Sabtu, 30 Juni 2012

APRESIASI IPI



Oleh Salju Pink
di BENGKEL PUISI SWADAYA MANDIRI

Puisi merupakan ungkapan perasaan atau pikiran penyairnya dalam satu bentuk ciptaan yang utuh dan menyatu. Secara garis besar, struktur sebuah puisi terdiri atas struktur lahiriah dan struktur bathiniah. Struktur lahiriah terdiri atas tipografi, diksi, imaji, kata kongkret, kata/bahasa figuratif (majas), versifikasi, adapun struktur bathinnya yaitu tema, rasa, nada, dan amanat. Pada kesempatan ini Pink tidak akan mengurai lebih dalam tentang struktur lahiriah puisi, tetapi lebih kepada struktur bathiniahnya.

Pada ajang IPI di BPSM kali ini adalah manusia dan penderitaan. Menurut pikiran sadarku adalah tema yang cukup menantang bagi penulis puisi tentang bagaimana ia memaknai penderitaan manusia atau kemanusiaan baik individu ataupun kelompok tertentu.

Pink sebagai yang awam, karena ini merupakan esai pertama Pink, maka ini Pink (sekedar) mencoba untuk sedikit mengulas puisi yang ditulis oleh akhwat Alfiah Muntaz yang berjudul “Ada Cerita Yang Belum Selesai: Palestina”.

Kecerdikan penulis untuk mengangkat tema penderitaan manusia ini adalah dengan mengambil konflik kemanusiaan di Palestina sebagai latar puisi yang bernarasi tersebut.
Berikut puisi secara utuh yang dimaksud tersebut di bawah ini:

ADA CERITA YANG BELUM SELESAI : Palestina

asap menggelembung
mendung mengepul sepanjang kota
setelah segar darah
memenuhi sumber-sumber air mata

tak ada lagi nyanyian puteri-puteri sion
meninabobokan bocah-bocah ketakutan
desing timah menjadi lagu
membara. mengiringi lantunan
tembakan meriam yang menikam
jauh ke dalam : selirih pedih

memar dada
memar aqsa

sabra dan sathila mengerang
dikoyak kapak
bayi-bayi terlepas dari pelukan
perawan berlarian. diburu peluru.
sepasang bibir lebam menggumam,

doakan kami
doakan kami

tahun-tahun lewat
bermaterai perjanjian
tanah memerah b a s a h

Batu Tulis, 24 Juni 2012

Tampak dari judulnya “ada cerita yang belum selesai” dengan tambahan sub judul Palestina sebagai latar narasi puisi sudah sangat terang mengajak pembaca untuk mengunjungi daerah yang disebut dengan Palestina bahwa di sana ada cerita yang belum selesai. Cerita apakah yang dimaksud oleh puisi ini? Berikut penuturan naratifnya.

asap menggelembung
mendung mengepul sepanjang kota
setelah segar darah
memenuhi sumber-sumber air mata

pada bait pertama ini digambarkan suasana latar cerita yakni negeri Palestina. Di sana ada asap menggelembung/mendung mengepul sepanjang kota. Ini adalah gambarang sebuah suasana setelah terjadinya sebuah ledakan dahsyat dari sebuah bom atau rudal yang menjadi hal biasa di sana. Pembaca bisa membayangkan gambar atau video misalnya asap menggelembung dan mendung mengepul sepanjang kota seperti bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki yang menghancurkan kota menjadi kepingan. Hasil dari ledakan bom/rudal itu adalah adanya korban dan kesedihan rakyat di sana, dengan penggambaran pada larik ketiga dan keempat.

tak ada lagi nyanyian puteri-puteri sion
meninabobokan bocah-bocah ketakutan
desing timah menjadi lagu
membara. mengiringi lantunan
tembakan meriam yang menikam
jauh ke dalam : selirih pedih

suasana lanjutan dari bait pertama dilanjutkan dengan bait kedua bahwa tak ada lagi nyanyian puteri-puteri sion/[yang] meninabobokkan bocah-boca ketakutan. Puteri-puteri sion menurut referensi yang Pink baca adalah yerussalem atau penduduk yerussalem namun secara umum puteri sion lebih dimaknakan dengan bani israil. Puteri-puteri sion dalam kidungnya selalu menyampaikan lirik-lirik perdamaian. Nyanyian kedamaian puteri-puteri sion itu telah diganti dengan lesatan peluru-peluru yang mendesing di telinga-telinga rakyat Palestina yang saling bersambut dengan suara meriam yang menembakkan rudalnya.

memar dada
memar aqsa

repetisi yang diucap pada diksi memar pada bait ketiga ini bersifat setara dan seimbang dan memunyai rima yang pas. Sedikit mengusik kata aqsa di bait ini. Aqsa dari perspektif kepercayaan (agama), merupakan satu dan utama yang menjadi penyebab konflik di sana. Namun di sini lain, misalnya dari sisi politis, perseteruan dua bangsa tersebut bukanlah soal klaim siapa pemilik Aqsa yang sah, tetapi lebih kepada konflik perebutan tanah. Tentang sejarah konflik kedua bangsa tersebut Pink rasa sudah diketahui secara umum, meski informasi tersebut kadang-kadang bahkan selalu parsial dan tergantung dari kepentingan penulis sejarah/informasinya.

Pembaca tak perlu merasa aneh ketika tiba-tiba penulis memilih diksi sabra dan sathila di bait ini. Meskipun sabra dan sathila letaknya ada di Libanon, bukan di Palestina karena Palestina sebagai anak kalimat pada judul di atas tersebut tidak semata bersemantik dengan daerah teritori tetapi juga adalah bangsa.

Bait keempat adalah lanjutan narasi tentang cerita konflik di antara dua bangsa yang tak pernah usai yang kali ini mengambil latar sabra dan sathila. Sabra dan sathila adalah daerah pengungsian bangsa Palestina untuk menghindari asap menggelembung dan desingan peluru di daerahnya. Penulis ingin mengambil salah satu peristiwa penting dalam perjalanan cerita yang tak usai tersebut, yaitu peristiwa sabra dan sathilla dengan baitnya sabra dan sathila mengerang/dikoyak kapak/bayi-bayi terlepas dari pelukan/perawan berlarian. /diburu peluru. /sepasang bibir lebam menggumam,

doakan kami
doakan kami

model bait ini mirip dengan bait ketiga. Tetapi tekanannya berbeda. Pada bait ketiga repetisinya menggambarkan suasana, sedangkan bait kelima ini mengandung pesan yang sangat menggugah. Penulis mengajak pembaca untuk merenungi tragedi kemanusiaan sabra dan sathila.

Konflik di antara kedua bangsa tersebut telah berlansung sangat lama. Perjanjian demi perjanjian pun telah disepakati di atas kertas, namun hampir setiap perjanjian tersebut menjadi tidak berarti karena masih adanya pihak-pihak yang melanggar perjanjian sehingga darah-darah manusia di kedua bangsa tersebut masih terus mengalir dengan penandaan unik penulisan diksi b a s a h yang diberi spasi. Penggambaran suasana ini ditampakkan pada bait terakhir /tahun-tahun lewat/bermaterai perjanjian/tanah memerah b a s a h/.

Bagi Pink pribadi, puisi ini kugolongkan sebagai puisi diafan karena kemudahannya dipahami. Hal tersebut ditunjang dengan pemanfaatan diksi-diksi kongkret dan bahasa/diksi figuratif yang tidak banyak. Itu menjadi lebih indah karena tanpa menggunakan bahasa/figuratif yang banyak, penulis berhasil mengajak pembaca untuk ikut mengimajinasikan suasana bangsa di palestina sana, sebab lainnya karena suasana di sana juga memang sudah sangat puitis. Entah unsur kesengajaan atau tidak, unsur versifikasi seperti repetisi, rima dan ritme pada puisi ini begitu terjaga, khususnya di bait ketiga dan kelima. tipografi puisi ini termasuk bebas sebagaimana umumnya puisi kontemporer. Amanat tersuratnya disebutkan dengan jelas pada bait kelima: doakan kami/doakan kami/, sedang amanat tersurat yang diusung puisi ini adalah perasaan empahty pembaca terhadap penderitaan bangsa yang dilanda konflik tersebut.

INDONESIAN POETRY IDOL "MANUSIA DAN PENDERITAAN"



Oleh Windu Mandela
di BENGKEL PUISI SWADAYA MANDIRI

Pertama-tama saya standing aplaus buat seorang Dimas Arika Mihardja yang tak henti-hentinya merangsang anak asuhnya di bengkel yang hangat ini untuk senantiasa bergairah dalam hal kepenulisan, sastra khususnya. Indonesian Poetry Idol, menjadi salah satu terobosan lagi dalam menggerakkan kreatifitas warga bengekel, semisal bendungan yang tak henti-hentinya memutarkan turbin untuk menghasilkan listrik dan menyalakan lampu-lampu kreatifitas di kamar-kamar bengkel.

Indonesian Poetry Idol kali ini mengusung tema “Manusia dan Penderitaan”, telah muncul banyak puisi yang bagus di dinding bengkel yang menyuarakan manusia dan penderitaannya. Tema ini merupakan sebuah tema yang besar, tentu saja DAM selaku bos bengkel memiliki maksud dan tujuan tertentu mengapa mengusung tema ini, mungkin saja DAM ingin warganya lebih peka terhadap keadaan sekitar yang memerlukan kekuatan dan keajaiban kata-kata.

Dari sekian banyak puisi yang diposting di bengkel telah terpilih tiga sajak, ke tiga sajak ini memang bagus, menyuarakan penderitaan dari sudut pandangnya masing-masing. Seorang Muhammad Rain merekam penderitaan yang kompleks, Alfiah Muntaz dengan terfokus pada satu titik, dan Dewi Suswati memuisikan penderitaannya sendiri karena sajaknya konon telah memeluk duka.

Saya memilih sajak Alfiah Muntaz yang diberi judul “ADA CERITA YANG BELUM SELESAI” pada ajang Indonesian Poetry Idol minggu ini. Membaca sajak ini tidak terlalu mengkerutkan kening dan dengan nafas yang seperti diburu-buru, malahan pembaca disuguhi dengan metafora-metafora yang halus.

ALFIAH MUNTAZ

ADA CERITA YANG BELUM SELESAI
: Palestina

asap menggelembung
mendung mengepul sepanjang kota
setelah segar darah
memenuhi sumber-sumber air mata

tak ada lagi nyanyian puteri-puteri sion
meninabobokan bocah-bocah ketakutan
desing timah menjadi lagu
membara. Mengiringi lantunan
tembakan meriam yang menikam
jauh ke dalam
: selirih pedih

memar dada
memar aqsa

sabra dan sathila mengerang
dikoyak kapak
bayi-bayi terlepas dari pelukan
perawan berlarian. Diburu peluru.
Sepasang bibir lebam menggumam,

doakan kami
doakan kami

tahun-tahun lewat
bermaterai perjanjian
tanah memerah b a s a h

Batu Tulis, 24 Juni 2012

Saya melihat kejelian seorang AM dalam pemberian judul “CERITA YANG BELUM USAI”, karena memang penderitaan di negeri Palestina belumlah usai, masih sering terjadi tragedi kemanusian setiap saatnya yang menyebabkan korban-korban berjatuhan. Penderitan di negeri Palestina akan selalu membayangi warganya dengan teror-teror dan ketakutan-ketakutan sampai pada hari yang ditentukan.

