Senin, 18 April 2011

EKSISTENSIALISME DALAM BUNGKAM MATA GERGAJI



Oleh: HE. Benyamine

Melalui gumam terangkai pemberontakan, perlawanan, dan kegundahan terhadap orang-orang bebal yang menyebarkan kerusakan demi kerusakan dengan menggunakan kekuasaannya. Melalui gumam juga tersibak jalan kebebasan sebagai penghargaan terhadap kemanusiaan. Hal ini begitu menggoncang dan mengusik dalam buku Bungkam Mata Gergaji (Kumpulan Gumam Asa) karya Ali Syamsudin Arsi (ASA), Framepublishing; Yogyakarta, 2011. Kumpulan gumam dalam buku ini dapat dikatakan sebagai gumam perlawanan sekaligus keberpihakan kepada hakikat manusia yang terus tergilas oleh mata gergaji sehingga terpisah, tercerai berai dan penuh luka, yang menjadikannya tidak terlihat eksistensinya sebagai individu maupun dalam komunitas dan hubungan dengan alam.

Kumpulan gumam dalam Bungkam Mata Gergaji (Framepublishing, 2011) memperlihatkan kecenderungan keras kepalanya sang pengarang yang mengambil jalan kebebasannya dalam berkarya, menapaki secara konsisten kegelisahan sebagaimana orang sedang memperjuangkan kebebasan dalam hidupnya meski rasa takut juga terus membayangi. Tanpa kebebasan, maka kemampuan setiap individu untuk memilih berarti tidak ada, yang dalam gumam Asa terungkap dalam bungkam mata gergaji; memisahkan, memburai, dan melukai. Dalam pandangan Jean-Paul Sartre yang membatasi kebebasan manusia sebagai bagian dari “neraka adalah orang lain”.

Dalam Bungkam Mata Gergaji (BMG) juga memperlihatkan adanya kecenderungan pilihan, tanpa mengganggu kebebasan, beberapa gumam dalam format yang jauh lebih pendek dari ketiga buku terdahulu, yang dinyatakan sebagai “berdamai” dengan “orang lain” sehingga beberapa gumamnya pendek dan sebagian sangat pendek. Pilihan berdamai itu tidak berarti merubah gaya gumam yang banyak menghamburkan kata-kata, meskipun sebenarnya dapat lebih sedikit kata.

Bungkam mata gergaji telah menjadi frase pembimbing dalam menyusuri kumpulan gumam ini, yang menjadi penanda kepedihan dan kuatnya hegemoni terhadap situasi dan kondisi yang mengitari manusia, yang sebagiannya tergambar telah kehilangan kebebasannya. Eksistensi manusia terbungkam mata gergaji dalam pandangan ASA tergambar dengan “mengucur luka luka luka dari gelak keruhnya sungai beban dari lubang-lubang galian beban dari lumpur-lumpur luapan beban dari drama-drama tayangan beban dari meriahnya kelap-kelip kaca taburan sinar, akh beban yang ternyata sangat memilukan”, sebagai eksistensi yang terluka dalam lingkungan penuh ancaman dan pengendalian dari orang yang bermuka tebal tak tahu malu tak bermata juga tak bertelinga sebagai digambarkan ASA sebagai “orang-orang bebal pun tetap saja mendengkur di ...”, dengan akhir “di” menunjuk pada sesuatu yang bebas.

BMG merupakan keruntuhan kebebasan manusia, ia digambar ASA dengan “telah melibas setiap bayang-bayang dari berjuta harapan, harapan yang dihamparkan oleh banyak telapak tangan terbuka dan sangat terbuka, tetapi bungkam mata gergaji adalah rahasia dari kekuasaan genggam di kepal-kepal tangan bergetar, urat syaraf pun terhentak tiba-tiba, genggam yang sejalan dengan kebiri di lingkup nafsi-nafsi”. Keruntuhan kebebasan ini tiada lain dari kelumpuhan sebagai manusia, manusia yang siap digusur demi kedamaian dengan rela atau tidak untuk tersingkir, dalam ungkapan ASA, “mata gergaji bergerak dengan kaki-kaki, mata gergaji bergerak dengan tulang-tulang, mata gergaji bergerak dengan mata terpejam, mata gergaji terus melibas mata pencaharian. Bahkan tak akan dibiarkan bertumbuhan tunas-tunas bermekaran”.

Dalam BMG, ASA menunjukkan perlawanannya, dapat dikatakan sastra perlawanan terhadap keadaan yang mengekang dan membungkam. Meski perlawanan melalui gumam ini berhadapan dengan “dengkur berkepanjangan”, namun ada tekad yang kuat untuk terus melawan terhadap orang-orang bebal yang mengarahkan keberadaan manusia dalam kubangan kekacauan eksistensinya. ASA menyatakan, “Kami telah kepalkan tangan, tapi suara kami dibalas dengkur berkepanjangan”, untuk menunjukkan masih adanya kesadaran sebagai individu yang tidak mau terus dikondisikan dalam “bungkam bagian dari kekuasaan, bungkam adalah kesepakatan, bungkam adalah mematikan, bungkam adalah tikamam, bungkam adalah menyingkir dan enyahkan, bungkam adalah berbalik tangan, bungkam adalah memalingkan, bungkam adalam melemahkan”. Ungkapan-ungkapan ASA penuh vitalitas kekiri-kirian, yang mengosong tema pembebasan dari “neraka adalah orang lain” dengan cara melawan manusia (orang lain) yang dikatakan ASA, “berasal dari racun yang menetes di awan-awan”, yang menjelma dalam berbagai bentuk hingga “jadilah ia sebagai pembungkam segala kehendak”.

