Jumat, 14 Oktober 2011

REVIEW BUKU PUISI Nanang Suryadi “ BIAR ! “ : [MASIH DALAM CORETAN KECIL PSIKOLOGI] LUBANG HOMEOSTASIS PUISI DALAM EKSPERIMENTASI DIALOG PENYAIRNYA*


Oleh A.Ganjar Sudibyo (Ganz)

Melaboratoriumkan Keberadaan

"Keberadaanmu adalah pilihan-pilihanmu!”
Secara tegas Sartre menyatakan betapa vokal ia dalam perutusan eksistensialis. Begitupun ia mengamini apa yang diyakini Nietzsche bahwa individualitas, keluhuran, dan martabat adalah aufgegeben (yaitu sesuatu yang diberikan kepada manusia sebagai tugas yang harus dijalankan). Dalam kehidupan proses kreatif mencipta dalam karya, secara tidak disadari terbangun sistem di dalam diri sang pencipta tersebut. Seyakin apa yang telah dipercayai olah Sartre maupun Nietzsche, Freud membungkus kebutuhan-kebutuhan manusia dalam mekanisme yang telah sedemikian rupa tertata. Selanjutnya akan bekerja sesuai fungsinya masing-masing. Hal ini berkorelasi dengan apa yang disebut dengan sistem homeostatik manusia. Sebuah sistem di mana terdapat kerangka psikologis yang meletakkan nilai-nilai kebutuhan dan dorongan dalam diri manusia. Kerangka ini adalah tuan yang baik bagi proses mempertahankan keadaan stabil atau keseimbangan hidup. Kemampuan untuk mempertahankan diri sendiri dalam ruang yang nyaman dapat menggambarkan diri seseorang dalam bermotif, dalam memetakan konsep kognitif seseorang. Kemampuan ini akan muncul bilamana seseorang mulai mampu berkaca terhadap keberadaannya (dalam konteks ini adalah sebuah karya).
Di sini tidak akan dibahas tentang bagaimana reaksi fisiologis muncul sebagai variabel yang diregulasi. Namun, sebenarnya ada yang lebih mendasar dari sekedar pembahasan reaksi tersebut (apabila dikaitkan dengan karya sastra berupa puisi). Keberadaan puisi-puisi yang ditelurkan oleh para penyairnya menawarkan interpretasi yang lebih dari hanya sekedar inter- atau antartekstual saja. Di dalamnya terdapat apa yang disebut Freud sebagai fenomena gunung es yang begitu luas, banyak yang tak terjamah dan penuh teka-teki. Fenomena ini menuntut keberanian untuk membuka rangsangan bagaimana si penyair merepresi seluruh kebutuhannya lalu mengemasnya diam-diam dalam puisi-puisi yang perlahan membeku, lantas menemu puncaknya masing-masing.
Ketika seorang penyair berulang kali menuliskan puisi, itu pun berarti bahwa ia mengalami puncak-puncak neurotik untuk menjadi individu yang ingin lepas dari manifestasi pengingkarannya. Namun, tidak semuanya bisa digeneralisasikan seperti ini. Meski demikian hal ini dapat menjadi tolok penilaian psikoanalisis bagaimana memandang sebuah proses psikologis melalui penciptaan sebuah karya.
Dalam buku puisi “Biar!”, Nanang Suryadi terlihat sedang memperlakukan eksperimentasi-eksperimentasi emosionalnya melalui citraan-citraan dengan tingkat diferensiasi yang renggang antara tiap tema. Atau, jangan-jangan Nanang sedang asyik dalam laboratorium dirinya, memakai jas-jas baru untuk mengamankan diri? Nah!
Berikut ini merupakan salah satu sajak yang telah dibekukan dalam laboratoriumnya dengan bahasa-bahasa temuannya:

Biar!
tak kau ingat lampu-lampu yang menyihir kita menjadi
orang yang mentertawakan dunia. tak kau ingat keringat
meleleh di langkah kaki, di punggung, kening, menantang
matahari! menunggingkan pantat ke muka-muka orang-
orang yang dipuja sebagai dewa!

o, engkau telah membunuh kenangan sedemikian cepat.
seperti kulindas kecoak dengan ujung sepatuku. perutnya
yang memburai, putih, mata yang keluar dari kepala, masih
bergerak-gerak. aku menjadi pembunuh. seperti dirimu.
demikian telengas. tanpa belas. kepada kenangan.

biar. jika kau tak mau temani. biar kurasakan nyeri sendiri.
di puncak sepiku sendiri!

(halaman 5)

Adapun Nanang menggambarkan komponen emosional yang dikerucutkannya ke dalam judul. Pada kalimat: “biar. jika kau tak mau temani. biar kurasakan nyeri sendiri.” Seolah ada mekanisme di mana si penyair ingin menyangkal perasaannya sendiri, mencoba untuk mendistorsikan apa yang disebut Rogers sebagai diri nyata. Semakin dekat diri nyata dengan diri ideal, maka pengaruh emosional yang dirasakan akan lebih bahagia. Namun, di sisi lain, si penyair ingin memfungsikan untuk menjadi sepenuhnya memberikan penghargaan positif dari keambivalensian antara kenyataan dan keidealan dalam dirinya. Dengan demikian, ia dapat mencukupi kebutuhan rasa amannya untuk menutupi tingkat keresahannya terhadap kenyataan yang dihadapi. Kalimat tersebut sekaligus menjadi klimaks dari sepanjang dialog antara dirinya dengan tubuh yang ia hadirkan melalui puisi.
Sementara itu di puisi di bawah ini, si penyair ingin mengungkapkan semacamimagery bahasa keterasingannya terhadap pengalaman inderanya:

Bahkan
Bahkan aku tak ingin menjadi huruf, karena huruf masih
Mengingatkanku pada puisi, bahkan...

Lalu ingin kututup buku catatanku, kerekat dengan isolatip,
Agar tak kukenang lagi, huruf-huruf itu yang merayu dengan
Matanya yang meredup sayu, bahkan...

Jangan sebut aku penyair, karena aku hanya debu, yang
Menghampiri telapak kakimu

(halaman 43)

Dalam puisinya, ia berusaha mengkonkretkan konflik dengan sesuatu yang tak terhindarkan. Sesuatu yang tak terhindarkan itu kemudian merasuk di dalam bawah sadar si penyair. Lantas, mencoba untuk dipertahankan dan diterima di dalam konsep dirinya. “Bahkan aku tak ingin menjadi huruf, karena huruf masih/Mengingatkanku pada puisi, bahkan...” Ada semacam rasa penolakan yang dikatarsiskan dalam kalimat tersebut, sehingga memunculkan permusuhan yang pelik di dalam penyangkalan perasaannya sendiri. “Lalu kututup buku catatanku...Agar tak kukenang lagi...” Pada bunyi puisi selanjutnya itu, ia sepertinya ingin menjauhi kegaduhannya dengan menampilkan diksi perlawanan atas kesadarannya bahwa sumber keresahannya adalah “buku catatannya”. Lalu, siapa dan apakah “buku catatannnya” itu? Citraan si penyair mengenai “buku catatan” tidak lain adalah pengalihan bahasa dari sumber kecemasan dalam pengalaman pribadinya--hubungan si penyair dengan kepenyairannya. Menurut Prof.Suminto dalam bukunya “Mengenal Puisi”, ia pernah menuliskan bahwa penggunaan kosakata aneka bahasa dalam puisi memang didasari oleh persepsi masing-masing penyair. Kata-kata tertentu dipilih dan dipakai oleh penyair karena kata-kata itu memang bersifat “siap pakai’, yang bagi penyair mungkin lebih kaya dan lebih bervariasi guna mengekspresikan berbagai jenis emosi, yang memang merupakan aspek yang sangat mengedepan pada bahasa puisi (hal.159).
Di lain tempat, si penyair memiliki tingkat kepekaan terhadap isyarat-isyarat yang tertangkap di lubang-lubang inderanya. Namun, untuk mengetahui tingkat kepekaan seperti itu tidak dapat disamakan dengan proses kreatif penyair lain. Setiap penyair memiliki trait-trait sendiri dalam mengasah kepekaanya. Nanang Suryadi di kumpulan puisinya kali ini seolah ingin mempertontonkan bagaimana ia mengolah laboratorium kepekaan puitiknya—laboratorium yang sekaligus diletupi oleh asap keberadaan dirinya sebagai seorang manusia. Namun sejauh mana ia berhasil dalam eksperimennya? Maka bertolak dari uraian Paz tentang puisi: sejauh kemampuan si penyair mentrasendensikan dirinya antara puisi dengan apa yang ia puisikan.
Menggali Lubang Diri demi Menutupinya, Menggali Sajak demi Memasukinya

Kutuk Puisi
Dapatkah ia lepas
Dari kutuk puisi

Ke mana ia
Akan berlari

Puisi terus memburu
Hingga ambang mati

(halaman 78)

Puisi tersebut seakan mengetengahkan kesadaran si penyair akan situasinya, situasi yang menjadi stimulus untuk melakukan dialog-dialog lain. Dialog kali ini, sepertinya penyair ingin menerjemahkan relasinya dengan puisi. Lalu, apakah si penyair sedemikian brutal hingga menyebut puisi itu berkutuk? “Puisi terus memburu/Hingga ambang mati”. Penggambaran si penyair mengenai konsep “kutuk” dalam puisi perlahan berhenti sampai di klimaks ini. Demikian si penyair memiliki “self concept” yang meyakini bahwa ada adegan kejar mengejar dalam kepenyairannya. Tidak ada yang salah dengan ini. Bahwasanya si penyair mengalami langkah perburuan antara diri dan realita adalah sebuah fragmen yang sah, sebab tahapan perkembangan dalam kepenyairan memiliki asosiasi dekat dengan bagaimana seorang penyair mempersepsikan objek maupun subjek dalam pola-pola kebahasaan. Dalam puisi tersebut ada kata-kata: “lepas”, “berlari”, “ke mana”, “memburu”, “hingga”, kemunculan kata-kata tersebut sebenarnya ditujukan untuk mengikuti alur tema. Terlebih dari itu, ibaratnya Nanang masih berlarian gonjang-ganjing dalam mencari jalan ke persinggahan ternyaman dengan jalan yang tak banyak kelokannya. Hala ini mendorong sisi emosionalitas kepenyairannya mudah pecah yang kemudian menyebabkan ia terus menggali kedalaman dirinya untuk menutupi lelubang proyeksi kebutuhannya sebagai langkah adjusment terhadap pencarian-pencarian self concept yang baru. Sementara itu, ia masih terperdaya bagaimana menutupi lubang-lubang lain berkaitan dengan interaksi kepribadian seorang Nanang dan lingkungannya. Terhadap lingkungan, ia tak sepenuhnya bisa menyalahkan. Lantas ia melakukan spekulasi-spekulasi intrapersonal di mana kepuisiannya itu tiba, seperti dalam potongan puisi berikut:

Di sebalik bunyi, suara bolak balik, mungkin gema yang
Patah. Seperti ingin disimpan rahasia dari lengking, tak
Tuntas. Ucapmu dari kedalaman jiwa, tak
....
(Adalah dirimu, Gema yang Patah; halaman 64)

Sebagian puisi-puisi Nanang juga ingin menunjukkan ikatan-ikatan emosionalnya dengan kehadiran orang-orang yang ia jumpai. Salah satunya demikian:

Tak Sampai Engkau
--:scb

telah sampaikah engkau pada titik di mana rindu tak ada di
mana puncak segala puncak tergapai. siapa paling besar di
antara paling besar. engakukah? mengekeh dalam luka tak
sampai rindumu. cuma gerutu konyol dan kelakar liar.
karena tak sampai pada rindu. tak sampai engkau.

aih, kutahu, demikian pedih hatimu, dan teriak: pukimak!
demikian kau?

