Minggu, 31 Juli 2011

RUMUSAN DAN REKOMENDASI PERTEMUAN PENYAIR NUSANTARA (PPN) V PALEMBANG

oleh Dimas Arika Mihardja

Puji syukur ke hadirat Allah SWT bahwa Pertemuan Penyair Nusntara (PPN) V telah berlangsung dengan lancar di Palembang, pada tanggal 16—19 Juli 2011. PPN V isi beberapa acara utama, yakni Seminar Internasional Perpuisian Nusantara, penerbitan buku kumpulan puisi Akulah Musi, Temu Kerja, Jerayawara (roadshow) Apresiasi Sastra ke beberapa sekolah dan perguruan tinggi , serta Tarung Penyair Nusantara.

I. Rumusan dan Rekomendasi Seminar
Seminar berlangsung sehari penuh dalam 10 sesi, diawali dengan pleno dan dilanjutkan dengan 9 sesi panel dalam 3 kelas paralel, telah menghasilkan rumusan dan rekomendasi sebagai berikut.
1. Ruh puisi nusantara tidak terlepas dari kebudayaan dan masyarakat nusantara. Oleh karena itu, diperlukan: (a) pertemuan yang intensif secara periodik dan berkelanjutan antar penyair nusantara; (b) penerbitan antologi puisi karya penyair nusantara di luar PPN; (c) pemanfaatan internet untuk kegiatan publikasi puisi dan kritik puisi secara daring (online) yang dapat diakses secara luas; (d) pengembangan kritik puisi melalui berbagai pendekatan yang memungkinkan terungkapnya kekayaan teks puisi berkenaan dengan ruh puisi nusantara; (e) pemahaman atas ruh puisi nusantara dapat menjadi jembatan untuk memahami kebudayaan dan masyarakat nusantara.
2. Media massa cetak maupun elektronik masih berpengaruh dalam sejarah perkembangan puisi nusantara mutakhir, oleh sebab itu diperlukan komitmen dari insan atau pelaku pers untuk mempertahankan keberadaan rubrik puisi. Bagi media massa yang tidak memiliki rubrik puisi dianjurkan untuk mengadakan atau menyediakannya.
3. Penyair perlu memperhatikan fungsi dan sifat media massa yang tepat, ringkas, dan aktual agar tercipta bentuk estetika baru yang merepresentasikan puisi media massa.
4. Media massa digital terutama internet, telah menunjukkan peran dan fungsi yang besar dalam perluasan ruang publikasi puisi. Namun, untuk menghindari degradasi nilai puitika diperlukan sistem seleksi pada puisi yang akan diunggah, dengan tanpa mengurangi sifat-sifat internet sebagai media yang sangat terbuka bagi kebebasan berkreasi. Oleh karena itu setiap situs web sastra harus menempatkan editor yang memiliki kompetensi bahasa dan sastra.
5. Pertemuan Penyair Nusantara selanjutnya diharapkan mengakomodasi berbagai jenis puisi klasik dan kontemporer.
6. Pelaksanaan pengajaran sastra di lembaga pendidikan, sebagai bagian dari strategi kebudayaan nusantara, khususnya pengajaran puisi, sangat memerlukan kreativitas guru/pengajar guna memaksimalkan hasil pembelajaran dan mengatasi hambatan yang ada.
7. Pemerintah wajib menyediakan sarana dan prasarana pembelajaran sastra khususnya pengajaran puisi.
8. Untuk menciptakan komunikasi yang baik antara penyair dan dunia pendidikan serta untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran puisi, para penyair harus lebih aktif membantu proses pembelajaran di sekolah.