Berbagai fenomena pembungkaman tertangkap melalui BMG, seperti perilaku orang-orang yang mengatasnamakan agama untuk membungkam. ASA memandangnya, “Sementara ada yang saling berebut naik ke atas podium masjid untuk mendapatkan kabel-kabel mikropon serta alat memantulkan kebesaran diri mereka, saling berebut untuk mendapatkan corong-corong”. ASA memberontak, “Kami telah tergusur dari tempat tinggal kami sendiri, tanah kami telah ditumbuhi gedung-gedung, sawah kami telah bersemi menara-menara, ladang kami telah penuh dengan swalayan toserba kotak-kotak kaca pameran”, yang sebagiannya digiring melalui corong-corong yang diperebutkan tersebut.
Dalam BMG nampak ASA yang radikal, yang kiri, yang individualis, yang pemberontak, yang begitu bersemangat berupaya mendobrak pembungkaman atas keunikan individu dan situasi hidupnya. Dibandingkan dengan ketiga buku Gumam Asa terdahulu, BMG menunjukkan sosok ASA yang penuh semangat pembebasan dan perlawanan terhadap bentuk-bentuk yang menghilangkan kebebasan seseorang. Ada semangat eksistensialis dalam BMG, dalam pemikiran tentang kebebasan manusia, sebagaimana secara gamblang terungkap di bawah ini.

“Kerja sebuah gergaji adalah sistem bergerak untuk menjadi terpisah, menjadi berseberangan, saling berhadap-hadapan. Sama-sama merasakan luka berkepanjangan, luka dari bungkam mata gergaji. Sakit yang dirasakan bersama-sama. Luka untuk bersama-sama. Bila ada satu mata gergaji maka ia akan diikuti oleh gerak mata gergaji yang lain. Sistem, sebagai tameng ampuh dalam mempertahankan, sistem sebagai tameng untuk menyerang. Sedangkan kerja sebuah gergaji adalah sebagai pemisah. Untuk apa persatuan, bila di dalam sistem persatuan itu sendiri ada pihak dominan karena sikap ketidak-adilan yang diberlakukan. Untuk apa persatuan bila cara kerja bungkam mata gergaji terlalu sering menyakitkan, selalu memamerkan bentuk-bentuk keculasan, selalu mempertontonkan bahwa yang seharusnya dilindungi ternyata dijadikan tumbal berbagai kekuatan, sebagai korban kekuasaan, di semua bidang, karena bungkam mata gergaji menciptakan sesuatu yang sepotong-sepotong, terpisah-pisah, terpecah-pecah”

(Radar Banjarmasin, 17 April 2011: 5)
Komentar :

Kumpulan gumam ASA ini bukan kumpulan puisi, juga bukan cerpen,tetapi merupakan hasil karya sastra yang boleh dikatakan bercorak baru. Bila kita membaca kumpulan gumam ini lalu mencari tokoh yang konkrit,alur dan plot maupun endingnya maka ...kita akan terjebak dalam sebuah kamar yang gelap. Dalam empat buah buku gumam ASA ini saya pribadi berpendapat ada beberapa buah pikiran,kegalauan,kecemasan,jengkel,haru dan puluhan perasaan lagi yang mengganjal dalam hatinya yang dia ekspresikan ketika dia menjalani ekplorasi kehidupan ini.. Baik buku 1,2,3 dan 4 ini terdiri beberapa bab. Dan bab-bab ini ada yang bertautan dan ada yang berdiri sendiri. Menelusuri makna leksikal,"gumam" ini berarti suara omongan yang tertahan di mulut (Kamus Besar Bahasa Indonesia,hal.286). Dalam bahasa Banjar sama dengan "garunum". Tentu kita memakliumi bahwa orang yang bergumam atau bagarunum itu suaranya ada yang jelas ada yang tidak. Jadi,dalam kumpulan gumam ASA ini ada yang jelas apa yang diekspresikannya dan ada yang tidak. Berhadapan dengan yang tidak jelas ini tentu si pembaca/penikmat akan mendapat kesulitan apa yang dimaksudkan ASA ini. Solusinya kita kembalikan saja kepada ASA atau tafsirkan sendiri. Membaca Kumpulan Gumam ASA yang ke-4 ini : BUNGKAM MATA GERGAJI jauh berbeda dengan yang 1,2,3 Pada buku 4 ini gumam asa lebih terdengar jelas,lebih terang,lebih dapat dimengerti.Ini juga kita maklumi sebab psikologis ASA pada buku 4 ini agak cerah walau pun ada juga sedikit di bawah sadarnya. Alhasil, adanya karya sastra dalam Kumpulan Gumam ASA ini, ASA telah menggorenkan mata pena memperkaya khazanah kesastraan Indonesia. Salam kreatif. (Arsyad Indradi)

Sabtu, 16 April 2011

Temu Sastrawan Ke-4 di Ternate

Kepada
Yth. Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara:

Dengan Hormat,

Kami beritahukan bahwa Temu Sastrawan Indonesia-4 akan dilaksanakan di Ternate, Maluku Utara, pada 25-29 Oktober 2011. TSI-4 bertema “Sastra Indonesia Abad ke 21, Keragaman, Silang Budaya dan Problematika”. Adapun kegiatan TSI-4 ini meliputi Seminar, Musyawarah Sastrawan, Penerbitan Antologi Sastra, Panggung Sastra, Pameran/Bazar/Launching Buku, Workshop dan Wisata Budaya.

Sehubungan dengan itu, kami mengundang Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara untuk mengirimkan karya dengan ketentuan sebagai berikut:

A. Puisi :
- lima (5) buah puisi karya asli yang ditulis dalam tahun 2011
- belum dipublikasikan ke media mana pun
- Biodata maksimal 10 baris
- diemailkan ke : puisi.tsi4@gmail.com

B. Cerpen :
- tiga (2) buah cerpen karya asli yang ditulis dalam tahun 2011
- belum dipublikasikan ke media mana pun
- panjang cerpen berkisar 5 halaman sampai 10 halaman kwarto (600 Kata)
- memakai font times new roman size 12
- Biodata maksimal 10 baris
- diemailkan ke : cerpen.tsi4@gmail.com

Pengiriman karya dapat dilakukan sejak: 23 Maret 2011 – 23 Juli 2011. Bagi sastrawan yang karyanya lolos seleksi Dewan Kurator TSI-4, akan mendapat undangan resmi dari panitia TSI-4 dan honorarium tulisan.

Panitia akan menyediakan penginapan (akomodasi), makan-minum (kosumsi) dan transport lokal selama kegiatan berlangsung, uang lelah dan cinderamata. Mengingat keterbatasan dana, maka kami mohon maaf tidak bisa menyediakan biaya transportasi peserta undangan dari tempat asal ke tempat tujuan (pp).

Atas perhatian, kerja sama dan partisipasi Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara, kami ucapkan terima kasih.

Ternate 21 Maret 2011

Salam Takzim,
Panitia Temu Sastrawan Indonesia 4
Ternate 2011

Sofyan Daud Dino Umahuk
Ketua Pelaksana Sekretaris

Rabu, 06 April 2011

Apa Benar Taufiq Ismail Melanggar Licentia Poetica?


(Sejumlah Temuan dalam Telisik Literasi atas Polemik Plagiarisme Karya Malloch)
oleh Ilham Q. Moehiddin

POLEMIK perihal dugaan plagiarisme yang dilakukan Taufik Ismail seketika merunyak akhir-akhir ini. Polemik ini seketika menjadi ‘hebat’ sebab ikut menyeret nama penyair besar sekelas Taufiq Ismail, yang oleh Paus Sastra Indonesia, HB. Jassin, dikelompokkan ke dalam penyair angkatan ’66.

Pada mulanya, seorang cerpenis wanita, Wa Ode Wulan Ratna, memposting sebuah karya Douglas Malloch dalam catatan di akun Facebook-nya. Karya Malloch yang sejatinya berjudul ‘Be The Best of Whatever You Are’ itu terposting berupa terjemahan berjudul ‘Akar-akar Pohon’.

Tak sengaja saya membaca puisi itu, dan merasa dejavu. Serasa saya pernah membaca atau mendengar puisi macam itu, entah dimana. Lalu saya teringat pada programa Jika Aku Menjadi Special Ramadhan stasiun TransTV yang ditayangkan sebelum berbuka puasa pada Ramadhan 2010. Pada tayangan itu, aktris Asri Ivo membacakan puisi ‘Kerendahan Hati’. Caption pada tayangan itu juga menampilkan nama Taufik Ismail sebagai pencipta puisi tersebut.

Tanpa memuat prasangka apalagi tuduhan, sayapun ikut mem-posting dua entitas puisi itu ke akun Facebook saya, pada 25 Februari 2011, sekadar mengajak beberapa sastrais dan budayawan untuk berdiskusi perihal itu. Benar saja, postingan itu memancing diskusi dan debat. Semenjak itulah, ‘dugaan samar’ ini menyebar kemana-mana. Diskusi dan polemik seputar ini seketika menyeberang ke Twitter, dan menjadi ramai di sana.

