Minggu, 27 Juli 2014

Sebuah Analisa Sederhana Yang Dimuat Koran Merapi, Minggu, 13 Juli 2014

Politik dan Puisi yang Bengkok

2014 adalah tahun politik, tahun dengan suhu yang acap kali memanas. Dalam politik abad informasi, citra politik seorang tokoh, yang dibangun melalui aneka media cetak dan elektronik seakan menjadi “mantra” yang menentukan keberlangsungan politik. Melalui mantra politik itu—meminjam istilahnya Yasraf Amir Piliang—maka persepsi, pandangan dan sikap politik masyarakat dibentuk bahkan dimanipulasi. Pada akhirnya, politik sekarang ini lebih dominan sebagai politik pencitraan, yang merayakan citra ketimbang kompetensi politik—the politics of image. 

Keadaan yang demikian merujuk pada apa yang diistilahkan Yasraf sebagai narsisisme politik, yakni cermin artifisialisme politik melalui konstruksi citra diri yang sebaik, secerdas, seintelek, sesempurna dan seideal mungkin, tanpa menghiraukan pandangan umum terhadap realitas diri yang sebenarnya. Lebih lanjut, Yasraf menguraikan bahwa narsissme politik adalah bentuk keseketikaan politik yang merayakan citra instan dan efek yang segera, tetapi tak menghargai proses politik. 

Narsisisme politik adalah cermin politik seduksi yaitu aneka trik bujuk rayu, persuasi, dan retorika komunikasi politik, yang tujuannya meyakinkan setiap orang (Sumbo, 2009: ix). Alur dari narsisisme politik mengarah kepada nihilisme demokrasi, yakni suatu pemahaman demokrasi yang berlebihan. Dalam pada ini, nihilisme demokrasi—sebagaimana disampaikan Cornel West dalam democracy Matters: Winning the Fight Against Imperrialism—mewujud pada trik-trik mengangkat emosi, perasaan, dan kesenangan dengan mengabaikan substansi politik. 

Maka, sekarang, tidak jarang di jalanan, di perempatan, di televisi, di internet, di sosial media, di jejaring sosial facebook, bertebaran pencitraan para politikus. Saya menjadi teringat puisi Arif Hidayat dalam Jurnak Sajak No. 4 Tahun II. 2012 yang berjudul “Jika Puisi Bengkok”/ Di perempatan jalan, di televisi dan di internet/ Orang telah berramai-ramai membengkokkan politik/ Seperti besi yang keras, akhirnya melengkung juga/Menjadi busur yang siap melepaskan anak panah/ Ke jantung ibunga sendiri di tengah kota. 

Pembengkokan Puisi 

Saya pribadi, sebenarnya tidak mempersoalkan tentang apa yang sudah saya urai di atas, sebab, begitulah politik, dalam prakteknya, di lapangan, politik mengahalalkan banyak cara untuk mendapatkan apa yang ingin dikehendaki seorang politikus, atau praktisi politik. Namun dalam pada ini, saya—sebagai seorang penikmat sastra—merasa sangat miris melihat realita politik dewasa ini. Beberapa waktu yang lalu saya diberi tahu oleh seorang teman, ikhwal lomba baca puisi yang diselenggarakan oleh Denny JA. 

Setelah saya mencari informasi lebih lanjut, nyatanya lomba baca puisi tidak lebih sebagai kampanye politik, sebab ternyata Denny JA adalah salah satu tim sukses salah satu Capres-Cawapres. Dalam TOR lomba itu, diterangkan bahwa materi lomba dalam baca puisi (musikalisasi puisi) adalah sebuah puisi yang ditulis sendiri oleh Denny JA yang isinya sebuah retorika tentang perjanjian dengan salah satu Capres-Cawapres. 

Dalam pada ini, apa yang dilakukan Denny JA dengan membuat puisi untuk dilombakan dengan iming-iming hadiah jutaan rupiah, merupakan suatu kebanalan dalam komunikasi politik. Sebab, lomba puisi ini bukan lomba puisi yang an sich, melainkan—meminjam istilah Jurgen Habermas dalam The Structural Transformation of The Public Sphere—terdapat kepentingan kaum borjuis, dalam rangka menguasai komunikasi politik, yang bersumber pada keinginan mempengaruhi publik. Apa yang tersurat dalam puisi itu adalah sebuahnarsisime politik. 

Berbicara puisi, maka berbicara bahasa. Persoalan bahasa tidak bisa dipisahkan dari kesalingberkaitannya dengan pengetahuan yang melandasi serta bentuk-bentuk kekuasaan yang beroperasi di sebaliknya. Artinya, bahwa dalam persoalan bahasa, ada ideologi yang berperan di sebaliknya, yang mempengaruhi wilayah penggunaan, teritorial, gaya, ungkapan, pilihan diksi yang digunakan serta pengetahuan yang diungkapkan atau disembunyikan oleh bahasa itu sendiri. 

Keberadaan dan penggunaan bahasa, tidak dapat dilepas dari pelbagai paradoks pengetahuan yang melekat—sebagaimana yang diuraikan Yasraf dalam bukunyaTranspolitika—seperti paradoks antara objektivitas/subjektivitas, kebenaran/kepalsuan, realitas/simulasi, fakta/rekayasa, transparansi/kekaburan, kejujuran/kebohongan, keadilan/keberpihakan. 

Bahasa sering kali menjadi aparatus hegemoni dari sebuah sistem kekuasaan, antara lain, bahasa digunakan dalam rangka menyampaikan sesuatu sesuai dengan kepentingan kekuasaan. Bahasa menjadi perpanjangan tangan dari sebuah sistem kekuasaan hegemonis; sebuah langkah jitu dalam menyebarluaskan gagasan-gagasan dominan. Maka penggunaan puisi dalam kampanye politik itu, jelas mengandung keberinginan untuk mempengaruhi khalayak, ada muatan yang mengesampingkan atau mendeskriditkan salah satu capres-cawapres. 

Lebih lanjut Arif Hidayat mengungkapkan dalam bait berikutnya; Jhon kini menggigil di hari tua/ Ketika menatap luar jendela melihat puisi telah bengkok/ Oleh penyair-penyair yang hidup dari bantuan/ Yang hanya berputar-putar pada kata-kata kering. Kita pasti ingat siapa Jhon dalam puisi ini, Jhon F. Kennedy, seorang mantan presiden yang terkenal dengan adagium “Jika Politik Bengkok, Puisi yang meluruskan”. 

Namun, dalam realita sekarang, Jhon kini menggigil di hari tua, Jhon adalah proyeksi orang-orang yang masih menjaga kesucian puisi, kini menggigil, kini menderita, kini kalah! Sekarang puisi ikut dibelokkan Oleh penyair-penyair yang hidup dari bantuan. Penyair-penyair yang melacurkan kata-kata, mereka Yang hanya berputar-putar pada kata-kata kering. Fenomena yang memprihatinkan, puisi kehilangan identitasnya sebagai kekuatan yang maha dahsyat dalam perjalanan peradaban manusia. Puisi kehilangan taringnya untuk menolak segala kebusukan politik. 

Masih jelas dalam ingatan kita, betapa dahsyatnya puisi, hingga banyak penyair yang menolak kekerasan rezim dengan puisi. Thukul, contohnya, betapa dengan puisi, ia melesat bak peluru, menolak ketimpangan dengan puisi-puisinya yang tajam, berkoar-koar di mana-mana. Hingga membuat banyak pihak terancam dengan keberadaanya, alhasil kini entah di mana rimbanya. Puisi, yah, kata-kata yang terlihat sederhana, namun mempunyai kekuatan maha dahsyat. Tapi sekarang? Puisi dipermainkan politikus. Saya sangat prihatin. Maka, izinkan saya menutup tulisan ini dengan satu pertanyaan saja, jika politik dan puisi sama bengkoknya, siapa dan apa yang akan meluruskan? 

Pustaka Senja, 2014.

Dimas Indiana Senja,
Penyair, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengasuh Komunitas Pondok Pena.

Tidak ada komentar: