“SASTRA BANDINGAN MENUJU ERA TEKNOLOGI MODERN”
Sapardi
Djoko Damono. Sastra Bandingan. Jakarta:
Editum, 2011. 150 halaman. ISBN 978-979-19766-2-6, Soft Cover.
BUKU berjudul Sastra Bandingan ini
sebelumnya pernah diterbitkan oleh Pusat Bahasa sebagai bagian dari buku
pegangan. Diterbitkannya ulang buku ini untuk kalangan yang lebih luas, tidak
hanya bagi peminat sastra dan mahasiswa, menandakan bahwa kajian sastra
bandingan merupakan suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang besar manfaatnya.
Seperti diketahui, sastra bandingan lahir dan dikembangkan di Eropa, benua yang
terbagi menjadi sejumlah bahasa dan kebudayaan.
Hakikatnya
sastra bandingan berlandaskan azas banding-membandingkan. Berdasarkan azas
tersebut Sapardi menegaskan adanya konsep penting bahwa tidaklah benar jika
dikatakan bahwa sastra bandingan sekadar mempertentangan dua sastra dari dua
negara atau bangsa, tetapi lebih merupakan suatu metode untuk memperluas
pendekatan atas sastra suatu bangsa saja.
Mengutip pendapat Clements (l978) bahwa ditemukan lima
pendekatan yang bisa dipergunakan dalam penelitian, yakni: tema/mitos, genre/bentuk, gerakan/zaman,
hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni dan disiplin ilmu lain, dan
pelihatan sastra sebagai bahan bagi perkembangan teori yang terus-menerus
bergulir.
“Konsep penting yang perlu
disebutkan adalah bahwa pendekatan ini menuntut dipergunakannya bahasa asli
karya sastra yang dibandingkan.” (hal. 12).
Sapardi juga membuka wawasan kita tentang pentingnya studi sastra bandingan
dengan mengambil karya terjemahan; bukan hanya yang berasal dari bahasa asing
tetapi terutama juga yang berasal dari bahasa daerah yang sangat banyak
jumlahnya.
Salah satu masalah besar yang
dihadapi oleh studi sastra bandingan adalah jika sastra bandingan itu merupakan
studi kesusastraan melewati batas-batas linguistik, maka seharusnya dikaitkan
dengan sejarah pemikiran. Secara kritis dapat dipertanyakan bahwa alur,
gagasan,dan penokohan dengan mudah bisa diwariskan atau ditiru, tetapi
bagaimana dengan bahasa? Bagi Sapardi Djoko Damono, pengarang besar yang
menulis dalam bahasa yang memiliki tradisi sastra yang agung tentu merupakan
tantangan bagi penerjemah. Jika dalam terjemahan puisi harus menjadi puisi,
dalam hal ini parafrase jelas bukanlah terjemahan tetapi tafsiran.
“Kemiskinan
linguistik yang ada pada bahasa sasaran akan membatasi kemampuan si penerjemah
dalam upaya memindahkan sastra sumber ke sastra sasaran.” (hal. 16). Di benua
lain, seperti Asia, sastra bandingan menghadapi masalah besar sebab ditinjau
dari segi linguistik dan budaya, bangsa-bangsa di Asia memiliki ciri-ciri
tersendiri yang cenderung menolak dibanding-bandingkan.
Penyebabnya menurut Sapardi,
disamping memiliki aksara berbeda-beda, Asia tidak memiliki acuan yang tunggal
dalam kebudayaannya seperti halnya Eropa. Masing-masing bangsa memiliki
mitologi sendiri, meskipun dalam beberapa kasus telah terjadi
pengaruh-mempengaruhi, suatu hal yang telah melampaui batas-batas budaya dan
politik.
Buku ini lengkap berisi bab tentang
Konsep Dasar, Perkembangan; Asli, Pinjaman, Tradisi; Sastra Bandingan
Nusantara; Meninjau Romantisme: Kasus Puisi Inggris dan Indonesia; Tentang
Penerjemahan Sastra; Rabindranath Tagore dan Kita: Kasus Pengaruh Tokoh Sastra;
dan diakhiri bab tentang Alih Wacana.
Membicarakan Sastra Bandingan
Nusantara, tak luput dari posisi Indonesia sebagai negeri yang sangat kaya
sebagai sumber penelitian sastra bandingan. Meski tidak semua bahasa yang
tumbuh di Indonesia memiliki aksara, namun berbagai jenis tradisi lisan yang
berkembang pun merupakan bahasa yang tak akan habis dikaji dalam kegiatan
sastra bandingan.
Perbedaannya dengan di Eropa yang
mengacu kepada mitologi Yunani dan Perjanjian Lama dan Injil, kelompok-kelompok
etnik di Indonesia masing-masing mengembangkan mitologi sendiri dan bahkan
beberapa di antaranya mengembangkan agama sendiri, yang tentu saja merupakan
pengaruh atau hasil pengolahan dari kebudayaan lain.
Menurut Sapardi Djoko Damono, sastra Indonesia bisa dibaca oleh semua orang yang menguasai
bahasa Indonesia. Namun tidak semua karya sastra yang ditulis dalam bahasa
Indonesia bisa dihayati dan dipahami oleh semua kelompok etnik yang membentuk
bangsa ini. Sekadar contoh, sastra Indonesia yang ditulis oleh sastrawan Minang
belum tentu bisa dipahami oleh pembaca yang berasal dari Bali, dan
sebaliknya.Begitu juga prosa lirik Pengakuan
Pariyem karya Linus Suryadi AG., tidak mudah dipahami oleh masyarakat yang
bukan Jawa.
Untuk itulah A.Ikram (1990)
menawarkan studi perbandingan yang didasarkan pada sastra-sastra yang
berkembang di Nusantara. Ia membuat pengelompokan masalah berdasarkan
konsep-konsep yang telah ditawarkan oleh Clements, yakni genre dan bentuk;
periode, aliran, dan pengaruh; tema dan mitos. “Terutama karena adanya berbagai
jenis pengaruh, tradisi sastra kita memiliki genre yang tidak dimiliki oleh banyak bangsa.” (hal.31).
Tentang Penerjemahan Sastra
merupakan judul bab yang paling menarik dibahas dalam buku ini. Sapardi Djoko
Damono mengajak kita membayangkan, sebuah haiku
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kemudian terjemahan itu dialihkan ke
bahasa Indonesia. Selanjutnya versi Indonesia itu dipindahkan ke dalam bahasa
Jawa, dan akhirnya haiku Jawa itu
‘dikembalikan’ ke asal-usulnya, bahasa Jepang. Sajak
pertama dan terakhir tentu sama sekali akan berbeda. Karya terjemahan itu tidak
akan bisa mengungguli aslinya.
Mengutip pendapat Gifford, sastra
terjemahan diibaratkannya sebagai tidak lebih dari reproduksi hitam putih dari
lukisan cat minyak sebab teksturnya telah berubah. Keutuhan karya sastra asli
akan dimiskinkan oleh terjemahannya, meskipun taraf pemiskinan itu tergantung
pada jenis karya sastra yang diterjemahkannya.
Dalam konteks pembicaraan mengenai
sastra bandingan, karya terjemahan tidak mempunyai kedudukan yang kokoh.
“Kecelakaan semacam itu bisa terjadi jika penerjemahnya kurang mampu, namun
keunggulan bisa juga dicapai oleh terjemahan. Sangat mungkin ada terjemahan
yang lebih bagus dari aslinya, hubungan
antarunsurnya lebih kokoh, wawasannya lebih dalam, dan kemungkinan penghayatannya
lebih luas.” (hal. 96). Bagaimanapun penerjemahan merupakan kegiatan yang
sangat penting sebab memungkinkan suatu teks meneruskan kehidupannya di konteks
lain. Dengan kata lain hidupnya menjadi baru kembali di dalam konteks yang
baru.
Dalam bab ini Sapardi
Djoko Damono memberikan contoh terjemahan penyair Chairil Anwar, untuk
mengalihkan sastra sumber ke sastra sasaran. Hal itu untuk memberi gambaran
bagaimana kira-kira proses pengaruh itu lewat terjemahan. Chairil Anwar
menerjemahkan karya John Cornford, “Poem” yang dalam terjemahannya diberi judul
“Huesca.” Dalam sejumlah sajaknya, “Huesca” adalah salah satu terjemahan yang
‘cantik’ menurut Sapardi. Dalam terjemahannya Chairil Anwar telah menciptakan
ungkapan yang baru, setidaknya makna yang baru bagi ungkapan itu, yang sama
sekali tidak membayangkan adanya faktor kekejaman dan ketiadaan belas kasihan
seperti jelas tampak pada bahasa sumbernya.
Tentunya kita tidak bisa
mengesampingkan begitu saja apa yang telah dilakukan oleh Charil Anwar dalam sajaknya
yang berjudul “Krawang Bekasi.” Oleh
beberapa pengamat sajak itu dianggap plagiat dari sajak Archibal MacLeish yang
berjudul “The Young Dead Soldiers” karena Chairil Anwar tidak mencantumkan nama
MacLeish.
“Jika kita
membandingkan kedua sajak itu agak cermat, tampak jelas bahwa sebenarnya
Chairil Anwar telah menciptakan sajak yang baru, dengan meminjam dan sekaligus
diilhami oleh beberapa larik sajak MacLeish.” (hal. 104).
Pada akhirnya Sapardi Djoko Damono
menengarai, perkembangan teknologi modern
pada gilirannya mempengaruhi media akan membuka pembicaraan lebih luas
lagi bagi sastra bandingan. Buku ini
sangat bermanfaat sebagai bekal untuk melakukan penelitian, karena teori
apa pun bisa dimanfaatkan dalam penelitian sastra bandingan. Tentunya akan
lebih menarik lagi jika dalam penerbitan ulang buku ini lebih memperhatikan
format buku, termasuk pilihan font
yang tidak “memberatkan” mata kita. Semoga. (Bambang Widiatmoko)
-oo0oo-