Minggu, 27 Juli 2014

Sebuah Analisa Sederhana Yang Dimuat Koran Merapi, Minggu, 13 Juli 2014

Politik dan Puisi yang Bengkok

2014 adalah tahun politik, tahun dengan suhu yang acap kali memanas. Dalam politik abad informasi, citra politik seorang tokoh, yang dibangun melalui aneka media cetak dan elektronik seakan menjadi “mantra” yang menentukan keberlangsungan politik. Melalui mantra politik itu—meminjam istilahnya Yasraf Amir Piliang—maka persepsi, pandangan dan sikap politik masyarakat dibentuk bahkan dimanipulasi. Pada akhirnya, politik sekarang ini lebih dominan sebagai politik pencitraan, yang merayakan citra ketimbang kompetensi politik—the politics of image. 

Keadaan yang demikian merujuk pada apa yang diistilahkan Yasraf sebagai narsisisme politik, yakni cermin artifisialisme politik melalui konstruksi citra diri yang sebaik, secerdas, seintelek, sesempurna dan seideal mungkin, tanpa menghiraukan pandangan umum terhadap realitas diri yang sebenarnya. Lebih lanjut, Yasraf menguraikan bahwa narsissme politik adalah bentuk keseketikaan politik yang merayakan citra instan dan efek yang segera, tetapi tak menghargai proses politik. 

Narsisisme politik adalah cermin politik seduksi yaitu aneka trik bujuk rayu, persuasi, dan retorika komunikasi politik, yang tujuannya meyakinkan setiap orang (Sumbo, 2009: ix). Alur dari narsisisme politik mengarah kepada nihilisme demokrasi, yakni suatu pemahaman demokrasi yang berlebihan. Dalam pada ini, nihilisme demokrasi—sebagaimana disampaikan Cornel West dalam democracy Matters: Winning the Fight Against Imperrialism—mewujud pada trik-trik mengangkat emosi, perasaan, dan kesenangan dengan mengabaikan substansi politik. 

Maka, sekarang, tidak jarang di jalanan, di perempatan, di televisi, di internet, di sosial media, di jejaring sosial facebook, bertebaran pencitraan para politikus. Saya menjadi teringat puisi Arif Hidayat dalam Jurnak Sajak No. 4 Tahun II. 2012 yang berjudul “Jika Puisi Bengkok”/ Di perempatan jalan, di televisi dan di internet/ Orang telah berramai-ramai membengkokkan politik/ Seperti besi yang keras, akhirnya melengkung juga/Menjadi busur yang siap melepaskan anak panah/ Ke jantung ibunga sendiri di tengah kota. 

Pembengkokan Puisi 

Saya pribadi, sebenarnya tidak mempersoalkan tentang apa yang sudah saya urai di atas, sebab, begitulah politik, dalam prakteknya, di lapangan, politik mengahalalkan banyak cara untuk mendapatkan apa yang ingin dikehendaki seorang politikus, atau praktisi politik. Namun dalam pada ini, saya—sebagai seorang penikmat sastra—merasa sangat miris melihat realita politik dewasa ini. Beberapa waktu yang lalu saya diberi tahu oleh seorang teman, ikhwal lomba baca puisi yang diselenggarakan oleh Denny JA. 

Setelah saya mencari informasi lebih lanjut, nyatanya lomba baca puisi tidak lebih sebagai kampanye politik, sebab ternyata Denny JA adalah salah satu tim sukses salah satu Capres-Cawapres. Dalam TOR lomba itu, diterangkan bahwa materi lomba dalam baca puisi (musikalisasi puisi) adalah sebuah puisi yang ditulis sendiri oleh Denny JA yang isinya sebuah retorika tentang perjanjian dengan salah satu Capres-Cawapres. 

Dalam pada ini, apa yang dilakukan Denny JA dengan membuat puisi untuk dilombakan dengan iming-iming hadiah jutaan rupiah, merupakan suatu kebanalan dalam komunikasi politik. Sebab, lomba puisi ini bukan lomba puisi yang an sich, melainkan—meminjam istilah Jurgen Habermas dalam The Structural Transformation of The Public Sphere—terdapat kepentingan kaum borjuis, dalam rangka menguasai komunikasi politik, yang bersumber pada keinginan mempengaruhi publik. Apa yang tersurat dalam puisi itu adalah sebuahnarsisime politik. 

Berbicara puisi, maka berbicara bahasa. Persoalan bahasa tidak bisa dipisahkan dari kesalingberkaitannya dengan pengetahuan yang melandasi serta bentuk-bentuk kekuasaan yang beroperasi di sebaliknya. Artinya, bahwa dalam persoalan bahasa, ada ideologi yang berperan di sebaliknya, yang mempengaruhi wilayah penggunaan, teritorial, gaya, ungkapan, pilihan diksi yang digunakan serta pengetahuan yang diungkapkan atau disembunyikan oleh bahasa itu sendiri. 

Keberadaan dan penggunaan bahasa, tidak dapat dilepas dari pelbagai paradoks pengetahuan yang melekat—sebagaimana yang diuraikan Yasraf dalam bukunyaTranspolitika—seperti paradoks antara objektivitas/subjektivitas, kebenaran/kepalsuan, realitas/simulasi, fakta/rekayasa, transparansi/kekaburan, kejujuran/kebohongan, keadilan/keberpihakan. 

Bahasa sering kali menjadi aparatus hegemoni dari sebuah sistem kekuasaan, antara lain, bahasa digunakan dalam rangka menyampaikan sesuatu sesuai dengan kepentingan kekuasaan. Bahasa menjadi perpanjangan tangan dari sebuah sistem kekuasaan hegemonis; sebuah langkah jitu dalam menyebarluaskan gagasan-gagasan dominan. Maka penggunaan puisi dalam kampanye politik itu, jelas mengandung keberinginan untuk mempengaruhi khalayak, ada muatan yang mengesampingkan atau mendeskriditkan salah satu capres-cawapres. 

Lebih lanjut Arif Hidayat mengungkapkan dalam bait berikutnya; Jhon kini menggigil di hari tua/ Ketika menatap luar jendela melihat puisi telah bengkok/ Oleh penyair-penyair yang hidup dari bantuan/ Yang hanya berputar-putar pada kata-kata kering. Kita pasti ingat siapa Jhon dalam puisi ini, Jhon F. Kennedy, seorang mantan presiden yang terkenal dengan adagium “Jika Politik Bengkok, Puisi yang meluruskan”. 

Namun, dalam realita sekarang, Jhon kini menggigil di hari tua, Jhon adalah proyeksi orang-orang yang masih menjaga kesucian puisi, kini menggigil, kini menderita, kini kalah! Sekarang puisi ikut dibelokkan Oleh penyair-penyair yang hidup dari bantuan. Penyair-penyair yang melacurkan kata-kata, mereka Yang hanya berputar-putar pada kata-kata kering. Fenomena yang memprihatinkan, puisi kehilangan identitasnya sebagai kekuatan yang maha dahsyat dalam perjalanan peradaban manusia. Puisi kehilangan taringnya untuk menolak segala kebusukan politik. 

Masih jelas dalam ingatan kita, betapa dahsyatnya puisi, hingga banyak penyair yang menolak kekerasan rezim dengan puisi. Thukul, contohnya, betapa dengan puisi, ia melesat bak peluru, menolak ketimpangan dengan puisi-puisinya yang tajam, berkoar-koar di mana-mana. Hingga membuat banyak pihak terancam dengan keberadaanya, alhasil kini entah di mana rimbanya. Puisi, yah, kata-kata yang terlihat sederhana, namun mempunyai kekuatan maha dahsyat. Tapi sekarang? Puisi dipermainkan politikus. Saya sangat prihatin. Maka, izinkan saya menutup tulisan ini dengan satu pertanyaan saja, jika politik dan puisi sama bengkoknya, siapa dan apa yang akan meluruskan? 

Pustaka Senja, 2014.

Dimas Indiana Senja,
Penyair, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengasuh Komunitas Pondok Pena.

Sabtu, 26 Juli 2014

BEBERAPA SAAT BERSAMA FRIESKA RARA BERLIAN “GEMERLAP BINTANG DARI KOTA KEMBANG”

Catatan Dimas Arika Mihardja 

DULU saat Bintang Kartika memosting puisi 2,7 di grup ini,puisinya mulai bertaburan bintang. Saya sebagai admin lalu menaruh apresiasi tinggi pada hasil kreativitasnya. Dalam minggu ini, ada pendatang baru dari kota Kembang, Bandung yang puisinya juga bertaburan bintang. Dialah FrieskaRara Berlian, sebuah nama yang puitis. Nama ini agak fenomenal, sebab sehari masuk menjadi anggota grup yang ke 6666 menolak pemberian hadiah dari pengurusgrup. Saya lantas berkenalan dan menjalin pertemanan dengan peragawan busanadari kota Kembang ini. Wajahnya mememang imut dan semoga tidak amit-amit hehehe.

Pada dinding wallnya selain tampil koleksi berapa fotonya juga termuat beberapa puisi panjang. Puisinya menunjukkan sesuatu talenta tersembunyi. Saya seperti menemukan berlian (didalam namanya memang ada “Berlian”) dan berlian itu perludigosok, dibentuk, menjadi tidak sekadar perhiasan, namun untaian puisinyaharuslah menjadi manik mutu manikam. Di luar dugaan, setelah sehari keluar darigrup, ia kirim inbok dan menyampaikan keinginannya menjadi anggota grup puisi2,7 lagi. Keinginannya saya penuhi, kembali saya masukkan sebagai anggota grup.Ia kemudian memberanikan memosting sebuah puisi, saya bubuhi bintang atas kualitas estetis dan muatan nilai dalam puisi yang dipostingnya. 

Seperti kecanduan, ia pun memosting puisi kedua, ketiga,keempat, kelima, dan keenam. Lima puisi bertaburan bintang judulnya dapat dirangkai seperti ini: 

USAI CERAI, ALONE 
PAPAH JIWA YANG BERSIH 

Frieska Rara Berlian melalui dokumen ini paling tidak mengajak pembaca untuk mencapai katarsis, sebuah pencerahan dan persembahanjiwa yang bersih. Pada mulanya sengkarut dan kemelut hidup, redup dan kalut.Mulut seakan tertutup kabut sehingga segalanya terasa usai. Puisi yang terdokumentasi seakan jadi mata rantai kemelut hidup. 

Apakah yang terjadi USAI CERAI? Jawabannya "ALONE,sendiri atau siklus kedudupan terkesan "lamban (alone, pelan). Kemudian setelah itu ada seruan yang mengusik kalbu PAPAH JIWA YANG BERSIH. 

Pada titik seseerang mampu memapah jiwa putih bersih, makaUSAILAH musibah dan segala keluh kesah. Itulah gambar hidup dan dinamikanya terpapar dengan baik yang secara keseluruhan melukiskan SIKLUS HIDUP.Pada rangkaian judul itu dapat diraba betapa muskylnya hidup, penuh karut marut,kemelut dan bahkan bayang maut. Ini yang menjadikan puisi dalam Pusat Dokumentasi Sastra ini merebut perhatian pembaca. 

Pengalaman hidup yang beragam kreatorlah yang memberi nyawa dan kekuatan pada puisi, yang tertuang dalam ruang kontemplasi yang bermuara pada katarsis. Katarsis ini yang dikemukakan dengsn baik, seperti judul yang terangkai di awal 

USAI 

Langit senja memudar hitam 
O, bunga berguguran! 

Frieska, 17.05.2014 **** (DAM) 

Jiwa Yang Putih 

Di relung hati, nurani bercahaya
: terang gemintang

Frieska, 16.05.2014 

Ruh puisi sebagai manifestasi spiritualitas dan ruhaniah dengan baik terunggah pada puisi cantik ini : jiwa putih, berkilau. SelamatFrieska Rara Berlian.***** Jiwa putih senantiasa bercahya, seterang gemintang (DAM)

CERAI 

Dinding nurani pecah 
Airmata kepedihan menggenang; tumpah 

Frieska, 15.05.2014 *****(DAM)

Imron Tohari Benar mas Dimas Mihardja, Frieska RaraBerlian dengan pola tuang puisi 2,7 seakan sudah menyatu saling kenalsebelumnya, salut. puisi ini menurutku matang, penggunaan tanda baca jugatepat. Puisi indah dan sarat pesan moral. ok****

ALONE 

Sunyi terbalut dingin 
Resah mengetuk malam. ah! 

Frieska, 16.05.2014 (*****(DAM) 

PAPAH 

Menggantung wajahmu di dinding kenangan 
Mataku terburai!

Frieska, 15.05.2014 *****(DAM) 

Puisi berjudul PAPAH (PAPA, AYAH, BAPAK) yang dipublis oleh Frieska merebut perhatianku. Pertama, puisi ini adalah puisi perdana yang diposting di grup ini. Kedua, meski puisi ini telah direvisi atas bantuan kawan-kawan grup (DAM, Diani Noor Cahya, Hardiyono Sulang) terkait dengan kurangnya titimangsa dan penulisan tanda seru, puisi ini terasa mengharu-biru. Betapa sosok ayah (papah, bapak) bagi seorang anak meninggalkan jejak kenangan. Pada larik pertama sebagai lukisan suasana awal tarasa dengan jelas dan kuat: 

Menggantung wajahmu di dinding kenangan. 

Padu dan padan kata pada larik ini tergolong kata kongkret,yang dengan jelas memberikan gambaran angan bagi pembaca. Sosok papah ituseolah-olah menjadi potret yang bisa digantung, dipandangi, dan aneka kenangan bersama papah kembali hadir seperti film. Akibatnya larik kedua “matakuterburai”. Air mata deras mengalir.Meskipun terburai itu kurang cocok dengan mata (terburai misalnya cocok untukusus, ususnya terburai), namun efek “bum” hadir pada pilihan kata terburai (dan tidak dikatakan “terurai”, yang kesannya biasa saja. 

Melalui postingan perdana di grup puisi 2,7 ini dapat diraba bahwa pada diri Frieska terdapat potensi sebagai penyair masa depan, tentu melalui serangkaian proses dan bimbingan yang benar. Pilihan judul PAPAH,selain berkonotasi dan merujuk ke sosok ayah, juga secara implisit menggambarkan keadaan tidak berdaya, seperti ungkapan ini: “Ia perlu dipapah, berjalan mendaki bukit terjal”. Dipapah adalah digandeng, dirangkul, dituntun, untuk terus melakukan perjalanan. Terlintas dalama pikiran, bahwa seseorang yang lemah erlu dipapah, dibimbing, didukung, dan diarahkan menuju tujuan yang dikehendaki. Jadi, puisi ini selain menarik perhatian juga menyodorkan sesuatu renungan yang baik. Frieska sempat ragu-ragu untuk bergabung dengan grup puisi2,7, bahkan nomor anggotanya yang ke 6666 dan akan dikirimi bingkisan buku ditolaknya, “maaf, saya hanya mau tahu dua tujuh itu seperti apa dan tidak berharap mendapatkan hadiah”, begitu kira-kira ia merespon kemauan baik admin grup. Di pihak lain, Aiyu Nara sebagai sekretaris grup lalu seolah-olah ingin merangkul keraguaan Frieska, dengan puisi yang saya bubuhi bintang 4, sepertiini: 

AMSAL MAWAR

kemarilah manisku, sebentar 
sungguh, memelukmu aku ingin 

AN,mei 2014 

KLOP. PAS. Seakan seperti tumbu mendapatkan tutup. KeraguanFrieska soal kemampuan menulsi puisi direspon dengan baik sekali oleh AiyuNara, dengan sebuah amsal, metafora, perbandingan yang indah, yakni bungamawar. Kata-kata larik pertama puisi Aiyu Nara :kemarilah manisku, sebentar.Sebuah seruan dan ajakan lembut agar seseorang berkenan datang, manis sekali.Ditambah larik kedua: 

sungguh, memelukmu aku ingin. 

Terdapat enjambemen/pemotongan larik dengan baik..../sebentar/ dan /sungguh/ yang tidak menjadikan puisi ini idenya menderas.Puisi Aiyu Nara seakan-akan melukiskan sosok ibu yang penuh kasih-sayang dan kerinduan ingin sungguh-sungguh memeluk “manisku” Puisi hakikatnya suara batin penyair. Suara batin itu meruangkan kontemplasi bagi pembaca dan kreator, puisi yang baik seperti mengebor sukma dan menawarkan pencerahan. 

Puisi yang baik tak sebatas curhat. Unsur puisi larut,kental, pekat alias sublim. Puisi bukanlah permainan bahasa semata, melainkan eksplorasi bahasa asosiatif, sugestif, ekspresif dan magis. Jika 4 corak bahasa ini hadir dalam puisi peembaca bisa tersihir. Puisi seperti ini layak mendapatkan bintang ★★★★★. Bahasa asosiatif maksudnya puisi mampu membangkitkan pikiran dan perasaan yang merembet dan berkisar ada makna onotatif yang lazim.Bahasa ekspresif mengandung maksud bahwa setiap pilihan unyi. Kata, kalimat,majas,dll dipergunakan leh penyair untuk keperluan ekspresi, mampu memperjelas gambaran makna, dan menimbulkan kesan yang kuat. Setiap unsur bahasa dipergunakan oleh penyairnya untuk mengeskspresikan nada puisi, suasana puisi, rasa dan pengalaman penyairnya. Bahasa puisi bersifat sugestif maksudnya puisi bersifat menyaran dan memengaruhi pembaca secara menyenangkan, nikmat, dan tidak terasa memaksa. Dan dalam konteks tertentu, bahasa puisi bersifat magis. Maksudnya bahasa puisi memiliki kekuatan magis, membius,menyentak dan mengagetkan pembaca dan berseru “WOW”. 

Pada diri Frieska selaku creator tampak adanya labilitaspsikologis di sat ihak an potensi kreatif di pihak lain. Ini wajar mengingat kisah hidupnya penuh warna-warni, suka dan duka silih berganti. Karena bila ini lagi-lagi mengajukan izin untuk keluar dari keanggotaan grup, dan saya hanya mengingatkan jika ingin bertambah dwasa dn matang, berinteraksilah engan banyakangota dn admin grup. Rupanya labilitas itu disebabkan tiadanya kawan di grup ini.Setelah banyak melakukan interaksi dan mulai mendapatkan kawan, ia menuliskanpuisi keenam berikut ini: 

CINTADALAM HATI

kusentuh dalam senyuman. kekasih 
Gelombang cinta menerjang 

Frieska, 18.05.2014 

Lagi-lagi melalui posting uisi keenam ini ia menunjukkan talenta alam memilah dan memilih kata dan secara implisit Frieska mulai menunjukkan rasa cinta pada grup yang hebat ini, begitulah Frieska dan puisi-puisinya yang tampak kontroversial, beberapa melanggar kaidah tata bahasa,dan perolehan bintang yang terkesan kontroversial, tidak rasional, dan bahkan sensasional. Dalam hatinya tumbuh cinta untuk grup ini, sebuah grup yang dikelola brdasarkan prinsip saling sah, asih, dan asuh. Tetapi labilitasnya mulai menggelisahkannya saat di ruang komentar ada beberapa pihak“mencurigainya” memiliki akun ganda, tentu mengandung dan mengundang epalsuan.Terlebih sikap kritisnya dalam merespon dalam berbagai interaksi terkadang dicurigai sebagai “bukan orang baru” tetapi dipandang sebagai “orang lama” yang telah mengenal puisi 2,7. 

Terkait dengan “kecurigaan” itu, saya pribadi sebagai admin dan pendiri grup mengelus dada lantaran prihatin. Grup seolah-olah gempar,ribut,dan tidak nyaman dan mas Imron Tohari bahkan menghapus berapa komentar yang dipandang dapat membahayakan grup. Terkait dengan ini, saya menulis: Mas Imron Tohari yang adem, kalem aja. Tenang, belanda masih jauh. Saya keras dan tegas. Puisi 2,7 harus berkembang. Perbedaan memang indah. Kita contoh piano.Antara bilah hitam dan putih berdampingan menciptakan harmoni dan nada indah. 

Siapa pun baik tak curiga, apalagi meniupkan isu akunganda. Jika memang ada akun ganda dan jadi pengacau pasti diremove. Identitastak jelas akan disingkirkan. Siapapun itu. Ini prinsip. Jenis kelamin ganda itu tidak sehat. Curiga hanya membuat sesat. 

Kita tak mau stagnan. Beku. Kaku seperti batu. Jernihlah dalam berpikir. Sehatlah dalam berbuat. Kita perlu melakukan reformasi diri,puisi 2,7 harus inovatif dan prospektif. Menutup diri dari kebaruan itu tak berguna. Pintarlah mrmbaca suasana. Mewujudkan keadaan. Tidak emosi. Jauhkan syak wasangka. Saling mencintalah seperti kita bercinta dengan puisi 2,7. Siapa mau maju, rombak alam pikir sempit. Luaskan wawasan dan kedewasaan dalamberdikap dan berperilaku. Apresiasi puisi bertolak dari puisi. Apresiasi hakikatnya penghargaan, penuh toleransi, inovatif, kreatif dan prospektif. Pikirkanlah hal itu. 

Jambi, 18 Mei 2014 Salam DAM 123 sayang semuanya

Senin, 14 Juli 2014

PERANG BINTANG DI ANTARA RASA SAYANG: DIANI NOOR CAHYA DAN FRIESKA RARA BERLIAN

Catatan Kecil Dimas Arika Mihardja 

Grup puisi 2,7 memberikan fenomena menarik. Pertama, kenapapenyair wanita menonjol di antara penyair lelaki? Pertanyaan ini mengundang isugender yang amat berbahaya jika diuraikan jawabannya. Sebab soal gender terkaital-hal yang sensitive dan enderung diskriminatif. Kedua, apakah kemenonjolanpenyair wanita ini terkait banyaknya lekuk-liku secara fisik? Pertanyaan keduaini pun mengarah ke bias diskriminatif dan akan enumbuhkan kegelisahan baru. Ketiga, kenapa Dimas Arika Mihardja(DAM)ealu menyambut baik penyair wanita yang secara fisik terlihat cantik?Terhadap kesan seperti ini, saya perlu meluruskan. Saya lebih tertarik pada puisiterposting ketimbang dikaitpautkan dengan sosok pemosting puisi. Bagiku halyang nomor satu ialah berhadapan dengan puisi dan bukan terkait dengan sosokpemilik puisi. 

Puisi bagi saya adalah segala-galanya, melebihi pemilikpuisi yang sama sekali belum kenal, apalagi bertatap mka. Hal yang palig sayahadapi yangutama iah puisi, tepatnya puisi yang menarik hati, yakni puisi yangsering saya katakana sbagai puisi yang memuisi an meuasi. Puisi memuisi terkaitdengan dimaksimalkannya piranti bahasa untuk mengekspresikan puisi, danmemuasinterkait dengan adanya nilai-nilai yang dibawa oleh keelokan fenomenabahasa puisi. Dalam tulisan ini saya akan menyandingbandingkan dua penyairpotensial (bukan penyair sial lho ya hehehehe), akni Diani Noor Cahya yangpuisinya enurutku brcahya dan Frieska Rara Berlian yang puisinya berkilauansrupa berlian. Perbandingan dua puisi ini bukan untuk mencari iapa pemenang dansiapa yang kalah, melainkan semata-mataingin mendedahkan pertanggungjawabanpenyematan bintang 5 pada puisi mereka 

Diani Noor Cahya,Perang di Atas Kasih Sayang

Sama kita baca puisi yang diposting Diani Noor Cahya (DNC)berikut: 

BHARATAYUDA

kurusetra banjir darah 
airmata pilu (se)ratu(s) kurawa
 ____________ 
Dn_160514 

Pada puisi ini saya membubuhkan bintang ★★★★★. MANTAB.Puisi yang termasuk memuisi dan memuasi ditilik dari penataan unsur-unsurbahasa sebagai media ungkap isi—substansi pisi. Siapa pun yang gemar wayangakan tahu kisah Barata Yuda sebagai peperangan antarsaudara (100 Korawa an 5pandawa). 100 orang Korawa dan 5 orang Pandawa ini bersaudara, keduanyasama-sama lahir sebagai dinasti Kuru, dalam wilayah Hastina Pura. Perang besaritu terjadi di Kurusetra, sebuah tempat pengujian tidak hanya kesaktian,tetapikebajikan dan karma. 

Baris pertama merupakan deskripsi suasana dan latar peristiwa “Kurusetrabanjir darah”. Deskripsi latar suasana, tempat peristiwa, dan suasanadengan baik terpapar hanya dengan tiga kata: kursetra, banjir, darah. Dengatiga diksi ini aneka imaji berjalin-berkelindan (imaji visual “darah”, imajigerak “banjir darah” dan sekaligus membangun suasana geuruh akibat adanyaperang besar. Setiap prng tentulah meariskan arah yang menggiriskan, membuatmiris, ratap tangis, dan tragis. Perang mengiris-ris gelisah rasa. 

Lewat kreativitas dan inovatifnya DNC menampilkan larik 2 yangmenurut saya luar biasa:airmata pilu (se)ratu(s) kurawa. Konstruksilarik kedua ini dapat diuraikan adanya beberapa gagasan yang bertumbuk menjadisatu: (1) airmata pilu seratus Kurawa,(2) air mata pilu se-ratu Kurawa, (3)banjir darah itu sebagai akibat kalah (dan berdarahnya) seratus Kurawa.Penumpukan (pemadatan) tiga gagasan yang menurut saya luar biasa cerdik dankreatifnya DNC. Secara fisik, seratus Kurawa kalah dan berdarah-darah. Hal itumengundang dan mengandung pilu yang luar biasa, terutama bagi si ibu ratu,yakni ibu yang melahirkan dinasti Kurawa dan Pandawa yang bersaudara itu. Ibumana yang tega melihat anak-anaknya bermusuhan, perang antarsaudaranyaendiri.Kepedihannya tentu di atas pilu, sebuah kecamuk prasaan ang ak terbayangkanjika seorang ibu harus menyaksikan nak0anaknya saling bunuh di dean matanya.Rasa pilu itutentu saja menderas dalam bentuk air mata kepedihan yng takertanggungkan oleh rasa saying yang dimiliki oeh seorang ibu. 

DNC melalui puisi 2 larik 2 kat mampu merekam kisah besar, yakniBarata Yudha, sebuah episode Maha Barata. Tentu saja banyak nilai yangdititipkan sebagai pean luhur melalui puisi berbintng 5 ini, (1) perang hanyaakan menyisakan kepedihan, (2) sesama saudara hndaklah aling menyayangi dan tidaksaling bermusuhan, (3)sosok ibu (ratu) memegang peran sentral dlam mnumbuhkanasa kasih an saying, (4)perasaan sih dn ayang memngkinkan eorang ibu taksanggup ncegah peperangan, mengingat perangan itu memang diperlukan uukmengenai keejatian,kebenaran,an keadilan,(5) kasih saying ibu dapat diumpamakansang Pemilik ehidupan, ibulah ymelahirkan ak-anaknya dan surge da bawah elapak ibu. 

Rasa Sayang FrieskaRara Berlian 

Seperti DNC, Frieska Rara Berlian (FRB) juga pendatang barudi grup puisi 2,7. Bedanya DNC lebih dulu menjadi anggota grup disbanding FRB.DNC rajin berinteraksi memberikan aneka komentar pada postingan lan, demikianjuga FRB. Keduanya emiliki sikap kritis, reatif,dan memiliki ide-ide brilliant.Kedua penyair ini dalam pandangan aya sama-sama meroket karena puisinyamenarik, unik, dan menawarkan ssuatu yag baru. Bedanya, FRB lebih seringfrekuensinya alam memosting puisi dan setiap postingan puisinya selalubrtaburan bintang, sedang DNC reltif jarang memosting puisi dan lebih banyak turutinteraksi sebagai pejalan ulang-alik budaya I beberapa grup yang menggelarpresiasi. DNC lehih tertarik mengikuti diskusi dn apresiasi uisi dan FRB tampak msih malu-malu melibatkan iri alamdiskusi. FRB dalam pekan yang sama memosting puisi ini: 

SAYANG 

seharum kelopak mawar, kau 
Menghujani bunga-bunga cinta 

Frieska, 19.05.2014 

Puisi “Sayang” ini dalam pembacaan saya tampak mengalir,cair, lembut dan romantic. Melalui mtafora “seharum kelopak mawar” seseorang(kau) digambarkan “menghujani bunga-bunga cinta”.Dua larik tujuh kata pada puisi FRB hadir sebagai metafora,kias, dan bahkanimbol cinta. Ia menempatkan “kelopak mawar” dan “menghujani bunga=bunga”, yangkeduanya mewakili lukisan cinta yang lembut, beruntun, terus-menerus (sepertibanjir darah pada puisi DNC) imaji gerak, imaji visual, iamaji asa bercampurbaur utuk mlukiakan rasa saying bagi seseorang oleh orang lain. 

Pada puisi DNC rasa saying itu membayang begitu samar danbahkan cenderung menjadi latar suasana kenapa perang mesti terjadi di hadapaneorang ibu? Ternyata perang itu bukan dilandasi oleh permusuhan, mlainkan olehsebuah tujuan mulia siapa benar, siapa salah, siapa sombong,siapa pongah, siapamemang, siapa kalah dan mempertaruhkan hrga diri sebagai kesatria. Rasa saying yangbermuara cinta pada puisi FRB terlukis mlalui pilihan symbol kelopak mawar danmenghujani bunga-bunga cinta. Bunga-bunga cinta pun bermekaran ndah krenadihujani rasa kasih saying antarsesama anusia. 

Catatan Penutup 

Tema kasih saying adalah persoalan yang abadi, akanselalu ditulis oleh penyair sepanjang jaman,sepanjang dunia ini masih erputar.Hal yang membedakan tema ini menjadi sekedar curhat aau dengan piawaienyidorkan kehalusan prenungan iaah bagaimana eorang penyair mengemas ienya.Puisi yang elok ialah pisi yang dengan pilihan bahasanya memuisi, dan ditilikdari pesan yng ingan disampaikan berguna dlam kehidupan. Tema cinta dan kasihsaying pada puisi DNC lebih menyangkutkemanusiaan sejagad, sedangkan pada puisi FRB menyangkut hubungan sepasangkekasih yang menghujani bunga-bunga cinta sehingga rasa saying iyu tumbuh dItaman bunga. 

Baik DNC maupun FRB memiliki talenta. Talenta ini tampak pada puisi-puisinya yang bertaburanbintang. Ada hal yang penting drenungkan olh dpenyair ni, yakni jangan sampaipujian da sanjungan justru mmatikan kreativitas berkarya. Jangan sampai munculharapan agar setiap puisi yang diposting harus mendapatkan bintang.Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit, ujar mantan presiden danproklamator kita Soekarnom dan tetaplah berpijak d bumi ralita b ahwamenghasilkan puisi yang baik dan matang itu bergantung musim ercinta,imbuh DAM.Artinya, profesi penyair haruslah emiliki rasa cinta. Cinta pda sejarah astra,teori sastra,kritik astra, suka tradisi,mengenal konvensi, an berupaya lakukanivovasi terus-menerus. SELAMAT BERJUANG BAGI KEDUA PENYAIR GARDA DEPAN, LIHATLAHBERGULATAN MASIH PANJANG. 

Dengan salam DAM 123 syang emuanya

LOKOMOTIF DIMAS ARIKA MIHARDJA (DAM) DAN GERBONG-GERBONG YANG DIGERAKKANNYA

Oleh Kajitow El-kayeni 

Manusia tidak selalu berjalan pada kecuraman atau kelapangan hidup selamanya. Ada beberapa bagian dalam hidup yang berbolak-balik, tidak ada stagnasi di sana. Hidup yang dinamik mengantarkan setiap orang pada pilihan, baik yang mungkin atau justru yang tidak logis. Untuk menyikapi itu, manusia dengan kelebihan akal yang dimilikinya berusaha memetakan, mencatat, mengevaluasi, kemudian mengambil tindakan penyelesaian. Meskipun hidup yang dinamik tidak selesai di situ. Saat satu pilihan jatuh, sebenarnya telah menunggu pilihan-pilihan lanjutan. Di sinilah manusia diuji oleh situasi, diuji oleh hidup, diuji oleh dirinya sendiri, untuk melakukan hal yang terbaik menurut pertimbangan dan dorongan subyek-subyek yang bergerak dalam dirinya. “Sketsa Sajak Dimas Arika Mihardja” adalah gambaran dari hal itu, dalam pandangan penyair, hidup atau seluruh kejadian dalam hidup adalah lukisan pergulatan tersebut. Penyair mencatat semua itu melalui goresan karakter, gambar rancangan, yang terkandung maksud, hidup bukan sebuah gambaran yang selesai. Penyair memang mencatat itu, atau lebih tepatnya menggoreskan hal itu ke dalam medium bahasa, tapi tidak hendak berhenti pada kesimpulan final. Apa yang digoreskan ke dalam bentuk gambar rancangan itu adalah sebuah titik fundamen yang memungkinkannya untuk mengambil pertimbangan serta keputusan di waktu berbeda. Kesimpulan yang terus bergerak. 

Premis yang dimunculkan dalam puisi bukan sebuah definisi universal. Penyair ketika membuat keterpihakan sudut pandang tidak sedang mewakili sebuah pandangan absolut. Pandangan seperti itu lebih jatuh pada perenungan subyektif penyairnya. Dan ini tentu saja bukan pegangan yang jadi, yang membuat pemikiran dalam puisi tersebut sebagai konklusi final dari sebuah pemikiran. Jika dalam proses kepenyairan seseorang ditarik rentang waktu, bisa jadi masa-masa yang dilalui seseorang dengan perenungan sebelumnya terdapat kontradiksi. Begitulah penyair itu mencatat perasaan dan pandangannya terhadap fenomena yang ditemuinya dalam hidup. Bisa diambil contoh misalnya seorang filsuf sekaligus ahli sufi seperti Ibnu Arabi yang menggambarkan sebagian pemikirannya dalam syair, hal itu tidak lantas membuka seluruh selubung pemikirannya. Karena bahasa yang dimiliki puisi cenderung ambigu dan melahirkan bermacam-macam persepsi. Inilah yang membuat puisi tidak berhenti pada kesimpulan absolut. Lagipula perenungan yang masuk dalam puisi adalah pembahasaan perasaan, keterpihakan subyektif yang tidak memuat penjelasan gamblang. Keterbatasan ruang dan waktu ini membuat puisi hanya membahas satu lesatan perasaan yang dituturkan sesuai bagian penggambaran. Maka sebuah puisi yang sufistik sekalipun bukan diktum terang sebagai konklusi dari pemikiran universal penyairnya. 

Dengan subyektifitas temporalnya, DAM menghadirkan keterpihakan sudut pandang itu. Penyair berusaha menggulirkan perenungan-perenungan dalam bentuk puisi. Ia sesuai judulnya, tentu saja adalah sebuah sketsa yang bermakna konotatif. Penyair menyadari, dalam hidup manusia selalu menemukan kebenaran-kebenaran baru. Karena tidak ada yang final di sana, kebenaran bersifat relatif bukan berbentuk absolut dan selesai. Hidup yang selalu menghadirkan kontradiksi dan paradoks tidak memberikan titik akhir dari perenungan. Kemudian, yang dihadirkan dalam antologi ini tentu saja sesuai kesederhanaan judulnya, adalah kesahajaan. Bukan sebagai bangunan megah dari cita-cita muluk-muluk untuk menjadikannya monumental, nyentrik, unik, kiblat penciptaan, pembaharu, best seller, kanonasi, dan seterusnya. Tetapi yang disajikan adalah gambar rancangan yang mewakili kesederhanaan pandangan dan sikap penyair dalam menjalani hidup. Yang muncul dalam antologi ini adalah variasi tampilan momen puitik. Puisi, yang pada umumnya selalu mengambil jarak dari keseharian menjadi berbeda di tangan DAM. Momen puitik yang terbentuk itu adalah sembarangan momen yang sengaja dipuitikkan. Ia bukan lagi ruang sakral sebagaimana disebut Chairil, “yang bukan penyair tidak ikut ambil bagian.” Di tangan DAM, kejadian lumrah, benda-benda familiar, hal-hal yang tidak menarik untuk dipuisikan, diolah sedemikian rupa sehingga layak saji. Dan dengannya puisi hendak mewakili banyak pihak. 

Sajak-sajak DAM memperlihatkan kesahajaan dalam banyak bentuk. Sebagai manusia, penyair juga gusar atas fenomena sosial-politik di sekitarnya, tapi tidak lantas menyuarakan hal itu dengan cacian dan sumpah serapah. Sebagai manusia, penyair juga merasa sedih atas tragedi dan bencana, tapi tidak lantas meratap berkepanjangan dan berkeluh kesah. Sebagai manusia, penyair juga merasa bahagia, jatuh cinta, tapi tidak lantas mengumbar keseronokan dan kegilaan yang berlebihan. Ini self control, meskipun penyair yang hidup dalam naungan kebebasan berekspresi dalam beberapa puisinya menampakkan keumuman itu. Ia juga mengangkat diksi yang terkesan agak berani seperti pada puisi “RUANG LENGANG [CUT NYAK DIEN].” Ini adalah bentuk yang memperlihatkan sisi lain penyair sebagai manusia yang lengkap. Tetapi bukan sebuah ciri khusus jika hendak dibandingkan dengan kebanyakan puisi yang diciptakannya. Lebih jauh memandang puisi tersebut adalah sebagai upaya kreatif untuk menghadirkan kebebasan imajinasi. Yang di belakang itu tentu saja memuat makna kontemplatif yang dewasa dan bertanggung-jawab. 

Dengan gayanya yang khas, DAM melalui sajaknya hendak mengajak sekaligus mengejek. Mengajak dengan sugesti baik pada hal-hal yang secara arbitrer disebut baik. Mengejek dengan pasemon dan humor pada hal-hal buruk mengenai isu sosial dan politik yang mengindikasikan tumor. Bahasa dalam puisi memang tidak berhenti pada satu titik pemaknaan yang selesai, kita tahu itu. Ia bisa terayun pada banyak hal meski terdapat satu kesan yang paling kuat. Seperti halnya kesan humor yang diangkat DAM dengan diksi akrabnya itu, ejekan tersebut adalah humor yang getir. Humor yang justru jatuh pada kesan sedih dan memprihatinkan. Seperti yang terbaca dalam puisi, “GEOGRAFI (BACA: GEROGOTI) INDONESIA.” Penyair memang tidak menceburkan dirinya secara langsung sebagai korban. Dari sudut pandangnya terlihat ia bermain di ruang antara yang menjembatani antara pelaku dan korbannya. Dalam bentuk lain, misalnya sisi religiositas, DAM dengan bahasa yang akrab menyebut Tuhan sebagai Kekasih yang dipenjarakannya dalam hati. Kekasih yang tidak hendak dibaginya kepada siapa pun. Seperti yang dikatakannya dalam puisi berjudul DI BALIK KABUT NAMAMU KUSEBUT: “//mengunci daun pintu dan jendela / saat Engkau terkurung / dalam bilik di dada penuh cinta / : kusebutsebut nama harum kamboja! //.” Atau yang dituturkan dengan bahasa lugas dalam QASIDAH CINTA SEBELUM AJAL MENGEKALKAN AMAL. DAM memperlihatkan kecintaannya yang sangat sehingga menyebut Asma Allah sebanyak tiga puluh kali, masih ditambah pula dengan sebutan lain yang referen pada Tuhan. 

Beberapa puisi dalam antologi ini, sesuai kebiasaan penyair dalam menghadirkan komunikasi puitikal tingkat ke dua, hendak ditujukan pada nama atau inisial yang menjadi bagian dari judul atau sub judul puisi. Seperti pada puisi SENIPATI (SENOPATI) PAMUNGKAS, SUE, BEGITU AKU MEMANGGIL, DYAH AYU SUKMAWATI, SAJADAH BUAT BUNDA. Bentuk seperti ini untuk menunjukkan kedekatan emosional penyair dengan sosok yang dituju puisinya. Juga sebagai bentuk dedikasi, yang jika itu berkaitan dengan sesama penyair akan menghadirkan gerak kesalingan penciptaan. Gerak kesalingan semacam inilah yang membuat dunia perpuisian menjadi hidup dan semarak. 

Kata-kata adalah segalanya bagi penyair, ujar Sapardi dalam kredonya. Karena berbekal kata-kata itulah puisi mendayagunakan komunikasi batin kepada pembacanya. Puisi, seperti yang diciptakan oleh Sapardi memaksimalkan fungsi-fungsi bahasa, termasuk fungsi tanda baca. Kita tahu premis Sapardi ini berjalan searah, ia bukan definisi universal yang memuat segala tafsiran atasnya secara absolut. Kata-kata memang segalanya bagi penyair, tetapi kata tetaplah kata yang hanya menjadi pintu masuk untuk memahami makna. Kata-kata bukan batas terakhir yang menjadi tujuan penyair. Ketika mencermati Sketsa Sajak Dimas Arika Mihardja, hal itu terlihat jelas bahwa DAM tidak menjadikan kata sakral sehingga mengandung daya magis dengan sendirinya, sebagaimana kredo Sutardji. DAM tidak menganggap kata adalah segalanya, dalam arti bukan hasil akhir yang dikejarnya. Hal itu terlihat dari seringnya DAM mengumpulkan kata yang terserak, kata yang akrab dan sederhana dalam pengucapan, kata yang tidak memiliki stereotip bersinggasana kepriyayian dengan kesan wah yang dimilikinya, kata yang biasa tapi menjadi tidak biasa. Di sini jelas ada gaya berbeda antara DAM dan beberapa penyair lain yang mungkin memiliki kebiasaan mencomot diksi sederhana dalam berpuisi. Perbedaan itu tampak dari bagaimana jalinan kata itu terbentuk. 

Saya tidak setuju begitu saja dengan sistem angkatan yang digulirkan oleh HB. Jassin itu. Mengingat ada penyair yang tidak bisa digolongkan berdasarkan corak puisi pada jaman tersebut. Misalnya penyair seperti Rendra yang memiliki karakteristik tersendiri dalam berpuisi, sehingga HB. Jassin sendiri tidak mengelompokkan Rendra ke angkatan manapun dilihat dari corak puisinya. Meskipun dalam hal tertentu, katakanlah untuk menangkap pesan dalam puisi berdasarkan dinamika dalam era tertentu, sistem angkatan memang banyak menyumbangkan kerangka pikir historis penyairnya. Pergolakan sosial-politik yang terjadi mempengaruhi pikiran dan perasaan penyair dalam membentuk puisinya, apalagi jika berkaitan dengan tema sosial-politik. Ini mungkin juga sebuah pradoks, saat memandang seorang penyair itu harus dikelaskan pada periode mana. Apakah sistem itu mengenai kapan penyair dilahirkan? Atau kapan penyair itu membuat puisi? Kadangkala, ada penyair yang terlahir secara fisik pada era-era sebelumnya, tapi baru tekun berpuisi pada era-era sesudahnya. 

Meskipun jika hendak dimasukkan dalam sistem tersebut, yakni dengan membuat angkatan baru tentu saja sah-sah saja. Saya lebih tertarik membaca peranan penyair sebagai lokomotif yang menggerakkan gerbong-gerbong penyair di belakangnya. Melihat corak puisinya, DAM memadukan gaya kontemporer dengan puisi modern juga puisi lama. Berbagai gaya yang ditampilkan menunjukkan penguasaan dalam bereksplorasi dengan berbagai gaya, sekaligus sebagai upaya percontohan, serupa lokomotif yang menggerakkan gerbong-gerbong di belakangnya. Melihat fakta ini, besar kemungkinan hal tersebut muncul karena dorongan dua dunia yang ditapaki oleh DAM. Sebagai pendidik ia harus memegang teguh konvensi dan mengajarkannya, seolah rel yang melandasi roda kereta api. Tapi sebagai penyair ia terus berusaha mewujudkan kebaruan sehingga membuatnya serupa lokomotif yang menarik gerbong-gerbong di belakangnya untuk terus melaju menembus ruang dan waktu. 