Telisik Literasi pada Kedua Puisi

Menurut pendapat saya, akar polemik ini sungguh patut dipertanyakan. Jika benar seperti apa yang dituduhkan orang kebanyakan pada Taufik Ismail, maka upaya itu tidak bisa sekadar disebut meringkas, menyadur, ataupun mentranskrip. Jika diperhatikan secara saksama, apa yang tertulis sebagai puisi Douglas Malloch yang kemudian dituliskan sebagai milik Taufik Ismail, tak memenuhi ketiga unsur di atas.

Jika dikatakan meringkas, maka perilaku meringkas sangat sukar dikenakan pada entitas puisi, sebab akan otomatis melanggar licentia poetica. Apa benar penyair besar Taufiq Ismail dengan sengaja melanggar licentia poetica? Saya tak sepenuhnya yakin dia melakukan itu. Kemudian, jika dikatakan menyadur, maka Taufik Ismail tak tampak sedang menyadur puisi Douglas Malloch.

Menyadur adalah menyusun kembali cerita secara bebas tanpa merusak garis besar cerita, biasanya dari bahasa lain. Menyadur juga diartikan sebagai mengolah (hasil penelitian, laporan, dsb.) atau mengikhtisarkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2002: 976). Dengan demikian, menyadur mengandung konsep menerjemahkan secara bebas dengan meringkas, menyederhanakan, atau mengembangkan tulisan tanpa mengubah pokok pikiran asal. Hal penting yang harus kita ketahui ialah bahwa dalam menyadur sebuah tulisan, ternyata kita diperkenankan untuk memperbaiki bentuk maupun bahasa karangan orang lain, misalnya dalam kasus karangan terjemahan.

Sayangnya, penyaduran tidak bisa serta-merta diberlakukan pada puisi, sebab ada aspek bahasa, bunyi dan makna, yang belum tentu dapat diinterpretasikan secara tepat oleh penyadur. Jika penyaduran dilakukan pada cerpen, dan novel berbahasa asing, maka proses yang dijelaskan pada KBBI sudah tepat. Suatu hal yang tidak boleh kita lupakan dalam menyadur adalah dengan meminta izin, mencantumkan sumber tulisan berikut nama penulisnya.
Cobalah simak puisi Be The Best of Whatever You Are, karya Douglas Malloch ini.

If you can’t be a pine o the sop of the hill,
Be a scrub in the valley – but be
The little scrub by the side of the hill; (1)
Be a bush if you can’t be a tree

If you can’t be a bush be a bit of the grass
And some highway happier make (2)
If you can’t be a muskie then just be a bass
But the leveliest bass in the lake

We can’t all be captains, we’ve got to be crew (3)
There’s something for all of us here
There’s big work to do, and there’s lesser to do
And the task you must do is the near

If you can’t be a highway the just be a trail (4)
If you can’t be the sun, be a star
It isn’t by size you win or you fail
Be the best of whatever you are (5)


Puisi Douglas Malloch ini adalah puisi berjenis kuatrain dan berada di jalur tengah aliran kepenyairan. Douglas Malloch, dalam puisinya ini, jelas sekali hendak mendudukkan pokok pikirannya sebagai masonic yang berkaitan dengan kehidupannya sebagai penebang kayu, secara terurut, tanpa putus. Artinya, jika hanya hendak menekankan pada kebaikan setiap orang untuk ‘menjadi yang terbaik dengan cukup menjadi dirinya sendiri’, maka Douglas Malloch tak perlu menuliskannya hingga empat bait. Pesannya bisa langsung sampai hanya dalam dua atau tiga bait saja. Inilah mengapa proses penyaduran tidak bisa dilakukan pada puisi.

Sekarang, simaklah puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail berikut.

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau

Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
memperkuat tanggul pinggiran jalan

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
membawa orang ke mata air

Tidaklah semua menjadi kapten
tentu harus ada awak kapalnya…
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri


Pada terminologi penyaduran, bentuk reposisi dan pengembangan masih diperbolehkan. Tetapi jika diperhatikan lebih saksama (terutama pada larik-larik yang dimiringkan) tampak sekali beberapa larik sengaja dihilangkan, dan, atau menggantinya dengan larik berbeda.
Ada dua larik pada puisi Douglas Malloch yang hilang, yakni; If you can’t be a muskie then just be a bass/ But the leveliest bass in the lake//

Lalu, berganti dengan larik berbeda pada puisi Taufik Ismail, yakni; Tetapi jalan setapak yang/ membawa orang ke mata air//

Apakah penghilangan dan penggantian ini disengaja? Jika melihat terjemahan dua larik puisi Douglas Malloch, dan membaca dua larik baru pada puisi Taufik Ismail, maka jelas sekali bahwa penggantian tersebut disengaja. Pengubahan, atau penggantian ini dari sisi licentia poetica seharusnya tidak boleh terjadi, sebab telah mengubah makna dan bunyi puisi Douglas Malloch. Inikah yang disebut penyaduran?

Pertanyaan ini dijawab dengan tuntas oleh Gorys Keraf. “Sebuah bentuk ringkasan dari sebuah tulisan hendaknya tetap menekankan sisi konsistensi akan sebuah urut-urutan sesuai dengan ide atau gagasan pengarang. Begitu halnya saat kita menyadur, hal tersebut juga berlaku—tetap mempertahankan ide dari naskah asli.” Tegas Keraf dalam buku Komposisi (1984:262, Flores. Penerbit Nusa Indah).

Yang Luput dari Taufik Ismail.

Menarik disimak, adalah dua larik yang tadi telah dibahas di atas, yang entah mengapa luput oleh Taufik Ismail dimasukkan ke dalam puisinya. Dua larik itu adalah; If you can’t be a muskie then just be a bass/ But the leveliest bass in the lake//

Sebagai satu kesatuan dari bunyi dan makna yang dikatakan Keraf, maka dua larik yang luput itu seharusnya tetap ada untuk mengikat dua larik sebelumnya; If you can’t be a bush be a bit of the grass/ And some highway happier make//

Lemah dugaan saya, bahwa Taufik Ismail tidak mengetahui persis makna kata muskie dan bass dalam dua larik puisi Douglas Malloch itu.

Dua kata dalam larik puisi Douglas Malloch itu memang tidak ditemukan dalam dalam kamus besar Bahasa Inggris (The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Drs. Peter Salim, M.A.). Rasa penasaran pada kata lake (danau), yang membawa saya pada dua jenis ikan yang berhabitat di danau primer dan sepanjang sungai besar di Amerika Serikat.

Musky adalah sejenis ikan besar, yang masih satu genus dengan Arwana dari Amazon. Muskie adalah nama dalam bahasa pasar masyarakat setempat, untuk ikan Musky, yang hidup di danau-danau di Minnesota. Sedang Bass adalah nama setempat untuk ikan smallmouth (salmon). Ikan dengan ukuran tubuhnya jauh lebih kecil dari ikan Muskie. Habitatnya di sungai-sungai primer di Amerika Utara. Itulah mengapa kata Muskie dan Bass tidak terdapat di dalam kamus.

Sehingga untuk mengisi kekosongan dua larik yang terlanjur menggantung pada satu bait tersebut, Taufik Ismail kemudian menggantinya dengan; Tetapi jalan setapak yang/ membawa orang ke mata air//

Jika merujuk pada Keraf, maka penggantian ini jelas sekali telah mengubah secara drastis ide dan gagasan pengarang. Artinya, paham atau tidaknya Taufik Ismail pada dua kata tersebut, tidak dapat dijadikannya alasan untuk mengganti dua larik pada puisi Douglas Malloch dengan dua larik baru. Maka, terang saja, Taufik Ismail tidak saja gagal menyembunyikan fakta, bahwa dirinya tidak sekadar terinspirasi keindahan makna puisi Douglas Malloch, sehingga tanpa sadar atau tidak terperangkap dalam bentuk plagiarisme.

Lalu, apakah ada kemungkinan penyair sekaliber Taufiq Ismail akan melakukan hal ini? Wallahu’alam.

Bantahan dan Sejumlah Bukti

Keterangan Redaktur Majalah Sastra, Horison, Fadli Zon, yang juga kemenakan Taufiq Ismail, dalam bantahan yang termuat pada PedomanNews.com, bahwa, Taufiq Ismail mengatakan padanya merasa pernah membahas puisi itu atau menerjemahkan puisi itu dalam kegiatan SBSB atau MMAS di sekolah-sekolah, ikut membuktikan bahwa pernah ada terjadi persentuhan antara Taufiq Ismail dengan puisi Douglas Malloch.

Pada buku Terampil Berbahasa Indonesia Untuk SMP/MTs Kelas VIII, yang disusun oleh Dewaki Kramadibrata, Dewi Indrawati, dan Didik Durianto yang diterbitkan Pusat Perbukuan, Diknas RI. Pada Pelajaran 11, bagian C: Menulis Puisi Bebas dengan Memperhatikan Unsur Persajakan; halaman 198, dengan jelas dapat ditemukan puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail.

Tidak ada keterangan sumber di bawah puisi Taufik Ismail pada halaman tersebut. Rupanya para penyusun memasang puisi itu dan meninggalkan sumbernya pada daftar pustaka. Artinya, keterangan soal latar belakang dan darimana sumber yang digunakan hanya tim penyusun yang bisa menjawabnya.

Apakah peneraan puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail itu sepengetahuan Taufiq Ismail? Ini dengan terang sudah dijawab sendiri oleh Taufiq Ismail yang disampaikan oleh Fadli Zon, bahwa Taufiq Ismail memang terlibat dalam kegiatan SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya) atau MMAS (Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra) di sekolah-sekolah.

Masih menurut Fadli, puisi Kerendahan Hati yang beredar, nama pengarangnya ditulis sebagai Taufik Ismail. Padahal, nama penyair itu memakai "q" pada nama Taufiq-nya, bukan "k". Jadi bisa jadi apa yang digunjingkan itu salah orang. Demikian pembelaan Fadli, yang dikutip Tempo Interaktif, Jumat 1 April 2011.