Asap menggelembung
mendung mengepul sepanjang kota
setelah segar darah memenuhi sumber-sumber air mata

“setelah segar darah/memenuhi sumber-sumber air mata” atau setelah ada darah segar yang memancar (entah oleh peluru atau apa) maka darah itu menggenang dan memenuhi “sumber-sumber air mata”. Kata-kata ini mengilustrasikan bahwa ada kedukaan yang begitu hebat, sehingga ‘sumber-sumber air mata(pun)” penuh olehnya. Ditambah dengan “asap menggelembung”, mungkin saja darah yang tumpah itu karena hantaman semisal bom atau sejenisnya, karena dapat membuat “asap (yang) menggelembung”, dan “mendung mengepul sepanjang kota” ini sebagai metafore yang menggambarkan pada saat itu kota diterpa dukanya, diselimuti duka.

Pada bait pertama ada metafore-metafore yang membius daya imaji, nampaknya seorang AM lihai memainkannya. “asap menggelembung”, ini mengatakan sesuatu yang lain, tidak langsung menyatakan misalnya pembakaran, pengeboman atau sejenisnya, AM menggunakan sebuah metafore yang mengait atau menggandeng sesuatu yang lain di dalamnya. “setelah segar darah”, tidak langsung menuliskan pembunuhan, penindasan atau sejenisnya, penggunaan metafore yang baik.

tak ada lagi nyanyian puteri-puteri sion
meninabobokan bocah-bocah ketakutan
desing timah menjadi lagu
membara. Mengiringi lantunan
tembakan meriam yang menikam
jauh ke dalam : selirih pedih

Pada bait ini am memainkan simbol “puteri-puteri sion”, puteri sion dilambangkan sebagai pemberi rasa aman dan damai, namun pada sajak ini nyanyian puteri-puteri sion tak ada lagi, sehingga tidak bisa “meninabobokan bocah-bocah ketakutan”, tidak mampu menyihir “desing timah menjadi lagu membara” dan “mengiringi lantunan/tembakan meriam yang menikam/jau ke dalam: selirih pedih”. Nampak jelas seorang puteri sion adalah seorang yang dalam nyanyaiannya mampu memberikan rasa damai, namun dalam sajak ini nyanyian itu tak ada lagi.

memar dada
memar aqsa

Bait ke tiga hanya dibubuhi dengan dua larik saja, di sana ada pengulangan kata “memar” pada awal larik, “memar dada/memar aqsa”. Secara harfiah memar berarti rusak di bagain dalam dan keadaan ini tidak nampak dari luar, “memar dada” dapat ditarik artinya sebagai sebuah kerusakan, kehancuran atau kesedihan di dalam dada, “memar dada/memar aqsa” dapat dimaknai dengan kesedihan yang ada di dalam dada adalah karena kesedihan, kehancuran atau keterpurukan di aqsa, masjid al-aqsa.

sabra dan sathila mengerang
dikoyak kapak
bayi-bayi terlepas dari pelukan
perawan berlarian. Diburu peluru. Sepasang bibir lebam menggumam,

Dalam wikipedia, Sabra dan Sathila merupakan pembantaian yang terjadi pada bulan September 1982. “sabra dan satila mengerang”, secara geografis Sabra dan Sathila berada di luar wilayah Palestina, namun dalam hal ini ada keterkaitannya karena para pejuang Palestina menyusun kekuatannya di sana, Lebanon.

“sabra dan satila mengerang/dikoyak kapak” nampak ada permainan musikalitas, konon salah satu puisi yang enak dibaca itu salah satunya terletak pada musikalitasnya, di sini ada musikalitas atau bunyi yang membuat sebuah harmoni “dikoyak kapak”, -ak.

“bayi-bayi terlepas dari pelukan/perawan berlarian. Diburu peluru./sepasang bibir lebam menggumam” peristiwa ini saya teringat akan peristiwa hari kiamat, di mana bayi yang masih di dalam kandungan dilahirkan, suasana pada saat itu tidak karuan. Suasana di Sabra dan Sathila pada saat terjadi peristiwa itu dapat dibayangkan dalam bait ini, kacau dan mencekam.

“ada sepasang bibir lebam bergumam,//do’akan kami/do’akan kami” ada seseorang bergumam “do’akan kami/do’akan kami”, di sana dua larik yang sama atau pengulangan kata sempurna dipisahkan baitnya untuk memberikan suatu suasana yang khusyu, benar-benar mendalam dan penuh harap. Ada juga kata “bergumam” tidak memilih berteriak, berkata, dan berbisik, ini menandakan bahwa mungkin seseorang di sana yang entah laki-laki atau perempuan mungkin sedang tersudut atau sembunyi hingga ia bergumam saja.

tahun-tahun lewat
bermaterai perjanjian
tanah memerah b a s a h

“tahun-tahun lewat/bermaterai perjanjian”, keadaan semacam ini memang telah berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin telah berabad-abad perseturuan di tanah Palestina, Yerusalem, sedangkan yang ada hanya “bermaterai perjanjian” yang tak jelas dijunjung keteguhannya. Perjanjian bermaterai di sini mungkin sebagai simbol gencatan-gencatan senjata atau sejenisnya, namun tak jarang perjanjian ini senantiasa diingkari keadaanya meskipun dibubuhi sebuah "materai", keadaan yang sebenarnya malah rakyat Palestina yang semakin tersudut.

“tanah memerah basah”, mungkin ini sebagai metafore atas tumpah darah yang kerap terjadi di sana, di palestina. penulisan “b a s a h” dengan menggonakan dua kali spasi mungkin dimaksudkan untuk pemberian suasana yang teramat basah, atau basah yang sebenar-benarnya basah.

Menilik lagi kepada judul “ADA CERITA YANG BELUM SELESAI” dalam sajaknya ini AM sedang bercerita atau mengisahkan tentang penderitaan rakyat Palestina yang diperlakukan semena-mena, dan tentu saja cerita ini belum usai penderitaan rakyat palestina masih panjang, namun bukan berarti ketidakmanusiaan dibiarkan begitu saja, dan AM telah berhasil menyuarakannya dalam sajak ini.

