Senin, 14 Juli 2014

LOKOMOTIF DIMAS ARIKA MIHARDJA (DAM) DAN GERBONG-GERBONG YANG DIGERAKKANNYA

Oleh Kajitow El-kayeni 

Manusia tidak selalu berjalan pada kecuraman atau kelapangan hidup selamanya. Ada beberapa bagian dalam hidup yang berbolak-balik, tidak ada stagnasi di sana. Hidup yang dinamik mengantarkan setiap orang pada pilihan, baik yang mungkin atau justru yang tidak logis. Untuk menyikapi itu, manusia dengan kelebihan akal yang dimilikinya berusaha memetakan, mencatat, mengevaluasi, kemudian mengambil tindakan penyelesaian. Meskipun hidup yang dinamik tidak selesai di situ. Saat satu pilihan jatuh, sebenarnya telah menunggu pilihan-pilihan lanjutan. Di sinilah manusia diuji oleh situasi, diuji oleh hidup, diuji oleh dirinya sendiri, untuk melakukan hal yang terbaik menurut pertimbangan dan dorongan subyek-subyek yang bergerak dalam dirinya. “Sketsa Sajak Dimas Arika Mihardja” adalah gambaran dari hal itu, dalam pandangan penyair, hidup atau seluruh kejadian dalam hidup adalah lukisan pergulatan tersebut. Penyair mencatat semua itu melalui goresan karakter, gambar rancangan, yang terkandung maksud, hidup bukan sebuah gambaran yang selesai. Penyair memang mencatat itu, atau lebih tepatnya menggoreskan hal itu ke dalam medium bahasa, tapi tidak hendak berhenti pada kesimpulan final. Apa yang digoreskan ke dalam bentuk gambar rancangan itu adalah sebuah titik fundamen yang memungkinkannya untuk mengambil pertimbangan serta keputusan di waktu berbeda. Kesimpulan yang terus bergerak. 

Premis yang dimunculkan dalam puisi bukan sebuah definisi universal. Penyair ketika membuat keterpihakan sudut pandang tidak sedang mewakili sebuah pandangan absolut. Pandangan seperti itu lebih jatuh pada perenungan subyektif penyairnya. Dan ini tentu saja bukan pegangan yang jadi, yang membuat pemikiran dalam puisi tersebut sebagai konklusi final dari sebuah pemikiran. Jika dalam proses kepenyairan seseorang ditarik rentang waktu, bisa jadi masa-masa yang dilalui seseorang dengan perenungan sebelumnya terdapat kontradiksi. Begitulah penyair itu mencatat perasaan dan pandangannya terhadap fenomena yang ditemuinya dalam hidup. Bisa diambil contoh misalnya seorang filsuf sekaligus ahli sufi seperti Ibnu Arabi yang menggambarkan sebagian pemikirannya dalam syair, hal itu tidak lantas membuka seluruh selubung pemikirannya. Karena bahasa yang dimiliki puisi cenderung ambigu dan melahirkan bermacam-macam persepsi. Inilah yang membuat puisi tidak berhenti pada kesimpulan absolut. Lagipula perenungan yang masuk dalam puisi adalah pembahasaan perasaan, keterpihakan subyektif yang tidak memuat penjelasan gamblang. Keterbatasan ruang dan waktu ini membuat puisi hanya membahas satu lesatan perasaan yang dituturkan sesuai bagian penggambaran. Maka sebuah puisi yang sufistik sekalipun bukan diktum terang sebagai konklusi dari pemikiran universal penyairnya. 

Dengan subyektifitas temporalnya, DAM menghadirkan keterpihakan sudut pandang itu. Penyair berusaha menggulirkan perenungan-perenungan dalam bentuk puisi. Ia sesuai judulnya, tentu saja adalah sebuah sketsa yang bermakna konotatif. Penyair menyadari, dalam hidup manusia selalu menemukan kebenaran-kebenaran baru. Karena tidak ada yang final di sana, kebenaran bersifat relatif bukan berbentuk absolut dan selesai. Hidup yang selalu menghadirkan kontradiksi dan paradoks tidak memberikan titik akhir dari perenungan. Kemudian, yang dihadirkan dalam antologi ini tentu saja sesuai kesederhanaan judulnya, adalah kesahajaan. Bukan sebagai bangunan megah dari cita-cita muluk-muluk untuk menjadikannya monumental, nyentrik, unik, kiblat penciptaan, pembaharu, best seller, kanonasi, dan seterusnya. Tetapi yang disajikan adalah gambar rancangan yang mewakili kesederhanaan pandangan dan sikap penyair dalam menjalani hidup. Yang muncul dalam antologi ini adalah variasi tampilan momen puitik. Puisi, yang pada umumnya selalu mengambil jarak dari keseharian menjadi berbeda di tangan DAM. Momen puitik yang terbentuk itu adalah sembarangan momen yang sengaja dipuitikkan. Ia bukan lagi ruang sakral sebagaimana disebut Chairil, “yang bukan penyair tidak ikut ambil bagian.” Di tangan DAM, kejadian lumrah, benda-benda familiar, hal-hal yang tidak menarik untuk dipuisikan, diolah sedemikian rupa sehingga layak saji. Dan dengannya puisi hendak mewakili banyak pihak. 