II. Hasil Temu Kerja
Temu Kerja dalam rangka PPN V diikuti wakil-wakil dari Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Singapura. Musyawarah dalam Temu Kerja tersebut menghasilkan keputusan sebagai berikut.
1. PPN VI 2012 akan dilaksanakan di Jambi, Indonesia.
2. Delegasi dari Singapura menyanggupi menjadi tuan rumah PPN VII tahun 2013.
3. Guna meningkatkan manfaat PPN bagi peserta dan masyarakat sastra di nusantara, penyelenggara PPN seyogyanya melaksanakan kegiatan pokok berupa: (a) penerbitan buku antologi puisi peserta melalui sistem kurasi yang dapat dipertanggungjawabkan; (b) seminar puisi internasional; (c) temu kerja antardelegasi negara peserta; (d) jerayawara (road show) ke sekolah, perguruan tinggi, dan komunitas; serta (e) panggung pertunjukan puisi dan panggung tarung penyair nusantara.
4. Merekomendasikan kepada penyelenggara PPN berikutnya untuk memberikan penghargaan kepada penyair terpilih dengan nama Anugerah Penyair Nusantara.
5. Pemerintah yang menjadi tuan rumah agar memfasilitasi secara penuh penyeleganggaraan PPN.
6. Memandatkan kepada panitia PPN VI untuk mengajak Filipina, Vietnam, Kamboja dan Timor Leste menjadi peserta PPN VI.

Palembang, 18 Juli 2011

TIM PERUMUS PPN V:
Ahmadun Yosi Herfanda (Indonesia) Ketua
Zulkhair Ali (Indonesia) Anggota
Anwar Putra Bayu (Indonesia) Anggota
Fakhrunnas MA Jabbar (Indonesia) Anggota
Chavchay Syaifullah (Indonesia) Anggota
Isbedy Stiawan ZS (Indonesia) Anggota
Ahmad MD Tahir (Singapura) Anggota
Nor Herman Maryuti (Singapura) Anggota
Dimas Arika Mahardja (Indonesia) Anggota
Jamal Tukimin (Singapora) Anggota
M Husyairi (Indonesia) Anggota
Aprion (Indonesia) Anggota
Suyadi San (Indonesia) Anggota
Dad Murniah (Indonesia) Anggota
Gunoto Saparie (Indonesia) Anggota
Nik Abdul Rakib Nik Hassan (Thailand) Anggota
Mohamad Saleh Rahamad (Malaysia) Anggota
Shamsudin Othman (Malaysia) Anggota
Eva Rosdiana (Indonesia) Anggota
Zeffri Ariff (Brunei Darussalam) Anggota
Eva Rosdiana (Indonesia) Anggota

Rekomendasi dialog borneo kalimantan xi

Dialog Borneo-Kalimantan XI yang berlangsung sejak 13 Juli telah selesai dan ditutup oleh Gubernur Kalimantan Timur pada 15 Juli malam. Acara inti yang berupa seminar atau dialog telah melahirkan banyak gagasan dan pemikiran dari para pemakalah yang hadir dari Malaysia Timur dan empat provinsi di Kalimantan serta para peserta yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia. Pada akhir sesi dialog, diadakan rapat tim perumus rekomendasi, yang diambil dari perwakilan berbagai daerah anggota Dialog
Borneo-Kalimantan. Rapat telah berhasil merumuskan rekomendasi berupa 6 poin penting, di antaranya adalah menunjuk Wilayah Persekutuan Labuan sebagai tuan rumah Dialog Borneo-Kalimantan XII, yang direncanakan akan dilaksanakan pada tahun 2013 nanti. Rekomendasi ini dibacakan dalam acara penutupan Dialog Borneo-Kalimantan XI. Dalam acara penutupan ini, selain dibacakan rekomendasi, diadakan juga penandatangan MoU kerjasama pengembangan sastra di Kaltim antara Gubernur Kaltim, Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim, dan Rumah Sastra Korrie Layun Rampan.
Gubernur, dalam pidato penutupannya menyatakan rasa bangga karena
terselenggaranya pertemuan sastra internasional sepulau di Kaltim ini dapat menjadi penanda adanya jalinan kekerjasamaan di bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan di antara wilayah-wilayah senegara dan antarnegara sepulau Borneo-Kalimantan, melengkapi kekerjasamaan di bidang lain, seperti ekonomi, politik, keamanan, dan sebagainya. Gubernur juga menyatakan bahwa Pemerintah akan berusaha memberi
perhatian yang lebih untuk kemajuan dunia sastra ini karena bangsa yang berbudaya tinggi adalah bangsa yang menghargai sastra. Bentuk-bentuk perhatian yang akan diupayakan itu bisa berupa:
(1) memberikan kemudahan dan dukungan pendanaan bagi para sastrawan untuk
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sastra di wilayah ini;
(2) memberikan kemudahan dan dukungan pendanaan bagi para sastrawan Kalimantan Timur untuk mengikuti even sastra di tempat lain, baik nasional maupun internasional; (3) memberikan kemudahan dan dukungan pendanaan bagi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh komunitas-komunitas atau kelompok-kelompok sastra di wilayah ini;
(4) memberikan penghargaan jasa atau hadiah seni secara berkala kepada para sastrawan yang berjasa di wilayah ini; dan sebagainya.

Minggu, 03 Juli 2011

ANTOLOGI PUISI SEPULUH KELOK DI MAOUSELAND

Oleh: Janoary M Wibowo

Jalanan di sini gelap dan penuh kelokan. Seperti hidup, bukan? Jika terpeleset di tikungan, pahamilah setiap luka adalah tanda kau pernah berkunjung ke Mouseland.
“You know, Michael. The worst thing in this world is to know too much. You’d better try to stay naïve. It’s much better.” kata Eli Wurman—diperankan oleh Al Pacino—dalam film People I Know. “Dunia ini relatif. Yang salah di tempat ini bisa jadi sahih di tempat lain.” perkataan Tristan kepada Bodhi dalam Supernova karya Dewi Lestari. “Let’s keep it undergound. Nobody out there would understand it anyway.” sebaris lirik dari lagu hip hop yang dinyanyikan oleh Grandmaster Flash—rapper asal Bronx. Saya lupa judul lagu itu.

Mengapa saya menuliskan judul lalu kutipan-kutipan yang mungkin—sampai pada kalimat ini—tak nampak berhubungan antara yang satu dengan yang lain? Sederhana, itu alasan politis. Ya. Politik. Usaha saya untuk didengarkan—dalam kesempatan ini dibaca oleh dunia yang telah terlalu terlena pada nama. Ada nama Al Pacino, ada nama Dewi Lestari, ada nama Grandmaster Flash—entah siapa dia saya juga tidak begitu mengenal. Begitulah proses politik. Memilih apa-atau-siapa yang didengarkan dan kemudian digunakan sebagai rujukan. Apakah tarikan logika saya tentang politik berbeda dengan pemahaman khalayak umum? Tak apa. Anggap saja itu politik diri saya. Pancasila-nya NKRJ, Negara Kesatuan Republik Janoary, yang gelap.

Politik itu keterlanjuran sejarah. Sejarah saya sendiri. Saya terlanjur menonton People I Know sebelum menulis ini. Saya terlanjur membuka-buka halaman Supernova sambil menikmati lagu hip-hop Grandmaster Flash sebelum menulis ini. Saya juga terlanjur membaca The Politics of Literature-nya Jaqcues Ranciere sebelum membaca Sepuluh Kelok di Mouseland. Lalu kemudian, saya mencoba menghubung-hubungkan keduanya—dengan kata lain putus asa menarik keduanya pada satu garis. Antara Politik dalam Sastra dan Sepuluh Kelok di Mouseland berhubungan, paling tidak itu yang saya tangkap.

Apabila yang saya tangkap tak jelas dan gelap bagi pembaca. Itu resiko bagi saya. Namun, beruntung saya—atau kasihan saya—bisa menggunakan nama Ranciere untuk berlindung. Merujuk pada Ranciere, politik pada umumnya adalah cara-cara manusia yang dipikirkan lalu digunakan untuk mewujudkan—atau tidak mewujudkan—suatu hal apapun untuk mendapatkan—atau tidak mendapatkan—apapun. Politik adalah cara-cara agar individu dapat didengarkan sebagai pernyataan, bukan hanya didengar sebagai keramaian. Sedangkan, politik dalam sastra—lebih tepatnya adalah politik dalam seni menulis—adalah cara-cara menyelaraskan cara pandang, cara berpikir, dan cara berperilaku manusia dengan keadaan sekitarnya pada sebuah objek berupa tulisan. Politik dalam sastra selanjutnya akan saya tuliskan dengan politik diri penulis—murni kenekatan saya dalam membuat istilah tanpa merujuk pada satu namapun.

Politik diri dalam Sepuluh Kelok di Mouseland

Politik diri terasa kental Sepuluh Kelok di Mouseland. Ada Husni Hamisi, Arif F Kurniawan, Aras Sandi. Ada Dalasari Pera, Arganita Widyawati. Ada Arther Panther Olii. Ada Kang Arief, ada Mbak Lina Kelana. Ada Reski Kuantan, juga Noegi Arur. Ada sepuluh penyair. Ada sepuluh cara-cara menulis puisi. Ada sepuluh sejarah-sejarah yang menyusun mengapa penyair ini menulis puisi seperti itu, penyair itu menulis puisi seperti ini. Jauh sebelum buku ini terbit, saya berani beranggapan mereka telah berpolitik dengan memutuskan diri untuk menulis puisi. Memutuskan diri untuk membuat akun facebook. Memutuskan diri juga untuk memberikan atau menerima permintaan pertemanan di facebook. Juga, memutuskan untuk saling bertemu kata bertemu sapa—entah bertemu muka, lalu bersepakat untuk mengumpulkan puisi menjadi sebuah antologi. Bagaimana proses politis yang sebenarnya ada dalam diri masing-masing penyair.

Ya, keberagaman politik diri yang berkumpul dalam satu buku, satu wilayah. Mouseland. Entah dimana di peta letak wilayah itu, mungkin ada dalam tiap-tiap kepala masing-masing penyairnya—bahkan pada tiap-tiap kepala pembacanya. Ya, Mouseland adalah wilayah fiksi, dengan sepuluh politik diri menjadi kelokan-kelokannya. Puisi adalah fiksi—menuliskan apa yang pernah dituliskan Sartre, sebab fiksi adalah mengimitasi kehidupan. Bukan lagi merekonstruksi kejadian di depan mata, tetapi mereproduksi yang diketahui di hadapan kata. Aras Sandi dalam Negeri Bumi menuliskan,

sorak sorai dan tepuk tangan dijadikan kebanggaan
kekalahan dan kemenangan dijadikan lencana kehidupan
diarak arai, disorak sorai
padahal;
hanya untuk sebuah negeri

Sekilas saya menangkap gambaran sebuah Negeri bernama Indonesia di sajak itu. Namun, Aras seperti memutuskan diri untuk mengimitasi apa yang terjadi pada Negeri Indonesia ke Negeri Bumi di wilayah Mouseland. Politik diri Aras berselaras dengan politik di sekitarnya, masyarakat Indonesia.
Arif F Kurniawan pun begitu. Pinokio yang dia ambil dari cerita yang sudah banyak orang ketahui, hidung Pinokio bertambah panjang setiap kali dia berbohong. Namun, Arif menciptakan Pinokio-nya sendiri.

ia ingin berhenti menanggung malu menerima ejekan,
kata orang-orang, tanduk hidungnya
selalu tumbuh lebih panjang dari kebohongan.