Kendati adalah penting menuliskan nama seseorang secara benar dalam sebuah literasi (khususnya pada pemberitaan), namun agaknya Fadli Zon tidak memeriksa dengan teliti sebelum melontarkan bantahannya. Keliru serupa ini kerap terjadi pada tera nama Goenawan Mohamad yang sering dituliskan orang dengan Gunawan Muhammad. Kendati dituliskan keliru, ingatan kolektif orang tetap merujuk pada satu sosok. Apalagi, baik Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail adalah dua nama besar penyair, sastrawan dan budayawan Indonesia.

Pada puisi Kerendahan Hati yang termuat dalam buku Diknas di atas, nama penyair itu dieja dengan huruf akhir ‘k’. Pun pada beberapa terbitan Horison Sastra Indonesia sendiri, kerap dituliskan “Ismail, Taufik, dkk (penyunting). 2011. Horison Sastra Indonesia. Jakarta: The Ford Foundation”, sebagai salah satu contohnya.

Kemudian pengejaan ‘Taufik Ismail’ juga ditemukan pada kata sambutan dalam buku The Lady Di conspiracy : Misteri Dibalik Tragedi Pont de L’Alma, karya Indra Adil, terbitan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2007.

Artinya, dalil Fadli Zon perihal huruf akhir pada nama penyair itu seketika patah. Sebab, apabila karakter penulisan nama tersebut dianggap penting, tentulah hal ini telah diperhatikan benar sejak lama. Tidak setelah polemik ini mengemuka.


Pada berita yang sama, Fadli Zon juga mengungkapkan tak dia temukan puisi Kerendahan Hati dalam empat buku karya-karya Taufiq Ismail. Salah satunya kumpulan puisi tahun 1953-2008 berjudul Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit, (Mei, 2008) setebal 1076 halaman. "Di buku itu saya tidak menemukan puisi berjudul 'Kerendahan Hati'," katanya. Menurut Fadli, Taufiq Ismail juga menerjemahkan puisi 160 penyair Amerika yang dikumpulkan dalam buku "Rerumputan Dedaunan" dan hingga saat ini belum diterbitkan. Dalam terjemahan tersebut tak ada puisi Douglas Malloch.

Keterangan Fadli ini bisa saja dipercaya, namun sebenarnya tidak berkorelasi langsung dengan isu yang sudah terpolemik. Buku kumpulan puisi MBML itu terbit pada 2008, sementara itu buku Terampil Berbahasa Indonesia itu terbit pada tahun yang sama. Sedang pada 2009, puisi itu masih sempat dibacakan pada programa Jika Aku Menjadi Special Ramadhan 2010 di TransTV. Program MMAS dan SBSB yang dimana Taufiq Ismail dan Majalah Horison terlibat langsung sudah dilaksanakan sejak tahun 1998 hingga 2008. Bahkan beberapa puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail sudah terposting di beberapa blog sejak 2006.

Sejumlah sinyalemen ini secara tidak langsung membentuk premis terhadap kehadiran karya tersebut dalam kurun waktu 1998 hingga 2008.

Dari telisik literasi ini, kini, siapapun boleh menarik kesimpulan masing-masing, perihal polemik pada entitas puisi karya Douglas Mulloch itu. Telisik literasi ini tidak hendak mencuatkan sebuah masalah yang selama ini kerap merisaukan kalangan sastrawan; plagiarisme

Telisik literasi inipun tidak dalam posisi menuduh siapapun telah melakukan plagiat. Bahwa sebagai telisik literasi, ada baiknya ini dijadikan pembelajaran pada masa selanjutnya, bahwa penghargaan atas sebuah karya sastra/literasi sebaiknya memang diberikan pada sosok pengkaryanya. Demikian. ***

Lampiran Foto:

Puisi "Kerendahan Hati" karya Taufik Ismail dalam buku Terampil Berbahasa Indonesia Untuk SMP/MTs Kelas VIII, yang disusun oleh Dewaki Kramadibrata, Dewi Indrawati, dan Didik Durianto yang diterbitkan Pusat Perbukuan, Diknas RI. Pada Pelajaran 11, bagian C: Menulis Puisi Bebas dengan Memperhatikan Unsur Persajakan; halaman 198.

Sumber:
http://www.facebook.com/notes/ilham-q-moehiddin/sejumlah-temuan-dalam-telisik-literasi-atas-polemik-plagiarisme-karya-malloch/10150202690620757#

[Attachment(s) from mediacare included below]

