H.B. Jassin dalam bukunya Tifa Penyair dan Daerahnya sebagai salah seorang penyair berbakat dari pedalaman Kalimantan yang bersahut-sahutan dengan generasi seangkatannya (Angkatan 45).
Setelah Angkatan 45, sastrawan Kalsel yang muncul dan mulai aktif menulis dalam berbagai genre penulisan; puisi cerpen, novel ialah Hijaz Yamani, Ramta Martha (Rahmat Marlim), Azn. Ariffin, Dachry Oskandar, D. Zauhidhie, Taufiqurrahman, Yustan Aziddin, Salim Fachry, Sholihin Hasan, Aliansyah Ludji, Rustam Effendi Karel, Korsen Salman, Imran Mansyur, Abdul Kadir Ahmad, Syamsul Suhud, Syamsul Bahriar AA, Syamsiar Seman, Goemberan Saleh, Sir Rosihan, dll. Karya para sastrawan ini dipublikasikan di berbagai majalah dan surat kabar terbitan lokal dan Jakarta, seperti Pahatan, Pusparagam, Bandarmasin, Minggu Pagi, Mimbar Indonesia, Kisah, Budaya Jaya, Zenith, Siasat, Gembira, Gajah Mada, Indonesia, Horison, Roman, Cerita, Konfrontasi, dan lain.lain.
Dekade 1960-an di tanah air diwarnai oleh munculnya dualisme angkatan, yakni Angkatan 63 atau Angkatan Manifes yang dicetuskan oleh Satyagraha Hoerip dan Angkatan 66 yang dideklarasikan oleh H.B. Jassin. Pada tahun 1963 telah terjadi apa yang disebut Manifes Kebudayaan yang banyak didukung oleh para sastrawan yang anti-komunis di tanah air. Di antara para pencetus dan penandatangan Manifes Kebudayaan ini di Jakarta adalah H.B. Jassin, Wiratmo Sukito, Goenawan Mohamad, dll. Sedangkan para manifestan di Kalimantan Selatan terdapat pula para sastrawan seperti Yustan Aziddin dan Rustam Effendi Karel. Sastrawan Kalsel lainnya yang di tahun 1960-an itu bermukim di Jawa Timur yaitu Hijaz Yamani dan Andi Amrullah juga mendukung dan ikut menandatangani Manifes Kebudayaan tersebut. Dan para sastrawan Kalsel yang produktif dan muncul dalam dekade 60-an ini antara lain M.H. Hadharyah Roch, A.S. Ibahy, Ardiansyah M, Murjani Bawi, Bachtar Suryani, Gusti Muhammad Farid, dan lain-lain. Pada 1963 untuk pertama kali terbit antologi puisi penyair se-Kalimantan Perkenalan di Dalam Sajak Penyair Kalimantan. Kemudian terbit pula beberapa antologi puisi perorangan dari penyair D. Zauhidhie (Imajinasi, 1960), Bachtar Suryani (Kalender, 1967), Syamsiar Seman (Bingkisan, 1968), dan Maseri Matali (Nyala, 1968).
Perkembangan sastra(wan) dekade 1970-an di Kalimantan Selatan terbilang sangat pesat dan menggembirakan, sebagaimana hingar-bingarnya percaturan sastra di tanah air. Terutama di Kalsel, kenyataan perkembangan yang menggembirakan ini dirayakan lagi dengan dibentuknya lembaga atau organisasi kesenian seperti Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kalimantan Selatan (kini menjadi Dewan Kesenian Kalimantan Selatan) yang digagas pada Musyawarah Seniman (Musen) pertama se-Kalimantan Selatan, 28 April s.d. 2 Mei 1971 di kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara. DKD Kalsel periode pertama ini diketuai oleh seniman dan politisi Anang Adenansi. Kemudian berturut-turut di berbagai kota dan kabupaten lainnya di Kalsel juga mendirikan dewan kesenian. Dan melalui program komite sastranya, DKD Kalsel menerbitkan majalah bulanan kebudayaan Bandarmasih, penerbitan rutin antologi puisi bersama maupun perorangan, antara lain Panorama, Bandarmasih, Jembatan, Jembatan II, Air Bah, 10 Penyair Hulu Sungai Utara, Banjarbaru Kotaku, Penjuru Angin, Riak-riak Barito, dll. Tahun 1978, Pustaka Jaya Jakarta menerbitkan antologi puisi Tanah Huma dari tiga penyair Kalsel, D. Zauhidhie, Yustan Aziddin, dan Hijaz Yamani. Demikian pun sayembara penulisan puisi dan even lomba deklamasi dan baca puisi secara rutin diselenggarakan dan diprakarsai DKD Kalsel.