Sajak-sajak DAM memperlihatkan kesahajaan dalam banyak bentuk. Sebagai manusia, penyair juga gusar atas fenomena sosial-politik di sekitarnya, tapi tidak lantas menyuarakan hal itu dengan cacian dan sumpah serapah. Sebagai manusia, penyair juga merasa sedih atas tragedi dan bencana, tapi tidak lantas meratap berkepanjangan dan berkeluh kesah. Sebagai manusia, penyair juga merasa bahagia, jatuh cinta, tapi tidak lantas mengumbar keseronokan dan kegilaan yang berlebihan. Ini self control, meskipun penyair yang hidup dalam naungan kebebasan berekspresi dalam beberapa puisinya menampakkan keumuman itu. Ia juga mengangkat diksi yang terkesan agak berani seperti pada puisi “RUANG LENGANG [CUT NYAK DIEN].” Ini adalah bentuk yang memperlihatkan sisi lain penyair sebagai manusia yang lengkap. Tetapi bukan sebuah ciri khusus jika hendak dibandingkan dengan kebanyakan puisi yang diciptakannya. Lebih jauh memandang puisi tersebut adalah sebagai upaya kreatif untuk menghadirkan kebebasan imajinasi. Yang di belakang itu tentu saja memuat makna kontemplatif yang dewasa dan bertanggung-jawab. 

Dengan gayanya yang khas, DAM melalui sajaknya hendak mengajak sekaligus mengejek. Mengajak dengan sugesti baik pada hal-hal yang secara arbitrer disebut baik. Mengejek dengan pasemon dan humor pada hal-hal buruk mengenai isu sosial dan politik yang mengindikasikan tumor. Bahasa dalam puisi memang tidak berhenti pada satu titik pemaknaan yang selesai, kita tahu itu. Ia bisa terayun pada banyak hal meski terdapat satu kesan yang paling kuat. Seperti halnya kesan humor yang diangkat DAM dengan diksi akrabnya itu, ejekan tersebut adalah humor yang getir. Humor yang justru jatuh pada kesan sedih dan memprihatinkan. Seperti yang terbaca dalam puisi, “GEOGRAFI (BACA: GEROGOTI) INDONESIA.” Penyair memang tidak menceburkan dirinya secara langsung sebagai korban. Dari sudut pandangnya terlihat ia bermain di ruang antara yang menjembatani antara pelaku dan korbannya. Dalam bentuk lain, misalnya sisi religiositas, DAM dengan bahasa yang akrab menyebut Tuhan sebagai Kekasih yang dipenjarakannya dalam hati. Kekasih yang tidak hendak dibaginya kepada siapa pun. Seperti yang dikatakannya dalam puisi berjudul DI BALIK KABUT NAMAMU KUSEBUT: “//mengunci daun pintu dan jendela / saat Engkau terkurung / dalam bilik di dada penuh cinta / : kusebutsebut nama harum kamboja! //.” Atau yang dituturkan dengan bahasa lugas dalam QASIDAH CINTA SEBELUM AJAL MENGEKALKAN AMAL. DAM memperlihatkan kecintaannya yang sangat sehingga menyebut Asma Allah sebanyak tiga puluh kali, masih ditambah pula dengan sebutan lain yang referen pada Tuhan. 

Beberapa puisi dalam antologi ini, sesuai kebiasaan penyair dalam menghadirkan komunikasi puitikal tingkat ke dua, hendak ditujukan pada nama atau inisial yang menjadi bagian dari judul atau sub judul puisi. Seperti pada puisi SENIPATI (SENOPATI) PAMUNGKAS, SUE, BEGITU AKU MEMANGGIL, DYAH AYU SUKMAWATI, SAJADAH BUAT BUNDA. Bentuk seperti ini untuk menunjukkan kedekatan emosional penyair dengan sosok yang dituju puisinya. Juga sebagai bentuk dedikasi, yang jika itu berkaitan dengan sesama penyair akan menghadirkan gerak kesalingan penciptaan. Gerak kesalingan semacam inilah yang membuat dunia perpuisian menjadi hidup dan semarak. 

Kata-kata adalah segalanya bagi penyair, ujar Sapardi dalam kredonya. Karena berbekal kata-kata itulah puisi mendayagunakan komunikasi batin kepada pembacanya. Puisi, seperti yang diciptakan oleh Sapardi memaksimalkan fungsi-fungsi bahasa, termasuk fungsi tanda baca. Kita tahu premis Sapardi ini berjalan searah, ia bukan definisi universal yang memuat segala tafsiran atasnya secara absolut. Kata-kata memang segalanya bagi penyair, tetapi kata tetaplah kata yang hanya menjadi pintu masuk untuk memahami makna. Kata-kata bukan batas terakhir yang menjadi tujuan penyair. Ketika mencermati Sketsa Sajak Dimas Arika Mihardja, hal itu terlihat jelas bahwa DAM tidak menjadikan kata sakral sehingga mengandung daya magis dengan sendirinya, sebagaimana kredo Sutardji. DAM tidak menganggap kata adalah segalanya, dalam arti bukan hasil akhir yang dikejarnya. Hal itu terlihat dari seringnya DAM mengumpulkan kata yang terserak, kata yang akrab dan sederhana dalam pengucapan, kata yang tidak memiliki stereotip bersinggasana kepriyayian dengan kesan wah yang dimilikinya, kata yang biasa tapi menjadi tidak biasa. Di sini jelas ada gaya berbeda antara DAM dan beberapa penyair lain yang mungkin memiliki kebiasaan mencomot diksi sederhana dalam berpuisi. Perbedaan itu tampak dari bagaimana jalinan kata itu terbentuk. 

Saya tidak setuju begitu saja dengan sistem angkatan yang digulirkan oleh HB. Jassin itu. Mengingat ada penyair yang tidak bisa digolongkan berdasarkan corak puisi pada jaman tersebut. Misalnya penyair seperti Rendra yang memiliki karakteristik tersendiri dalam berpuisi, sehingga HB. Jassin sendiri tidak mengelompokkan Rendra ke angkatan manapun dilihat dari corak puisinya. Meskipun dalam hal tertentu, katakanlah untuk menangkap pesan dalam puisi berdasarkan dinamika dalam era tertentu, sistem angkatan memang banyak menyumbangkan kerangka pikir historis penyairnya. Pergolakan sosial-politik yang terjadi mempengaruhi pikiran dan perasaan penyair dalam membentuk puisinya, apalagi jika berkaitan dengan tema sosial-politik. Ini mungkin juga sebuah pradoks, saat memandang seorang penyair itu harus dikelaskan pada periode mana. Apakah sistem itu mengenai kapan penyair dilahirkan? Atau kapan penyair itu membuat puisi? Kadangkala, ada penyair yang terlahir secara fisik pada era-era sebelumnya, tapi baru tekun berpuisi pada era-era sesudahnya. 

Meskipun jika hendak dimasukkan dalam sistem tersebut, yakni dengan membuat angkatan baru tentu saja sah-sah saja. Saya lebih tertarik membaca peranan penyair sebagai lokomotif yang menggerakkan gerbong-gerbong penyair di belakangnya. Melihat corak puisinya, DAM memadukan gaya kontemporer dengan puisi modern juga puisi lama. Berbagai gaya yang ditampilkan menunjukkan penguasaan dalam bereksplorasi dengan berbagai gaya, sekaligus sebagai upaya percontohan, serupa lokomotif yang menggerakkan gerbong-gerbong di belakangnya. Melihat fakta ini, besar kemungkinan hal tersebut muncul karena dorongan dua dunia yang ditapaki oleh DAM. Sebagai pendidik ia harus memegang teguh konvensi dan mengajarkannya, seolah rel yang melandasi roda kereta api. Tapi sebagai penyair ia terus berusaha mewujudkan kebaruan sehingga membuatnya serupa lokomotif yang menarik gerbong-gerbong di belakangnya untuk terus melaju menembus ruang dan waktu. 

Kajitow El-Kayeni 
Esais, tinggal di pinggiran Jakarta.

Tidak ada komentar: