Sabtu, 29 September 2012

RESENSI


“SASTRA BANDINGAN  MENUJU ERA TEKNOLOGI MODERN”
Sapardi Djoko Damono. Sastra Bandingan. Jakarta: Editum, 2011. 150 halaman. ISBN 978-979-19766-2-6, Soft Cover.
            BUKU berjudul Sastra Bandingan ini sebelumnya pernah diterbitkan oleh Pusat Bahasa sebagai bagian dari buku pegangan. Diterbitkannya ulang buku ini untuk kalangan yang lebih luas, tidak hanya bagi peminat sastra dan mahasiswa, menandakan bahwa kajian sastra bandingan merupakan suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang besar manfaatnya. Seperti diketahui, sastra bandingan lahir dan dikembangkan di Eropa, benua yang terbagi menjadi sejumlah bahasa dan kebudayaan.
            Hakikatnya sastra bandingan berlandaskan azas banding-membandingkan. Berdasarkan azas tersebut Sapardi menegaskan adanya konsep penting bahwa tidaklah benar jika dikatakan bahwa sastra bandingan sekadar mempertentangan dua sastra dari dua negara atau bangsa, tetapi lebih merupakan suatu metode untuk memperluas pendekatan atas sastra suatu bangsa saja.
            Mengutip  pendapat Clements (l978) bahwa ditemukan lima pendekatan yang bisa dipergunakan dalam penelitian, yakni: tema/mitos, genre/bentuk, gerakan/zaman, hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni dan disiplin ilmu lain, dan pelihatan sastra sebagai bahan bagi perkembangan teori yang terus-menerus bergulir.
            “Konsep penting yang perlu disebutkan adalah bahwa pendekatan ini menuntut dipergunakannya bahasa asli karya sastra yang dibandingkan.” (hal. 12).  Sapardi juga membuka wawasan kita tentang pentingnya studi sastra bandingan dengan mengambil karya terjemahan; bukan hanya yang berasal dari bahasa asing tetapi terutama juga yang berasal dari bahasa daerah yang sangat banyak jumlahnya.
            Salah satu masalah besar yang dihadapi oleh studi sastra bandingan adalah jika sastra bandingan itu merupakan studi kesusastraan melewati batas-batas linguistik, maka seharusnya dikaitkan dengan sejarah pemikiran. Secara kritis dapat dipertanyakan bahwa alur, gagasan,dan penokohan dengan mudah bisa diwariskan atau ditiru, tetapi bagaimana dengan bahasa? Bagi Sapardi Djoko Damono, pengarang besar yang menulis dalam bahasa yang memiliki tradisi sastra yang agung tentu merupakan tantangan bagi penerjemah. Jika dalam terjemahan puisi harus menjadi puisi, dalam hal ini parafrase jelas bukanlah terjemahan tetapi tafsiran.
“Kemiskinan linguistik yang ada pada bahasa sasaran akan membatasi kemampuan si penerjemah dalam upaya memindahkan sastra sumber ke sastra sasaran.” (hal. 16). Di benua lain, seperti Asia, sastra bandingan menghadapi masalah besar sebab ditinjau dari segi linguistik dan budaya, bangsa-bangsa di Asia memiliki ciri-ciri tersendiri yang cenderung menolak dibanding-bandingkan.
            Penyebabnya menurut Sapardi, disamping memiliki aksara berbeda-beda, Asia tidak memiliki acuan yang tunggal dalam kebudayaannya seperti halnya Eropa. Masing-masing bangsa memiliki mitologi sendiri, meskipun dalam beberapa kasus telah terjadi pengaruh-mempengaruhi, suatu hal yang telah melampaui batas-batas budaya dan politik.
            Buku ini lengkap berisi bab tentang Konsep Dasar, Perkembangan; Asli, Pinjaman, Tradisi; Sastra Bandingan Nusantara; Meninjau Romantisme: Kasus Puisi Inggris dan Indonesia; Tentang Penerjemahan Sastra; Rabindranath Tagore dan Kita: Kasus Pengaruh Tokoh Sastra; dan diakhiri bab tentang Alih Wacana.
            Membicarakan Sastra Bandingan Nusantara, tak luput dari posisi Indonesia sebagai negeri yang sangat kaya sebagai sumber penelitian sastra bandingan. Meski tidak semua bahasa yang tumbuh di Indonesia memiliki aksara, namun berbagai jenis tradisi lisan yang berkembang pun merupakan bahasa yang tak akan habis dikaji dalam kegiatan sastra bandingan.
            Perbedaannya dengan di Eropa yang mengacu kepada mitologi Yunani dan Perjanjian Lama dan Injil, kelompok-kelompok etnik di Indonesia masing-masing mengembangkan mitologi sendiri dan bahkan beberapa di antaranya mengembangkan agama sendiri, yang tentu saja merupakan pengaruh atau hasil pengolahan dari kebudayaan lain.