(halaman 49)

Apakah Nanang ingin kembali meneriakkan kedekatannya dengan seseorang, mengangkatnya dalam puisi atau sekedar sebuah penggalian emosionalitas untuk memasukki ruang-ruang percakapan baru? Atkinson memaparkan beberapa komponen emosi antara lain, rangsangan otonomik, penilaian kognitif, ekspresi emosi dan reaksi emosi. Apabila dikorelasikan dengan puisi tersebut, rangsangan otonomik yang terjadi dapat diinterpretasikan seberapa kuat relasi emosional si penyair dengan seseorang berinisial sbc. Penilaian kognitif berkaitan dengan suatu analisis situasi si penyair yang menghasilakn suatu keyakinan emosional. Bahwasbc adalah kawan terdekatnya saat itu, ini adalah keyakinan emosional yang sedang ia punyai saat itu. Ekspresi emosi adalah bagaimana subjektivismenya mengkomunikasikan kedekatannya itu dalam bahasa puitik. Sedangkan reaksi emosi adalah bunyi bahasa yang ia tuliskan. “...dan teriak: pukimak!/demikian kau?” Melalui pungtuasi dan diksi, di situ ada reaksi emosi yang dipertunjukkan sebagai buah peretemuannya dengan sbc. Demikian Nanang pun mempuisikan relasinya dengan orang-orang lain yang dianggap mempunyai hubungan personal. Penggalian emosionalitas dirinya akan hubungan interpersonal ini dapat dipahami sebagai tahapan prakognitifnya menuju eksperimentasi keberadaannya untuk menyusun keseimbangan-keseimbangan baru di dalam relasi dunia personal (keaku-an) dan lingkungannya (kekau-an). Hal ini tercermin bagaimana ia memperlakukan diri dengan puisi dalam bukunya itu. Keberadaannya sebagai manusia dan penyair yang kemudian memunculkan eksperimentasi dialog-dialog yang intens dalam puisi, membutuhkan penyadaran benar akan pentingnya mekanisme sistem homeostatik yang ia ciptakan sebelum terjebak di lubangnya sendiri. Jangan-jangan ia bukan Nanang yang sejatinya? Atau kesejatiannya itu sepanjang warna-warni pelangi? Maka, Nanang sepertinya perlu mengambil dan menyulut rokoknya sejenak, mengendapkan teh kepyur yang saya sajikan sebelum diteguk pelan-pelan untuk berelasi dengan ilustrasi Pascal tentang kesadaran manusia akan keberadaannya:

“Manusia hanyalah sepotong alang-alang, alang-alang yang paling lemah yang pernah hidup di semesta raya ini. Meski demikian, ia adalah alang-alang yang berpikir. Alam tidak perlu mempersenjatai diri untuk membinasakannya: sekepul asap, sedikit tetesan air, sudah cukup untuk membunuhnya. Akan tetapi, meski alam mampu menghancurkannya, manusia lebih agung daripada yang membunuhnya, karena ia mengetahui bahwa ia akan mati,.....padahal tentang hal itu, alam tidak pernah tahu sedikit pun.”

Semarang, 2011

*Ditulis sebagai catatan apresiasi atas terbitnya buku kumpulan puisi Nanang Suryadi: “Biar!” (IBC;2010) Oleh A.Ganjar Sudibyo (Ganz) seorang mahasiswa psikologi yang juga bertekun meniti puisi.


BUKU KUMPULAN Puisi Nanang Suryadi BIAR! sudah terbit. Bagi rekan-rekan yang berminat memilikinya silakan kirim pesan di email: nanangsuryadi@yahoo.com twitter: @penyaircyber atau di inbox facebook: http://facebook.com/nanangsuryadi dengan menulis alamat kirim dan jumlah pemesanan. Harga perbuku: 30.000 + ongkos kirim. Silakan ditransfer melalui: BRI KCP Unibraw 0579-01-015778-50-2 Atas nama: Nanang Suryadi
Kumpulan puisi BIAR! masuk dalam 10 besar KLA 2011