Lalu pada 2 bait berikutnya, Arif semakin kentara memperlihatkan bahwa Pinokio-nya berbeda.

ia tampak semakin bodoh,kini.
seorang diri di sesungging tepian,
menggergaji batang hidung sendiri

Arif dengan Pinokio-nya menampilkan jalinan antara politik diri dengan politik. Sebuah hubungan yang harus selalu ada, walau kali ini hubungan itu adalah pertentangan.
Berbeda dengan penyair Arther Panther Olii, di puisinya Senja di Tepi Sungai Bone. Dia menuliskan keterangan—semacam footnote untuk puisi—di bawah puisinya tersebut. Sungai Bone ada di Gorontalo. Dan Gorontalo ada di Indonesia. Indonesia itu bukan Mouseland. Jadi, sebuah senja di tepi Sungai Bone bukan fiksi. Nyata. Namun, melihat bagaimana Arther menuliskan bait terakhir dalam puisinya tersebut, nampak ada unsur imajineri—bolehlah serampangan dihubung-hubungkan dengan fiksi.

di tepi sungai bone, senja telah tenggelam
dan kenangan tentang kita : tersisa kelam

Bisa jadi saya—dengan politik diri dan sejarah saya sendiri—tidak akan merasa kelam ketika berada di tepi Sungai Bone ketika senja. Namun, saya bukan pemilik wilayah Mouseland. Arther-lah yang memiliki wilayah Mouseland.

Menuliskan tiga gejala dari tiga penyair memang tidak bisa sepenuh-penuhnya mewakili sepuluh. Namun, alasan politis saya bukan bahwa ketujuh yang lain tak menampilkan politik dirinya, melainkan lebih kepada alasan teknis. Terlalu panjang untuk ditulisbacakan semua—baik bagi saya dan pembaca tulisan saya yang gelap ini.

Bagaimanapun tulisan itu, kegelapan akan tetap menyertainya. Sebab, pada dasarnya, tulisan lahir untuk tulisan itu sendiri. Merujuk pada yang dikatakan Grandmaster Flash, keep it underground. Juga, sekali lagi pada Sartre, tulisan adalah objek yang terlahir tanpa makna apapun dan tidak mempunyai peran apapun. Penulis dan pembaca yang memasukkan makna dan perannya pada apapun—sesuai politik diri masing-masing penulis juga masing-masing pembaca.

Disneyland adalah wilayah Walt Disney berpolitik diri. Di sana dia menciptakan wahana-wahana. Di sana dia menciptakan nama-nama. Ada Donald Duck, ada Daisy Duck. Ada Pluto, ada Minnie Mouse, Ada Mickey Mouse. Mouseland adalah wilayah kesepuluh penyair berpolitik diri. Di sana mereka menuliskan puisi. Di sana mereka menciptakan sejarahnya sendiri. Proses menulis dan menerbitkan antologi adalah tanda bahwa sebuah sejarah diri—dari kesepuluh penyair—sedang dibangun. Sedang, ya, sedang. Sebab, politik diri adalah proses. Proses menyelaraskan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh manusia dengan apa yang akan dilakukannya di dunia sekitarnya. Politik diri akan terus bergerak—berubah—seiring dengan berubahnya sejarah diri—apa-apa yang dialami. Mouseland adalah sejarah bagi kesepuluh penyairnya dalam kaitan penulisan. Mouseland adalah sejarah bagi kesekian banyak pembaca—juga calon pembacanya—dalam kaitan pembacaan. Sepuluh kelok di sana akan terus berkelok-kelok seiring kelokan kehidupan yang akan dialaminya nanti. Nikmatilah tiap kelokannya.

*) apresiasi impresif—yang mungkin terlalu berkelok-kelok—terhadap Sepuluh Kelok di Mouseland, sebuah buku antologi bersama sepuluh penyair nusantara

Penulis di buku 10 KELOK DI MOUSELAND
Arif Fitra Kurniawan - Semarang
Arther Panther Olii - Manado
Reski Kuantan - Riau
Dalasari Pera Belawa - Belawa
Arganita Widawati - Pontianak
Aras Sandi - Semarang
Husni Hamisi - Makassar
Kang Arief - Ngawi
Lina Kelana - Lamongan
Neogi Arur - Batu Sangkar

Sumber : http://www.facebook.com/notes/fahrur-rozi-atma/esai-ii-launching-antologi-puisi-sepuluh-kelok-di-maouseland/240301695997881