Saya memilih sajak ini karena penggunaan metafore, simbol dan penggalian nilai historis dalam sajak ini begitu kuat. Selamat dan sukses.

Terus berkarya,

Sumedang, Juni 2012

Daftar Pustaka ; http://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_Sabra_dan_Shatila

APRESIASI IPI JUNI 2012



Oleh Muhammad Rois Rinaldi
di BENGKEL PUISI SWADAYA MANDIRI

INDONESIAN POETRY IDOL (IPI) bagi saya bukan hal negative lantaran keganjenan atau sok ikut-ikutan dengan salah satu acara di stasiun televisi. IPI patut patut diacungi jempol dan diberikan apresiasi yang baik lantaran dengan adanya IPI ada sebuah rangsangan lain selain postingan puisi sebagaimana biasanya. Ada motivasi untuk mengasah kekaryaan karena menulis pusi dengan tema yang telah ditentukan bukanlah hal yang mudah namun inilah dunia puisi tidak segalanya bisa ditulis berdasarkan kehendak sendiri ada saat di mana penyair akan dihadapkan pada sebuah peraturan atau tuntutan tema sebagaimana yang digelar dalam IPI. Pun dalam dunia nyata hal serupa kerap ditemui dan inilah modal bagi para penyair untuk terus mengasah diri, berkompetisi dalam kekaryaan dengan cara yang sportif dan tentu berlandaskan saling ASIH-ASAH-ASUH.

Tiga dari puluhan puisi telah terpilih pada IPI yang diberikan benang merahnya berupa tema “Manusia dan Penderitaan” kali ini dan tidak ada hal lain selain menyambut gembira lantas memberikan apresiasi positif dan yang terberat adalah memilih antara satu dari ketiga puisi tersebut yang sememangnya memiliki keunggulannya tersendiri.
3 puisi pilihan redaktur pada kali ini adalah puisi “DIRUNDUNG DUKA” Karya Muahmmad Rain, “ADA CERITA YANG BELUM SELESAI” Karya Alfiah Mumtaz dan “Masih Ada Sajak Duka” Karya Dewi Suswati. Walau berat tentu sebagai ajang saya pun akhirnya harus memilih dan memilah kiranya puisi mana (paling) saya suka. Namun demi keberadilan setanah BPSM saya akan berusaha mengapresiasi terlebih dahulu ketiga puisi tersebut. .


MUHAMMAD RAIN
DIRUNDUNG DUKA

lumba-lumba berlomba melompati ombak demi ombak
cerita sedih merasuk jiwa dalam pengap diri
seperti tiada henti kapal-kapal berderak pulang tanpa apa
kepal-kepal mengerang di dalam dada

apa yang manusia inginkan tak bisa terpenuhi semua
siksa demi siksa menentang di rentang jalan
sebagai cerita kuku-kuku nasib yang miris

ada seorang lelaki di bawah rona lampu dipermainkan laron sempoyong mabuk hoyong
ada seorang perempuan di atas kasur dipermainkan nanar tubuh jiwanya dirampas
diperkosa kata-kata sesuap nasi sesegukan pelepas dahaga keluarga
yang dianakpinak oleh kekosongan yang dirumpangtepis oleh nasib baiknya sendiri

ada seorang demi ada seorang bertanya mengenai cinta yang dihempaskan seorang lainnya
berbuat tikam berbuat celurit di hati
ada dua orang demi seorang yang hendak dikalahkan
bersiasat mencampakkan harapan
memudarkan kepercayaan dengan fitnah tubi kejam

ada halaman rumput ada penggusuran ada pengkhianatan ada pemboikotan ada
perampokan penculikan pembunuhan pemilupurakan pemilusogokan pemilulacuran
pemiluhunusan pemilucercaan pemiludengkingan pemilukesontoloyoan
ada berpuluh-puluh kekuasaan demi merebut seakan mampu mengatur siksa
penderitaan manusia menggantinya menjadi permainan suka-suka luas kekuasaan
dan perbudakan di dunia

lalu bagaimanakah penderitaan diakhiri bila gantung diri
bila menjual kodrat kemanusiaan yang memang lekat bersama derita juga bahagia
berpasangan hitam putih selama-lamanya?

jangan suruh lelaki menerima perempuan menerima kesementaraan seakan keabadian
kesamarataan seakan keadilan keselapangtanganan seakan sambutan
kesetiakawanan seakan bunyi perahu membawa ikan menggulung layar dan di pantai
segala pesta dirayakan sehingga habis isi hilang diri

maka ingatlah ketika kaya hilang tinggallah miskin menari hilang tinggal gerak diam
kekuatan hilang tinggal lemah lunglai menikam sudah jaman demi jaman
penderitaan tetap abadi ada bagi manusia sepanjang tidak menerima takut memberi
kepada dunia yang disinggahi

perjalanan ini menguji darahku menguji darahmu
apa yang tak habis kita bagi mungkin itulah penderitaan segala orang menolaknya
apa yang tak puas kita menerima mungkin itulah kebahagiaan segala orang mendekapnya

aku tak hendak bercerita apa itu derita
kalian alami saja
seringan melempar ke arah langit
semakin jauh derita kita tolak ia akan jatuh pada yang tepat diujinya

kekuatan?
apalah yang kita punya selain Tuhan?

Banda Aceh, 23 Juni 2012


Pada puisi Muhammad Rain ini adalah sebuah gaya yang memang khas Rain. Penggunaan symbol-simbol yang asyik serta pola ucap yang ringan namun sanggup meninggalkan kesan yang mendalam. Bagaimana cara Rain menuangkan “Manusia dan Penderitaan” dalam puisi? Mari mulai menelusuri.
“DIRUNDUNG DUKA” Judul yang dipilih Rain tidak begitu puitis dan terkesan biasa saja, tapi saya menerka di awal pembacaan bahwa ada indikasi kesengajaan Rain menggunakan judul itu, yakni dengan tujuan menyederhanakan “duka” tersebut. Benarkan? Mari melanjutkan penelusuran.

“lumba-lumba berlomba melompati ombak demi ombak/cerita sedih merasuk jiwa dalam pengap diri/seperti tiada henti kapal-kapal berderak pulang tanpa apa/kepal-kepal mengerang di dalam dada” symbol “lumba-lumba”tentu bukan seperti lumba-lumba yang biasa dilihat di taman air namun lomba lumba di sini dimaknakan secara konotasi. “lumba-lumba” adalah manusia yang hidup antara terjang arus dan gedebur ombak. Dan dalam samudera cerita demi cerita seasin garam, sepedih sengat matahari, segila kuluman ombak itu sendiri! Dan bukankah sememangnya manusia terlahir hanya untuk menerima kerugian demi kerugian? Terkecuali manusia yang tahu dan sadar akan aawal dan akhir hidup.

“apa yang manusia inginkan tak bisa terpenuhi semua/siksa demi siksa menentang di rentang jalan/sebagai cerita kuku-kuku nasib yang miris” Benar saja penafsiranku tentang lumba-lumba itu, ya ! manusia hanya bisa berharap dan berencana tapi Dia pulalah sang Maha Penggores Garis Takdir!

/ada seorang lelaki di bawah rona lampu dipermainkan laron sempoyong mabuk hoyong/ada seorang perempuan di atas kasur dipermainkan nanar tubuh jiwanya dirampas diperkosa kata-kata sesuap nasi sesegukan pelepas dahaga keluarga/yang dianakpinak oleh kekosongan yang dirumpangtepis oleh nasib baiknya sendiri /ada seorang demi ada seorang bertanya mengenai cinta yang dihempaskan seorang lainnya/berbuat tikam berbuat celurit di hati/ada dua orang demi seorang yang hendak dikalahkan/bersiasat mencampakkan harapan/memudarkan kepercayaan dengan fitnah tubi keja”
Pada bait di atas tidak lain tidak bukan adalah buah pengamatan penyair terhadap fenomena hidup serta dekor-dekor derita yang tertangkap oleh mata yang kemudian diolah rasanya dalam puisi, sederhana memang cara Rain memaparkan derita demi derita yang sememangnya beginilah adanya derita manusia. Yang asyik adalah gambaran bahwa derita yang tercipta dalam manusia adalah buah tangan manusia itu sendiri.

“ada halaman rumput ada penggusuran ada pengkhianatan ada pemboikotan/ada perampokan penculikan pembunuhan pemilupurakan pemilusogokan/pemilulacuran pemiluhunusan pemilucercaan pemiludengkingan pemilukesontoloyoan/ada berpuluh-puluh kekuasaan demi merebut seakan mampu/mengatur siksa penderitaan manusia menggantinya menjadi permainan suka-suka luas kekuasaan dan perbudakan di dunia”
Pada bait ini masih sebagai kesaksian penyair akan adanya manusia dan lebih spesifiknya ini sebentuk satir bagi para pemimpin beserta seluruh sandiwara kenegaraannya dan yang menarik di sini adalah banyak usaha memunculkan ungkapan-ungkapan baru seperti “pemilupurakan/pemilugosokan/pemilulacuran/pemiluhunusan/pemilucercaan” dan lainnya, ini adalah usaha yang baik dengan menggabungka dua kata berharap dapat menemukan makna yang lebih luas ketimbang jika dua kata tersebut dipisahburaikan.
“lalu bagaimanakah penderitaan diakhiri bila gantung diri/bila menjual kodrat kemanusiaan yang memang lekat bersama derita juga bahagia/berpasangan hitam putih selama-lamanya?”
Bait yang berisi pertanyaan-pertanyaan itu adalah cara penyair untuk menarik atau merangsang pembaca agar mau merenungi, secara langsung akan bertanya begini “Terus mau diapakan ini hidup?”

“jangan suruh lelaki menerima perempuan menerima kesementaraan seakan keabadian kesamarataan seakan keadilan keselapangtanganan seakan sambutan kesetiakawanan seakan bunyi perahu membawa ikan menggulung layar dan di pantai segala pesta dirayakan sehingga habis isi hilang diri”
Ternyata rain mengkritisi hamper seluruh lapisan masyarakat dengan puisinya ini. Dengan maksud memberikan gambaran tentang sabab-musabab penderitaan yang selama ini terjadi. Lihat saja pada bait di atas, ada protes tentang “Emansipasi Wanita” yang sememangnya bikin banyak anak-anak jadi anak pembantu yang disusui pembantu dan diurus pembantu maka jadilah anak-anak yang lahir dari ketidaksanggupan kedua orang tua member waktu untuk anak-anaknya dan dampaknya bisa sangat besar terutama bagi psikolog anak, jika satu orang mungkin tidak masalah tapi di Indonesia mulai mendominasi kan? Boleh diperhatikan pula cara Rain menggabungkan dua suku kata jadi satu demi menghasilkan makna lain sama seperti bait sebelumnya.

“maka ingatlah ketika kaya hilang tinggallah miskin menari hilang tinggal gerak diam kekuatan hilang tinggal lemah lunglai menikam sudah jaman demi jaman penderitaan tetap abadi ada bagi manusia sepanjang tidak menerima takut memberi kepada dunia yang disinggahi”
Pada bait di atas sebentuk peleraian setelah bertubi-tubi Rain menelanjangi fenomena sosial yang terjadi di Negeri ini yang sememangnya itulah deritanya kita, deritanya bangsa dan derita manusia! Ada sebuah petuah ringan yang saya sarankan kepada pembaca untuk mengulang-ulang membaca pada bagian berikut : “penderitaan tetap abadi ada bagi manusia sepanjang tidak menerima takut memberi kepada dunia yang disinggahi”
“perjalanan ini menguji darahku menguji darahmu apa yang tak habis kita bagi mungkin itulah penderitaan segala orang menolaknya apa yang tak puas kita menerima mungkin itulah kebahagiaan segala orang mendekapnya”

Rain kian melerai pada bait ini, jadi sebuah kesadaran diri juga berniat menyadarkan pembaca bahwa perjalanan hidup adalah sebentang ujian. Ketidakpuasan diri adalah derita keihlasan menerima adalah bahagia, begitu dalam bait di atas bertutur.

“aku tak hendak bercerita apa itu derita/kalian alami saja/seringan melempar ke arah langit/semakin jauh derita kita tolak ia akan jatuh pada yang tepat diujinya”
Sebagaimana yang saya katakan di awal pembahasan dengan penyematan judul yang biasa Rain sebenarnya menyelipkan maksud tersendiri yakni pada bait di atas, Rain meberi judul tentang duka dengan memaparkan keadaan demi keadaan manusia serta fenomena-fenomena sosial yang bikin menderita. Ternyata ia sudah lagi enggan berkisah apa itu derita. Seperti melempar sebuah beban “kalian alami saja” ya! Derita sesiapa adalah nyata bagi pemilik derita itu sendiri. Ungkapan ini saya setju dengan puisi ini.

“kekuatan?/apalah yang kita punya selain Tuhan?”
Setelah habis-habisan mengupas mengajukan pertanyaan, membuat pernyataan Rain menutup puisi dengan pertanyaan pamungkas. Tentang keberadaan manusia yang daif segala-galanya dan kekuasaan Allah atas segalanya.

Puisi Rain ini sangat menarik hati, komplektifitasnya bikin mata terbelalak dan saya sangat suka.
BAGAIMANA DENGAN PUISI ALFIAH?

ALFIAH MUNTAZ
ADA CERITA YANG BELUM SELESAI
: Palestina

asap menggelembung mendung
mengepul sepanjang kota
setelah segar darah
memenuhi sumber-sumber air mata

tak ada lagi nyanyian puteri-puteri sion
meninabobokan bocah-bocah ketakutan
desing timah menjadi lagu
membara. mengiringi lantunan
tembakan meriam yang menikam
jauh ke dalam
: selirih pedih

memar dada
memar aqsa

sabra dan sathila mengerang
dikoyak kapak
bayi-bayi terlepas dari pelukan
perawan berlarian. diburu peluru.
sepasang bibir lebam menggumam,

doakan kami
doakan kami

tahun-tahun lewat
bermaterai perjanjian
tanah memerah b a s a h

Batu Tulis, 24 Juni 2012

Kelebihan puisi ini adalah, penyair tidak semata berkutat pada derita sendiri namun sudah mau melongok derita orang lain bahkan bukan derita negeri sendiri namun negeri nun di sana, yakni negeri Palestina. Siapa yang tidak tahu bagaimana kekejaman yang terjadi di Palestina seakan dijadikan tontonan paling asyik pada abad ini? Mendengar Palestina saja sudah haru dan ada rasa sesak menyeruak dalam dada, lantaran benar, saya pun ternyata tidak bisa berbuat apa-apa sama seperti kau, dia dan mereka. Dan saya sangat berterima kasih pada puisi ini sebagaimana ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Helvi Tyana Rossa yang telah menulis puisi bagi palestina karena dengan membaca puisi itu saya kembali berdoa untuk keselamatan dan kedamaian palestina. Doa (saja)? Ya! Semata doalah akhirnya yang sanggup saya lakukan untuk menebus rasa bersalah lantaran hanya bisa berpangku tangan menyaksikan kekejaman demi kekejaman di pertontonkan di mata dunia.

“ADA CERITA YANG BELUM SELESAI” : Palestina Judul puisi ini bikin merinding sekaligus memeras batin. “Ada Cerita Yang Belum Usai” cerita apa? Anak judul itulah keterangannya, yakni Plestina. Ada cerita tentang palestina yang belum juga usai hingga saat ini, dan tentu lantaran berita tentang palestina adalah berita yang mendunia maka pertanyaan tentang cerita palestina sudah dapat dijawab dengan sendirinya oleh pembaca. Dan tentu dengan bait-bait penyusun puisi ini akan memperterang keadaan yang terjadi.
“asap menggelembung/mendung mengepul sepanjang kota/setelah segar darah/memenuhi sumber-sumber air mata”
Kepulan asap di sedut-sudut kota lantaran mesiu, bom dan ledakan demi ledakan yang tiada henti serta “mendung” itu adalah kenyataan yang harus dihadapi bahwa palestina hingga detik ini belum mendapatkan secerca cahaya pun yang mengisyaratkan perdamaian yang sesungguh-sungguhnya damai. Tetesan darah segar tidak lagi seruap butiran tapi aliran yang bersimbahan di tubuh-tubuh para pejuang yang mempertahankan negaranya, ya! Airmata darah tidak lagi hanya kiasan jadinya, di palestina ari mata dan darah jadi satu mengisyaratkan duka lara palestina, dan siapa yang sudah bergerak mendengar berita ini? Negeri-negeri arab dan lainnya atau kita? Bait pembuka sudah sanggup memberikan gambaran kengerian yang amat sangat. Derita yang mungkin kita semua hanya bisa menyaksikannya di televise atau sinetron-sinetron Indonesi yang penuh siksa tapi sungguh inilah palestina yang mengalami derita maha derita, di saat Negara-negara sahabat jadi sangat abai.