Para sastrawan yang muncul pada dekade ini adalah Ajamuddin Tifani, Eza Thabry Husano, Arsyad Indradi, Hamami Adaby, M. Syarkawi Mar’ie, Yuniar M. Ary, A. Rasyidi Umar, Bakhtiar Sanderta, Sabrie Hermantedo, Andi Amrullah, Ibrahim Yati, Soufyan Surya, A. Mudjahidin S, Ulie S. Sebastian, Ibramsyah Amandit, Adjim Arijadi, Roeck Syamsuri Saberi, A. Dimyati Riesma, Rizhanuddin Rangga, Syarkian Noor Hadie, Johan Kalayan, Yan Pieter A.K. (Nayan van Houten), Dardy C. Hendrawan, Mas Husaini Maratus, Ahmad Fahrawi, Tarman Effendi Tarsyad, Burhanuddin Soebely, dan lain-lain. Oleh karena aktivitas bersastra di Kalsel kemunculannya lebih awal, maka penulisan sastra di daerah ini tumbuh dan berkembang lebih pesat dibandingkan provinsi lainnya di Kalimantan. Dan sebagai salah satu kantong kesusastraan di Indonesia, Kalimantan Selatan memiliki sastrawan-sastrawan yang kreatif dan eksis dengan karya-karya sastranya yang tidak kalah kualitasnya dengan karya para sastrawan luar Kalsel. Karya para sastrawan Kalsel baik secara kuantitas maupun kualitas tidak hanya hadir sebagai khasanah lokal (Kalsel), tetapi juga memberi kontribusi bagi masyarakat dan perkembangan sastra Indonesia modern. Bila ada anggapan bahwa Kalsel adalah gudang sastrawan, hal itu tak bisa dimungkiri dan stigma itu masih melekat hingga hari ini.
Dekade awal 1980-an hingga pertengahan 1990-an – untuk sementara – diklaim sebagai ‘puncak’ pertumbuhan ataupun perkembangan sastra di Kalimantan Selatan. Namun di dua dekade ini karya sastra yang paling dominan hadir adalah genre puisi. Hal ini terbukti dari jumlah karya sastra (sajak) dan penyair Kalsel yang muncul ke permukaan. Menurut sastrawan dan kritikus sastra Korrie Layun Rampan, bukan hanya perkembangan kuantitas sastrawan dan karya sastra, tapi juga perkembangan kualitas sastra sangat pesat di Kalsel. Rubrik-rubrik sastra di media cetak lokal maupun nasional didominasi oleh puisi. Khususnya untuk publikasi karya puisi, cerpen, cerber, dan esai di media cetak lokal, para sastrawan Kalsel merasa terbantu dengan kehadiran rubrik sastra di harian Banjarmasin Post, Media Masyarakat, dan Dinamika Berita (sekarang Kalimantan Post). Lebih spektakuler lagi, harian Banjarmasin Post – koran tertua di Kalimantan yang kini merger dengan harian Kompas – merupakan satu-satunya penerbitan di dunia – berdasarkan klaim Ajip Rosidi – yang berani menyajikan rubrik puisi bernama Dahaga untuk sosialisasi karya para penyair. Sedemikian banyaknya penyair yang menulis untuk Dahaga, sehingga pada setiap hari pemunculannya rubrik ini dijejali oleh sajak dan sangat luar biasa dalam melahirkan penyair – tentu dengan klasifikasi; penyair yang sajaknya berkualitas dan tidak berkualitas. Secara representatif dapat digambarkan, bahwa sepanjang tahun 1981 saja tercatat sebanyak 251 orang penyair yang menulis untuk Dahaga dengan jumlah sajak tak kurang dari 2.336 buah (berdasarkan data penelitian pengamat sastra Kalsel, Tajuddin Noor ganie). Rubrik puisi Dahaga yang sempat bertahan sekitar 7 tahun (1978-1985) ini digawangi oleh tiga serangkai sastrawan, yaitu Yustan Aziddin (Wapemred. Banjarmasin Post), D. Zauhidhie, dan Hijaz Yamani (ketiganya kini sudah almarhum). Tumbuh suburnya perpuisian – hingga muncul anggapan Kalsel mengalami inflasi puisi dan kepenyairan – di Kalsel juga memacu antarpenyair untuk saling berkompetisi menerbitkan sajak-sajaknya, baik secara perseorangan maupun secara kolektif bersama penyair luar Kalsel yang diterbitkan Banjarmasin, Surabaya, Jakarta, Jogjakarta, Bandung, Tasikmalaya, Padang, dan beberapa kota lainnya, hingga Brunei Darussalam dan Malaysia. Bahkan pada dekade 1980-an itu pula – berdasarkan hasil penelitian tak resmi penyair Jogja, Bambang Widiatmoko – Kalsel diklaim menduduki peringkat kedua dalam kategori populasi penyair terbanyak di Indonesia setelah Jogjakarta.
Even-even sastra seperti forum diskusi atau temu sastrawan juga marak diselenggarakan di berbagai kota dan kabupaten di wilayah Kalsel. Forum sastra paling monumental di era 1980-an adalah Fo-rum Penyair Muda 8 Kota se-Kalimantan Selatan 1982, yang digagas oleh komunitas penyair bernama Himpunan Penyair Muda Banjarmasin (HPMB). Sastrawan/penyair yang menonjol dengan wawasan estetik puisi dan menemukan gaya pengucapan atau bahasanya sendiri serta beberapa di antaranya memiliki reputasi kepenyairan nasional pada dekade ini, antara lain Ajamuddin Tifani,Ahmad Fahrawi,Burhanuddin Soebely, Tarman Effendi Tarsyad (walaupun awal ke-munculan keempat sastrawan ini pada dekade 1970-an, tapi oleh Abdul Hadi WM di Forum Puisi Indonesia ’87 di TIM dikategorikan sebagai generasi penyair 80-an), Y.S. Agus Suseno, M.Rifani Djamhari, Noor Aini Cahya Khairani, Ali Syamsuddin Arsi, Ariffin Noor Hasby, Sandi Firly, Fahruraji Asmuni, Eddy Wahyuddin SP, Muhammad Radi, Zain Noktah, Kony Fahran (kini bermukim di Tenggarong, kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim), Jamal T. Suryanata, Eko Suryadi WS, Abdul Karim, Tajuddin Noor Ganie, Radius Ardanias, Maman. S. Tawie, Iwan Yusi, Micky Hidayat, Akhmad setia Budhi, Aria Patrajaya, Sri Supeni, Mas Alkalani Muchtar, dan lain-lain untuk menyebut hanya beberapa nama. Iklim bersastra yang terbilang kondusif dan bergairah pada dekade 80-an dan 90-an tersebut boleh dikata merupakan era kebangkitan sastra Kalsel dengan ledakan-ledakan kreativitas yang telah berimplikasi melahirkan sejumlah sastrawan dengan kapasitas intelektual dan kegigihan idealisme yang cukup penting diperhitungkan pada khasanah sastra Indonesia.
