Rabu, 29 Juni 2011

Kesastraan Kalsel Sebelum, Semasa dan Sesudah tahun 70-an

Oleh : Arsyad Indradi

Alhamdulillah aku masih menyimpan buku Data-Data Kesenian Daerah Kalsel yang berupa stensilan yang diterbitkan Depdikbud Kan.Wil Prov.Kalsel, Proyek Pusat Pengenbangan Kesenian Kalsel 1975/1976, karena pada tahun 90-an kantor ini terbakar, arsip Data Seni Budaya yang lainnya entahlah apakah dapat diselamatkan. Buku ini sangat penting untuk mengetahui perkembangan kesastraan Kalsel pada masa itu.

Tulisan ini khusus mengetengahkan data perkembangan kesastraan Kalsel merujuk pada buku Data-Data Kesenian Daerah Kalsel tersebut.

Perkembangan kesastraan Kalsel tentu saja tidak terlepas dari perkembangan kesastraan Indonesia, karena sastrawannya ikut memberikan andilnya bagi perkembangan kesastraan Indonesia. Ini tampak dalam periode - periode perkembangannya dari masing- masing periode tersebut. Periode – periode tersebut adalah :
1. Periode Sebelum Perang 2. Periode Pendudukan Jepang / Revolusi Fisik 3. Periode Tahun 50-an 4. Periode Tahun 60-an 5. Periode Tahun 70-an

1. Periode Sebelum Perang

Pada periode ini yang paling menonjol adalah Merayu Sukma ( nama aslinya : Muhammad Sulaiman ). Ada beberapa bukunya yaitu :
Putra Mahkota Yang Terbuang ( roman sejarah ), Yurni Yusri ( roman detektif ), Kunang-Kunang Kuning ( roman detektif ), Sinar Memecah Rahasia ( roman detektif ), Berlindung dibalik Tabir ( roman ), Jiwa yang Disiksa Dosa (roman), dan Jurang Meminta Korban ( roman ). Hampir semua bukunya diterbitkan di Medan. Sayangnya buku-bukunya ini tidak dicetak ulang sehingga sulit didapat. Masa produktifitasnya terhenti ditahun 50-an sampai akhir hayatnya.

Penulis lainnya adalah Arthum Artha karyanya berupa cerpen banyak dimuat di majalah Terang Bulan (Surabaya). Selain cerpen ia menulis roman antara lain : Gadis Zaman Kartini ( Gemilang,1949,Kandangan), Tahanan Yang Hilang ( Pustaka Dirgahayu,1950, Balikpapan), Kepada Kekasihku Rokhayanah ( Mayang Mekar,1951,Banjarmasin). Puisi-puisinya juga bertebaran di majalah Mimbar Indonesia, Siasat/Gelanggang, Indonesia, Pelopor, Mutiara, Zenith,Gajahmada dan lain-lain.

Pada periode ini muncul Maseri Matali (Kandangan) dan puncak karyanya menjelang akhir revolusi fisik sampai tahun 1952. Ia satu-satunya Penyair Kalsel yang disoroti kritikus HB Yassin. Puisi-puisinya umumnya dimuat di Mimbar Indonesia, Pancawarna, Waktu dan Bakhti. Ia dianggap penyair yang kuat pada zamannya. Ia tidak sempat menerbitkan semua karyanya dalam satu antologi. Tetapi setahun setelah ia wafat (1969), sebanyak 15 puisinya dibukukan oleh D.Zauhidhie dkk. dalam judul “ Nyala “ (stensilan).
Muncul di periode ini seperti, M.Yusuf Aziddin, Mugeni Jafri, Haspan Hadna. Karya-karya mereka hampir tak pernah dibaca oleh generasi berikutnya karena di samping tidak banyak juga tidak pernah dibukukan.

2. Periode Pendudukan Jepang / Revolusi Fisik

Disamping sastrawan terdahulu masih berkarya, diperode ini muncul sederetan nama antara lain, Aliansyah Luji ( penyair,prosais, Banjarmasin), Zafri Zamzam ( penyair, Banjarmasin ), H.Ahmad Basuni ( cerpenis, Banjarmasin ), SM Darul ( penyair, Kandangan ), Masdan Rozhani ( penyair, cerpenis, Kandangan ), Asycor Z (Asyikin Noor Zuhri, penyair, Jakarta ).

Yang paling produktif pada periode ini, menjelang dan sesudah tahun 50-an adalah Alinsyah Luji. Banyak puisinya di majalah Mimbar Indonesia, Siasat/Gelanggang, Mutiara dan lain-lain. Romannya antara lain, Memperebutkan Mawar di Candi Agung ( Getaran Masyarakat,1955,Banjarmasin), Intan Berlumur Darah ( Fa.Widya,1956, Bandung ) dalam dua jilid.

Puisi – puisi Asycor Z (Asyikin Noor Zuhri) dan SM Darul dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia menjelang dan sesudah tahun 50-an.

3. Periode Tahun 50-an

Semarak dalam berkarya pada periode ini setelah bermunculan sastrawan-sastrawan muda. Hal ini karena sarana – sarana penerbitan sangat menunjang seperti Mimbar Indonesia, Indonesia, Siasat/Gelanggang, Budaya, Konfrontasi, Merdeka/Genta, Kisah,Roman, Basis, Media, Gajahmada, serta surat kabar baik di Jakarta mau pun di Kalsel sendiri.

Umumnya sastrawan muda tersebut adalah penyair dengan sederetan nama seperti Ramtha Martha nama aslinya Rahmad Marlin ( Martapura ), Darmansyah Zauhidie (Kandangan ), Hijaz Yamani ( Banjarmasin ), Azn.Ariffin ( Banjarmasin ), Yiustan Aziddin ( Banjarmasin ), Dachri Oskandar ( Banjarmasin ), Syamsul Suhud ( Banjarmasin ), Mugeni HM ( Banjarmasin ), Taufiqurrahman ( Banjarmasin ), Syamsul Bachriar AA ( Jakarta ), Abdul Kadir Ahmad ( Banjarmasin ), Syamsiar Seman ( Barabai ), Salim Fachry ( Kandangan ), Ardiansyah M ( Banjarmasin ), Gapfuri Arsyad ( Banjarmasin ), Rustam Effendi Karel ( Banjarmasin ), Korsen Salman ( Banjarmasin ), Imran Mansur ( Banjarmasin ), Gumberan Saleh ( Banjarmasin ), Adham Burhan ( Banjarmasin ), dan Sir Rosihan ( Sayarkawi, Banjarmasin).

Disamping penyair juga cerpenis seperti, Hijaz Yamani, Syamsiar Seman, Adham Burhan, Ramtha Martha dan Yustan Aziddin. Sedang Gumberan Saleh juga menulis novel. Sebelum menulis puisi Yustan Aziddin lebih dulu menulis cerpen untuk “cerita minggu pagi pada RRI Banjarmasin dan juga sandiwara radio. Pada tahun 50-an Ramtha Martha khusus menulis cerpen yang dimuat di “Mimbar Indonesia” dan “Kisah”.

Banyak penulis pada periode ini yang lahir dan tumbuh namun tidak bisa bertahan dan berhenti sama sekali sampai pada periode berikutnya, kecuali beberapa orang seperti D.Zauhidhie, Hijaz Yamani, Ramtha Martha dan Salim Fachry. Sedangkan Yutan Aziddin dan Adham Burhan lama istirahat kemudian berkarya lagi ditahun 70-an. Yustan Aziddin, Adham Burhan dan Hijaz Yamani ikut dalam 19 penyair Banjarmasin ( Panorama,1974, DKD Kalsel ).

Banyak penulis pada periode ini tidak sempat membukukan sendiri hasil karya mereka, kecuali D,Zauhidhie ( Imajinasi ) dan Syamsiar Seman ( Bingkisan Pagi ) dan Gumberan Saleh novelnya ( Affair di Tanjung Silat ).

