Sabtu, 29 September 2012

RESENSI


“SASTRA BANDINGAN  MENUJU ERA TEKNOLOGI MODERN”
Sapardi Djoko Damono. Sastra Bandingan. Jakarta: Editum, 2011. 150 halaman. ISBN 978-979-19766-2-6, Soft Cover.
            BUKU berjudul Sastra Bandingan ini sebelumnya pernah diterbitkan oleh Pusat Bahasa sebagai bagian dari buku pegangan. Diterbitkannya ulang buku ini untuk kalangan yang lebih luas, tidak hanya bagi peminat sastra dan mahasiswa, menandakan bahwa kajian sastra bandingan merupakan suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang besar manfaatnya. Seperti diketahui, sastra bandingan lahir dan dikembangkan di Eropa, benua yang terbagi menjadi sejumlah bahasa dan kebudayaan.
            Hakikatnya sastra bandingan berlandaskan azas banding-membandingkan. Berdasarkan azas tersebut Sapardi menegaskan adanya konsep penting bahwa tidaklah benar jika dikatakan bahwa sastra bandingan sekadar mempertentangan dua sastra dari dua negara atau bangsa, tetapi lebih merupakan suatu metode untuk memperluas pendekatan atas sastra suatu bangsa saja.
            Mengutip  pendapat Clements (l978) bahwa ditemukan lima pendekatan yang bisa dipergunakan dalam penelitian, yakni: tema/mitos, genre/bentuk, gerakan/zaman, hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni dan disiplin ilmu lain, dan pelihatan sastra sebagai bahan bagi perkembangan teori yang terus-menerus bergulir.
            “Konsep penting yang perlu disebutkan adalah bahwa pendekatan ini menuntut dipergunakannya bahasa asli karya sastra yang dibandingkan.” (hal. 12).  Sapardi juga membuka wawasan kita tentang pentingnya studi sastra bandingan dengan mengambil karya terjemahan; bukan hanya yang berasal dari bahasa asing tetapi terutama juga yang berasal dari bahasa daerah yang sangat banyak jumlahnya.
            Salah satu masalah besar yang dihadapi oleh studi sastra bandingan adalah jika sastra bandingan itu merupakan studi kesusastraan melewati batas-batas linguistik, maka seharusnya dikaitkan dengan sejarah pemikiran. Secara kritis dapat dipertanyakan bahwa alur, gagasan,dan penokohan dengan mudah bisa diwariskan atau ditiru, tetapi bagaimana dengan bahasa? Bagi Sapardi Djoko Damono, pengarang besar yang menulis dalam bahasa yang memiliki tradisi sastra yang agung tentu merupakan tantangan bagi penerjemah. Jika dalam terjemahan puisi harus menjadi puisi, dalam hal ini parafrase jelas bukanlah terjemahan tetapi tafsiran.
“Kemiskinan linguistik yang ada pada bahasa sasaran akan membatasi kemampuan si penerjemah dalam upaya memindahkan sastra sumber ke sastra sasaran.” (hal. 16). Di benua lain, seperti Asia, sastra bandingan menghadapi masalah besar sebab ditinjau dari segi linguistik dan budaya, bangsa-bangsa di Asia memiliki ciri-ciri tersendiri yang cenderung menolak dibanding-bandingkan.
            Penyebabnya menurut Sapardi, disamping memiliki aksara berbeda-beda, Asia tidak memiliki acuan yang tunggal dalam kebudayaannya seperti halnya Eropa. Masing-masing bangsa memiliki mitologi sendiri, meskipun dalam beberapa kasus telah terjadi pengaruh-mempengaruhi, suatu hal yang telah melampaui batas-batas budaya dan politik.
            Buku ini lengkap berisi bab tentang Konsep Dasar, Perkembangan; Asli, Pinjaman, Tradisi; Sastra Bandingan Nusantara; Meninjau Romantisme: Kasus Puisi Inggris dan Indonesia; Tentang Penerjemahan Sastra; Rabindranath Tagore dan Kita: Kasus Pengaruh Tokoh Sastra; dan diakhiri bab tentang Alih Wacana.
            Membicarakan Sastra Bandingan Nusantara, tak luput dari posisi Indonesia sebagai negeri yang sangat kaya sebagai sumber penelitian sastra bandingan. Meski tidak semua bahasa yang tumbuh di Indonesia memiliki aksara, namun berbagai jenis tradisi lisan yang berkembang pun merupakan bahasa yang tak akan habis dikaji dalam kegiatan sastra bandingan.
            Perbedaannya dengan di Eropa yang mengacu kepada mitologi Yunani dan Perjanjian Lama dan Injil, kelompok-kelompok etnik di Indonesia masing-masing mengembangkan mitologi sendiri dan bahkan beberapa di antaranya mengembangkan agama sendiri, yang tentu saja merupakan pengaruh atau hasil pengolahan dari kebudayaan lain.
            Menurut Sapardi Djoko Damono,  sastra Indonesia  bisa dibaca oleh semua orang yang menguasai bahasa Indonesia. Namun tidak semua karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia bisa dihayati dan dipahami oleh semua kelompok etnik yang membentuk bangsa ini. Sekadar contoh, sastra Indonesia yang ditulis oleh sastrawan Minang belum tentu bisa dipahami oleh pembaca yang berasal dari Bali, dan sebaliknya.Begitu juga prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG., tidak mudah dipahami oleh masyarakat yang bukan Jawa.
            Untuk itulah A.Ikram (1990) menawarkan studi perbandingan yang didasarkan pada sastra-sastra yang berkembang di Nusantara. Ia membuat pengelompokan masalah berdasarkan konsep-konsep yang telah ditawarkan oleh Clements, yakni genre dan bentuk; periode, aliran, dan pengaruh; tema dan mitos. “Terutama karena adanya berbagai jenis pengaruh, tradisi sastra kita memiliki genre yang tidak dimiliki oleh banyak bangsa.” (hal.31).
            Tentang Penerjemahan Sastra merupakan judul bab yang paling menarik dibahas dalam buku ini. Sapardi Djoko Damono mengajak kita membayangkan, sebuah haiku diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kemudian terjemahan itu dialihkan ke bahasa Indonesia. Selanjutnya versi Indonesia itu dipindahkan ke dalam bahasa Jawa, dan akhirnya haiku Jawa itu ‘dikembalikan’ ke asal-usulnya, bahasa Jepang.        Sajak pertama dan terakhir tentu sama sekali akan berbeda. Karya terjemahan itu tidak akan bisa mengungguli aslinya.
            Mengutip pendapat Gifford, sastra terjemahan diibaratkannya sebagai tidak lebih dari reproduksi hitam putih dari lukisan cat minyak sebab teksturnya telah berubah. Keutuhan karya sastra asli akan dimiskinkan oleh terjemahannya, meskipun taraf pemiskinan itu tergantung pada jenis karya sastra yang diterjemahkannya.
            Dalam konteks pembicaraan mengenai sastra bandingan, karya terjemahan tidak mempunyai kedudukan yang kokoh. “Kecelakaan semacam itu bisa terjadi jika penerjemahnya kurang mampu, namun keunggulan bisa juga dicapai oleh terjemahan. Sangat mungkin ada terjemahan yang lebih bagus dari  aslinya, hubungan antarunsurnya lebih kokoh, wawasannya lebih dalam, dan kemungkinan penghayatannya lebih luas.” (hal. 96). Bagaimanapun penerjemahan merupakan kegiatan yang sangat penting sebab memungkinkan suatu teks meneruskan kehidupannya di konteks lain. Dengan kata lain hidupnya menjadi baru kembali di dalam konteks yang baru.
            Dalam bab ini Sapardi Djoko Damono memberikan contoh terjemahan penyair Chairil Anwar, untuk mengalihkan sastra sumber ke sastra sasaran. Hal itu untuk memberi gambaran bagaimana kira-kira proses pengaruh itu lewat terjemahan. Chairil Anwar menerjemahkan karya John Cornford, “Poem” yang dalam terjemahannya diberi judul “Huesca.” Dalam sejumlah sajaknya, “Huesca” adalah salah satu terjemahan yang ‘cantik’ menurut Sapardi. Dalam terjemahannya Chairil Anwar telah menciptakan ungkapan yang baru, setidaknya makna yang baru bagi ungkapan itu, yang sama sekali tidak membayangkan adanya faktor kekejaman dan ketiadaan belas kasihan seperti jelas tampak pada bahasa sumbernya.
            Tentunya kita tidak bisa mengesampingkan begitu saja apa yang telah dilakukan oleh Charil Anwar dalam sajaknya yang berjudul “Krawang Bekasi.”  Oleh beberapa pengamat sajak itu dianggap plagiat dari sajak Archibal MacLeish yang berjudul “The Young Dead Soldiers” karena Chairil Anwar tidak mencantumkan nama MacLeish.
“Jika kita membandingkan kedua sajak itu agak cermat, tampak jelas bahwa sebenarnya Chairil Anwar telah menciptakan sajak yang baru, dengan meminjam dan sekaligus diilhami oleh beberapa larik sajak MacLeish.” (hal. 104).
            Pada akhirnya Sapardi Djoko Damono menengarai, perkembangan teknologi modern  pada gilirannya mempengaruhi media akan membuka pembicaraan lebih luas lagi bagi sastra bandingan. Buku ini  sangat bermanfaat sebagai bekal untuk melakukan penelitian, karena teori apa pun bisa dimanfaatkan dalam penelitian sastra bandingan. Tentunya akan lebih menarik lagi jika dalam penerbitan ulang buku ini lebih memperhatikan format buku, termasuk pilihan font yang tidak “memberatkan” mata kita. Semoga. (Bambang Widiatmoko)