Kajitow El-Kayeni 
Esais, tinggal di pinggiran Jakarta.

MEMBEBASKAN MENULIS PUISI

CatatanPenulisan Kreatif Puisi di Komunitas Pintu 
 Oleh: Sudaryono 
                                            Prolog 

Dalam mengisi peringatan Hari Pendidikan Nasional, saya memenuhi undangan KomunitasPintu (Art and Culture) untuk tampil sebagai pemateri Penulisan Kreatif Puisi. Satu agenda kerja yang menurut pertimbangan saya wajib dihadiri dan diharapkan bisa menyebarkan “virus cinta”puisi bagi peserta pelatihan. Menurut catatan, peserta pelatihan sebanyak 70peserta terdiri atas pelajar dan mahasiswa yang ada di kabupaten Tebo. Satu hal yang ingin saya tularkan kepada peserta pelatihan ialah upaya membebaskan siapa saja dalam menulis puisi. Konsep membebaskan ini hakikatnya memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk secara leluasa memperkenalkan cara ungkap karya puisinya. 

Membebaskan menulispuisi mengandung makna memberi kesempatan seluas-luasnya bagi calon penyair mengekspresikan ragam gaya dan bentuk kepenyairannya. Dengan membebaskan kreasi maka akan dimungkinkan munculnya beraneka corak dan ragam puisi sesuai dengan relativitas gaya dari tradisi sastra yang berkembang di masing-masing daerah. Dengan kekebasan itu pula dimungkinkan pemakaian lambang dan simbol-simbol bahasa yangmuncul dari setiap karya memberikan kesegaran baru di dunia penulisan kreatif.Selain itu akan bervariatif pula pemakaian metafora, analogi, ataupersonifikasi dalam imajinasi calon penyair yang terabadikan di dalam karya ciptaannya. 

Penulisan kreatif puisi yang dihelat oleh Komunitas Pintu merupakan perwujudan dari upaya membentuk ruang komunikasi bersama serta mempererat hubungan silaturahmi di antara penyair dan masyarakatnya. Menyadari kemungkinan adanya perbedaan tradisi sastra yang berkembang. Berbagai konsep dan proses kreatif penciptaan puisi pada gilirannya memungkinkan dilakukan pemetaan untuk menganalisis setiap perkembangan yang terjadi dengan tujuan yang lebih konkrit membaca fenomena tradisi sastra dalam perkembangannya di kelompok pluralisme sosial masyarakat. 

Penyair dan karya puisi bisa jadi memiliki keterkaitan yang kuat dengan tradisi masyarakatnya. Akan tetapi, secara geografis, suku, agama, dan adat istiadat, sejumlah karya lain bisa jadi tidak memiliki batas keterkaitan dan keterikatan pada bentuk dan gaya penulisan.Karena itu, lingkungan kehidupan manusia dan benda-benda selalu dijadikan sebagai objek yang tidak hanya bersinggungan dengan dunia realitas, tetapi juga kontribusinya terhadap alam dan makhluk hidup. Sasaran yang akan dicapai melalui workshop penulisan kreatif puisi ini, mempertemukan setiap perbedaan.dengan semangat kedaerahan, membaca dan mengindentifikasi tradisi sastra yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat multietnis. 

Pelahiran Puisi 

Dari dulu hingga kini selalu ada upaya pelahiran puisi. Puisi lahir dari rahim sastra wayang karena profesi dan ”panggilan” hati nuraninya selalu didorong untuk melahirkan karya-karyanya. Puisi bagi sastrawan ibarat anak kandung kehidupan yang dicurahi dan dilandasi rasa kasih sayang. Bedanya dengan jabang bayi umumnya,janin sastra dikandung oleh sastrawan dalam kurun waktu yang tiada terbatas.Ada sastrawan yang mengandung ”janin sastra” selama sebulan, lima bulan,setahun, bahkan bertahun-tahun bergantung ”pendewasaan” dan kesiapan masing-masing sastrawan. Selama mendewasakan janin sastra, sastrawan tak pernah lelah mengasup gizi yang diperlukan bagi pertumbuhan janin sastra berupa perenungan, pertimbangan, dan ketepatan momentum pelahirannya. 

Dalam gejolak ekonomi, politik, sosial dan budaya seburuk apa pun tidak menghalangi pelahiran dan kelahiran puisi. Tidak ada pihak mana pun yang kuasa menghalangi pelahiran dan kelahiran puisi. Puisi bisa lahir di mana pun dan dalam kondisi apapun sebab sejatinya sastrawan selalu bergumul dengan daya kreativitasnya untuk berkarya. Menurut kodratnya, puisi dapat lahir sendiri dengan selamat karena pelahiran puisi itu bersifat personal dan individual. Namun, ada kalanya kelahiran puisi perlu ditolong dan dibantu oleh bidan (baca: instruktur yang bertindak sebagai pemateri workshop) dan dirawat oleh seorang Bapak Bijak (baca: pengamat/kritisi). Masalahnya adalah kehadiran bidan yang siaga yang siap melayani dan Bapak Bijak (pengamat/kritisi) yang penuh perasaan cinta untuk merawat dan memelihara pelahiran puisi semakin langka. 

Memang, puisi dapat lahir, tumbuh, dan kemudian berkembang sesuai dengan dinamikanya sendiri. Sastrawan dapat ”berdarah-darah” merawat tumbuh dan berkembangnya puisi. Ia menyerahkan hidup dan matinya demi kemajuan capaian estetika puisi. Ia tak mengenal cuaca. Tak mengenal musim. Tak mengenal perubahan panca roba.Sastrawan ialah ibu kandung sastra yang selalu memelihara anak-anaknya dengan penuh perasaan bertanggung jawab, penuh cinta kasih, penuh pengabdian, dan selalu menjunjung kebenaran dan keadilan di atas segala-galanya. Itulah sebabnya kemudian kita bisa memiliki khasanah sastra Indonesia klasik, sastra Indonesia baru, dan sastra Indonesia mutakhir. Sastrawan yang baik selalu mengawal karya yang dilahirkannya hingga tumbuh menembus perjalanan waktu.Tugas utama sastrawan ialah bagaimana ia melahirkan karya sastra yang bernilai literer, best seller, dan menawarkan sesuatu yang bermakna bagi dirinya sendiri, karyanya, dan terutama demi kebaikan orang lain. 

Catatan yang dapat dikemukakan terkait dengan pelatihan penulisan kreatif puisi adalah sebagai berikut. Pertama, ditilik dari semangat, setip peserta yang hadir mengikuti pelatihan tampak bergelora. Mereka datang dari berbagai pelosok desa,setidaknya berasal dari tujuh kecamatan yang ada di kabupaten Tebo. Mereka banyak yang masih mengenakan seragam sekolah, meski pelatihan dilaksanakan dihari Minggu. Seragam sekolah inilah yang secara tidak langsung juga meronai keseragaman semangat mereka mengikuti pelatihan. Apalagi kehadiran siswa dan mahasiswa itu dikawal oleh guru dan dosen mereka. Celakanya, dalam penulisan puisi keseragaman ini merupakan sesuatu yang menjadi penghambat, sebab kreativitas itu hakikatnya tidak seragam, melainkan beragam. 

Kedua, antusiasis medan semangat peserta pelatihan merupakan sesuatu yang menguntungkan dan bernilai positif. Dengan antusiasisme serta semangat yang dimiliki oleh peserta, memungkinkan tumbuhnya respon positif terhadap pelatihan menulis puisi. Begitu instruktur member kesempatan mereka menulis puisi, mereka dengan cepat menyelesaikan puisi. Peserta juga telah menyiapkan dua puisi yang dibawa dari rumah masing-masing. Hal ini memudahkan instruktur untuk mengkritisi puisi-puisi yang ditulis oleh peserta. 

Ketiga,lantaran menulis puisi merupakan proses (dari prapenulisan, penulisan draft,revisi, dan menulis naskah jadi), maka alur ini dilalui secara mengasyikkan.Hal yang utama di sini ialah sebuah pemahaman bahwa puisi yang baik memerlukan proses dan tidak sekali tulis langsung jadi. Peserta pelatihan antusias membacakan karyanya di hadapan peserta lain dan instruktur. Peserta lain lalu diberi ruang untuk meresepsi, mengkritisi, dan memberikan tanaggapan atas puisiyang ditampilkan. Proses “apresiasi” ini penting sebagai bagian bahwa penulis puisi yang baik hendaknya juga memiliki wawasan tentang puisi yang baik dan berkualitas. Dalam kaitan ini, puisi yang baik dan berkualitas, ditunjukkanlah10 indikator puisi yang baik dan berualitas. 