Syamsiar Seman lebih produktif lagi sampai tahun 2000-an dengan beberapa buah buku baik berupa pantun Banjar, cerita rakyat, Peribahasa Banjar, dan adat istiadat Banjar yang diterbitkan oleh penerbit lokal. Buku-bukunya menjadi bahan ajaran mata pelajaran muatan lokal di sekolah.

Pada tahun 1963 terbit kumpulan puisi “ Perkenalan di dalam Sajak” diterbitkan oleh CV.Himmah Banjarmasin yang diprakarsai oleh Yustan Aziddin dan Syamsul Suhud.
Penyairnya yang tergabung menurut wilayah geografis dan kurun kepenyairannya . Ini merupakan antologi penyair-penyair Kalimantan baik periode pendudukan Jepang/revolusi fisik, 50-an, dan 60-an, serta penyair Kalbar,Kalteng dan Kaltim.

4. Periode Tahun 60-an

Pada periode ini tidak banyak muncul sastrawan baru. Yang muncul seperti, A.Shafwani Ibahy ( Banjarmasin ), Mh.Hadhariah Roch ( Banjarmasin ), Murjani Bawy ( Banjarmasin ), Andi Amrullah (Banjarmasin ). Mereka semua penyair. Mereka tidak sempat membukukan karyanya sendiri kecuali dalam Perkenalan di dalam Sajak. Mh Hadhariah Roch ikut dalam Panorama. Sedangkan Andi Amrullah ketika masih studi di Malang bersama penyair-penyair Jawa Timur dalam kumpulan Laut Pasang ( Pemda Kotapraja Surabaya,1963 ). Kemudian ia menerbitkan sendiri antologi puisinya Demi Buah Tin dan Zaitun (1974).

5. Periode Tahun 70-an

Pada periode ini, sangat terasa hiruk pikuknya kesastraan Kalsel karena bertumbuhannya sastrawan baru dengan ramainya penciptaan sastra terutama puisi. Umumnya karya mereka termuat di harian surat kabar di Banjarmasin seperti bulanan kebudayaan “Bandarmasih” dan rubrik – rubrik “Persepektif” dari Banjarmasin Post, “Dian” pada “Media Masyarakat”, dan juga “Dinamika”, hanya Ayamuddin Tifani dan Eza Thabri Husano di majalah Mimbar dengan ruang budayanya “Matahari”.

Yang muncul pada periode ini : Ayamuddin Tifani ( Banjamasin ), Arsyad Indradi ( Banjarmasin ), Eza Thabri Husano ( Banjarbaru ),Ismed M.Muning nama aslinya Ismail Effendi ( Banjarmasin ), Hamami Adaby ( Banjarbaru ), Ibramsyah Barbary ( Banjarmasin ), A.Rasidi Umar ( Banjarmasin ), Sabri Hermantedo ( Banjarmasin ), Backtiar Sanderta ( Banjarmasin ), Ajim Ariyadi ( Banjarmasin ), Swastinah MD ( Banjarmasin ), Ulie S.Sebastian ( Banjarmasin ), A.Ruslan Barkahi ( Negara ), Arifin Hamdie ( Banjarmasin ), A.Mujahiddin S ( Banjarmasin ), S.Surya ( Banjarmasin ), Ibrahim Yatie ( Banjarmasin ), A.Rachman ( Banjarmasin ), M.Armin Azhardhie ( Banjarmasin ), Johan Kalayan ( Banjarmasin ), Abdul Karim Amar ( Banjarmasin ), Abdussamad SA ( Negara ),

Kemudian sederetan nama tersebut di atas, menyusul nama-nama seperti, Nayan Muhamad (Yan Pieter AK,Banjarmasin ), Hamberan Syahbana ( Hamberan Basuwinda, Banjarmasin ), Haderawi Yose ( Banjarmasin ), A’ans Anjar Asmara ( Banjarmasin ), Annie Mienty ( Banjarmasin ), Masry A.Gani ( Pagatan/Kotabaru), Amiddin B.Fuad ( Pleihari ), Amansyah Noor ( Negara ), Suriansyah Ramli ( Banjarbaru ), A.Chair Karim ( Banjarbaru ), RA Benawa ( Banjarbaru ), T.Noor Is. Amendy ( Banjarbaru ), Hanna ( Banjarbaru ), Muhammad Rais Salam ( Banjarbaru ), Akhmad Fajeri Astanti ( Banjarbaru ), A.Syahrani Hasyim ( Banjarbaru ), M.Hasfiany Sahasby ( Banjarbaru ), Roek Syamsuri ( Banjarbaru ), Ada sebelas penyair Banjarbaru termasuk Eza Thabri Husano dan Hamami Adaby menghimpun puisinya dalam antologi Puisi Banjarbaru Kotaku yang diterbitkan oleh DKD Banjarbaru.

Penyair - penyair Amuntai HSU juga menghimpun puisinya dalam sebuah antologi puisi Antologi Sajak 10 Penyair Hulu Sungai Utara diterbitkan oleh DKD HSU, yang tergabung di dalamnya yaitu Yusni Antemas, Rosdiansyah Habib, Darmawinata, Amir Husaini Zamzam, Rachman Rosdhy, Alfisamadhi, Asmuri Aman, M.Umairan Baqir, dan Amir Hasan Arsya.

Mereka yang tergolong dalam periode ini disamping aktif menulis puisi juga aktif menulis naskah Drama seperti Ajim Ariyadi, Hamberan Syahbana ( Drama dan cerpen ), Backtiar Sanderta ( teater Tradisional dan cerpen), Ismed M.Muning (teater tradisional) dan Swastinah MD menulis cerpen.

Sesudah tahun 70-an yakni kurun waktu tahun 80-an, tahun 90-an dan sampai pada tahun 2000-an, sastrawan yang tergolong periode 70-an ini kreatifitas penulisannya mulai menurun bahkan ada yang berhenti sama sekali, masa istirahat, dan ada yang meninggal dunia. Sayangnya mereka baik yang berhenti, masa istirahat mau pun yang meninggal dunia tidak sempat membukukan karya-karyanya antara lain, Ayamudin Tifani setelah meninggal dunia ( 23.09.1951- 06.05.2002 )baru sastrawan lain mencari dan mengumpulkan karyanya yang berserakan disana-sini, kemudian menghimpunnya dalam sebuah antologi puisi Tanah Perjanjian ( Hasta Mitra bekerjasama dengan Yayasan Bengkel Seni’78 Jakarta,2005 ).

Kemudian yang tergolong periode tahun 70-an yang eksis berkarya sampai tahun 2000-an antara lain, Arsyad Indradi, Hamami Adaby dan Eza Thabri Husano. Hamami Adaby ada beberapa karya puisinya yang dibukukan berupa antologi puisi tunggalnya : Desah (84), Iqra (97), Nyanyian Seribu Sungai (2001), Kesumba (2002), Bunga Angin (2003), Dermaga Cinta (2004), Kaduluran ( Puisi Bahasa Banjar,2006). Dan karya bersama antara lain : Banjarbaru Kotaku (74), Dawat (82), Bunga Api (94), Bahalap (95), Pelabuhan (96), Jembatan Asap ( 97), Bentang Bianglala (98),Cakrawala (2000), Tiga Kutub Senja ( Arsyad Indradi,Eza Thabri Husano,Hamami Adaby,2001), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Bula Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman (2004), Baturai Sanja ( Bhs Banjar,2004),Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005),Garunum (2006). Menerima Penghargaan Seniman Sastra dari Walikota Banjarbaru (2004).