-oo0oo-






Kamis, 27 September 2012

Tradisi Hanami, Pesona Negeri Sakura


(Kesan Perjalanan Bambang Widiatmoko ke Negeri Sakura)

            Tepat pukul 23.00 awal April 2012 yang lalu kami bertiga, Prof Dr Titik Pudjiastuti (Guru Besar Universitas Indonesia), Dr Mujizah (Peneliti di Badan Bahasa Kemendikbud) dan saya  tiba di bandara internasional Haneda, Tokyo. Prof Dr Willem van Der Molen dan Prof Yumi Kondo, keduanya peneliti di Tokyo University of Foreign Studeis (TUFS) telah menunggu kedatangan kami.
 Seluruh perjalanan kereta api dari Haneda ke kota-kota di Provinsi Tokyo telah berakhir. Kami akhirnya naik bus menuju kampus TUFS di Tama. Suhu udara menunjukkan 9 derajat Celcius. Teramat dingin untuk ukuran orang yang biasa hidup di Jakarta.
            Kami tiba di kampus TUFS dan segera beristirahat di apartemen milik kampus. Esok harinya dengan berjalan kaki kami menuju kampus TUFS untuk seminar tentang kekayaan manuskrip. Perjalanan menuju kampus melewati deretan pohon Sakura, namun belum tampak satu pun yang mekar. Suasana kampus sangat sepi karena mahasiswa masih liburan. Hanya ratusan sepeda onthel yang ditinggalkan mahasiswa diparkir di lorong-lorong kampus.
            Kami mendapat cerita kalau musim bunga Sakura (Cherry Blossom) mekar di Jepang memang tidak bersamaan. Mekarnya bunga Sakura dapat dipantau dari perkiraan cuaca yang ditayangkan televisi.  Seperti di Tokyo bunga Sakura belum mekar, tapi  para wisatawan dari berbagai negara yang berdatangan di Kyoto, sudah bisa menikmati indahnya bunga Sakura. Untuk itulah pada malam harinya kami bertiga bertolak ke Kyoto dengan naik bus tingkat dari depan stasiun Tokyo. Perjalanan dari Tokyo menuju Kyoto dapat ditempuh dengan waktu kurang lebih 8 jam.
            Terminal kedatangan bus terletak di seberang stasiun kereta api Kyoto. Arsitektur stasiun Kyoto luar biasa megahnya. Di stasiun ini  gambar Doraemon berukuran besar dilukis di tangga escalator. Jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Tokyo lebih banyak dibanding kota-kota lain di Jepang. Kyoto memang dikenal sebagai kota  wisata dan kota budaya yang mendapat julukan Kota Seribu Kuil. Di antaranya yang sangat menarik adalah Rukuon-ji Temple atau kuil emas yang berdiri di tengah danau, dan Sanjūsangen-dō, kuil yang memiliki 1000 patung.
            Bagi wisatawan telah disediakan bus khusus bernomor 100 dan bertarif 100 Yen. Dengan membeli tiket berbentuk kartu wisatawan akan dibawa menuju tempat-tempat wisata dan tempat bersejarah di Kyoto. Tiket ini berlaku bebas menuju tempat yang diinginkan wisatawan, terserah mau mondar-mandir beberapa kali. Yang perlu diingat perjalanan bus ini berakhir pukul 17.00 dan kembali ke terminal. Taxi di Jepang pada umumnya sangat mahal, sehingga ada ungkapan “orang kaya saja yang mampu naik taksi.”
            Perjalanan berburu keindahan bunga Sakura pun dimulai. Bunga Sakura mekar sekitar akhir Maret. Namun tahun ini mekarnya bunga Sakura mundur hingga memasuki bulan April. Mekarnya bunga Sakura menandai musim semi telah tiba. Untuk itulah tahun akademik di Jepang dimulai setiap  bulan April.
            Masyarakat Jepang memiliki tradisi khusus untuk merayakan mekarnya bunga Sakura yang disebut Hanami. Arti Hanami berasal dari Hana (bunga) dan Mi (melihat). Jadi artinya melihat bunga. Tradisi ini dikenal sejak abad 7 saat pemerintahan zaman Nara, namun khusus diperuntukkan buat kalangan bangsawan. Baru memasuki zaman Edo sampai kini tradisi Hanami bisa dilakukan oleh siapa saja.
            Masyarakat Jepang akan beramai-ramai menuju taman-taman yang dipenuhi pohon bunga Sakura. Sambil duduk-duduk beralas tikar mereka menyantap bekal yang dibawa dari rumah. Tentu Sake diminum bersama untuk menghangatkan badan, namun tak sedikit pula yang akhirnya mabuk. Warung-warung tenda yang dibangun selama Hanami juga tersedia, dengan menjual makanan dan minuman seperti Takoyaki, Yakisoba, Yakitori, ayam goreng, makanan ringan, soft drink dan ice cream.
Perayaan  Hanami hanya berlangsung singkat, sekitar 10 hari saja. Pada umumnya bunga sakura mekar dimulai dari daerah selatan yang berudara lebih hangat, seperti pulau Okinawa, lalu merambat ke utara, dan berakhir di Hokkaido.
            Beberapa taman juga melangsungkan perayaan Hanami di malam hari yang disebut Yozakura. Tentu sangat romantis duduk-duduk di bawah rimbunnya bunga Sakura diterangi remang-remang cahaya lampu lampion dan cahaya bulan.
            Sekembalinya kami dari Kyoto ke Tokyo, bunga Sakura pun sudah tampak mekar di mana-mana. Kami pun puas berhanami di berbagai taman-taman di Tokyo dan di pelabuhan Yokohama. Bahkan di taman-taman kampus TUFS pun bunga Sakura mulai bermekaran. Sungguh indah pemandangan di Negeri Sakura ini. (Bwd)

 
 Bambang Widiatmoko Tampak memegang mangkok Teh Jepang
 
Ushiku Daibutsu. Ribuan wisatawan datang ke Ushiku Daibutsu Jepang, untuk berwisata religius di kompleks patung Buddha setinggi  82 meter. Ushiku Daibutsu tercatat meraih Guinness Book of  World Records sebagai patung Buddha terbesar di dunia. Wisatawan bisa masuk ke dalam tubuh patung  Buddha hingga di dada dan lengan, dan melihat pemandangan di sekelilingnya yang dipenuhi bunga sakura. Pemandangan itu akan berganti setiap musim yang menyajikan keindahan bunga sesuai musimnya. Untuk menuju tempat ini dapat menggunakan taxi atau bus dengan waktu tempuh 25 menit dari stasun kereta api Ushiku.