Keempat,catatan yang dapat diberikan dalam konteks ini ialah bahwa rata-rata peserta pelatihan menulis puisi memilih puisi yang cenderung konvensional, terpola, dan diwarnai oleh diksi yang biasa saja. Terkait dengan hal ini, instruktur tentu memberikan advis agar setiap peserta pelatihan berani menghasilkan idiom baru,ungkapan baru, dan wacana baru dengan memanfaatkan potensi penggunaan metafora,symbol, kias, dan sebagainya. Kepada para peserta pelatihan diminta menciptakan ungkapan baru semisal “instalasi dada”, “sungai dalam diri”, “bara kasih” dan seterusnya. Ungapan-ungkapan ini alaih-aloh untuk menggantikan dan sekaligus member kesegaran baru yang menggantikan diksi klasik yang dimiliki oleh peserta seperti “asa” dan kata-kata sehari-hari lainnya. 

Kelima, dimasa depan, jika diadakan pelatihan penulisan kreatif dengan frekuensi yang tinggi, mereka akan terasah dan terarah dalam menulis puisi. Puisi tidak memerlukan keseragaman, melainkan keberagaman. Keberanian mengungkapkan,penjelajahan, dan eksperimentasi baru akan lebih mendatangkan sesuatu yang mengasyikkan. Sesuatu itu akan lebih mengasyikkan ketika, misalnya, Komunitas Pintu berencana menyelenggarakan proyrk baca puisi dan membukukan karya peserta pelatihan. 

Menulis dan Membaca 

Menulis terkait erat dengan budaya membaca. Pepatah yang telah mendunia: “Buku adalah jendela dunia”.Pepatah ini tidak sekadar sebagai sebuah rangkaian kata yang telah melawat dalam telinga masyarakat dunia, tetapi juga memiliki makna yang tepat terkait dengan pentingnya aktivitas membaca bagi kemajuan sebuah peradaban. Namun, hal yang tampak ironis ialah realita bahwa tradisi membaca di kalangan masyarakat Indonesia sampai saat ini masih sangat rendah, terutama untuk masyarakat Indonesia yang notabene berpendidikan rendah. 

Menurut data yang diberikan Mendiknas, ada lebih dari 200 juta penduduk Indonesia yang melek huruf, dengan presentase akses masyarakat terhadap koran hanya 2,8 persen! Tahun 1999, rasio jumlah penduduk dengan surat kabar di Indonesia hanya 1 : 43 (1 surat kabar dibacaoleh 43 orang), bandingkan dengan Malaysia (1 : 8,1), Jepang (1 : 1,74), serta lndia (1: 38,14). Dari data statistik itu dapat kita temui sebuah kenyataan bahwa melek huruf yang tinggi ternyata tidak selalu diikuti dengan kebiasaan membaca buku. 

Survei yang dilakukan Taufiq Ismail terhadap pengajaran sastra dan mengarang di SMU beberapa negara menunjukkan hal yang memprihatinkan. Setiap tahun di Amerika, siswa ditugasi membaca novel sastra sebanyak 32 judul, Belanda 30 judul, Prancis 20 judul, Jerman 22 judul, Jepang15 judul, Kanada 13 judul, Singapura 6 judul, Brunei 7 judul, Thailand 5 judul,sedangkan di Indonesia 0 (nol) judul. Pantas saja kalau UNDP (2003) menempatkan minat baca masyarakat Indonesia di urutan ke-39, dari 41 negara yang disurvei.Goenawan Mohamad mengibaratkan bangsa ini telah melangkah terlalu lebar, dari dunia visual wayang menuju dunia visual televisi. Sementara dunia baca terlewatkan, miskin referensi dan literasi (bacaan).  
Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh dari aktivitas membaca. Salah satunya manfaat membaca adalah semakin bertambahnya ilmu pengetahuan. Disamping itu membaca juga menjadi salah satu alat yang jitu untuk menghilangkan stress atau paling tidak rasa jenuh setelah sekian hari bergelut dengan dunia kerja. Dengan membaca, rasa jenuh, letih atau tekanan-tekanan yang membuat otakbekerja ekstra seolah lenyap oleh ramuan membaca. Dalam membaca yang tujuan utamanya untuk menghilangkan kejenuhan, maka harus disesuaikan dengan jenis bacaan, baik yang berbobot atau sebaliknya. Untuk tujuan ini, jenis bacaan yang dibutuhkan adalah bacaan yang ringan, dalam arti dapat menghibur pembaca serta membawa pembaca seolah ikut terlibat dalam kehidupan cerita tersebut. Cerpen,novel, infotainment atau majalah, mudah dicerna oleh akal merupakan bacaan yang tepat dan bersifat menghibur. 

Dengan sering membaca seseorang dapat mengambil manfaat dari pengalaman orang lain, seperti mencontoh kearifan orang bijaksana dan kecerdasan para sarjana. Keyakinan seseorang akan bertambah ketika dia membaca buku-buku yang bermanfaat, terutama buku-buku yang ditulis oleh penuli-penulis muslim yang saleh. Buku adalah penyampai ceramah terbaik dan ia mempunyai pengaruh kuat untuk menuntun seseorang menuju kebaikan dan menjauhkannya dari kejahatan.Selain itu, membaca juga mempunyai manfaat penting dalam kaitannya dengan peningkatan mutu sumber daya manusia. Dengan gemar membaca, terutama tentang ilmu-ilmu pengetahuan baik alam maupun sosial, maka akan diperoleh berbagai informasi dan pengetahuan yang belum kita ketahui sebelumnya. 

Membaca sebenarnya merupakan aktivitas yang mudah, namun begitu sulit untuk meluangkan waktu untuk melaksanakannya. Apalagi, di era globalisasi ini, yang dipenuhi oleh teknologi-teknologi canggih, sehingga membaca tidak lagi menjadi sebuah rutinitas hidup melainkan kerjaan sampingan saja. Mungkin ini pulalah salah satu penyebab rendahnya sumber daya manusia Indonesia. Ketidakgemaran membaca membuat kita terasa amat kecil, dunia terasa sempit dikarenakan sedikitnya informasi yang kita peroleh. Padahal informasi dan ilmu pengetahuandari waktu ke waktu semakin lama semakin bertambah pesat. Bagaimana dengan kita manusia Indonesia? Akankah kita akan tertinggal jauh dari perkembangan zaman? Kita sebagai manusia, yang diberi akal yang lebih baik dibanding makhluk lain seharusnya mampu menelaah lebih dalam tentang ilmu pengetahuan yang tak pernah habis walau pun kita menggalinya. Dan membaca adalah salah satu sarana untuk mencapai itu semua. Sekarang, tinggal bagaimana cara kita untuk menumbuhkan sikap gemar membaca dimana pun kita berada.***

Sabtu, 14 Juni 2014

ARSYAD INDRADI DI ROAD SHOW PMK DI PALU DAN SEMARANG

Seperti road show PMK I,II dan III yang di selenggarakan di tiga daerah, Blitar (Jatim), Tegal (Jateng) dan Banjarbaru (Kalsel) Kota Palu (Sulteng) tak ketinggalan menyelengarakan road show yang IV tgl 7 September 2013 bertempat di Taman Budaya Palu. Penyair dari daerah lain yang hadir Leak Sosiawan (Solo), Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya), Wage Tegoeh Wijono (Purwokerto) dan Arsyad Indradi (Banjarbaru). 

Serentetan acara, wawancara di radio FM Nebula dan TV Nuansa Palu oleh 4 penyair dari luar daerah tsb, diskusi dan bedah buku Antologi PMK dan pada malam harinya pentas seni dan pembacaan puisi bertema puisi menolak korupsi di gedung olah seni Taman Budaya Palu. Pentas seni di Palu ini banyak diwarnai teatrikal puisi oleh penyair muda Palu. Memang Palu gudangnya teaterawan muda dan tumbuh subur. 

Pada kesempatan itu Arsyad Indradi ( Si penyair Gila) membacakan puisinya judul “Keranda Kematian Bagi Koruptor” dan musikalisasi puisi bersama penyair Palu. Musikalisasi puisi mengangkat puisi berjudul “Negeri Tikus” karya Arsyad Indradi ini sangat memukau Audience yang memenuhi gedung pertunjukan. 

Setelah road show PMK di Palu, Semarang juga road show V yang diselenggaran oleh penyair Semarang bekerja sama dengan Unnes Sekaran ( Fakultas Bahasa Indonesia dan Sastra ) tgl 14 September 2013 bertempat di Kampus Unnes Sekaran. 

Road Show PMK di Semarang ini juga sangat meriah yang turut hadir tidak kurang dari 50 penyair dari beberapa daerah. Saat jeda seminar Puisi Menolak Korupsi, di antara pembicara: Pardi Suratno (Balai Bahasa), dan Dian Rachmawati (Penyelidik/Pendidik KPK) Arsyad Indradi tampil membacakan puisinya dengan judul “Kucing” memukau 400 peserta seminar di gedung Unnes itu. Pada malam penampilan seni : tari, teratrekal puisi, musikalisasi puisi dan pembacaan puisi di panggung terbuka Unnes.

Perjalanan ROAD SHOW PMK (Puisi Menolak Korupsi)

1. Blitar, Jawa Timur Sabtu, 18 Mei 2013, Pukul 19.00 – 24.00 WIB
Di Perpustakaan Bung Karno, Jl. Kalasan, Kal. Bendogerit, Kec. Sananwetan, Kota Blitar
Baca Puisi, Pentas Seni (Musik, Tari, Panembromo) dan Orasi (Ahmadun Yosi Herfanda & Dr. Sholeh Muadi

2. Tegal, Jawa Tengah Sabtu, 1 Juni 2013, Pukul 19.30 – 24.00 WIB
Di Halaman Gedung DPRD, Jl. Yos Sudarso, Kota Tegal
Baca Puisi dan Pentas Seni (Musik, Tari, Performance Art, Teater) Minggu, 2 Juni 2013, Pukul 19.30 WIB Di Kampung Seni, Pantai Alam Indah, Jl. Sangir No 1, Kota Tegal Baca Puisi & Diskusi (Narasumber Beni Setia & Atmo Tan Sidik)

3. Banjarbaru, Kalimantan Selatan Jumat, 27 Juni 2013, Pukul 16.00 – 18.00 WIT
Panggung Bundar Minguraya Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan
Diskusi (Narasumber Budi Urbana & Sosiawan Leak) Sabtu, 28 Juni 2013, Pukul 20.00 – 24.00 WIT Panggung Bundar Minguraya Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan
Baca Puisi & Pentas Seni (Musik, Tari, Sulap, Seni Tradisi, Performance Art)

4. Palu, Sulawesi Tengah Sabtu, 7 September 2013, Pukul 09.00 – 13.00 WITA
Gedung GOLNI, Taman Budaya Propinsi Sulawesi Tengah, Palu Diskusi (Narasumber Acep Zamzam Noor & Kepala BPKP Palu) Sabtu, 7 September 2013, Pukul 20.00 – 23.00 WITA
Gedung GOLNI, Taman Budaya Propinsi Sulawesi Tengah, Palu
Baca Puisi & Pentas Seni (Musik, Teater, Performance Art)

5. Semarang, Jawa Tengah Sabtu, 14 September 2013, Pukul 08.00 – 14.00 WIB
Gedung B6, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang Seminar (Narasumber Staf KPK, Kepala Balai Bahasa, Sosiawan Leak) Sabtu, 14 September 2013, Pukul 20.00 – 23.00 WIB
Halaman Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang
Baca Puisi & Pentas Seni (Teater, Tari, Musik, Performance Art)

6. Jakarta Jumat, 27 September 2013, Pukul 13.30 – 17.30 WIB
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jl. HR Rasuna Said Kav C-l, Jakarta Pusat
Baca Puisi, Musikalisasi Puisi & Diskusi (Narasumber Eka Budianta & Taufik Ismail)

7. Solo, Jawa Tengah Jumat, 18 Oktober 2013, Pukul 19.30 – 23.30 WIB
Gedung Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Jl. Ir. Sutami 57, Surakarta
Baca Puisi Perempuan Penyair Menolak Korupsi Diskusi (Narasumber Handry TM)

8. Purworejo, Jawa Tengah Minggu, 20 Oktober 2013, di Akbid Purworejo Pukul 10.00 WIB – 12.00 WIB, Lomb Baca Puisi PMK Pukul 19.30 WIB – 22.30 WIB,
Baca Puisi & Diskusi Narasumber Diskusi Wardjito Soeharso

9. Pati, Jawa Tengah Jumat, 15 Nopember 2013, di Rumah Adab Indonesia, Jl Diponegoro 94 Pati Pukul 19.30 WIB – 24.30 WIB,
Baca Puisi Guru Menolak Korupsi Diskusi (Narasumber Agus Toto Widyatmoko)

10. Surabaya, Jawa Timur Jumat, 22 Nopember 2013, di FPBS UNESA, Kampus Lidah Wetan Surabaya Pukul 13.00 WIB – 21.00 WIB
Baca Puisi & Diskusi “Puisi Menolak Korupsi” Diskusi (Narasumber Dr. M Shoim Anwar Mpd & Zawawi Imron)

11. Bojonegoro, Jawa Timur Sabtu, 23 Nopember 2013, di Terminal Rajegwesi Bojonegoro Pukul 18.00 WIB – 23.00 WIB Pengumuman Pememang Lomba Cipta Puisi, Tulis Puisi di Kain Panjang, Performance & Baca “Puisi Menolak Korupsi”

12. Jepara, Jawa Tengah Sabtu, 14 Desember 2013, di Sanggar Gaperto Art Community Pukul 08.00 – 12.00 WIB Lomba Baca Puisi Kreatif Tingkat Pelajar se Jawa Tengah Sabtu, 14 Desember 2013, di Tugu Kerang Pukul 21.00 WIB – 24.00 WIB Pengumuman Pemenang Lomba Baca Puisi Kreatif, Pentas Musik, Performance Art & Baca “Puisi Menolak Korupsi”

13. Ngawi, Jawa Timur Senin, 23 Desember 2013, di Alun-alun Ngawi Pukul 20.00 WIB – 23.30 WIB Pengumuman Pemenang Lomba Cipta Puisi Anti Korupsi Tingkat Pelajar se Ngawi, Pentas Musik, Performance Art & Baca “Puisi Menolak Korupsi”

14. Serang, Banten Sabtu, 19 Januari 2014, di Taman Budaya Rumah Dunia Serang, Banten Pukul 19.30 WIB – 23.30 WIB Diskusi “Banten Menolak Korupsi”, narasumber Ahmadun Yosi Herfanda, Dahnil Anzar & Feri Patiro. Baca “Puisi Menolak Korupsi”

15. Purwokerto, Jawa Tengah Sabtu, 25 Januari 2014, di LPPMP Unsoed, Purwokerto Pukul 09.00 WIB – 15.00 WIB Lomba Baca PUISI MENOLAK KORUPSI Tingkat Pelajar & Umum Pukul 19.30 WIB – 24.00 Pentas Seni & Baca “Puisi Menolak Korupsi” Minggu, 26 Januari 2014, di LPPMP Unsoed, Purwokerto Pukul 09.00 WIB – 14.00 WIB Diskusi “Puisi Menolak Korupsi”, narasumber Dr. Fuad Noor Azis Zaid S.H. & Beni Setia

16. Malang, Jawa Timur Minggu, 9 Pebruari 2014, Lantai 3, Perpustakaan Umum Kota Malang, Jl Ijen 30 A Malang Pukul 13.00 WIB – 17.00 WIB Pentas Seni (Musik, Teater) & Baca “Puisi Menolak Korupsi”

17. Tegal, Jawa Tengah Sabtu, 29 Maret 2014 Pukul 09.00 WIB - 15.00 WIB, di TBM Publik Sakila Kerti Terminal Tegal Lomba Baca “Puisi Menolak Korupsi” Pukul 20.00 WIB – 23.00 WIB, di SMK Ihsaniyah Tegal Musikalisasi & Baca “Puisi Menolak Korupsi” Minggu, 30 Maret 2014 Pukul 09.00 WIB - 12.00 WIB, di SMK Ihsaniyah Tegal Diskusi “Puisi Menolak Korupsi”, narasumber Wardjito Soeharso

18. Sumenep, Madura, Jawa Timur Sabtu, 19 April 2014 Pukul 13.30 WIB – 16.30 WIB, di Ponpes Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Orasi, Baca “Puisi Menolak Korupsi” Pukul 19.30 WIB – 23.00 WIB, di STKIP PGRI Sumenep Orasi, Baca “Puisi Menolak Korupsi”

19. Amuntai, Kalimantan Selatan Rabu, 14 Mei 2014 Pukul 19.30 WITA – 24.00 WITA, di Panggung Terbuka Tugu Itik, Kota Amuntai Pentas Musik, Tari, Teater, Musikalisasi & Baca “Puisi Menolak Korupsi”

20. Ciamis, Jawa Barat Sabtu, 17 Mei 2014 Pukul 09.00 WIB – 12.00 WIB, SMA Negeri 1 Ciamis Diskusi “Anti Korupsi”, narasumber Kepolisian Ciamis, Kejaksaan Negeri Ciamis, Acep Zamzam Noor, Sosiawan Leak Pukul 13.00 WIB – 15.00 WIB, SMA Negeri 1 Ciamis Pentas Musik, Musikalisasi & Baca “Puisi Menolak Korupsi”***