Selasa, 18 Desember 2012

Semangat Chairil Anwar Mengilhami Deklarasi Hari Puisi Indonesia


Oleh : Bambang Widiatmoko
Masyarakat Bekasi tentunya merasa bangga. Rekaman peristiwa yang ditulis Charil Anwar dalam bentuk sajak berjudul “Antara Kerawang – Bekasi”  tidak berlalu begitu saja. Hari kelahiran penyair Chairil Anwar menjadi titik tolak lahirnya Hari Puisi Indonesia.
Hari Puisi Indonesia dideklarasikan para penyair Indonesia di Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru, Riau,  Kamis (22/11). Pembacaan naskah deklarasi Hari Puisi Indonesia dilakukan oleh Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri dengan didampingi 27 penyair Indonesia.
“Sebagai rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah menganugerahi bangsa Indonesia dengan kemerdekaan dan kesusastraan, sekaligus untuk mengabadikan kenangan atas puisi yang telah ikut melahirkan bangsa ini, kami mendeklarasikan tanggal lahir Chairil Anwar, 26 juli, sebagai Hari Puisi Indonesia,”  kata Sutardji Calzoum Bachri.
Para deklarator sepakat bahwa bahasa Indonesia adalah pilihan yang sangat nasionalistis. Dengan semangat itu pula para penyair memilih menulis dalam bahasa Indonesia, sehingga puisi secara nyata ikut membangun kebudayaan Indonesia. Nasionalisme kepenyairan ini kemudian mengental pada Chairil Anwar, yang dengan spirit kebangsaan berhasil meletakkan tonggak utama tradisi puisi Indonesia modern.
Para penyair Indonesia sepakat, dengan ditetapkannya Hari Puisi Indonesia, maka kita memiliki hari puisi nasional sebagai sumber inspirasi untuk memajukan kebudayaan Indonesia yang modern, literat, dan terbuka.
Pendeklarasian Hari Puisi Indonesia ini dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Riau (DKR), didukung oleh Yayasan Sagang, Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Majalah Sastra Horison, Jurnal Sajak, Yayasan Panggung Melayu (YPM) dan seluruh penyair yang diundang.
Pendeklarasian hari puisi Indonesia dimeriahkan dengan pembacaan puisi oleh para penyair Indonesia yang terpilih melalui proses kurasi. Dimulai dengan pembacaan puisi Lima Pulau yakni D Kemalawati mewakili Sumatera, Bambang Widiatmoko (Bekasi, Jawa), John Waromi (Papua), dan Micky Hidayat (Kalimantan).  Selanjutnya diisi pemutaran film dokumenter tentang kekuatan puisi Indonesia sejak Sumpah Pemuda, masa Chairil Anwar hingga perkembangan sastra saat ini. Dilanjutkan penyerahan teks deklarasi yang telah ditandatangani oleh penyair kepada pihak pemerintah provinsi Riau untuk disimpan di Museum Sang Nila Utama Riau.
            Selanjutnya parade pembacaan puisi menampilkan Gubernur Riau HM Rusli Zainal yang membacakan puisi karya Chairil Anwar berjudul “Cintaku Jauh di Pulau”. Dilanjutkan  penyair lain di antaranya Agus R Sarjono, Ahmadun Yosi Herfanda, Fatin Hamama, Asrizal Nur (Jakarta), Abdul Kadir Ibrahim (Kepri), Husnu Abadi, Fakhrunnas MA Jabbar, Taufik Ikram Jamil (Riau), Pranita Dewi (Bali), Sosiawan Leak (Jateng), Anwar Putra Bayu (Sumsel), Hasan Al Banna (Sumut), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Dimas Arika Miharja (Jambi).
Pada hari kedua, sebagai wujud dari komitmen yang selalu dipegang oleh Yayasan Sagang, memberikan Anugerah Sagang 2012 kepada individu maupun lembaga berprestasi yang memberi andil pemberi warna pada perjalanan sejarah kebudayaan dan kesenian di Riau.
(Bambang Widiatmoko, penyair, Bekasi).
           
           
           

Raja Ali Haji dalam Jejak dan Sajak


Oleh Bambang Widiatmoko, M.Si

            Setiap bulan Oktober perhatian kita tertuju kepada peringatan Bulan Bahasa. Sumpah Pemuda yang menyebut Berbahasa Satu Bahasa Indonesia telah menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan berbahasa. Rentang panjang kehadiran bahasa Indonesia di negeri ini tentunya tidak dapat terlepas dari jasa besar Raja Ali Haji, Bapak bahasa Indonesia. Beragam karya seperti bahasa, agama, hukum, pemerintah dan syair-syair telah dihasilkan oleh Raja Ali Haji.
            Dalam sejarah kelahiran bahasa Indonesia embrionya adalah bahasa Melayu Riau. Artinya pada awal permulaan abad ke-20 bahasa Indonesia belum dikenal. Para sejarawan menyebutkan nama Indonesia baru muncul sesudah tahun 1919 dan dikukuhkan saat terjadinya Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Pada saat itu muncul penyebutan Berbahasa Satu Bahasa Indonesia.
            Raja Ali Haji menulis  dua buah buku mengenai bahasa yakni Kitab Pengetahuan Bahasa dan Bustanul Katibin. Kitab Pengetahuan Bahasa merupakan kamus ensiklopedi monolingual Melayu yang pertama dan disusun tahun 1858, lalu dicetak dengan huruf Arab-Melayu (Jawi) pada Mathba’at Al-Ahmadiyah atau Al-Ahmadiah Press Singapura tahun 1929. Naskah tersebut disimpan di Yayasan Indera Sakti Pulau Penyengat.
Jasa Raja Ali Haji bagi perkembangan Bahasa Indonesia diakui hingga kini. Dalam bidang kesastraan Raji Ali Haji menyumbangkan karya besar Gurindam Duabelas yang memperkokoh dia menjadi seorang pujangga besar. Raja Ali Haji dilahirkan pada tahun 1808 di pusat kerajaan Riau yang saat itu bertempat di Pulau Penyengat, tempat di mana akhirnya beliau dimakamkan.  Sampai sekarang di pulau Penyengat masih meninggalkan banyak catatan, kitab-kitab, dan naskah-naskah sebagai tempat rujukan bahasa Melayu.

Ali Haji dalam Persepsi Terkini
            Aktualisasi dan apresiasi terhadap karya Raja Ali Haji dalam bidang kesastraan tidak pernah berhenti  dan terus dilakukan oleh para sastrawan hingga kini. Penyair Agus R. Sardjono dalam kumpulan sajaknya Lumbung Perjumpaan (Komodo Books, 2011) yang memperoleh hadiah sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), Oktober 2012, dalam  salah satu sajaknya berjudul Ali Haji mengisahkan:
//Seorang bangsawan menggores kalam/di ombak lautan di tanah sulaman/Bingkisan berharga berbilang zaman/serangkum gurindam pegangan insan//Lirih sangat nyanyikan balam/Lirih sejarah berkelindan barah/Gerangan ke manakah kejayaan silam/Ke lubuk sengketa berebut marwah//Bugis Melayu keris perahu/menanam selendang sejarah pilu/Tangis berlagu duka bertalu/tinggal Melayu di gamang kalbu//Menanam selendang sejarah pilu/suluh pegawai tuan yang baru/Dengan penjajah berbagi guru/ikat-ikatan penguat kalbu.//Suluh pegawai tuan yang baru/fi intizam raja dan ratu/Dua belas pasal cintaku padamu/Bulang cahaya berlayar rindu//Inderasakti ke mana pergi/Ke pusat kalam pengganti pedang/Akankah melayu hilang di bumi/Saat sang kalam bertukar uang//Fi intizam raja dan ratu/rakyat menunggu di balik pintu/Bukalah pintu bukalah kalbu/biar Melayu kembali melagu//(hal. 29-30).
            Raja Ali Haji dalam pemahaman penyair Agus R. Sarjono telah menggoreskan perkataan yang dapat dijadikan pegangan insan. Tentu yang dimaksudkannya adalah karya Raja Ali Haji, Gurindam Duabelas yang dalam  interpretasinya disebut //dua belas pasal cintaku padamu//.  Ajaran yang tertuang dalam Gurindam Duabelas yang tentunya tetap abadi untuk diikuti, di antaranya tertuang dalam pasal kedua: “barang siapa meninggalkan sembahyang/seperti rumah tiada bertiang/barang siapa meninggalkan puasa/tidaklah mendapat dua termasa/barang siapa meninggalkan zakat/tiada artinya beroleh berkat.”
            Dalam baris sajaknya Agus R. Sarjono mengungkapkan /Bugis Melayu keris perahu/.  Apa yang dimaksudkan dalam baris sajak tersebut? Jika ditelusuri leluhur Raja Ali Haji adalah orang Bugis. Orang Bugis memang dikenal sebagai pelaut yang ulung dan gemar merantau. Dalam tradisi Bugis merantau disebut Sompeq dan merupakan peradaban yang sangat tua. Mereka berlayar menggunakan perahu tanpa mengenal rasa takut. Ada ungkapan yang sangat popular dalam tradisi Bugis sebagai pelaut yang ulung: “selama laut masih berombak, maka pasir di pantai tak akan pernah tenang.”
            Agus R. Sarjono juga tidak salah jika menuliskan  dalam baris sajaknya //Dengan penjajah berbagi guru/ikat-ikatan penguat kalbu//.  Seperti diketahui dalam riwayatnya, pada tahun 1823 Raja Ali Haji mengikuti ayahnya ke Betawi, dan bertemu dengan  Gubernur Jendral Godort Alexander Gerard Philip Baron van der Capplen. Raja Ali Haji berkesempatan berkenalan dengan kehidupan orang-orang Belanda dan menyaksikan beragam pertunjukan kesenian. Artinya Raja Ali Haji dapat menimba dan berbagi ilmu dengan penjajah.
            Namun ada yang membuat miris hati saya ketika Agus R. Sarjono menuliskan dalam sajaknya: //Akankah melayu hilang di bumi/saat sang kalam bertukar uang//.  Kapitalisme dan komersialisme demikian kuat mencengkeram dalam kehidupan kita. Ancaman yang bisa jadi akan menghilangkan  Melayu di muka bumi, saat yang berkuasa tidak lagi lagi raja, kepala negara atau pujangga, melainkan uang yang telah merasuki jiwa kita. Meskipun demikian kita selalu berharap seperti yang dikatakan Agus dalam bait terakhir sajaknya://Bukalah pintu bukalah kalbu/biar Melayu kembali melagu//.
            Keterpukauan terhadap Raja Ali Haji tidak hanya dimiliki Agus R. Sarjono. Penyair  Taufiq Ismail juga menuliskan tentang Raja Ali Haji dalam sajaknya berjudul Perjalanan Menziarahi Raja Ali Haji. Dalam ingatan dan pemahaman Taufiq Ismail yang dituangkan dalam sajaknya://Ada dua tempat di muka bumi ini yang mengcengkeram perasaaanku/Yang pertama perpustakaan dan kedua kuburan//.
            Taufiq Ismail menceritakan kisahnya ketika berziarah ke makam Raja Ali Haji di Pulau Penyengat://Demikianlah aku naik perahu sendirian/bergoyang-goyang digoncang arus musim kemarau, mega di atas bagai/bulu domba, mendarat di Pulau Penyengat//Inilah ziarahku ke kuburan cendekia besar abad sembilan belas,/penyair Gurindam Duabelas//
            Disebutkan Raja Ali Haji adalah seorang cendekia besar abad sembilan belas dan Taufiq Ismail menunjukkan kecendekiawan Raja Ali Haji dengan mengutip Gurindam Duabelas: “Kasihkan orang yang berilmu/tanda rahmat atas dirimu.”
            Keterpukauan Taufiq Ismail kepada Raja Ali Haji sebagai penyair besar abad 19 ditunjukkan dengan menuliskan dalam bait terakhir sajaknya://Wahai Penyair besar abad 19, kuburanmu adalah isyarat akhirat/bagi perjalanan dunia fana,/teladan amal karya sastrawan beriman, begitu dalam/mencekam perasaan, dan, terimalah Ummul Quran/seorang penyair abad 20, yang menghitung jejakmu/menyeberang lautan//.
***
            Karya pujangga besar Raja Ali Haji terus dipahami dan menjadi sumber inspirasi para penyair terkini. Agus R. Sarjono dan Taufiq Ismail hanya sekadar contoh penyair yang mendapat semangat dalam berkarya dan kebetulan menuliskan persepsinya terhadap Raja Ali Haji secara langsung dalam sajaknya.
Perlu ditanyakan apakah semangat Sumpah Pemuda tetap aktual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam menghadapi tantangan zaman? Tantangan yang hanya dapat dijawab dengan perbuatan, bukan dengan kata-kata. Ingatlah kata Raja Ali Haji dalam Gurindam Duabelas: “apabila banyak berkata-kata/di situlah jalan masuk dusta.  ***
                                                                      Penulis, Penyair dan Dosen Ilmu Komunikasi