BERGURU PADA SAJAK UNTUK MENJADI BIJAK: SAJAK-SAJAK MICKY HIDAYAT



Oleh : Bambang Widiatmoko

Pengantar

Micky Hidayat, penyair  yang lahir di Banjarmasin, 4 Mei 1959 dan menetap di tanah kelahirannya ini sudah saya kenal sejak tahun l980-an. Artinya, sudah lebih dari 30 tahun Micky Hidayat (yang selanjutnya disingkat MH)  menulis sajak. Sepanjang waktu itu tentu sudah ribuan puisi yang ditulis MH, yang kemudian beberapa diantaranya dibukukan dalam kumpulan sajak Meditasi Rindu (Tahura Media, 2008: 200 halaman). Yang lebih mengejutkan, MH memuat fotonya yang saya “jepret” tahun 1980-an dalam biodatanya. MH memang pendokumentasi foto dan sajak yang baik.
            Di dalam Ensiklopedia Sastra Kalimantan Selatan (2008) disebutkan, sejak kecil Micky Hidayat memang beruntung karena dibesarkan di lingkungan keluarga, terutama ditunjang pula oleh status ayahnya yang seorang sastrawan, yang mengenal pentingnya bacaan dan budaya membaca. Lingkungannya yang mendukung menumbuhkan semangat kreatif sehingga ia menekuni bidang sastra hingga memasuki usia dewasa. Tampaknya karya sastra telah membuka jalan baginya untuk menjelajah dunia tanpa batas. Tak heran jika kegemaran membaca karya sastra sejak usia dini tersebut memiliki dampak yang cukup baik bagi perkembangan kesastrawanannya.
Tulisan ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama tentang pencarian kata dalam sajak-sajak MH. Bagian kedua menyoroti sajak-sajaknya yang bertema  konflik sosial. 
Pencarian Kata Micky Hidayat
    Sejatinya, saya ingin membaca dan menikmati sajak-sajak MH tanpa “gangguan” dari orang lain. Menikmati imaji-imaji MH yang jauh melintasi cakrawala dalam pengembaraan sajak-sajaknya. Gangguan yang saya maksud adalah sedemikian banyaknya komentar dari sahabat atas sajak-sajaknya. Tercatat 36 komentar di halaman dalam dan satu komentar di sampul belakang, Ditambah Catatan Pengantar dari Agus R. Sarjono, dan Catatan Penyair oleh penyairnya sendiri. Ibaratnya jika ingin bertemu MH sebagai raja penyair di istananya di Kalimantan Selatan, dari pintu gerbang sampai singgasana telah dijaga deretan pengawal yang dengan setia terlebih dahulu menceritakan sosok sang raja yang adil, arif dan bijaksana.
            Tentu masih ada peluang untuk memberikan apresiasi bagi sajak-sajak MH. Terlebih lagi setelah sekian puluh tahun MH menulis sajak, MH pun merasa menemukan begitu banyak ruang gerak untuk senantiasa bersikap bijak. Sikap bijak yang tentunya menjadi tujuan akhir dari seseorang yang ingin disebut dirinya penyair. Kita baca sajaknya di halaman 108:

Aku Berguru pada sajak

aku berguru pada sajak
karena sajak begitu banyak
memberiku ruang gerak
di mana pun aku berpijak.

aku berguru pada sajak
karena sajak senantiasi mengajak
dan mengajariku bersikap bijak
menghadapi kehidupan yang terkoyak.

aku berguru pada sajak
karena sajak adalah tonggak
tempatku berpegang agar tetap
tegak
mengikuti ke mana pun awan
berarak

aku berguru pada sajak
karena sajak adalah ombak
senantiasa tegar walau gemulungnya pecah berserak
diterjang badai maha dahsyat yang
congkak

1995
           
Sajak MH meskipun terkesan sederhana tapi merupakan wujud perenungan yang dalam terhadap kehidupan. Sebenarnya, jika lebih teliti lagi sajak di atas dapat ditulis dalam bentuk tiap bait terdiri dari empat baris, yang akan mengandung sebuah alur dan menghadirkan unsur persajakan. Bisa jadi unsur persajakan tidak begitu diutamakan MH ketika menulis sajak. Begitu pula tidak perlu diperdebatkan, apakah ombak dapat pecah berserak diterjang badai, atau ombak itu sendiri jika terlalu besar sebutannya adalah badai. Seperti halnya ketika saya meyakini bahwa yang menjadikan ombak adalah angin. Keyakinan yang salah setelah saya memahami bahwa sesungguhnya yang menjadikan angin itu adalah ombak di laut.
 Seperti juga keyakinan MH bahwa dia perlu merasa berguru pada sajak, karena sajak adalah ombak dalam kehidupan nyata. Karena hantaman ombaklah seseorang menjadi kuat,  kuat sebagai penyair dan kuat sebagai manusia biasa. Ada pepatah Cina  menyebutkan: “sayur matang dalam rebusan”. MH telah tampil matang karena telah direbus pengalaman ketika berguru pada sajak.
            Keterpukauannya dan kerinduannya terhadap kata-kata muncul pula dalam sajak “Beri Aku Kata-kata” di halaman 38:

Beri Aku Kata-kata

beri aku kata-kata
setajam pisau setajam kapak
untuk menikam bumi sampai koyak
dan menghujam langit sampai retak

beri aku kata-kata
sewangi dupa seampuh mantera
untuk mengasapi jagat semesta
dan membuyarkan arak-arakan mega

beri aku kata-kata
sesejuk hawa surga sepanas api neraka
untuk menunjukkan rasa resah di jiwa
dan memijarkan kekuatan yang hampir tiada

berilah aku kata-kata
untuk menyembunyikan hidupku
di balik sayap-sayapnya

1984

            Bagi MH, kekuatan kata-kata adalah sedemikian besarnya, bisa setajam pisau setajam kapak. Dapat pula merusak alam semesta. Jika kata-kata diibaratkan pisau maka yang ada dalam genggaman adalah pisau bermata dua. Satu sisi bermata kejahatan dan sisi lainya untuk kebajikan: //sewangi dupa seampuh mantera//. Atau bisa jadi //sebab kata-kata telah ditelan gelombang air mata//(hal, 146).
            Namun pada akhirnya muncul juga dalam benak MH setelah berguru pada sajak, sajak bisa menghambur jadi debu, mengotori udara dan memerihkan mata. Seperti dapat kita baca pada sajaknya di halaman 111:

Sajak, 2

beribu sajak
dari ribuan kata yang kutulis
menghambur jadi debu
mengotori udara
dan memerihkan mataku

beribu sajak
dari ribuan kata yang kuhamburkan
tak pernah menemukan jejak
di jalan-jalan kegelapan

beribu sajak
beribu kata
percuma saja
tanpa bahasa

1996
           
Sebagai penyair, MH tetap meyakini kekuatan bahasa. //beribu sajak/beribu kata/percuma saja/tanpa bahasa//. Tanpa bahasa tentu sajak tidak mampu berbicara apa-apa, meskipun bahasa bukanlah hanya sekadar alat komunikasi. Seperti apa yang dikatakan Ember (2006: 20), tanpa bahasa kita tidak dapat meneruskan atau menerima keterangan-keterangan secara simbolis dan dengan demikian tidak dapat menjadi pewaris dari suatu kebudayaan yang demikian kaya dan demikian aneka ragamnya.
            Dengan bahasa MH dapat membaca bahasa sunyi dalam sajak yang diperuntukan buat  Isbedy Stiawan ZS dengan judul “Membaca Bahasa Sunyimu” (hal. 158). Kita baca:

Membaca Bahasa Sunyimu
untuk Isbedy Stiawan ZS

Membaca bahasa sunyimu
Tergambarlah semesta kehidupanmu yang berdebu
dan menghitam bagai arang. Bertahun-tahun kau
simpan dari dalam ruang dan waktu. Bertahun-
tahun kau tulisi keperihan dalam sajak-sajakmu.

Membaca bahasa sunyimu
Tak bisa kutafsirkan makna angin dan gelombangmu,
rahasia laut dan badaimu, ketinggian awan dan
hujanmu. Berabad-abad makna sunyi kau simpan,
tapi bahasa kekerasan dan kecemasan masih saja
menghantuimu. Berabad-abad sudah pembantaian,
luka, darah, dan kematian terus mengalir di tanahmu.
Membaca bahasa sunyimu
Tak habis-habis aku membaca huru-hara, terror, dan
bencana. Begitu mengerikan, menikam-nikam nuraniku
hingga koyak. Kata-kata dan sajak pun telah menemui
ajalnya.

Membaca bahasa sunyimu
Aku nyaris melupakan bahasaku sendiri – berabad-abad
hilang  dalam kegelapan dan kesunyian.

2005

Begitulah kekuatan bahasa, dapat menggambarkan semesta kehidupan  yang berdebu. Pada sisi lain, bahasa juga tak mampu menggambarkan makna angin, gelombang, rahasia laut dan badai yang dialami oleh orang lain. Pada titik kulminasi tertentu agaknya  membuat MH sama sekali tidak percaya lagi pada kekuatan bahasa  -- dan ini sangat  mengejutkan saya – dengan munculnya sajak berjudul “Sajak Tak Berisi” di halaman 170. Dalam sajak itu tak ada  sama sekali tercantum kata-kata yang ditulis alias kosong, selain titimangsa penulisan sajak tahun 2008.
Melihat titimangsa tahun penulisan sajak tersebut adalah tahun 2008 yang sama dengan tahun diterbitkannya kumpulan sajak Meditasi Rindu, agaknya MH telah berada dalam titik jenuh dalam penulisan sajak. Atau bahkan sebaliknya seperti yang saya nyatakan di atas, bahwa bahasa bukanlah hanya sekadar alat komunikasi. Tanpa kata yang tercantum dalam sebuah sajak pun tetap akan melahirkan penafsiran yang begitu beragam. Barangkali luasnya lautan dan tak terbatasnya cakrawala. Barangkali tanpa kata dan bahasa pun “imajinasi terbang mengitari kegelapan ruang”. Atau MH ingin menunjukkan dalam pengakuannya bahwa menulis sajak baginya merupakan bentuk aktualisasi sikap yang memberontak terhadap keadaan tertentu, yakni pemberontakan yang lebih merujuk pada makna pembebasan – pemberontakan kreatif. Bisa jadi  MH ingin menunjukkan pula bahwa dirinya tetap percaya pada kekuatan kata, namun kata-kata itu telah menghilang, seperti dalam sajaknya “Hilang Kata”  yang merupakan sajak terakhir dalam kumpulan sajaknya: //imajinasi terbang/mengitari kegelapan ruang/mencari kata-kata bersarang//tapi kata-kata telah menghilang/tanpa jejak dan bayang/entah kapan kembali pulang//sedangkan sajak sudah kepalang/ingin dibuai ditimang-timang/dan dibelai sepenuh sayang//tapi kata-kata tak kunjung datang/hingga penyair lelah bertualang/malam ke  siang menanti petang//(hal. 171).
Ah. Micky Hidayat, kembalilah berpetualang mencari kata-kata yang sedang menghilang.
 Puisi Tentang Konflik Sosial
            Tragedi berdarah akibat pertikaian antaretnis di Sampit yang memilukan  diangkat oleh penyair Amang Bilem dalam puisinya “Nyanyian Pilu Sungai Mentaya”. Mengungkap tragedi menyakitkan hati yang terjadi di kotanya, Amang Bilem, berhasil membuat penonton pentas sastra yang memadati gedung Balairung Taman Budaya berdecak kagum (Kalimantan Post, 8 Agustus 2001).
            MH juga tidak mau ketinggalan dengan menuliskan puisi berjudul “Sampit” di halaman 140-141:

            Sampit

            Duh, Sampit
            Neraka apa ini
            Berkobaran api
            Angkara murka
            Membakar amarah
            Tak padam-padam
            Hamparan puing-puing
            Dendam kesumat
            Dan kebencian memuncak
            Tak redam-redam

            Siapakah dalam luka
            Menyenandungkan lagu duka?

            Langit pun merah
            Semerah bara
            Matahari berdarah
            Bulan berdarah
            Kota berdarah
            Ribuan jasad berdarah
            Berserak di tanah basah
            Mengambang dan mencemari
            Sungai kehidupan

            Siapakah dalam kengerian
            Bersorak kemenangan?

            Duh, Sampit
            Petaka apa pula ini
            Adakah yang lebih nikmat
            Dibanding saling tikam
            Adakah yang lebih terhormat
            Dibanding saling terkam

            Adakah yang lebih bermartabat
            Dibanding saling santet pelampias dendam
            Adakah yang lebih kuat
            Dibanding hati nurani yang lebam

            Siapakah dalam tangis dan jeritan
            Membayangkan hari gelap masa depan
            Di barak-barak kumuh pengungsian?
            Duh, Sampit
            Tragedi macam apa ini
            Sejarah telah menulis namamu
            Dengan tinta merah
            Lebih merah dari darah
            Di lembaran kekerasan dan pembantaian
            Di peta nurani kemanusiaan yang hilang
            O, peradaban negeriku yang mengerang

            Langit pun menangis
            Tanpa air mata

            2001
           
            Peristiwa kerusuhan yang pecah di Sampit  tidak banyak terekam dalam bentuk karya sastra. Beruntung MH menuliskan peristiwa berdarah itu dalam sajaknya. Meskipun begitu, sajak di atas terlalu cair dan terkesan seperti reportase yang sekadar merekam peristiwa konflik antar etnis tersebut. Diksinya belum terpilih sehingga muncul://Adakah yang lebih bermartabat/dibanding santet pelampias dendam//. Akan lebih menarik jika MH menggambarkan bagaimana wujud santet itu dalam warna lokal kota Sampit. Apakah santet di daerah tersebut berbeda dengan santet yang ada di daerah lain. Apakah benar-benar ada apa yang disebut dengan “Mandau Terbang?” Namun harus kita maklumi, MH bukan bagian dari pelaku yang mengalami peristiwa itu di tempat kejadian. Untuk merepresentasikan peristiwa itu yang muncul akhirnya adalah kata-kata pada umumnya://Langit pun merah/Semerah bara/Matahari berdarah/Bulan berdarah/Kota berdarah//
            Tentu kita bersyukur MH telah menuliskan peristiwa yang memilukan itu. Peristiwa yang  terekam dalam karya sastra akan menjadi katarsis dan mengembalikan kepedulian dan rasa damai antar sesamanya bagaikan dalam peristiwa yang berbeda RA Kartini menulis yang akhirnya menjadi buku Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
            Bukankah fungsi sastra di antaranya adalah untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi?  Mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu. “Goethe konon telah terbebas dari Weltschmerz dengan menciptakan karyanya, The Sorrows of Werther.” (Wellek & Warren, 1989: 35). Persoalannya, apakah dengan kelahiran sajak-sajak mampu menghentikan konflik disertai kekerasan yang merenggut banyak korban jiwa: //Ribuan jasad berdarah/Berserak di tanah basah// dan meninggalkan luka mendalam serta demikian melekatnya dalam kehidupan seseorang?  Dengan sastra kita berharap mampu menjadikan saling menghargai pluralisme yang ada, bukan untuk membangkitkan luka lama.
Penutup
            Sebagai penutup dalam tulisan ini saya  hanya menggarisbawahi komentar D.Zawawi Imron dalam kumpulan sajak Meditasi Rindu: “Sajak-sajak Micky yang alam bagus. Tapi yang sosial politik aku kurang suka.”(hal. 176). Saya suka sajak-sajak MH yang mengacu pada local genius yang berbicara tentang kearifan budaya Banjar yang tentu tidak akan habis untuk dituangkan dalam bentuk sajak://membaca riwayatmu, o, sungaiku/tak habis-habis kubaca berjilid-jilid buku/kesaksian tetaplah menjadi misteri/sebagaimana usia tak pernah abadi//(hal. 7). Atau; //Kota adalah tonggak yang patah/Terpancang angkuh di tanah haram menyarah*//(hal. 41). Juga MH tidak perlu merasa pesimis://Memandangi kota/Diam-diam tumbuh perasaan/Antara kesanggupan dan ketidakberdayaan/Untuk mencintai dan membenci/Atau mengejek dan menertawai/Kekalahan diri sendiri//(hal. 102).
            Selamat buat Bung Micky Hidayat melalui Meditasi Rindu, untuk menjadi penyejuk kalbu.  (Bambang Widiatmoko, penyair, dosen Universitas Mercu Buana, Jakarta).