Bagaimana bait pembangun berikutnya? Mari melanjutkan penelusuran.
“tak ada lagi nyanyian puteri-puteri sion/meninabobokan bocah-bocah ketakutan desing timah menjadi lagu/membara. mengiringi lantunan/tembakan meriam yang menikam jauh ke dalam/: selirih pedih”
Di bait kedua entah kenapa jika sudah berbicara tentang anak-anak yang kehilangan masanya saya langsung merasakan tembakan peluru panas di jantung! Di palestina tidak ada lagi nyanyian pengantar tidur yang ada adalah kenyatan demi kenyataan yang harus dihadapi bocah-bocah tidak berdosa yang semestinya menikmati saat –saat bermain, saat mendengar dongeng tentang hal-hal yang ajaib yang indah bukan keajaiban kekejian ini yang seakan diamini oleh seluruh penghuni dunia! Gambaran bait kedua pun bagi saya sangat focus pada rupa derita itu, ya! Derita anak-anak yang tak berdosa adalah derita yang tak semestinya ada!
“memar dada/memar aqsa”
Pada bait ketiga berjumlah dua larik itu mengisyaratkan dua symbol yakni “Dada” dan “Aqsa” dada adalah tempat kejujuran, nurani dan hati bersemayam dan Aqsa adalah tempat suci yang bagi kaum muslim adalah tempat yang penuh dengan sejarah dan keberadaban manusia.

“sabra dan sathila mengerang/dikoyak kapak/bayi-bayi terlepas dari pelukan/perawan berlarian. diburu peluru./sepasang bibir lebam menggumam,/doakan kami/doakan kami”

Pada bait berikutnya masih menggambarkan derita demi derita dan inilah kefokusan Alfiah yang patut diacungi jempol tak sedikit pun lari atau membias.
tahun-tahun lewat bermaterai perjanjian tanah memerah b a s a h

Pada bait terakhir pembaca kembali diingatkan tentang sebuah perjanjian perdamian antara Palestina dan Negeri biadab itu! Tapi benarkan perjanjian itu sanggup menghentikan kekejian? “tanah memerah basah” adalah jawaban nyata!

Saya sangat menyukai puisi “Ada Cerita Yang Belum Usai” Karya ALfiah Mumtaz ini, terasa sekali deritanya dan juga pembaca akhirnya kembali melingat dan berdoa bagi palestina! Tambah bingung mengambil pilihan, tapi sebelumnya mari menikmati puisi Dewi Suswati.
Dewi Suswati:

Masih Ada Sajak Duka

Saat kau pinta satu sajak duka
Aku terpana seakan tak percaya
Bukankah sajakku selalu duka?

Saat kau pinta satu sajak duka
Meski masih ada namun kujawab tiada
Biarlah sajak dan segala duka kusimpan saja
Dalam dada

June 2012 di Kamarku.

“Masih Ada Sajak Duka” sebagai judul sudah cukup memberikan seruang misteri dengan (masih) ada sajak tentang duka itu.
“Saat kau pinta satu sajak duka/Aku terpana seakan tak percaya/Bukankah sajakku selalu duka?”
Pada bait pertama sebagai bait pembuka sanggup menyedot ruang kontlemplasi pembaca lantaran ketika sajak cinta dipinta yang diminta bingung sendiri dan mengajukan pertanyaan “Bukankah selama ini yang kuberikan padamu adalah sajak duka yang sebegitu lara?” ada apa dengan duka dan peminta serta pemberi sajak duka itu dan apakah yang masih ada? Mari telusuri bait selanjutnya.

Saat kau pinta satu sajak duka Meski masih ada namun kujawab tiada Biarlah sajak dan segala duka kusimpan saja Dalam dada
Pada bait kedua yang sekaligus sebagai bait penutup. Ada sebentuk rasa kecewa lantaran selama ini sajak dukanya dianggap tiada. Dan sungguh di saat ada yang bertanya tantang sajak duka ia enggan lagi membuat walau sememangnya duka paling lara tertumpuk dalam dada.
Puisi pendek ini cukup kontemplatif bagi saya dan saya sangat suka. Sekarang saya harus memilih antara ketiga puisi yang nikmat dan lezat ini.

Dengan mengucap Bismillahirrahaminirrahim. Saya memilih puisi Muhammad Rain dengan alasan kesanggupannya merangkum sebegitu banyak fenomena dalam puisi dengan selamat dan nikmat. Sedang dua puisi lainnya pun sejujurnya saya sangat suka tapi inilah pilihan. Sukses selalu penyair Indonesia, sukses warga BPSMA! Saling asah-asih-asuh.

Senin, 04 Juni 2012

PEMBERONTAKAN IDEALIS RUH “SANG PENYAIR GILA”



Oleh : Awan Hadi Wismoko

Anak seorang polisi. Dialah Arsyad Indradi sang penyair gila. Perjalanannya di bidang seni dan sastrAnak seorang polisi ini sangat diharapkan orang tuanya, meneruskan tradisi keluarga untuk menjadi a sebenarnya dimulai sejak SMP, beberapa puisi tentang budaya banjar, alam kalimantan, religi, juga tentang kritik sosial telah diciptanya. Kesungguhannya untuk mencari jati diri dilakukannya saat beliau berani meninggalkan Asrama Pendidikan Kepolisian di hari pertamanya. Beruntung pelariannya tidak berujung di dunia yang penuh dengan kesesatan dan tipu daya tapi terseret masuk dalam dunia seni yang mungkin sudah ada dalam niatan kalbunya. Keberuntungannya bertambah saat orang tua akhirnya dengan berat hati namun sangat bijaksana memberikan ijin untuk mendalami dunia seni dengan syarat kesungguhan yang sebenarnya. Berpindah dari sanggar ke sanggar mengikuti pergerakan hatinya yang haus, beberapa dunia kesenian telah dipelajarinya mulai dari musik tradisional, tari tradisional, drama, puisi, dan menulis. Menurut saya petualangan beliau sesungguhnya bukanlah seni yang dipelajarinya tetapi proses bagaimana kedalaman pemikiran yang beliau peroleh melampaui tahap demi tahap yang dilakukanya dengan sangat unik dan penuh makna seperti saat untuk beberapa lama beliau membiarkan dirinya tidur di emperan toko, hanya dengan beralaskan koran dan berselimutkan angin malam. Tidak ada alasan tapi itulah yang beliau lakukan.
Keunikan lainnya adalah pada saat beliau menerima hibah dua setengah hektar tanah. Tanah itu ditanaminya ketela atau gumbili dalam bahasa Banjarnya. Beliau menjadikan ketela sebagai makanan pokok pengganti nasi. Luar biasanya, itu dilakukan selama kurang lebih dua tahun. Dalam kurun waktu itu beliau sempat diajari oleh orang jawa yang sempat terheran-heran dengan kelakuan beliau yang menjadikan ketela makanan sehari-harinya, padahal ada beras. Orang jawa itu mengajari bagaimana mengolah ketela menjadi gaplek (ketela yang dikeringkan dengan cara dijemur) lalu mengolahnya menjadi makanan seperti gatot (gaplek yang dikukus) dan tiwul (gaplek yang ditumbuk halus lalu dikukus). Pengalaman yang jelas menjadi bekas tapak kedalaman pemikiran berikutnya.
Perjalanannya dibidang sastra mencapai puncaknya ketika beliau menerbitkan buku pertamanya yaitu Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan. Tidak mudah mengumpulkan antologi puisi penyair dari seluruh nusantara dalam keadaan beliau adalah orang yang gagap teknologi, tidak bisa komputer, tidak mengenal dunia maya, sehingga semua antologi yang terkumpul dikirim melalui kantor pos. Memang menjadi pertanyaan sebagian besar penyair nusantara tapi toh akhirnya bisa dimaklumi dan berhasil mengumpulkan materi untuk buku Antologi Puisi Penyair Nusantara yang digagasnya. Masalah selanjutnya adalah tidak adanya sponsor yang mau menerbitkan buku itu. Tidak putus asa, dan dengan keteguhan yang luar biasa di umurnya yang lebih dari setengah abad itu beliau mengawali rencananya dengan belajar komputer kepada muridnya di bidang sastra yang telah menganggap beliau sebagai ayahnya. Ya karena dedikasinya dalam perkembangan sastra di Indonesia khususnya di Kalimantan Selatan hampir semua muridnya memanggil beliau dengan sebutan “abah” yang berarti “ayah”. Berbagai aplikasi komputer berhasil dikuasainya, mulai dari belajar lay out penulisan sebuah buku berikut cara mendesain covernya. Masih dalam api semangat yang berkobar didalam dadanya, dengan tak kenal lelah akhirnya jadilah master sebuah buku yang digadangnya. Ujian masih terus berlanjut karena memang sangat jarang sponsor yang mau mensponsori sebuah karya sastra. Dengan mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dari hasil mengajar seni dan tari, kertas bahan untuk mencetak buku lama-lama terkumpul hingga cukup untuk membuat buku yang diharapkannya. Dicetaklah buku itu hanya dengan printer kecil , dan tetap memperhatikan kualitas cetakan yang maksimal dengan printer laser yang dipakainya. Empat bulan berselang jadilah buku-buku itu dan segera mengirimkannya ke seluruh penyair di nusantara yang telah mengirimkan antologi puisinya. Sambutan luar biasa atas terbitnya buku Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan oleh penyair nusantara ditandai dengan beberapa esai yang ditulis pengamat sastra dan para penyair ternama dibeberapa media nasional dan lokal hingga menyebut Arsyad Indradi sebagai seorang “Penyair Gila” . Yah itulah gelar yang melekat kepada beliau hingga kini, “Penyair Gila”. Beberapa buku lain yang telah ditulisnya antara lain, berjudul Nyanyian 1.000 Burung, Romansa Setangkai Bunga, Anggur Duka, Risalah Penyair Gila, Kalalatu, Burinik dan Narasi Musafir Gila. Kemudian 50-an lebih buku antologi puisi karya bersama.
Luapan-luapan perasaan yang dituangkan ke dalam puisi-puisinya adalah lubernya kedalaman perasaan yang diperoleh selama perjalanan hidupnya yang penuh raihan. Kalo boleh penulis menulis apa yang beliau lakukan dalam perjalananya menekuni bidang seni dan sastra juga usahanya untuk mewujudkan buku Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan sebagai pemberontakan yang santun idialisme ruh beliau melalui dunia seni dan sastra. Namun beliau tetap menyadari kekurangannya sebagai manusia. Dengan keteguhan prinsip kebenaran yang diyakininya dalam kehidupannya sehar- hari beliau adalah sosok yang sederhana, ramah, murah senyum, pemberi motifasi orang-orang disekelilingnya untuk pantang menyerah dalam mendapatkan keinginan positif. Sorot matanya yang tajam seiring dengan pandangan beliau yang menganggap koruptor sebagai “pembunuh”, serta pendapat beliau mengenai segala permasalahan yang terjadi di masyarakat bahwasannya pembangunan yang baik dan kehidupan layak buat masyarakat mungkin terjadi apabila mempunyai pemimpin yang punya keberanian mengambil keputusan-keputusan yang membangun berdasarkan nurani bukannya kebijakan-kebijakan yang menguntungkan diri sendiri dan hanya sebagian orang. Harapan beliau yang ekstrim adalah apabila tidak ada pemimpin seperti itu lebih baik Indonesia ditenggelamkan saja seperti halnya ditenggelamkannya umat Nabi Nuh.
Pelajaran yang bisa dipetik dari sosok “penyair gila” adalah bahwa dalam hidup ini orang harus punya tujuan, niat yang kuat untuk meraih, pantang menyerah dalam menghadapi rintangan, menikmati proses sebagai sebuah pembelajaran, memperhatikan kualitas sebagai ukuran pencapaian, untuk selanjutnya membiarkannya mengalir menuju keputusan yang sejati, keputusan Sang Maha.

Banjarbaru, 12 Mei 2012
*** Penulis : Pengamat Seni Budaya, Sosial dan Desain Grafis’