            Menurut Sapardi Djoko Damono,  sastra Indonesia  bisa dibaca oleh semua orang yang menguasai bahasa Indonesia. Namun tidak semua karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia bisa dihayati dan dipahami oleh semua kelompok etnik yang membentuk bangsa ini. Sekadar contoh, sastra Indonesia yang ditulis oleh sastrawan Minang belum tentu bisa dipahami oleh pembaca yang berasal dari Bali, dan sebaliknya.Begitu juga prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG., tidak mudah dipahami oleh masyarakat yang bukan Jawa.
            Untuk itulah A.Ikram (1990) menawarkan studi perbandingan yang didasarkan pada sastra-sastra yang berkembang di Nusantara. Ia membuat pengelompokan masalah berdasarkan konsep-konsep yang telah ditawarkan oleh Clements, yakni genre dan bentuk; periode, aliran, dan pengaruh; tema dan mitos. “Terutama karena adanya berbagai jenis pengaruh, tradisi sastra kita memiliki genre yang tidak dimiliki oleh banyak bangsa.” (hal.31).
            Tentang Penerjemahan Sastra merupakan judul bab yang paling menarik dibahas dalam buku ini. Sapardi Djoko Damono mengajak kita membayangkan, sebuah haiku diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kemudian terjemahan itu dialihkan ke bahasa Indonesia. Selanjutnya versi Indonesia itu dipindahkan ke dalam bahasa Jawa, dan akhirnya haiku Jawa itu ‘dikembalikan’ ke asal-usulnya, bahasa Jepang.        Sajak pertama dan terakhir tentu sama sekali akan berbeda. Karya terjemahan itu tidak akan bisa mengungguli aslinya.
            Mengutip pendapat Gifford, sastra terjemahan diibaratkannya sebagai tidak lebih dari reproduksi hitam putih dari lukisan cat minyak sebab teksturnya telah berubah. Keutuhan karya sastra asli akan dimiskinkan oleh terjemahannya, meskipun taraf pemiskinan itu tergantung pada jenis karya sastra yang diterjemahkannya.
            Dalam konteks pembicaraan mengenai sastra bandingan, karya terjemahan tidak mempunyai kedudukan yang kokoh. “Kecelakaan semacam itu bisa terjadi jika penerjemahnya kurang mampu, namun keunggulan bisa juga dicapai oleh terjemahan. Sangat mungkin ada terjemahan yang lebih bagus dari  aslinya, hubungan antarunsurnya lebih kokoh, wawasannya lebih dalam, dan kemungkinan penghayatannya lebih luas.” (hal. 96). Bagaimanapun penerjemahan merupakan kegiatan yang sangat penting sebab memungkinkan suatu teks meneruskan kehidupannya di konteks lain. Dengan kata lain hidupnya menjadi baru kembali di dalam konteks yang baru.
            Dalam bab ini Sapardi Djoko Damono memberikan contoh terjemahan penyair Chairil Anwar, untuk mengalihkan sastra sumber ke sastra sasaran. Hal itu untuk memberi gambaran bagaimana kira-kira proses pengaruh itu lewat terjemahan. Chairil Anwar menerjemahkan karya John Cornford, “Poem” yang dalam terjemahannya diberi judul “Huesca.” Dalam sejumlah sajaknya, “Huesca” adalah salah satu terjemahan yang ‘cantik’ menurut Sapardi. Dalam terjemahannya Chairil Anwar telah menciptakan ungkapan yang baru, setidaknya makna yang baru bagi ungkapan itu, yang sama sekali tidak membayangkan adanya faktor kekejaman dan ketiadaan belas kasihan seperti jelas tampak pada bahasa sumbernya.
            Tentunya kita tidak bisa mengesampingkan begitu saja apa yang telah dilakukan oleh Charil Anwar dalam sajaknya yang berjudul “Krawang Bekasi.”  Oleh beberapa pengamat sajak itu dianggap plagiat dari sajak Archibal MacLeish yang berjudul “The Young Dead Soldiers” karena Chairil Anwar tidak mencantumkan nama MacLeish.
“Jika kita membandingkan kedua sajak itu agak cermat, tampak jelas bahwa sebenarnya Chairil Anwar telah menciptakan sajak yang baru, dengan meminjam dan sekaligus diilhami oleh beberapa larik sajak MacLeish.” (hal. 104).
            Pada akhirnya Sapardi Djoko Damono menengarai, perkembangan teknologi modern  pada gilirannya mempengaruhi media akan membuka pembicaraan lebih luas lagi bagi sastra bandingan. Buku ini  sangat bermanfaat sebagai bekal untuk melakukan penelitian, karena teori apa pun bisa dimanfaatkan dalam penelitian sastra bandingan. Tentunya akan lebih menarik lagi jika dalam penerbitan ulang buku ini lebih memperhatikan format buku, termasuk pilihan font yang tidak “memberatkan” mata kita. Semoga. (Bambang Widiatmoko)


-oo0oo-






Tidak ada komentar: