Jumat, 10 Februari 2012

'INTROSPEKSI' BUAT ENGKAU, PENYAIR...... : Puisi Anda Berjenis Kelamin Apa?


Oleh : Puja Sutrisna

Sengaja saya ajukan pertanyaan yang tak rasional di hadapan kawan-kawan untuk mendapatkan sebuah jawaban yang rasional. Lho? Benar, ada persoalan yang sebenarnya -- menurut saya -- sangat tidak rasional, tetapi begitu 'rasional' ditemukan di BPSM. Tema yang akan saya usung pada 'diskusi' saat ini adalah tentang "produktiitas puisi: antara kualitas permenungan dan dongeng pengantar tidur.......".

* * *

KETIKA sebuah puisi disodorkan ke hadapan anda, penyair, untuk dikomentari, komentar pertama sekali yang akan segera muncul 'biasanya' padanan kata-kata: bagus, baik, suka, cukup indah, dlsb. Hampir bisa dipastikan tidak akan ada komentar yang 'negatif' terhadap puisi yang disodorkan ke anda itu. Sebuah ungkapan tulus, bukti pertemanan, atau 'hanya' sebagai basa-basi belaka? Tak penting untuk mengungkap itu semua, akan tetapi -- kalau mau jujur -- pada setiap penciptaan, ada puisi yang dianggap bagus tentulah ada puisi yang kurang bagus, ada karya yang baik tentu ada pula karya yang tidak baik, begitu dlsb, dst.

Setiap tanggapan dan komentar --idealnya-- harus dibarengi konsep pengiring yang bisa dipertanggungjawabkan, di mana sisi 'kebagusannya' atau di mana letak 'kekurangannya'. Karena, idealnya juga, penyair --sesiapa pun itu-- haruslah menjadi garda terdepan dalam kejujuran 'hati' dan bukan kemunafikan yang 'ahli berbasa-basi'!

Ketika sebuah puisi disodorkan ke pemerhati (baca: kritikus) untuk dikomentari, maka hal pertama yang akan dilakukan adalah: apakah 'isi' yang terkandung pada puisi tsb, 'tema' apa yang mau disampaikan, apa yang melatarinya, apakah ada 'amanat' yang sampai pada tujuan, dlst.

Puisi yang bagus adalah puisi yang mengandung tema, memuat pesan, punya permenungan yang dalam, dan pesan sampai pada alamat yang hendak dituju. Dan karena puisi yang baik punya daya renung, maka dalam proses penciptaaannya pun perlu sebuah permenungan. Penuturan salah satu kawan BPSM yang menyelesaikan sebuah puisi sampai 6 bulan bukanlah 'aib' bagi sebuah penciptaan PUISI.

Puisi yang baik ibarat seorang perempuan cantik, ia cantik secara alamiah tanpa banyak bedak dan polesan. puisi yang cantik bahkan akan terasa kecantikannya sebelum benar-benar disentuhnya. Lihat sekilas hati tergetar, begitulah kira-kira. Adapun puisi yang kurang baik ibarat perempuan yang operasi plastik berkali-kali, berdandan menor, berpakaian serba kedodoran, hingga susah untuk dikenali lagi jenis kelaminnya: wanita atau jangan-jangan waria, ha ha ha.......

* * *

Tak gampang buat puisi dalam arti PUISI yang sungguh-sungguh! Perlu sebuah permenungan yang intens, peka terhadap obyek yang mau dibahasakan, diteliti dan didalami berulang-ulang, sekali lagi: berulang-ulang, suatu ketika perlu juga 'teteki', tahajud, meditasi, dan diedit, diedit lagi: begitu berjiwa barulah jadi sebuah puisi.

Kalau suara penyair adalah 'dimaknai' sebagai suara tuhan, maka memang ada wilayah yang 'wingit' bagi proses penciptaan puisi, karena tuhan tidak akan melakukan kesalahan! Lalu, bagaimana dengan kawan-kawan yang bisa menghasilkan 5 puisi dalam 60 menit?

He he he...bisa jadi beliau adalah sufi yang duduk di tangga ke 4 kelas makrifat, atau kalau tidak, jangan-jangan puisi yang dimaksud adalah 'catatan harian' yang dibungkus dengan 'baju' puisi, dan kalau ini yang terjadi maka yang barusan lewat di depan mata adalah waria di antara isteri-isteri politisi, hi hi hi, lari ah.....ntar kena damprat..............................

Puja Sutrisna