Kamis, 03 Januari 2008

KOMA DAN TITIK SEBUAH PUISI




Catatan kecil : 142 Penyair Menuju Bulan . Sebuah Taman Penuh Bulan.


Oleh : Luhung Ika.


Dari sela bayangan

Saling silang burungburung + kupukupu + Matahari

Menangkap indah sebuah taman ...

Ketika kata itu muncul, kemudian dilanjutkan oleh kata demi kata berikutnya – baris perbaris – lalu, apa yang akan lahir ? Kita akan menyebut “ Puisi “. Sesederhana itukah prosesnya ?

Sebuah puisi tidak ada bedanya dengan sebongkah batu cadas yang ditatah menjadi patung, menjadi sebuah estetika jiwa (= keindahan wujud seni ). Tatahan cadas menjadi patung adalah kesederhanaan dari kemurnian proses. Proses kreatif kejiwaan dari keseharian (= kehidupan yang berlanjut ). Menjadi seni untuk mengabdi pada hakikat hidup. Patung adalah puisi bagi pematung. Lalu apa yang diwujudkan penyair dalam puisinya ?

Proses sebongkah cadas di tangan pematung dengan proses sekumpulan kata – kata di tangan penyair akan tanpa makna kalau penggarapannya tidak diolah kemampuan serta dibekali penglihatan + pemahaman + penalaran.

Berbicara tentang puisi, sekump[ulan kata yang indah dan tersusun baris perbaris dan bait perbait akan selalu disebut sebuah puisi ? Lalu, puisi menjadi konsumsi siapa ? Apa yang bisa didapat dan dipahami dari sebuah puisi ? Dan puisi yang puisi itu bagaimana ?

Puisi + Puisi.

Lalu apa yang harus diperlukan dalam proses pelahiran sebuah puisi ? Puisi adalah denyut rasa di dalam hidup kehidupan. Ibarat, rasa + kehidupan itu adalah deretan kata-kata yang beraroma suka maupun duka. Puisi merupakan pencitraan itu, yang menjadi sebuah denah tentang keberadaan penyair di areal pendakian hidup ini !Maka proses pelahiran puisi, pertama adalah kejujuran. Kejujuran ide dalam penggarapan. Ide yang terwujud dari pengekploitasi pembelajaran hidup dan rokhani. Menggambarkan dan menggoreskan warna-warna dalam puisi adalah bentuk kejujuran bahwa penyair dalam berucap dan menyiratkan makna benar-benar memahami + menalarkan akan apa-apa yang diwujudkan. Memunculkan warna di dalam puisi- bukti kemampuan penyair dalam berpuisi ( maksud saya, penyair mensenyawakan apa yang dia lihat + pahami + nalarkan dengan kemampuan berbahasa puisi ). Kejujuran = ungkapan bathin penyair di dalam menggali-gali diri.

Kedua; Bahasa puisi. Bahasa di dalam puisi adalah medianya, menjadi istilah “ Bahasa Puitik “. Artinya, kemampuan berbahasa yang indah (= dan bukan tempelan yang mengada – ada ) didasari olehy kemampuan merangkai kata untuk menciptakan metafora-metafora dan personifikasi- personifikasi baru + indah. Berbahasa puisi sama artinya keberanian memmunculkan berbagai idiom-idiom baru dan frase-frase baru ( baca : kejutan-kejutan puitik ). Karena, di dalam bahasa puisi akan ditemukan kejutan-kejutan bahasa. Kata-kata lahir dari alam bawah sadar, kata itu telah berproses dengan kegelisahan bathin. Dan perlu diingat, kemampuan merangkai kata merupakan proses keberanian untuk berpuisi. Metafora+personifikasi baru dan indah harus diciptakan oleh rasa penyair. Sesuatu yang tidak dilakukan ( =kaidah bahasa yang baru + indah ) oleh umum (= masyarakat kebanyakan ), maka harus dilakukan /diwujudkan oleh penyair. Puisi dengan media bahasa, sehingga kemampuan memunculkan keindahan berbahasa merupakan cerminan penyair yang beranio berucap – yang berani menggali-gali diri.

Ketiga, tipografi puisi. Simaklah tipografi puisi dari puisi – puisi pujangga baru atau puisi – puisi Chairl Anwar atau puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri. Apa yang kita dapatkan ? Apa yang kita rasakan ? Masing-masing punya keindahan, masing-masing punya keistimewaan. Terkadang kita sepelekan soal tipografi itu, tata letak baris perbarir untaian kata-kata di dalam puisi adalah bentuk indah dari keliaran jiwa penyair dalam berekspresi. Keindahan tipografi puisi sama dengan kemampuan penyair membentuk wujud puisi itu sendiri. Tipografi puisi mewujudkan/menceritakan keindahan estetika penyairnya, artinya disinilah cerminan bentuk liar estetika jiwani penyair.

Ketiga catatan di atas, puisi menjadfi semesta bagi penyair, karena didalamnya ada kejujuran + pengungkapan bahasa +perwujudan tipografi, yang semua itu didapat dari perjalanan juga pengembaraan bathin, yang sudah disenyawakan di dalam penglihatan+pemahaman+penalaran penyair.

Bagai penyair, puisi adalah jiwa sebagai ladang garapan. Sawah bathiniah. Di sana penyair membajak+meluku-luku+menyemai+memupuk, hingga di situtumbuh pohon yang lebat dengan akar kuat, batang berkambium yang kokoh, hijau daun rimbun, bunga-bunga bermadu yang bersemi dan pada akhirnya berbuah dengan lebat.Itu artinya, penyair menggarap jiwanya dengan intens dan total dengan media bahasa, membentuk sebuah keindahan semesta yang beraroma sukacita dan dukacita yang berspirit cinta. Maka, puisi adalah ibadah. Puisi dikonsumsi oleh segelintir orang yang suka bertualang mencari dunia baru di semesta bawah sadar. Ketika puisi = ibadah, maka puisi dapat dipahami sebagai penyadaran hidup badani menjalani proses menuju kehidupan jiwani. Sehingga puisi haruslah diciptakan wujudkan dengan kesungguhan akan pengabdian hidup, menggali-gali diri tiada henti. Puisi = dewi sastrawi yang luhur.

Antologi Puisi Penyair Nusantara = 142 Penyair Menuju Bulan.

Terlepas dari ulasan di atas, bukanlah saya bermaksud untuk menyatakan bahwa puisi begitu didewakan. Pun tidak bermaksud mengungkit keberadaan sebuah puisi yang sudah sah menjadi milik si penyair. Menjadi sebuah semesta jiwa si penyair. Puisi yang dibentukwujudkan tidak layak untuk digugat/dipertanyakan. Tidak layak unutk dinistakan. Bagaimana pun, puisi adalah gambaran dari daya lihat + daya selam + daya nalar yang dimulai dari wujud sederhana (= keseharian ) dan berakhir di dalam kebijaksanaan, dimana sangat ditentukan oleh kepekaan jiwa si penyair untuk mewujudkannnya. Maka penilaiannya adalah terletak pada pengistilahan “ MENARIK dan TIDAK MENARIK “.

Antologi Puisi Penyair Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan, ini adalah kawasan sabana kata-kata yang sempit dari komunitas penyair di Indonesia. Kawasan luas kepenyairan Indonesia telah dikapling-kapling yang dikuasai oleh kemapanan-kemapanan. Dan kita tidak bebas bermain di sana, tidak leluasa untuki berproses cipta karena di situ penuh aturan – aturan dan sudah disatibekukan dan satu pakem oleh tokoh “X” dan tokok “Y”. Walau pun sempit, antologi ini sudah diwakili oleh penyair-penyair dari seluruh daerah di Indonesia (= secara acak – secara umuymnya ).

Juga tercatat beberapa nama p[enyair – penyair yang sudah mapan. Tanpa menyebut nama dan saya tidak membilang – bilang kemapanan itu, karena nama dan kemapanan hanya ditentukan oleh popularitas (= keterkenalan ). Tetapi di sini, saya menaruh bahwa : Antologi ini telah memuat kemapanan penyair dalam bentuk puisi yang intens dan total oleh olah raga rasa jiwani penyair.

Antologi ini cerminan apresiasi dari kemandegan estetika sastra dan kembali digugah oleh seorang Arsyad Indradi. Dan jika ditilik dari keberadaan puisi dan penyair dalam buku ini, Arsyad Indradi tidak menanam benih yang sama dengan benih – benih puisinya. Dia ( baca : Arsyad Indradi ) menanam benih yang layak tumbuh. Sebuah ungkapan kejujuran bahwa untuk kehidupan sebuah sastra yang sastrawi haruslah dimulai dari lingkungan yang bebas klik (= perkawanan, perkoncoan), maka disitu akan tumbuh keindahan mutiara jiwa yang berbeda – beda dari bunga yang mekar dan berbagai jenis.

Antologi pelangi dengan warna – warni puisi, juga dengan hiruk – pikuk ide-ide dari penglihatan+pemahaman + penalaran kehidupan penyair dalam bahasa. Penuh kejutan-kejutan estetika bahasa jiwa ! Namun sayang, dengan tiga buah puisi, belumlah kita dapat melihat dan membicarakan secara utuh seorang penyair bersama puisinya.

Puisi-Puisi Hudan Nur dalam Pembicaraan

Sebagai Bahan pertimbangan untuyk sekadar menerang-jelaskan uraian di atas, saya akan mencoba-membahas / membicarakan sekilas sebagai bahan apresiasi. Bukan sebagai telaah yang final, semacam acuan. Puisi-puisi Hudan Nur, penyair wanita kelahiran Banjarbaru, 23 November 1985, menarik untuk disimak.

Puisi “Narasi Kebugilan Sejati (2) hal : 250, suasana kehilangan dari sebuah kemisterian hidup. Proses perjalanan hidup menuju kehidupan agung. Pengendapan moment/image, penyair berada pada kesadaran bahwa bahasa puisi/biasan diksi pada awal/pembukaan puisi adalah diksi kunci untuk masuk pada suasana berikutnya. Kesadaran berucap menjadikan awal puisinya kuranglah menukik. Bahasa pikir tidak akan sampai loncatan puitik yang intens. Artinya, suasana awal yang membangun sebuah puisi adalah suasana atau penyiratan mkomentum yang berada di luar kesadaran. Proses gerak dari alam bawah sadar. Pembelajaran diri yang total, menangkap bahasa yang liar didapat dari proses yang tak kenal lelah untuk menulis + membaca + berdialog dengan setiap gerak : di luar dan di dalam diri.

Dalam puisi ini, jiwa yang tertekan oleh perasaan yang beraroma duka. Begitulah, Hudan Nur memunculkan frase image dengan suasana penuh misteri dan keyakinan hidup yang coba dihayati. Hidup nberjalan sederhana yang menukik pada momentum hidup yang serba tak terduga. Ada ungkapan keyakinan untuk menemukan jalan dan menyatakan mengerti dari hidup agung dan hidup yang dijalani kini.

Saya nukilkan :

melalui langkah-langkah abstrak pada bebatuan/yang membisu/kembali engkau kirimkan kabar hari esok/ dengan kesadaran berlimpah dan aura/ringkih pembagian narasiku/

Dibagian lain, monolog dan kegelisahan jiwa untuk menggambar pergumulan misteri. Dan jika dimisalkan adalah perampokan rokhani dalam sebuah kesadaran dan penyadaran. Serta pembebasan rokhani dari ikatan duka dan penyadaran akan kesejatian hidup yang tak perlu disesali. Perjalanan dari perampokan dan pembebasan jiwani ini merupakan ketegaran yang sangat alamiah. Namun, daya tanggap serta keinsafan muncul andaikata penyair mampu mengungkap dalam bahasa yang lebih menikik ke alam misteri.

Bahasa puisi yang sederhana, lebih terbuka untuk cepat memahaminya, serta merta kita hanya berhadapan pada bidang sempit dari wilayah misteri yang luas. Dan, walaupun dengan bahasa keseharian yang sederhana-jika dinalarkan dengan pemahaman dan pengolahan yang intens- kita pun akan menemukan kemisterian bahasa. Jadi bahasa dengan rasa kata bawah sadar dan bukan kata-kata sekadar tempelan/ornamen pemanis.

Kita simak :

...../yang katamu : “airmataku telah dirampok”/”kemaluanku telah dijarah”/”kebebasanku telah disahaya”/aku meyakininya sebagai perpaduan antara pilu dan sepi/purna berbentuk sembilu/penuh sayatan/engkau juga tuliskan teriakan yang dibungkus dalam kartu/kematian/namun aku bisa apa jika perta darah/hanya dihadiri tiga helai kafan dan sebidang tanah ?

Pada puisi “ Requiem “ ( hal : 251-252 ), kembali soal pengungkapanakan bencana . Begitu sederhananya catatan-catatan tentang perjalanan sebuah duka (bencana ). Berhadapan pada sebuah ketidakberdayaan bahwa hidup begitu lemah. Nilai fitri dari hidup adalah pembekalan diri menuju kehidupan agung (= kematian ).

Ungkapan “di penghujung hidup “, rupa kesadaran yang berangkat dari rasa sadar berbahasa. Sebuah ungkapan tanfa getar image yang mengantar saya untuk menyimak memahami pesona yang ada didalamnya. Ungkapan-ungkapan sederhana seperti bertuah, menjadikan puisi begitu datar. Puisi dengan menggunakan simbol bahasa – dia mengejawantahkan perasaan.

Requiem adalah catatan duka dan memahami relung duka, di sini penyair tidak sedang menciptakan metafora+personifikasi baru sebagai pengejawantahan duka dalam pengungkapannya. Penyair mencatat apa adanya. Pertanyan-pertanyaan yang muncul dari jawaban yang merupakan sebuah bencana, kadang penyair (kita) lupa untuk menalarkan kembali sebagai kefitian hidup. Suasana haru ketika mendengar dan menyaksikan dari kejauhan saat bencana itu terjadi hanya sampai pada rasa haru dan keharuan serta kepasrahan yang mengencet. Lalu bagaimana memunculkan haru dan keharuan itu di dalam bahasa-di dalam simbol-simbol dan di dalam pensenyawaan diri penyair, sehingga tidak tergelincir dalam sebuah istilah.

Saya tulis :

/1// telah duka-duka rima berserakan pada kumpulan/kata, sajak hingga antologi di sepanjang diam/pun telah disaksikan segala desau tersendat bunyinya/lengking, menyematkan gelengan ilalang yang gagal/mencumbu rembulan / /2// tak perlu mengupas luka dalam kepenatan buluh makna/ karena selepas hujan pasti kamu temukan pelangi/bukankah menatap hari lebih mudah ketimbang berlari//3// di penghujung hidup/kita belum pernah bersama menghitung angka-angka pemberat/ karena catut yang kita pakai hanya sekadar jemuran asmara di/ tiang petaka/ adakah saat yang bisa kita tebus ?//4//malampun berjalan dengan meteor berjuta tahun /mengikuti larik kekaguman/pada peraduan katub pesona yang ditebarkan kiblat rindu-rindu//5//kalimat bukan sekadar madah puisi/karena didalamnya juga terdapat kesaksian duka-duka rima/yang terangkum dalam antologi diam/gerimis lelaki menandakan ketidakkuasaannya berpeluk dengan/ takdir.

Karya terakhir Hudan Nur dalam antologi ini adalah “Sempana Jiwa Bab Terakhir” hal 253. Secara tersirat di dalam puisi ini, penyair menyuratkan hubungan yang tersamar dengan Tuhannya. Ada kegigihan + penyerahan + pertualangan + kepasrahan, yang merupakan ketidaksadaran berucap dan bertindak. Ungkapan-ungkapan yang sederhana dan lancar, puisi yang prosesini sebuah gambaran kemampuan penyair dengan nafas yang panjang mengungkap=Gejolak+momentum dan kefitrian dengan suasana yang temporer. Sebuah sajak yang transparan, tidak ada celah untuk merenung-berpikir dalam-dalam akan apa yang tersurat dan sirat.

Kadang sebagai penikmat selalu menuntut nilai lebih dari kehadiran sebuahpuisi. Tetapi, apa yang diwujudkan oleh penyaior dalam “ sempana Jiw aBab Terakhir “, melahirkan keindahan diksi, walau agak jauh dari idiom-idiom baru. Geriat ide yang tidak didukung oleh pembelajaran diri menggali :pengalaman+pertualangan merebut liar kata-kata. Dan sebuah puisi dikatakan berhasil dan menarik sangatlah ditentukan oleh keintens totalan di larik pembuka. Tetapi, bagaimana liukan diksi dalam puisi ini adalah langkah awal untuk menjinakan gelinjang kata di rimba bahasa.

Kita simak :

Aku sudah susah membuktikan betapa ternilainya senandung/sempana jiwa di bab terakhirku. Ya.Itulah adanya/Aku atahu tapi kejanggalan akan cermin yang kuluihat kemarin/tidak menimbulkan bayangan, aku hanya melihat sinar yang/lelambaiannya tak nampak. Pekat pula.Sementara aku baru/mempersiapkan diri untuk juga ikut pada peperangan yang salah/satu pemrakasa serta pengrobohnya, aku /sementara aku berkecamuk dalam diri, sekitar baik kawanan/menuding sebagai insan yang naif.Aku betul-betul aku. Hingga/ aku kehilangan bentuk,remuk di situ juga. Redamnya utopia di/ mukaku adalah berkat kesetiaanku yang selalu menyerukan/senandung jiwa di bab terakhir/sungguh aku malu. Makadengan ini semua aku akan buktikan,/aku akan menjauhi apa-apa yang membikin hubungan kita/merenggang. Sekali lagi. Karena itulah adanya. Aku begitu/memilukan. Sebab jiwa yang pernah kujalankan pernah/memaksakan ribuan hasrat untuk menikam dan kelangkah itu/lagi. Aku pura-pura lupa dan tidak mengetahuinya bahwa suatu/ saat akan ada balasan dari seluruh torehan yang dieja pada/sempana-sempana dari jiwa yang tak berkesudahan.

Secara garis besar, ketiga puisi Hudan Nur yang merupakan penyair wanita generasi kini, termasuk istimewa. Hanya saja, jika Hudan Nur berani bermain bahasa dengan idiom-idiom +metafora+personifikasi baru dan penuh kejutan niscaya Hudan Nur akan menjadi penyair kuat, bagus dan intens. Memang, dengan tiga puisi belumlah cukup untuk diberi penilaian secara utuh dan final. Penilaian menjadi gambaran bahwa dunia kepenyairan Hudan Nur menarik untuk dibicarakan.

CATATAN KAKI

Kadang, sebuah antologi puisi akan berakhir pada antologi diam (=koma dan titik sebuah puisi ). Dia tidak dibicarakan dan tidak ada yang menawarkan untuk membicarakannya. Kehadirannya hanya seperti tugu batu peringatan akan moment-moment tertentu, ditumbuhi lumut dan terus beku digrogoti waktu. Semoga catatan kecil ini akan memberikan insprirasi lain (=dari penulis lain ) yang tertarik untuk mengamati+menelaah+mengungkapkan kembali, sehingga menumbuhkan warna-warna yang lebih bersemi.

Terima kasih buat Bung Arsyad Indradi, semoga tetap pada wilayah subur penciptaan.

Salam Budaya.

Celuk – Sukawati -Gianjar – Bali, 2007