Oleh Bambang Widiatmoko, M.Si
Setiap bulan Oktober perhatian kita
tertuju kepada peringatan Bulan Bahasa. Sumpah Pemuda yang menyebut Berbahasa
Satu Bahasa Indonesia telah menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan
berbahasa. Rentang panjang kehadiran bahasa Indonesia di negeri ini tentunya
tidak dapat terlepas dari jasa besar Raja Ali Haji, Bapak bahasa Indonesia.
Beragam karya seperti bahasa, agama, hukum, pemerintah dan syair-syair telah
dihasilkan oleh Raja Ali Haji.
Dalam sejarah kelahiran bahasa
Indonesia embrionya adalah bahasa Melayu Riau. Artinya pada awal permulaan abad
ke-20 bahasa Indonesia belum dikenal. Para sejarawan menyebutkan nama Indonesia
baru muncul sesudah tahun 1919 dan dikukuhkan saat terjadinya Sumpah Pemuda
pada tahun 1928. Pada saat itu muncul penyebutan Berbahasa Satu Bahasa
Indonesia.
Raja Ali Haji menulis dua buah buku mengenai bahasa yakni Kitab Pengetahuan Bahasa dan Bustanul Katibin. Kitab Pengetahuan Bahasa merupakan kamus ensiklopedi monolingual
Melayu yang pertama dan disusun tahun 1858, lalu dicetak dengan huruf
Arab-Melayu (Jawi) pada Mathba’at Al-Ahmadiyah atau Al-Ahmadiah Press Singapura
tahun 1929. Naskah tersebut disimpan di Yayasan Indera Sakti Pulau Penyengat.
Jasa Raja Ali Haji bagi perkembangan Bahasa Indonesia diakui
hingga kini. Dalam bidang kesastraan Raji Ali Haji menyumbangkan karya besar Gurindam Duabelas yang memperkokoh dia
menjadi seorang pujangga besar. Raja Ali Haji dilahirkan pada tahun 1808 di
pusat kerajaan Riau yang saat itu bertempat di Pulau Penyengat, tempat di mana
akhirnya beliau dimakamkan. Sampai
sekarang di pulau Penyengat masih meninggalkan banyak catatan, kitab-kitab, dan
naskah-naskah sebagai tempat rujukan bahasa Melayu.
Ali Haji dalam Persepsi
Terkini
Aktualisasi dan apresiasi terhadap
karya Raja Ali Haji dalam bidang kesastraan tidak pernah berhenti dan terus dilakukan oleh para sastrawan hingga
kini. Penyair Agus R. Sardjono dalam kumpulan sajaknya Lumbung Perjumpaan (Komodo Books, 2011) yang memperoleh hadiah
sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), Oktober 2012, dalam salah satu sajaknya berjudul Ali Haji mengisahkan:
//Seorang bangsawan menggores kalam/di ombak lautan di tanah
sulaman/Bingkisan berharga berbilang zaman/serangkum gurindam pegangan
insan//Lirih sangat nyanyikan balam/Lirih sejarah berkelindan barah/Gerangan ke
manakah kejayaan silam/Ke lubuk sengketa berebut marwah//Bugis Melayu keris
perahu/menanam selendang sejarah pilu/Tangis berlagu duka bertalu/tinggal
Melayu di gamang kalbu//Menanam selendang sejarah pilu/suluh pegawai tuan yang
baru/Dengan penjajah berbagi guru/ikat-ikatan penguat kalbu.//Suluh pegawai
tuan yang baru/fi intizam raja dan ratu/Dua belas pasal cintaku padamu/Bulang
cahaya berlayar rindu//Inderasakti ke mana pergi/Ke pusat kalam pengganti
pedang/Akankah melayu hilang di bumi/Saat sang kalam bertukar uang//Fi intizam
raja dan ratu/rakyat menunggu di balik pintu/Bukalah pintu bukalah kalbu/biar
Melayu kembali melagu//(hal. 29-30).
Raja Ali Haji dalam pemahaman
penyair Agus R. Sarjono telah menggoreskan perkataan yang dapat dijadikan
pegangan insan. Tentu yang dimaksudkannya adalah karya Raja Ali Haji, Gurindam Duabelas yang dalam interpretasinya disebut //dua belas pasal
cintaku padamu//. Ajaran yang tertuang
dalam Gurindam Duabelas yang tentunya tetap abadi untuk diikuti, di antaranya
tertuang dalam pasal kedua: “barang siapa meninggalkan sembahyang/seperti rumah
tiada bertiang/barang siapa meninggalkan puasa/tidaklah mendapat dua
termasa/barang siapa meninggalkan zakat/tiada artinya beroleh berkat.”
Dalam baris sajaknya Agus R. Sarjono
mengungkapkan /Bugis Melayu keris perahu/.
Apa yang dimaksudkan dalam baris sajak tersebut? Jika ditelusuri leluhur
Raja Ali Haji adalah orang Bugis. Orang Bugis memang dikenal sebagai pelaut
yang ulung dan gemar merantau. Dalam tradisi Bugis merantau disebut Sompeq dan merupakan peradaban yang
sangat tua. Mereka berlayar menggunakan perahu tanpa mengenal rasa takut. Ada
ungkapan yang sangat popular dalam tradisi Bugis sebagai pelaut yang ulung:
“selama laut masih berombak, maka pasir di pantai tak akan pernah tenang.”
Agus R. Sarjono juga tidak salah jika
menuliskan dalam baris sajaknya //Dengan
penjajah berbagi guru/ikat-ikatan penguat kalbu//. Seperti diketahui dalam riwayatnya, pada
tahun 1823 Raja Ali Haji mengikuti ayahnya ke Betawi, dan bertemu dengan Gubernur Jendral Godort Alexander Gerard Philip
Baron van der Capplen. Raja Ali Haji berkesempatan berkenalan dengan kehidupan
orang-orang Belanda dan menyaksikan beragam pertunjukan kesenian. Artinya Raja
Ali Haji dapat menimba dan berbagi ilmu dengan penjajah.
Namun ada yang membuat miris hati saya
ketika Agus R. Sarjono menuliskan dalam sajaknya: //Akankah melayu hilang di
bumi/saat sang kalam bertukar uang//.
Kapitalisme dan komersialisme demikian kuat mencengkeram dalam kehidupan
kita. Ancaman yang bisa jadi akan menghilangkan
Melayu di muka bumi, saat yang berkuasa tidak lagi lagi raja, kepala
negara atau pujangga, melainkan uang yang telah merasuki jiwa kita. Meskipun
demikian kita selalu berharap seperti yang dikatakan Agus dalam bait terakhir
sajaknya://Bukalah pintu bukalah kalbu/biar Melayu kembali melagu//.
Keterpukauan terhadap Raja Ali Haji
tidak hanya dimiliki Agus R. Sarjono. Penyair
Taufiq Ismail juga menuliskan tentang Raja Ali Haji dalam sajaknya
berjudul Perjalanan Menziarahi Raja Ali
Haji. Dalam ingatan dan pemahaman Taufiq Ismail yang dituangkan dalam
sajaknya://Ada dua tempat di muka bumi ini yang mengcengkeram perasaaanku/Yang
pertama perpustakaan dan kedua kuburan//.
Taufiq Ismail menceritakan kisahnya
ketika berziarah ke makam Raja Ali Haji di Pulau Penyengat://Demikianlah aku
naik perahu sendirian/bergoyang-goyang digoncang arus musim kemarau, mega di
atas bagai/bulu domba, mendarat di Pulau Penyengat//Inilah ziarahku ke kuburan
cendekia besar abad sembilan belas,/penyair Gurindam
Duabelas//
Disebutkan Raja Ali Haji adalah
seorang cendekia besar abad sembilan belas dan Taufiq Ismail menunjukkan
kecendekiawan Raja Ali Haji dengan mengutip Gurindam Duabelas: “Kasihkan orang
yang berilmu/tanda rahmat atas dirimu.”
Keterpukauan Taufiq Ismail kepada
Raja Ali Haji sebagai penyair besar abad 19 ditunjukkan dengan menuliskan dalam
bait terakhir sajaknya://Wahai Penyair besar abad 19, kuburanmu adalah isyarat
akhirat/bagi perjalanan dunia fana,/teladan amal karya sastrawan beriman,
begitu dalam/mencekam perasaan, dan, terimalah Ummul Quran/seorang penyair abad
20, yang menghitung jejakmu/menyeberang lautan//.
***
Karya pujangga besar Raja Ali Haji
terus dipahami dan menjadi sumber inspirasi para penyair terkini. Agus R.
Sarjono dan Taufiq Ismail hanya sekadar contoh penyair yang mendapat semangat
dalam berkarya dan kebetulan menuliskan persepsinya terhadap Raja Ali Haji
secara langsung dalam sajaknya.
Perlu ditanyakan apakah semangat
Sumpah Pemuda tetap aktual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
menghadapi tantangan zaman? Tantangan yang hanya dapat dijawab dengan
perbuatan, bukan dengan kata-kata. Ingatlah kata Raja Ali Haji dalam Gurindam Duabelas: “apabila
banyak berkata-kata/di situlah jalan masuk dusta.” ***
Penulis, Penyair dan Dosen Ilmu Komunikasi