Pertengahan 1990-an hingga memasuki abad 21, yaitu awal 2000-an hingga 2008 ini, walaupun iklim bersastra di Kalsel tidak sesemarak dekade sebelumnya, namun denyut kehidupan dan kegairahan para sastrawan untuk berkarya masih tetap terasa dan tidak pernah mengalami stagnasi atau kemandekan. Para sastrawan terkini dari generasi 2000-an yang sedang berproses, kreatif serta produktif dan mulai bermunculan ikut menyumbangkan bentuk, warna dan pengucapan literer, dan mereka pun bersemangat merayakan kreativitas bersastra, bersaing bersama sastrawan generasi 1990-an serta disokong oleh sastrawan dari generasi 1980-an dan beberapa dari generasi 1970-an yang masih menunjukkan vitalitas berkarya. Sederet nama sastrawan baru generasi pertengahan 1990 hingga 2000-an ini antara lain: Sainul Hermawan, M. Hasbi Salim, Harie Insani Putra, Abdurrahman Al Hakim, Abdurrahman El Husaini, Isuur Loeweng, M. Nahdiansyah Abdi, Hajriansyah, Elang W. Kusuma, Aliman Syahrani, Shah Kalana Al-Haji, Hardiansyah Asmail, Andi Jamaluddin AR. AK., Fahmi Wahid, Fitriadi, M. Fitran Salam, Joni Wijaya, dll. Para sastrawan ini menulis dalam berbagai genre, seperti puisi, cerpen, esai, dan novel. Pada dekade ini bermunculan pula para penulis perempuan yang rata-rata masih berstatus mahasiswi dan aktivis seni di kampusnya, di antaranya: Nonon Jazouly, Dewi Alfianti, Hudan Nur, Nina Idhiana, Syafiqotul Machmudah, Rahmatiah, Ratih Ayuningrum, Nailiya Nikmah, Anna Fajarona, Endang Fitriani, Rismiyana, Annisa, dan Helwatin Najwa. Karya-karya berupa puisi, cerpen, dan esai sastra para perempuan muda yang pintar, cerdas dan memiliki potensi hebat ini semakin menunjukkan adanya upaya masing-masing mereka untuk mengeksplorasi sumber-sumber penciptaan yang beraneka-warna, dan menjelajahi berbagai kemungkinan bentuk maupun gaya pengucapan. Dan kehadiran maupun peran para sastrawan generasi baru ini setidaknya turut pula memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Kalsel. Tetapi, berkaca pada pengalaman, hanya sastrawan yang memang benar-benar mempunyai ketangguhan dan kesungguhan yang terus-menerus untuk menciptakan karya yang berkualitas secara estetik maupun tematik, gigih dan konsisten, memperlakukan kerja sastra yang identik dengan ‘kekerasan’, ‘kekejaman’, dan ‘berdarah-darah’ yang kemudian mampu mempertahankan eksistensi kesastrawanannya.
Sepanjang tahun 1980 hingga 1990-an, kesusastraan Indonesia mutakhir dilanda hiruk-pikuk dengan terjadinya ledakan-ledakan luar biasa dahsyatnya sehubungan dengan gerakan sastra secara kolektif yang memunculkan komunitas budaya atau komunitas sastra di berbagai wilayah di Indonesia. Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP), Komunitas Budaya Buruh Tangerang (BUBUTAN), Roda-Roda Budaya Tangerang, Komunitas Sastra Tegal, untuk menyebut hanya beberapa nama, merupakan gerakan sastra yang mencuat sebagai fenomena pertumbuhan sastra yang menarik. Bahkan di tahun 90-an keberadaan KSI dan RSP menjadi perbincangan dan diangkat sebagai polemik panjang di berbagai media massa nasional. Menjamurnya komunitas sastra yang diklaim sebagai lahirnya “pusat-pusat” pergerakan sastra baru ini berbarengan dengan ramainya polemik tentang “marjinalisasi” sastra Indonesia dan peran para sastrawan akibat sistem penunjang kreativitas yang sangat tidak memadai. Tumbuhnya komunitas-komunitas sastra ini tak dimungkiri menimbulkan pula konsekuensi interpretatif beragam baik positif maupun sinisme. Namun yang pasti, kehadiran komunitas-komunitas sastra alternatif ini di samping ingin memperbaiki berbagai ketimpangan yang ada dalam perangkat sistem sastra di Indonesia, tampaknya dimaksudkan juga sebagai upaya ‘perlawanan’ atau ‘pembangkangan’ para sastrawan yang merasa terpinggirkan terhadap pusat-pusat kekuasaan yang melakukan penetrasi terhadap dunia sastra, dalam konteks ini negara, media massa, sekaligus mendobrak arogansi sentralisme dan monopoli para sastrawan mapan yang bertahta di pusat kesenian seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)nya. Dalam pandangan kreatif, lahirnya komunitas sastra merupakan penentangan terhadap legitimasi dan kewibawaan pemegang otoritas sastra di pusat – yang sebelumnya dapat dianggap sebagai penghalang kreativitas.
Bagi sastrawan Kalimantan Selatan, menjamurnya komunitas sastra di berbagai wilayah tanah air sesungguhnya bukan sesuatu yang asing. Di awal 1980-an – selain komite sastra di Dewan Kesenian Kalsel, bidang seni sastra di Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Kalsel, dan Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalsel serta cabang-cabang HIMSI di berbagai kota dan kabupaten – khususnya Banjarmasin sebagai ibu kota provinsi, sudah memiliki komunitas sastrawan bernama Himpunan Penyair Muda Banjarmasin (HPMB). Kehadiran HPMB yang didirikan pada tahun 1981 oleh para aktivis sastra – terutama para penyair muda kreatif, gigih, punya daya gerak dan cukup militan – ini merupakan fenomena tersendiri bagi perjalanan dan persentuhan proses kreatif kepenyairan Kalsel.
Salah satu forum sastra yang terbilang fenomenal pernah diselenggarakan komunitas ini adalah Forum Penyair Muda 8 Kota se-Kalimantan Selatan 1982 dan Forum Siklus 5 Penyair Banjarmasin di Banjarmasin. Kiprah komunitas ini sempat mengalami kevakuman selama beberapa tahun karena berbagai kesibukan para penggiatnya di luar komunitas. Akhirnya pada pertengahan tahun 1980-an, komunitas ini bubar dengan sendirinya.Walaupun komunitas penyair ini hanya tinggal nama, namun kiprah, andil ataupun sumbangsihnya dalam meramaikan dan merayakan rumah besar sastra di Kalsel bahkan turut pula mewarnai peta sastra tanah air patutlah untuk diapresiasi dan senantiasa dikenang.
Setelah komunitas penyair (HPMB), pada pertengahan tahun 1980-an dunia sastra Kalsel disemarakkan lagi dengan bertumbuhannya komunitas sastra di berbagai daerah kabupaten dan kota, baik yang terorganisir maupun organisasi informal. Namun atmosfer yang tercipta dari komunitas tersebut tentu berpengaruh positif bagi perkembangan dan pertumbuhan sastra di masing-masing wilayah komunitas itu berada. Di Banjarmasin berdiri Bengkel Sastra Banjarmasin, Sanggar Sastra Mandiri, Busur Sastra dan Teater Balambika (BSTB), Lingkaran Sastra Mozaika, Forum Diskusi Sastra Poetica (bermarkas di Taman Budaya Kalsel), Keluarga Penulis Banjarbaru, Dapur Seni Amandito (Kota Banjarbaru), Sanggar Marta Intan (Martapura, Kabupaten Banjar), Posko La Bastari (Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan), Sanggar Sastra Sukmaraga (Kabupaten Hulu Sungai Utara), Sanggar Sastra Mandastana, Sanggar Riak-riak Barito (Kabupaten Barito Kuala), Sanggar Anggrek Harivi (Kabupaten Tanah Laut), Pusat Olah Seni Sastra Kotabaru, Sanggar Bamega 88 (Kabupaten Kotabaru), dan Himpunan Penulis, Pengarang dan Penyair Nusantara (HP3N) Korwil Kalsel. Dari puluhan organisasi komunitas yang berbentuk formal maupun nonformal ini sebagian besar juga tinggal nama alias bubar tanpa alasan yang jelas.
Dekade 1990-an hingga 2000-an, bermunculan pula komunitas-komunitas sastra di berbagai kantong budaya yang pertumbuhan dan perkembangan sastranya cukup meriah. Seperti di kota Banjarbaru berdiri komunitas Kilang Sastra Batu Karaha, Forum Taman Hati, Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, Front Budaya Godong Kelor, Rumah Sastra Pelanduk, serta Sanggar Ar Rumi dan Sanggar Matahari, X-Pas Borneo (ketiganya di kota Martapura, kabupaten Banjar), dan beberapa komunitas sastra lainnya, baik yang berjalan sendiri maupun berkelompok. Sederet komunitas yang frekuensi kegiatan bersastranya cukup tinggi di beberapa kampus perguruan tinggi negeri maupun swasta dan bermunculannya Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) di beberapa sekolah menengah atas di Kalsel yang diprakarsai majalah sastra Horison, juga tak bisa diabaikan perannya. Namun dalam perjalanannya, di antara komunitas ini hanya beberapa yang mampu bertahan hidup hingga hari ini.
Menebar Benih Sastra, Meningkatkan Minat Berkarya Sastra
Langkah strategis dalam upaya menebar benih sastra dan meningkatkan minat berkarya sastra perlu dilakukan secara bersama-sama oleh stakeholders, seperti dikemukakan dalam poin-poin berikut:
1. Stakeholders seni budaya (Gubernur, angota DPRD, instansi seni, dan seniman serta budayawan) perlu bersinergi menyatukan langkah dan persepsi untuk membina dan mengembangkan potensi seni sastra. Pembina seni sastra perlu menyusun program peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui berbagai kegiatan sarasehan, seminar, pelatihan, dan bimbingan teknis. Dalam upaya pembinaan seni sastra ini kiranya perlu dimksimalkan peran lembaga atau organisasi sastra yang dapat mewadahi kiprah sastrawan dan masyarakat dalam berkarya. Masuk dalam pembinaan ini perlu didirikan sekolah seni, baik tingkat sekolah menengah maupun sekolah tinggi.
2. Materi pembinaan meliputi sastra yang berakar pada budaya daerah dan berssinergi dengan seni arsitektur, seni batik, seni tari, seni musik, seni teater, seni kerajinan, seni desain grafis, seni film, seni rupa, dan seni budaya tradisi di setiap daerah di kabupaten di Kalimantan Selatan.
3. Pembina seni sastra seyogianya dapat memainkan peranannya masing-masing dan secara bersama-sama memajukan seni sastra ke kancah yang lebih luas (regional, nasional, internasional) dengan prinsip think globaly, act localy (berwawasan global, bertindak lokal) seperti falsafah di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
4. Pelaku seni sastra terus berkarya. Aktivitas pelaku seni sastra ini perlu difasilitasi sepantasnya. Pelaku seni sastra ini meliputi organisasi seperti sanggar seni dan aktivitas individual sastrawan. Pelaku ini dalam melaksanakan aktivitasnya perlu dukungan perhatian dan financial yang memadai dan pemberian penghargaan khusus bagi pelaku seni dan budaya oleh pemerintah adalah merupakan hal yang sepantasnya.
5. Jalur pendidikan formal dan nonformal, termasuk pelatihan dan sanggar kerja yang terjdwal penting pula dijadikan tumpuan dalam menebar benih dan ,inat berkarya sastra.
6. Aruh Sastra, sebagai iven yang telah mentradisi dan merupakan bertemunya stakeholders yang terkait dengan minat berkarya sastra kiranya mampu memainkan peranannya secara lebih efektif dn signifikan.
7. Dunia sastra kini, sejalan dengan paradigma yang telah mengglobal, yakni fenomena dunia maya seperti banyaknya blogger, facebokers, twitter, dan grup-grup penulisan kreatif, maka upaya menebar benih sastra dan meningkatkan minat berkarya sastra dapat dilakukan di situs jejaring sosial, apalagi banyak tokoh sastrawan yang memanfaatkan akun ini untuk melakukan "pembinaan" dan apresiasi bagi para pendatang baru di dunia penulisan kreatif.
8. Tujuan akhir paradigma sastra adalah perilaku. Pendidikan sangat sentral untuk membentuk paradigma ini sejak dini, untuk mengarah pada pemahaman dan menumbuhkan daya cipta, mendukung penciptaan insan yang cerdas ESQnya, untuk menghadapi dan bersesuaian dengan lingkungan dari waktu ke waktu, maka peran pendidikan formal dan nonformal tidak dapat diabaikan. Siswa dan mahasiswa adalah ujung tombak dalam pembinaan minat berkarya sastra.


**** http://www.facebook.com/notes/yessika-susastra/menebar-benih-sastra-di- banua-murakata/210913702286023