Eza Thabri Husano ada beberapa karya puisinya yang dibukukan berupa antologi puisi tunggalnya : Rakit Bambu (1984), Surat Dari Langit ( 1985), Clurit Dusun (1993), Aerobik Tidur (1996). Dan karya bersama antara lain : Banjarbaru Kotaku (74), Dawat (82), Bunga Api (94), Getar (Bulsas Kreatif Kota Batu Jatim (1995), Getar II (Bulsas Kreatif Kota Batu Jatim, 1996), Bangkit III (Bulsas Kreatif Kota Batu Jatim,1996), Bentang Bianglala (98),Datang Dari Masa Depan (1999), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir 2000), Cakrawala (2000), Tiga Kutub Senja ( Arsyad Indradi,Eza Thabri Husano,Hamami Adaby,2001), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002), Sajadah Kata (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Bulan Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman (2004), Baturai Sanja ( Bhs Banjar,2004),Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005). Menerima Penghargaan Seni Bidang Sastra dari Gubernur Provensi Kalsel,1996 dan Penghargaan dari Walikota Banjarbaru bidang Sastra, 2004.

Arsyad Indradi baru dapat menghimpun karya puisinya dalam bentuk antologi puisi tunggalnya : Nyanyian Seribu Burung ( KSSB, 2006 ),
Puisi Bahasa Banjar dan Terjemahan Bahasa Indonesia “Kalalatu “ ( KSSB, 2006 ), Romansa Setangkai Bunga ( KSSB, 2006 ), Narasi Musafir Gila ( KSSB, 2006 ), Anggur Duka ( KSSB,2009), Puisi Bahasa Banjar dan Terjemahan Bahasa Indonesia “Burinik” (KSSB,2009), Kumpulan Esai dan Artikel dari beberapa sastrawan Indonesia dengan tajuk : Risalah Penyair Gila (KSSB,2009)
Antologi Puisi bersama antara lain :
Jejak Berlari ( Sanggar Budaya, 1970 ), Edisi Puisi Bandarmasih, 1972, Panorana (Bandarmasih, 1972), Tamu Malam ( Dewan Kesenian Kalsel, 1992), Jendela Tanah Air ( Taman Budaya /DK Kalsel, 1995), Rumah Hutan Pinus ( Kilang Sastra, 1996),Gerbang Pemukiman ( Kilang Sastra, 1997 ), Bentang Bianglala ( Kilang Sastra,1998), Cakrawala ( Kilang Sastra, 2000 ), Bahana ( Kilang Sastra, 2001 ), Tiga Kutub Senja ( Kilang Sastra, 2001 ), Bulan Ditelan Kutu ( Kilang Sastra, 2004 ),Bumi Menggerutu ( Kilang Sastra, 2004 ), Baturai Sanja ( Kilang Sastra, 2004 ),Anak Jaman ( KSSB, 2004 ), Dimensi ( KSSB, 2005 ), Seribu Sungai Paris Barantai (2006),Penyair Kontemporer Indonesia dalam Bhs China (2007),Kenduri Puisi Buah Hati Untuk Diah Hadaning (2008),Tarian Cahaya Di Bumi Sanggam (2008),Bertahan Di Bukit Akhir (2008),Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009),Konser Kecemasan (2010). Pada tahun 2006 menghimpun puisi dari Penyair Se Nusantara dalam antologi Puisi Penyair Nusantara : “ 142 Penyair Menuju Bulan (KSSB,2006).
Anugrah yang pernah diterima bidang :
Tari dari Majelis Bandaraya Melaka Bersejarah pada Pesta Gendang Nusantara VII Malaysia (2004), Tari dari Majelis Bandaraya Melaka Bersejarah pada Pesta Gendang Nusantara XII Malaysia (2009),
Tari dari Walikota Banjarbaru (2004), Pengawas Seni Budaya Berprestasi I Kabupaten Banjar dan Provinsi Kalimantan Selatan (2009),. Sastra dari Walikota Banjarbaru (2010) dan Sastra dari Gubernur Prov.Kalsel (2010)

Hamberan Syahbana dan Ibramsyah Barbary lama tidak muncul, pada tahun 2008 mereka kembali menulis dan aktif mengikuti kegiatan sastra di Kalsel. Hamberan Syahbana sudah beberapa cerpen ditulisnya, disamping menulis esai dan artikel kesastraan dan juga puisi, sedang Iberamsyah Barbary menghimpun puisinya yang ditulisnya dari tahun 1963 – 2011 dalam antologi puisinya Perjalanan ke Istana Putih. Hamberan Syahbana menerima penghargaan bidang Teater oleh Gubernur Provinsi Kalsel,2010.

Demikianlah periodesasi Perkembangan Kesastraan Kalimantan Selatan walau secara singkat namun inilah sebagai perspektif perjalanan Kesastraan Kalimantan Selatan yang hidup dan berkembang dari masa kemasa.

Banjarbaru, 25 Juni 2011

Sabtu, 25 Juni 2011

ME
NEBAR BENIH SASTRA DI BANUA MURAKATA


oleh Yessika Susastra

INI catatan ringan sebagai bahan untuk sebuah iven sastra "Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII di Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 16--19 September 2011. Catatan ringan ini sengaja dibuat selagi ada kesempatan, dan tentu saja perlu masukan dan saran dari pembaca budiman demi sesuatu yang lebih bermanfaat dan mendatangkan martabat bagi pergerakan sastra. Judul catatan ini, sepenuhnya menuruti tema yang diusung oleh panitia penyelenggara. Lantaran belum ada deskripsi lengkap mengenai maksud dan tujuan hajatan Aruh Sastra (setidaknya belum membaca TOR), saya masih meraba-raba apakah yang sebaiknya dikemukakan dalam iven tahunan yang mulai melegenda itu.
Agar pembaca memiliki gambaran betapa aktivitas sastra di Kalimantan Selatan selama ini, akan saya nukilkan historisitas jejak kesastrawanan Kalimantan Selatan, setelah itu barulah saya coba kemukakan kiat atau strategi "menebar benih sastra di Banua Murakata".
Pergerakan Sastrawan Kalsel
Sastra Indonesia di Kalimantan Selatan sesungguhnya sudah mulai dilakukan sebelum perang dunia kedua, di sekitar pertengahan atau akhir tahun 1930-an, atau hampir bersamaan dengan kurun waktu kegiatan penulisan yang dilakukan oleh para sastrawan Angkatan 1930-an (Angkatan Pujangga Baru). Meskipun pada kurun waktu awal penulisan para sastrawan Kalsel tidak setenar Angkatan Pujangga Baru, karena mereka umumnya menulis pada penerbitan (majalah dan koran) lokal, tidak sebagaimana sastrawan Angkatan Pujangga Baru yang menciptakan karya-karyanya yang menjadi karya monumental karena menulis dalam majalah Pujangga Baru – satu-satunya penerbitan penting yang memuat karya sastra para sastrawan di zamannya. Para sastrawan Kalsel yang memulai kegiatan penulisan karya sastra ini antara lain Merayu Sukma, Anggraini Antemas (Yusni Antemas), M. Yusuf Aziddin, Artum Artha, Ramlan Marlim, Hadharyah M, Merah Danil Bangsawan, dan lain-lain. Mereka juga telah mempunyai sejumlah buku, baik yang diterbitkan Kalsel atau usaha sendiri, maupun di luar Kalsel.
Dapat dikemukakan bahwa setiap periodisasi sastra Indonesia, sastrawan Kalsel melibatkan diri. Pada kurun waktu 1942 s.d. awal 1950-an bermunculan pula karya para sastrawan Kalsel baik dari mereka yang menulis sebelum tahun 1940-an maupun mereka yang baru memublikasikan karyanya dalam peeiode ini, seperti Artum Artha yang produktif memublikasikan karya puisi, cerpen dan romannya di media massa berwibawa di Jakarta seperti majalah Mimbar Indonesia dan Siasat/Gelanggang. Sederet nama lain yang juga intensif menulis dan memublikasikan puisi-puisinya ke majalah Mimbar Indonesia, Waktu, Pantja Warna, dll. adalah Maseri Matali, Asyikin Noor Zuhri, Masrin Mastur, dll. Penyair Maseri Matali sendiri sempat disinggung oleh Paus Sastra H.B. Jassin dalam bukunya Tifa Penyair dan Daerahnya sebagai salah seorang penyair berbakat dari pedalaman Kalimantan yang bersahut-sahutan dengan generasi seangkatannya (Angkatan 45).
Setelah Angkatan 45, sastrawan Kalsel yang muncul dan mulai aktif menulis dalam berbagai genre penulisan; puisi cerpen, novel ialah Hijaz Yamani, Ramta Martha (Rahmat Marlim), Azn. Ariffin, Dachry Oskandar, D. Zauhidhie, Taufiqurrahman, Yustan Aziddin, Salim Fachry, Sholihin Hasan, Aliansyah Ludji, Rustam Effendi Karel, Korsen Salman, Imran Mansyur, Abdul Kadir Ahmad, Syamsul Suhud, Syamsul Bahriar AA, Syamsiar Seman, Goemberan Saleh, Sir Rosihan, dll. Karya para sastrawan ini dipublikasikan di berbagai majalah dan surat kabar terbitan lokal dan Jakarta, seperti Pahatan, Pusparagam, Bandarmasin, Minggu Pagi, Mimbar Indonesia, Kisah, Budaya Jaya, Zenith, Siasat, Gembira, Gajah Mada, Indonesia, Horison, Roman, Cerita, Konfrontasi, dan lain.lain.
Dekade 1960-an di tanah air diwarnai oleh munculnya dualisme angkatan, yakni Angkatan 63 atau Angkatan Manifes yang dicetuskan oleh Satyagraha Hoerip dan Angkatan 66 yang dideklarasikan oleh H.B. Jassin. Pada tahun 1963 telah terjadi apa yang disebut Manifes Kebudayaan yang banyak didukung oleh para sastrawan yang anti-komunis di tanah air. Di antara para pencetus dan penandatangan Manifes Kebudayaan ini di Jakarta adalah H.B. Jassin, Wiratmo Sukito, Goenawan Mohamad, dll. Sedangkan para manifestan di Kalimantan Selatan terdapat pula para sastrawan seperti Yustan Aziddin dan Rustam Effendi Karel. Sastrawan Kalsel lainnya yang di tahun 1960-an itu bermukim di Jawa Timur yaitu Hijaz Yamani dan Andi Amrullah juga mendukung dan ikut menandatangani Manifes Kebudayaan tersebut. Dan para sastrawan Kalsel yang produktif dan muncul dalam dekade 60-an ini antara lain M.H. Hadharyah Roch, A.S. Ibahy, Ardiansyah M, Murjani Bawi, Bachtar Suryani, Gusti Muhammad Farid, dan lain-lain. Pada 1963 untuk pertama kali terbit antologi puisi penyair se-Kalimantan Perkenalan di Dalam Sajak Penyair Kalimantan. Kemudian terbit pula beberapa antologi puisi perorangan dari penyair D. Zauhidhie (Imajinasi, 1960), Bachtar Suryani (Kalender, 1967), Syamsiar Seman (Bingkisan, 1968), dan Maseri Matali (Nyala, 1968).
Perkembangan sastra(wan) dekade 1970-an di Kalimantan Selatan terbilang sangat pesat dan menggembirakan, sebagaimana hingar-bingarnya percaturan sastra di tanah air. Terutama di Kalsel, kenyataan perkembangan yang menggembirakan ini dirayakan lagi dengan dibentuknya lembaga atau organisasi kesenian seperti Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kalimantan Selatan (kini menjadi Dewan Kesenian Kalimantan Selatan) yang digagas pada Musyawarah Seniman (Musen) pertama se-Kalimantan Selatan, 28 April s.d. 2 Mei 1971 di kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara. DKD Kalsel periode pertama ini diketuai oleh seniman dan politisi Anang Adenansi. Kemudian berturut-turut di berbagai kota dan kabupaten lainnya di Kalsel juga mendirikan dewan kesenian. Dan melalui program komite sastranya, DKD Kalsel menerbitkan majalah bulanan kebudayaan Bandarmasih, penerbitan rutin antologi puisi bersama maupun perorangan, antara lain Panorama, Bandarmasih, Jembatan, Jembatan II, Air Bah, 10 Penyair Hulu Sungai Utara, Banjarbaru Kotaku, Penjuru Angin, Riak-riak Barito, dll. Tahun 1978, Pustaka Jaya Jakarta menerbitkan antologi puisi Tanah Huma dari tiga penyair Kalsel, D. Zauhidhie, Yustan Aziddin, dan Hijaz Yamani. Demikian pun sayembara penulisan puisi dan even lomba deklamasi dan baca puisi secara rutin diselenggarakan dan diprakarsai DKD Kalsel.
Para sastrawan yang muncul pada dekade ini adalah Ajamuddin Tifani, Eza Thabry Husano, Arsyad Indradi, Hamami Adaby, M. Syarkawi Mar’ie, Yuniar M. Ary, A. Rasyidi Umar, Bakhtiar Sanderta, Sabrie Hermantedo, Andi Amrullah, Ibrahim Yati, Soufyan Surya, A. Mudjahidin S, Ulie S. Sebastian, Ibramsyah Amandit, Adjim Arijadi, Roeck Syamsuri Saberi, A. Dimyati Riesma, Rizhanuddin Rangga, Syarkian Noor Hadie, Johan Kalayan, Yan Pieter A.K. (Nayan van Houten), Dardy C. Hendrawan, Mas Husaini Maratus, Ahmad Fahrawi, Tarman Effendi Tarsyad, Burhanuddin Soebely, dan lain-lain. Oleh karena aktivitas bersastra di Kalsel kemunculannya lebih awal, maka penulisan sastra di daerah ini tumbuh dan berkembang lebih pesat dibandingkan provinsi lainnya di Kalimantan. Dan sebagai salah satu kantong kesusastraan di Indonesia, Kalimantan Selatan memiliki sastrawan-sastrawan yang kreatif dan eksis dengan karya-karya sastranya yang tidak kalah kualitasnya dengan karya para sastrawan luar Kalsel. Karya para sastrawan Kalsel baik secara kuantitas maupun kualitas tidak hanya hadir sebagai khasanah lokal (Kalsel), tetapi juga memberi kontribusi bagi masyarakat dan perkembangan sastra Indonesia modern. Bila ada anggapan bahwa Kalsel adalah gudang sastrawan, hal itu tak bisa dimungkiri dan stigma itu masih melekat hingga hari ini.
Dekade awal 1980-an hingga pertengahan 1990-an – untuk sementara – diklaim sebagai ‘puncak’ pertumbuhan ataupun perkembangan sastra di Kalimantan Selatan. Namun di dua dekade ini karya sastra yang paling dominan hadir adalah genre puisi. Hal ini terbukti dari jumlah karya sastra (sajak) dan penyair Kalsel yang muncul ke permukaan. Menurut sastrawan dan kritikus sastra Korrie Layun Rampan, bukan hanya perkembangan kuantitas sastrawan dan karya sastra, tapi juga perkembangan kualitas sastra sangat pesat di Kalsel. Rubrik-rubrik sastra di media cetak lokal maupun nasional didominasi oleh puisi. Khususnya untuk publikasi karya puisi, cerpen, cerber, dan esai di media cetak lokal, para sastrawan Kalsel merasa terbantu dengan kehadiran rubrik sastra di harian Banjarmasin Post, Media Masyarakat, dan Dinamika Berita (sekarang Kalimantan Post). Lebih spektakuler lagi, harian Banjarmasin Post – koran tertua di Kalimantan yang kini merger dengan harian Kompas – merupakan satu-satunya penerbitan di dunia – berdasarkan klaim Ajip Rosidi – yang berani menyajikan rubrik puisi bernama Dahaga untuk sosialisasi karya para penyair. Sedemikian banyaknya penyair yang menulis untuk Dahaga, sehingga pada setiap hari pemunculannya rubrik ini dijejali oleh sajak dan sangat luar biasa dalam melahirkan penyair – tentu dengan klasifikasi; penyair yang sajaknya berkualitas dan tidak berkualitas. Secara representatif dapat digambarkan, bahwa sepanjang tahun 1981 saja tercatat sebanyak 251 orang penyair yang menulis untuk Dahaga dengan jumlah sajak tak kurang dari 2.336 buah (berdasarkan data penelitian pengamat sastra Kalsel, Tajuddin Noor ganie). Rubrik puisi Dahaga yang sempat bertahan sekitar 7 tahun (1978-1985) ini digawangi oleh tiga serangkai sastrawan, yaitu Yustan Aziddin (Wapemred. Banjarmasin Post), D. Zauhidhie, dan Hijaz Yamani (ketiganya kini sudah almarhum). Tumbuh suburnya perpuisian – hingga muncul anggapan Kalsel mengalami inflasi puisi dan kepenyairan – di Kalsel juga memacu antarpenyair untuk saling berkompetisi menerbitkan sajak-sajaknya, baik secara perseorangan maupun secara kolektif bersama penyair luar Kalsel yang diterbitkan Banjarmasin, Surabaya, Jakarta, Jogjakarta, Bandung, Tasikmalaya, Padang, dan beberapa kota lainnya, hingga Brunei Darussalam dan Malaysia. Bahkan pada dekade 1980-an itu pula – berdasarkan hasil penelitian tak resmi penyair Jogja, Bambang Widiatmoko – Kalsel diklaim menduduki peringkat kedua dalam kategori populasi penyair terbanyak di Indonesia setelah Jogjakarta.
Even-even sastra seperti forum diskusi atau temu sastrawan juga marak diselenggarakan di berbagai kota dan kabupaten di wilayah Kalsel. Forum sastra paling monumental di era 1980-an adalah Fo-rum Penyair Muda 8 Kota se-Kalimantan Selatan 1982, yang digagas oleh komunitas penyair bernama Himpunan Penyair Muda Banjarmasin (HPMB). Sastrawan/penyair yang menonjol dengan wawasan estetik puisi dan menemukan gaya pengucapan atau bahasanya sendiri serta beberapa di antaranya memiliki reputasi kepenyairan nasional pada dekade ini, antara lain Ajamuddin Tifani,Ahmad Fahrawi,Burhanuddin Soebely, Tarman Effendi Tarsyad (walaupun awal ke-munculan keempat sastrawan ini pada dekade 1970-an, tapi oleh Abdul Hadi WM di Forum Puisi Indonesia ’87 di TIM dikategorikan sebagai generasi penyair 80-an), Y.S. Agus Suseno, M.Rifani Djamhari, Noor Aini Cahya Khairani, Ali Syamsuddin Arsi, Ariffin Noor Hasby, Sandi Firly, Fahruraji Asmuni, Eddy Wahyuddin SP, Muhammad Radi, Zain Noktah, Kony Fahran (kini bermukim di Tenggarong, kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim), Jamal T. Suryanata, Eko Suryadi WS, Abdul Karim, Tajuddin Noor Ganie, Radius Ardanias, Maman. S. Tawie, Iwan Yusi, Micky Hidayat, Akhmad setia Budhi, Aria Patrajaya, Sri Supeni, Mas Alkalani Muchtar, dan lain-lain untuk menyebut hanya beberapa nama. Iklim bersastra yang terbilang kondusif dan bergairah pada dekade 80-an dan 90-an tersebut boleh dikata merupakan era kebangkitan sastra Kalsel dengan ledakan-ledakan kreativitas yang telah berimplikasi melahirkan sejumlah sastrawan dengan kapasitas intelektual dan kegigihan idealisme yang cukup penting diperhitungkan pada khasanah sastra Indonesia.
Pertengahan 1990-an hingga memasuki abad 21, yaitu awal 2000-an hingga 2008 ini, walaupun iklim bersastra di Kalsel tidak sesemarak dekade sebelumnya, namun denyut kehidupan dan kegairahan para sastrawan untuk berkarya masih tetap terasa dan tidak pernah mengalami stagnasi atau kemandekan. Para sastrawan terkini dari generasi 2000-an yang sedang berproses, kreatif serta produktif dan mulai bermunculan ikut menyumbangkan bentuk, warna dan pengucapan literer, dan mereka pun bersemangat merayakan kreativitas bersastra, bersaing bersama sastrawan generasi 1990-an serta disokong oleh sastrawan dari generasi 1980-an dan beberapa dari generasi 1970-an yang masih menunjukkan vitalitas berkarya. Sederet nama sastrawan baru generasi pertengahan 1990 hingga 2000-an ini antara lain: Sainul Hermawan, M. Hasbi Salim, Harie Insani Putra, Abdurrahman Al Hakim, Abdurrahman El Husaini, Isuur Loeweng, M. Nahdiansyah Abdi, Hajriansyah, Elang W. Kusuma, Aliman Syahrani, Shah Kalana Al-Haji, Hardiansyah Asmail, Andi Jamaluddin AR. AK., Fahmi Wahid, Fitriadi, M. Fitran Salam, Joni Wijaya, dll. Para sastrawan ini menulis dalam berbagai genre, seperti puisi, cerpen, esai, dan novel. Pada dekade ini bermunculan pula para penulis perempuan yang rata-rata masih berstatus mahasiswi dan aktivis seni di kampusnya, di antaranya: Nonon Jazouly, Dewi Alfianti, Hudan Nur, Nina Idhiana, Syafiqotul Machmudah, Rahmatiah, Ratih Ayuningrum, Nailiya Nikmah, Anna Fajarona, Endang Fitriani, Rismiyana, Annisa, dan Helwatin Najwa. Karya-karya berupa puisi, cerpen, dan esai sastra para perempuan muda yang pintar, cerdas dan memiliki potensi hebat ini semakin menunjukkan adanya upaya masing-masing mereka untuk mengeksplorasi sumber-sumber penciptaan yang beraneka-warna, dan menjelajahi berbagai kemungkinan bentuk maupun gaya pengucapan. Dan kehadiran maupun peran para sastrawan generasi baru ini setidaknya turut pula memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Kalsel. Tetapi, berkaca pada pengalaman, hanya sastrawan yang memang benar-benar mempunyai ketangguhan dan kesungguhan yang terus-menerus untuk menciptakan karya yang berkualitas secara estetik maupun tematik, gigih dan konsisten, memperlakukan kerja sastra yang identik dengan ‘kekerasan’, ‘kekejaman’, dan ‘berdarah-darah’ yang kemudian mampu mempertahankan eksistensi kesastrawanannya.
Sepanjang tahun 1980 hingga 1990-an, kesusastraan Indonesia mutakhir dilanda hiruk-pikuk dengan terjadinya ledakan-ledakan luar biasa dahsyatnya sehubungan dengan gerakan sastra secara kolektif yang memunculkan komunitas budaya atau komunitas sastra di berbagai wilayah di Indonesia. Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP), Komunitas Budaya Buruh Tangerang (BUBUTAN), Roda-Roda Budaya Tangerang, Komunitas Sastra Tegal, untuk menyebut hanya beberapa nama, merupakan gerakan sastra yang mencuat sebagai fenomena pertumbuhan sastra yang menarik. Bahkan di tahun 90-an keberadaan KSI dan RSP menjadi perbincangan dan diangkat sebagai polemik panjang di berbagai media massa nasional. Menjamurnya komunitas sastra yang diklaim sebagai lahirnya “pusat-pusat” pergerakan sastra baru ini berbarengan dengan ramainya polemik tentang “marjinalisasi” sastra Indonesia dan peran para sastrawan akibat sistem penunjang kreativitas yang sangat tidak memadai. Tumbuhnya komunitas-komunitas sastra ini tak dimungkiri menimbulkan pula konsekuensi interpretatif beragam baik positif maupun sinisme. Namun yang pasti, kehadiran komunitas-komunitas sastra alternatif ini di samping ingin memperbaiki berbagai ketimpangan yang ada dalam perangkat sistem sastra di Indonesia, tampaknya dimaksudkan juga sebagai upaya ‘perlawanan’ atau ‘pembangkangan’ para sastrawan yang merasa terpinggirkan terhadap pusat-pusat kekuasaan yang melakukan penetrasi terhadap dunia sastra, dalam konteks ini negara, media massa, sekaligus mendobrak arogansi sentralisme dan monopoli para sastrawan mapan yang bertahta di pusat kesenian seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)nya. Dalam pandangan kreatif, lahirnya komunitas sastra merupakan penentangan terhadap legitimasi dan kewibawaan pemegang otoritas sastra di pusat – yang sebelumnya dapat dianggap sebagai penghalang kreativitas.
Bagi sastrawan Kalimantan Selatan, menjamurnya komunitas sastra di berbagai wilayah tanah air sesungguhnya bukan sesuatu yang asing. Di awal 1980-an – selain komite sastra di Dewan Kesenian Kalsel, bidang seni sastra di Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Kalsel, dan Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalsel serta cabang-cabang HIMSI di berbagai kota dan kabupaten – khususnya Banjarmasin sebagai ibu kota provinsi, sudah memiliki komunitas sastrawan bernama Himpunan Penyair Muda Banjarmasin (HPMB). Kehadiran HPMB yang didirikan pada tahun 1981 oleh para aktivis sastra – terutama para penyair muda kreatif, gigih, punya daya gerak dan cukup militan – ini merupakan fenomena tersendiri bagi perjalanan dan persentuhan proses kreatif kepenyairan Kalsel.
Salah satu forum sastra yang terbilang fenomenal pernah diselenggarakan komunitas ini adalah Forum Penyair Muda 8 Kota se-Kalimantan Selatan 1982 dan Forum Siklus 5 Penyair Banjarmasin di Banjarmasin. Kiprah komunitas ini sempat mengalami kevakuman selama beberapa tahun karena berbagai kesibukan para penggiatnya di luar komunitas. Akhirnya pada pertengahan tahun 1980-an, komunitas ini bubar dengan sendirinya.Walaupun komunitas penyair ini hanya tinggal nama, namun kiprah, andil ataupun sumbangsihnya dalam meramaikan dan merayakan rumah besar sastra di Kalsel bahkan turut pula mewarnai peta sastra tanah air patutlah untuk diapresiasi dan senantiasa dikenang.
Setelah komunitas penyair (HPMB), pada pertengahan tahun 1980-an dunia sastra Kalsel disemarakkan lagi dengan bertumbuhannya komunitas sastra di berbagai daerah kabupaten dan kota, baik yang terorganisir maupun organisasi informal. Namun atmosfer yang tercipta dari komunitas tersebut tentu berpengaruh positif bagi perkembangan dan pertumbuhan sastra di masing-masing wilayah komunitas itu berada. Di Banjarmasin berdiri Bengkel Sastra Banjarmasin, Sanggar Sastra Mandiri, Busur Sastra dan Teater Balambika (BSTB), Lingkaran Sastra Mozaika, Forum Diskusi Sastra Poetica (bermarkas di Taman Budaya Kalsel), Keluarga Penulis Banjarbaru, Dapur Seni Amandito (Kota Banjarbaru), Sanggar Marta Intan (Martapura, Kabupaten Banjar), Posko La Bastari (Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan), Sanggar Sastra Sukmaraga (Kabupaten Hulu Sungai Utara), Sanggar Sastra Mandastana, Sanggar Riak-riak Barito (Kabupaten Barito Kuala), Sanggar Anggrek Harivi (Kabupaten Tanah Laut), Pusat Olah Seni Sastra Kotabaru, Sanggar Bamega 88 (Kabupaten Kotabaru), dan Himpunan Penulis, Pengarang dan Penyair Nusantara (HP3N) Korwil Kalsel. Dari puluhan organisasi komunitas yang berbentuk formal maupun nonformal ini sebagian besar juga tinggal nama alias bubar tanpa alasan yang jelas.
Dekade 1990-an hingga 2000-an, bermunculan pula komunitas-komunitas sastra di berbagai kantong budaya yang pertumbuhan dan perkembangan sastranya cukup meriah. Seperti di kota Banjarbaru berdiri komunitas Kilang Sastra Batu Karaha, Forum Taman Hati, Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, Front Budaya Godong Kelor, Rumah Sastra Pelanduk, serta Sanggar Ar Rumi dan Sanggar Matahari, X-Pas Borneo (ketiganya di kota Martapura, kabupaten Banjar), dan beberapa komunitas sastra lainnya, baik yang berjalan sendiri maupun berkelompok. Sederet komunitas yang frekuensi kegiatan bersastranya cukup tinggi di beberapa kampus perguruan tinggi negeri maupun swasta dan bermunculannya Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) di beberapa sekolah menengah atas di Kalsel yang diprakarsai majalah sastra Horison, juga tak bisa diabaikan perannya. Namun dalam perjalanannya, di antara komunitas ini hanya beberapa yang mampu bertahan hidup hingga hari ini.
Menebar Benih Sastra, Meningkatkan Minat Berkarya Sastra
Langkah strategis dalam upaya menebar benih sastra dan meningkatkan minat berkarya sastra perlu dilakukan secara bersama-sama oleh stakeholders, seperti dikemukakan dalam poin-poin berikut:
1. Stakeholders seni budaya (Gubernur, angota DPRD, instansi seni, dan seniman serta budayawan) perlu bersinergi menyatukan langkah dan persepsi untuk membina dan mengembangkan potensi seni sastra. Pembina seni sastra perlu menyusun program peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui berbagai kegiatan sarasehan, seminar, pelatihan, dan bimbingan teknis. Dalam upaya pembinaan seni sastra ini kiranya perlu dimksimalkan peran lembaga atau organisasi sastra yang dapat mewadahi kiprah sastrawan dan masyarakat dalam berkarya. Masuk dalam pembinaan ini perlu didirikan sekolah seni, baik tingkat sekolah menengah maupun sekolah tinggi.
2. Materi pembinaan meliputi sastra yang berakar pada budaya daerah dan berssinergi dengan seni arsitektur, seni batik, seni tari, seni musik, seni teater, seni kerajinan, seni desain grafis, seni film, seni rupa, dan seni budaya tradisi di setiap daerah di kabupaten di Kalimantan Selatan.
3. Pembina seni sastra seyogianya dapat memainkan peranannya masing-masing dan secara bersama-sama memajukan seni sastra ke kancah yang lebih luas (regional, nasional, internasional) dengan prinsip think globaly, act localy (berwawasan global, bertindak lokal) seperti falsafah di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
4. Pelaku seni sastra terus berkarya. Aktivitas pelaku seni sastra ini perlu difasilitasi sepantasnya. Pelaku seni sastra ini meliputi organisasi seperti sanggar seni dan aktivitas individual sastrawan. Pelaku ini dalam melaksanakan aktivitasnya perlu dukungan perhatian dan financial yang memadai dan pemberian penghargaan khusus bagi pelaku seni dan budaya oleh pemerintah adalah merupakan hal yang sepantasnya.
5. Jalur pendidikan formal dan nonformal, termasuk pelatihan dan sanggar kerja yang terjdwal penting pula dijadikan tumpuan dalam menebar benih dan ,inat berkarya sastra.
6. Aruh Sastra, sebagai iven yang telah mentradisi dan merupakan bertemunya stakeholders yang terkait dengan minat berkarya sastra kiranya mampu memainkan peranannya secara lebih efektif dn signifikan.
7. Dunia sastra kini, sejalan dengan paradigma yang telah mengglobal, yakni fenomena dunia maya seperti banyaknya blogger, facebokers, twitter, dan grup-grup penulisan kreatif, maka upaya menebar benih sastra dan meningkatkan minat berkarya sastra dapat dilakukan di situs jejaring sosial, apalagi banyak tokoh sastrawan yang memanfaatkan akun ini untuk melakukan "pembinaan" dan apresiasi bagi para pendatang baru di dunia penulisan kreatif.
8. Tujuan akhir paradigma sastra adalah perilaku. Pendidikan sangat sentral untuk membentuk paradigma ini sejak dini, untuk mengarah pada pemahaman dan menumbuhkan daya cipta, mendukung penciptaan insan yang cerdas ESQnya, untuk menghadapi dan bersesuaian dengan lingkungan dari waktu ke waktu, maka peran pendidikan formal dan nonformal tidak dapat diabaikan. Siswa dan mahasiswa adalah ujung tombak dalam pembinaan minat berkarya sastra.