Facebook: Radityo Full
YM: radityo_dj
Twitter: @mediacare

artculture-indonesia@yahoogroups.com,

Minggu, 03 April 2011

Sekilas tentang Penyair Gila Arsyad Indradi dan Secuil Sajak Religiusnya




Oleh : Mahmud Jauhari Ali

Penyair yang satu ini telah lama saya kenal dengan rambut panjangnya yang aduhai menawan hati. Bersama lima belas seniman Kalimantan Selatan lainnya pernah dipenjara kerena melawan pemerintah. Sejak tahun 1970-an awal hingga sekarang, penyair yang bernama lengkap Muhammad Arsyad Indradi ini masih setia dengan dunia kepenyairan lokal maupun nasional. Bahkan tak cuma itu, surat kabar Cina pun sempat memberitakannya di sana. Pemberitaan itu berkaitan dengan buku 142 Penyair Menuju Bulan yang dibuat dan diterbitkannya sendiri serta menyebarkannya di seluruh nusantara. Buku itu memuat puisi-puisi dari 142 penyair di Indonesia, termasuk sajak Sutardji Calzoum Bachri ada di dalamnya. Dan yang paling mencengankan adalah, biaya pembuatan hingga penyebaran buku itu berasal dari penjualan sebidang tanah kesayangannya. Karena itulah ia disebut sebagai penyair gila. Penyair yang benar-benar loyal pada dunia kepenyairan dan menempatkan puisi sebagai bentuk caranya mengagungkan Tuhan dan juga untuk kemanusiaan.

Tadi pagi saya temukan sebuah sajak miliknya yang menurut saya perlu ditanggapi dengan sebuah esai.

Narasi Ayat Batu

Kubelah ayatayat batumu di kulminasi bukit
Yang terhampar di sajadahku
Kujatuhkan di tebingtebing lautmu
Cuma gemuruh ombak dalam takbirku

Angin mana di gurungurunmu beribu kafilah
Dan beribu unta yang tersesat di tepitepi hutanmu
Dan bersafsaf di oasis bumimu yang letih

Kuseru namamu tak hentihenti
Di ruasruas jari tanganku
Yang gemetar dan berdarah
Tumpahlah semesta langit
Di mata anak Adam yang sujud di kakimu


Ayat Batu. Ayat? Batu? Menjadi sebuah frasa? Jika kita cari di saentero ini sungguh tak pernah ada frasa itu. Kata “ayat” kita kenal sebagai firman Illahi berupa kata-kata yang menjadi pedoman bagi manusia yang bertuhan. Sedangkan “batu” termasuk benda padat yang keras. Lalu apakah ini simbol dari ayat yang sukar dicerna (mutasyabihat) ataukah ayat yang sukar diamalkan karena jiwa belumlah bersih? Bisa juga itu menyimbolkan ayat-ayat Tuhan yang hebat. Tapi, yang terakhir tadi sulit diterima akal karena kata “batu” tak cukup untuk menjadi simbol kemahadahsyatan ayat-ayat Tuhan yang tak serupa dengan hanya puisi buatan manusia.

Namun setelah membaca bagian pembukanya, “Kubelah ayatayat batumu di kulminasi bukit”, jelas bahwa Ayat Batu itu merupakan ayat-ayat Allah yang sulit diamalkan manusia yang mengaku muslim. Yang juga menadakan bahwa ayat-ayat Allah hanya dapat diamalkan di puncak pengetahuan dan iman yang tinggi/naik. Kita tidak dapat mengamalkannya jika kita tak mengetahui maksud dari ayat-ayat Allah itu. Kita juga tak bisa menjalankan ayat-ayat Allah jika iman kita turun karena godaan yang begitu hebat menerpa kita. Puncak di sini adalah tingkatan iman dan pemahaman ayat-ayat Allah pada diri kita. Tanpa iman kita tak akan pernah meyakini kebenaraan nash Alquran. Dan jika kita hanya bertaklid buta tanpa ilmu atas isi Alquran itu sendiri, kita tak maksimal beribadah (ikut-ikutan). Inilah menurut saya maksud ayat batu yang dibelah di puncak bukit. jadi, ada dua hal yang menjadi fokusnya, yakni mengetahui (mengerti/memiliki ilmunya) dan menjalankan ayat-ayat Allah.

Dan dalam larik itu tidak hanya puncak sebenarnya, tapi titik puncak/tingkatan tertinggi. Karena itulah Arsyad Indradi menyebutnya dengan kulminasi. Lalu ayat-ayat yang manakah itu? Mari kita amati larik selanjutnya. “Yang terhampar di sajadahku” Apakah yang dimaksudkan itu? Jawabnya adalah sholat. Dalam hal ini ayat-ayat itu ialah ayat-ayat Allah yang berkaitan dengan perintah sholat. Sangat banyak ayat-ayat dalam Alquran yang berisi perintah sholat. Termasuk juga ayat yang menerangkan faedah sholat seperti “Qod aflahalmu’minunalladzina hum fi sholatihim” (Almu’minun: 1—2). Yang artinya sungguh beruntunglah orang-orang yang mereka khusyuk dalam sholatnya.

Dalam sajak ini Arsyad Indradi menyadari betul sholat itu sebagai bentuk ibadah yang harus dijalankan dengan iman dan ilmu itu yang melahirkan keikhlasan. Keikhlasan itu yakni penyerahan diri di laut (keluasan kekuasaan Allah), lihat larik ketiga pada bait pertama itu. Sehingga, hanya Dia yang ada dalam setiap napas tatkala menyebut Allahu Akbar. Maha Besar Allah itu yang luasnya melingkupi seluruh alam.

Angin mana di gurungurunmu beribu kafilah
Dan beribu unta yang tersesat di tepitepi hutanmu
Dan bersafsaf di oasis bumimu yang letih

Angin di sini bisa berupa cobaan dan godaan yang menerpa manusia-manusia sebagai kafilah di muka bumi ini. Hingga sebagian dari kita tersesat karena hati kita yang disimbolkan dengan “unta” telah ditiupi cobaan itu. Ada yang menarik di sini. Mengapa Arsyad Indradi tidak memakai kata "kuda" dan malah memakai kata "unta" sebagai simbol hati kita? Padahal kita sering mendengar bahwa penunggang kuda itu adalah pikiran/akal dan kuda itu sendiri adalah hati. Jika akal mampu mengendalikan hati, maka tak akan tersesatlah kita. Nah, di sini kok “unta”? Menurut saya ini untuk lebih mendekatkan puisi ini ke hal yang Islami. Karena unta dan Islam sama-sama akrab dengan tanah Arab. Tanah yang kita ketahui sebagai tanah turunnya Islam. Sebagian hati umat manusia memang telah tersesat atas pemikiran-pemikiran yang lemah (tergelincir) dan itu disebabkan oleh adanya cobaan dan godaan. Banyak di antara kita yang tergelincir di dunia ini, semisal sholat dengan berbahasa Indonesia. Sedangkan rasul saja memerintahkan kita untuk sholat seperti sholatnya beliau. “Shollu ra’aitumunni usholi” (Sholatlah seperti sholatku).

Kuseru namamu tak hentihenti
Di ruasruas jari tanganku
Yang gemetar dan berdarah
Tumpahlah semesta langit
Di mata anak Adam yang sujud di kakimu

Dalam sholat itulah kita benar-benar ingat dan tunduk kepada-Nya. Betapa syahdunya hati menyeru nama Allah dalam doa yang benar-benar khidmat. Terutama dalam sujud kita. Subhanallah sajak ini indah sekali.

Sajak di atas merupakan salah satu saja dari sekian banyaknya sajak-sajak Arsyad Indradi yang merupakan sesepuh bagi sastrawan di Kalimantan Selatan.

Mahmud Jauhari Ali mengomentari catatan Anda "Puisi-Puisi Cinta Arsyad Indradi "Romansa Setangkai Bunga" : Antara Kapal Berlabuh:

"membaca judul sajak ini memeras otak saya untuk memahami maksudnya. antara kapal berlabuh, sebuah judul yang unik dan seakan memainkan arti. ada apa antara kapal berlabuh itu. lalu kapal berlabuh dengan benda semacam apa sehingga ada kata "antara" di sana? apakah itu dermaga? inilah salah satu pentas bahasa puisinya Arsyad Indradi yang mengejutkan.

jangan ada sangsi ketika puput penghabisan
pertanda senja akan membawa kita
ke ombak yang paling jauh
muara tak lagi perbatasan bertolaknya

penggelan itu menggabarkan sebuah kesiapan yang harus kita tancapkan dalam-dalam pada jiwa kala usia beranjak tua dan lebih tua lagi. dalam penggelan ini, Arsyad Indradi bermain-main dengan kata puput, senja, ombak, muara, dan juga perbatasan. kata-kata itu sebagian merupakan simbol atas ungkapan-ungkapan jiwanya. ada nuansa keenggenan di sana untuk menuju tua. yang jelas kita tahu semakin tua, maka semakin banyak pula tanggung jawab bagai ombak yang bergulung di laut lepas. mulai kewajiban memeras keringat, mendidik istri, mengurus dan membesarkan anak-anak, dsb. di sini kita benar-benar disuguhi simbol-simbol sebagai penguat sajak ini.

sebuah kapal yang sarat dengan riwayat
yang kita aksarakan pada sebuah perjalanan
dan burungburung laut melepaskan
kepaknya ke karangkarang ketika
kelam menyempurnakan malam
adalah masasilam yang kita sauhkan
pada alir usia kita

penggelan berikutnya ini menggambarkan perjalanan diri kita yang memiliki riwayat hidup. riwayat hidup itu tentunya di masa silam. masa depan adalah riwayat hidup untuk kehidupan yang lebih lanjut lagi. Arsyad Indradi begitu asyik menyelami kehidupan pada penggalan ini. kapal, perjalanan, burung-burung, malam menjadi penarik keindahan hingga melekat padanya.

sebab
langit tak lagi dapat menyimpan
pandangan mata bila kita akan
menghitung nasib antara kapal
berlabuh dengan pelabuhan
di mana kita menambatkan keyakinan
maka layar telah kita kembangkan
sebab laut adalah sebuah jalan panjang
yang mesti kita tempuh
dan kita tak perlu lagi berpaling

dari judul di atas yang menimbulkan tanya. akhirnya kita temukan di sini jawabannya. bukan antara kapan dan kapal, tetapi antara kapal dan dermaga/pelabuhan. ini merupakan perjalanan hidup kita yang penuh rona ini.


Kertak Hanyar,4 Feb 2010