**** http://www.facebook.com/notes/yessika-susastra/menebar-benih-sastra-di- banua-murakata/210913702286023

Kamis, 23 Juni 2011

DAFTAR NAMA PENYAIR/PESERTA PPN V DI PALEMBANG


Panitia penyelenggara PPN V di Palembang, 16-19 Juli 2011 menargetkan 200 peserta yang diundang sebagai peserta PPN V, sbb :

INDONESIA (149):

1. AA. Ajang
2. Ganjar Sudibyo
3. A. Rahim Qahhar
4. Abdul Latif Apriaman
5. Abdul Salam. Hs
6. Abduhrrahman El Husaini
7. Abidah El Khaleqi
8. Acep Syahril
9. Acep Zamam Noor
10. Afrion
11. Agit Yogi Subandi
12. Ahmad Kekal Hamdani
13. Ahmmad Wayang
14. Ahmadun Yosi Herfanda
15. Akaha Taufan Aminuddin
16. Akidah Gauzillah
17. Alex R Nainggolan
18. Ali Syamsudin Arsi
19. Alizar Tanjung
20. Alya Salaisha Shinta
21. Amien Wangsatalaja
22. Anisa Afzal
23. Anjungbuana
24. Anwar Putra Bayu
25. Arafat Nur
26. Arie Mp Tamba
27. Arief Rahman Heriansyah
28. Arieyoko KSMB
29. Arsyad Indradi
30. Asrizal Nur
31. Azzura Dayana
32. Badrul Munir Chair
33. Bambang Widiatmoko
34. Benny Arnas
35. Bode Riswandi
36. Budhi Setyawan
37. Budi Saputra
38. Bustan Maras
39. C.H. Yurma
40. D. Kemalawati
41. Dad Murniah
42. Dg. Kumarsana
43. Dharmadi
44. Dheni Kurnia
45. Dhenok Kristianti
46. Diah Hadaning
47. Dian hartati
48. Dimas Arika Miharja
49. Dody Kristianto
50. Doel Cp Alisyah
51. Dony p. Herwanto
52. Dwi S Wibowo
53. Dyah Setyawati
54. Eddy Pranata Pnp
55. Efendi Danata
56. Eko Putra
57. Eko Triono
58. Endang Supriadi
59. Esha Tegar Putra
60. Evi Idawati
61. Eza Thabary Husano
62. Faisal Syahreza
63. Fakhrunas Ma Jabar
64. Fatin Hamama
65. Fikar. W. Eda
66. Firman Venayaksa
67. Fitri Yani
68. Frans Ekodhanto
69. Gampang Prawoto
70. Gunoto Saparie
71. Hafney Maulana
72. Hasan Al Bana
73. Hasan Bisri Bfc
74. Heri Maja
75. Heru Emka
76. Hudan Nur
77. Husen Arifin
78. Husnu Abadi
79. Husnul Khuluqi
80. Ian Sanchin
81. Idris Siregar
82. Inggit Putria Marga
83. Irvan Mulyadie
84. Irwan Sofwan
85. Isbedy Stiawan Zs
86. Iverdixon Tinungki
87. Jamal. T. Suryana
88. J.J. Polong
89. Jumardi Putra
90. Jumari. Hs
91. Kijoen
92. Kiki Sulistyo
93. Kurnia Effendi
94. Lanang Setiawan
95. L. K Ara
96. M. Enthieh Mudakir
97. M. Iqbal J. Permana
98. M. Raudah jambak
99. Mahmud Jauhari Ali
100. Maualana Satrya Sinaga
10 1. Muda Wijaya
102. Muhammad Ibrahim Ilyas
103. Mulyadi J. Malik
104. Nana Riskhi Susanti
105. Nanang Suryadi
106. Nandang Darana
107. Nugraha Umur Kayu
108. Nurochman Sudibyo. YS
109. Pringadi Abdi Surya
110. R. Griyadi
111. Rama Prabu
112. Ramayani Riance
113. Rara Gendis
114. Remy Novaris
115. Rifan Nazhip
116. Rini F Hauri
117. Rio Fitra. SY.
118. Rozi Kembara
119. Salman. S. Yoga
120. Sandi Firly
121. Satmoko Budi Santoso
122. Shohifur Ridho Ilahi
123. Sides Sudyarto. DS.
124. Sihar Ramses Simatupang
125. Shobir Peor
126. Sulaiman Tripa
127. Suyadi San
128. Syahdaka Musyfiq Abadaka
129. Syaifudin Gani
130. Syamsu Indra Usman
131. Syarif Hidayatullah
132. T. Wijaya
133. Tarmizi Rumahitam
134. Tjahjono Widarmanto
135. Tjahjono Widijanto
136. Toton Dai Permana
137. Viddy Ad Daeri
138. Wahyu Din Talo
139. Wayan Sunarta
140. Yopi Setia Umbara
141. Yoyon Amilin
142. Yusri Fajar
143. Zulhamdi. AS
144. Prof.Dr. Budi Darma
145. Dr. Taufik Ismail
146. Chapcay
147. Tarech Rasyid
148. Dr. Ganjar Hwia
149. Sutardji Calzoum Bachri

MALAYSIA (18)
1. Arisel Ba
2. Wan A. Rafar
3. Dato Kemala
4. SM. Zakir
5. Khalid Salleh
6. Shapiai Mohd Ramly
7. Shamsudin Othman
8. Rosmiaty Shaari
9. Nimois. T.Y
10. Naapie Mat1
11. N. Faisal Ghazali
12. Mohd. Amran daud
13. Prof. Irwan Abubakar
14. Prof. Muhammad Haji Salleh
15. Rahimidin Zahari
16. Tan Sri Dato’ Dr Ismail Hussein
17. Dr. Ibrahim Ghaffar
18. Mualim Ghazalie

SINGAPORE (8)
1. Ahmad Md Tahir
2. Sk. Cinta Zeni
3. Johar Buang
4. Rasiah Halil
5. Noor Hasnah Adam
6. Muhammad Jailani Bin Abu Talib
7. Herman Mutiara
8. Djamal Tukimin

BRUNEI DARUSSALAM (8)
1. Addy
2. Selmi Mesra
3. Rahimi A.B
4. Kamar D51
5. Zefri Ariff
6. Mohd. Khairol Nazwan
7. Mohd. Shahrin bin Haji Metussin (Adi Swara)
8. Suip bin Hj. Abd. Wahab (nurfik).

THAILAND (8)
1. Hamra Hasan (Dr. Nik Abdullah)
2. Phaosan Jehwae
3. Mr. Set Al-Jufri
4. Mr. Asmarn Tohmeena
5. Mrs. Che Faridah Tohmeena
6. Ustaz Ridwan Hassan
7. Mr. Sawawee Pakda Amin
8. Miss Charidja NikWan

Link : http://pertemuanpenyairnusantara.blogspot.com

Rabu, 15 Juni 2011

LOMBA CIPTA PUISI,MENULIS CERPEN, CERITA RAKYAT DAN PAGELARAN SASTRA

Dalam rangka Aruh Sastra ke-8 Kalimantan Selatan di Barabai HST, tgl 16 – 19 September 2011 dengan Tema “ Menebar Benih Sastra di Banua Murakata”, Panitia Penyelenggara membuka kesempatan bagi penulis yang berdomisili di wilayah Kalimantan Selatan untuk mengikuti beberapa lomba yaitu :
1) Lomba cipta puisi bahasa Indonesia, tema bebas.
2) Lomba menulis cerpen bahasa Indonesia, tema bebes.
3) Lomba menulis cerita rakyat berkisar cerita rakyat yang ada di daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Masing-masing mata lomba, peserta boleh mengirimkan maksimal 3 (tiga) karyanya yang ditulis tahun 2010/2011 + biodata singkat + foto,asli tidak saduran/jiplakan,belum pernah dipublikasikan di media cetak/internet atau sedang diikutkan pada lomba yang lain.
Untuk lomba puisi, panjang puisi maksimal dua kwarto dan untuk lomba cerpen dan kisah rakyat 4-7 kwarto, font 12 times new roman diketik satu setengah spasi.
Naskah masing-masing lomba sebanyak 4(empat) rangkap dimasukkan ke dalam amplop, di sudut kanan atas amplop ditulis jenis lomba yang diikuti dan sudah masuk ke panitia melalui post atau diantar sendiri dengan alamat DISBUDPARPORA Kabupaten HST di Barabai Jl.H.Abdul Muis Redhani Kelurahan Barabari Timur Kec.Barabai Kab.HST atau kirim ke email fahmi.wahid64@yahoo.co.id, selambatnya 30 Juli 2011.
Hadiah-hadiah sbb :
1) Lomba cipta puisi dan menulis cerpen bahasa Indonesia :
Pemenang I,II,III dan Harapan I,II,III dari masing-masing mata lomba akan mendapat hadiah tropy dan uang pembinaan.( Rp 2.000.000, Rp 1.500.000, Rp 1.000.000, Rp 750.000. Rp 500.000, Rp 400.000 )
2) Lomba menulis cerita rakyat :
Pemenang I,II,III dan harapan I,II,III akan mendapat hadiah tropy dan uang pembinaan ( Rp 1.500.000, Rp 1.000.000, Rp 750.000, Rp 600.000, Rp 500.000, Rp 400.000 )
Pemenang I sampai harapan III dan yang dipilih masing-masing mata lomba akan di antologikan.
4. Khusus lomba Pagelaran Sastra :
Setiap Kabupaten/Kota dapat mengirimkan satu kelompok maksimal anggotanya 12 (dua belas orang) yang teridiri dari pemain,pemusik dan krew.
Yang dipergelarkan memilih salah satu cerpen yaitu :
a. Bunglon karya Anton Cekov
b. Lurik karya Hasan Al Banna
c. Lukisan Angsa karya Fakhrunas MA Jabbar
d. Buaya Putih karya Ajamudin Tifani
e. Sanja Kuning karya Sandi Firly
Durasi penampilan maksimal 15 menit.( diluar pengaturan setting )
Hadiah : Pemenang I,II,III dan Harapan I,II,III akam mendapat hadiah tropy dan uang pembinaan masing – masing Rp 5.000.000, Rp 4.500.000, Rp 4.000.000, Rp 3.500.000, Rp 3.000.000, Rp 2.500.000,-
Disamping lomba Panitia juga mengharapkan partisifasi penyair yang berdomisi di wilayah Kalsel untuk mengirimkan karya puisinya sebanyak 3 (tiga) puisi + bioadata singkat + foto yang akan diterbitkan dalam sebuah antologi puisi. Karya puisi dimasukan dalam amplop dan di sudut kanan atas amplop ditulis Antologi Puisi dikirim melelui post atau diantar sendiri dengan alamat DISBUDPARPORA Kab.HST di Barabai Jl.Abdul Muis Redhani Kelurahan Barabari Timur Kec.Barabai Kab.HST atau kirim ke email fahmi.wahid64@yahoo.co.id, selambatnya 30 Juli 2011
Yang belum jelas silakan kontak person 081351128514 / 081348120891

Salam Sastra
Panitia Aruh Sastra ke-8 Kalsel di Barabai HST

Kamis, 09 Juni 2011

Arsyad : Kasihan Kesultanan Banjar


Setelah seniman Sirajul Huda yang mengaku tak diminta izin tarian “Japin Rantawan”
ciptaannya dibawakan tim Kesultanan Banjar di “Tong Tong Fair” Belandan, giliran seniman Kalsel Arsyad Indradi mengaku hal sama. Arsyad Indradi selaku pencipta Tari Semangat Ratu Zaleha yang dibawakan oleh kesenian Sanggar Kesultanan Banjar, mengaku terkejut tariannya dibawakan. “Saya terkejut. Sebab baru sekarang tahu tarian ciptaan saya itu dibawakan ke Eropah. Saya bangga dan sangat senang mendengarnya” ucap seniman tari ini kepada MK, diBanjarbaru,kemarin (2/6). “Namun saya sangat sangat menyayangkan kepada Tim Kesenian Kesultanan Banjar itu yang tak konfirmasi (izin) terlebih dalu kepada saya sampai keberangkatannya” tambahnya.
Menurut Arsyad, hal ini memberikan kesan buruk kepada pihak Kesultanan. Ia menyatakan itu sebagai ketidaksopanan para Tim Kesenian Kesultanan Banjar.
“Kasihan Kesultanan yang tidak tahu-menahu. Dan dalam hal ini menjadi prasangka yang macam-macam dari berbagai kalangan yang tidak paham. Jika tahu adat-istiadat, tentunya Tim Kesenian Kesultanan Banjar ini akan bapadah.” Sesungguhnya aku bukan ingin dihormati ataupun disangka ingin “bakasak” ikut tetapi seyogyanyalah bapadah kepada koreorafernya,”ucapnya.
Arsyad bahkan mengaku berterima kasih dan mengizinkan dengan tulus bila minta izin.”Sebab bagaimanapun juga ini menyangkut nama penciptanya, manakala dibacakan sinopsisnya dan nama koregrafernya sebelum tarian itu ditampilkan. Apalagi setelah diketahui bahwa penari Tim Kesenian Kesultanan Banjar itu penari pemula yang baru belajar, tidak profisional.” ujar Arsyad yang juga dikenal sebagai penyair.
Bahkan Arsyad agak was-was, jangan-jangan ragam gerak Tari Semangat Ratu Zaleha keliru dan tidak menyebutkan namanya sebagai penciptanya atau diganti dengan nama orang lain “Karena aku mengetahui pelatih tari dan semua penarinya bukan penari profisional alias pemula,”ucapnya.
Seharusnya,lanjut Arsyad, Tim Kesenian Kesultanan Banjar (yang bertanggung jawab) memunculkan batang hidungnya guna meminta izin sebelum keberangkatan. “Sebenarnya kejadian ini adalah pembelajaran bagi kita semua bahwa kita harus selalu menjunjung tinggi hak cipta dan menghargai hasil karya seniman. Maaf, bukan seniman dadakan atau seniman tempelan. Agar seni Budya Banjar dan Adat-istiadat Tanah Banjar selalu lestari. Semoga”,pungkasnya ( ananda-kmk).

Sumber : Harian Media Kalimantan,Jumat,3 Juni 2011.