Pengantar
Micky Hidayat, penyair yang lahir di Banjarmasin, 4 Mei 1959 dan
menetap di tanah kelahirannya ini sudah saya kenal sejak tahun l980-an.
Artinya, sudah lebih dari 30 tahun Micky Hidayat (yang selanjutnya disingkat
MH) menulis sajak. Sepanjang waktu itu
tentu sudah ribuan puisi yang ditulis MH, yang kemudian beberapa diantaranya
dibukukan dalam kumpulan sajak Meditasi
Rindu (Tahura Media, 2008: 200 halaman). Yang lebih mengejutkan, MH memuat
fotonya yang saya “jepret” tahun 1980-an dalam biodatanya. MH memang
pendokumentasi foto dan sajak yang baik.
Di
dalam Ensiklopedia Sastra Kalimantan Selatan (2008) disebutkan, sejak kecil
Micky Hidayat memang beruntung karena dibesarkan di lingkungan keluarga,
terutama ditunjang pula oleh status ayahnya yang seorang sastrawan, yang
mengenal pentingnya bacaan dan budaya membaca. Lingkungannya yang mendukung
menumbuhkan semangat kreatif sehingga ia menekuni bidang sastra hingga memasuki
usia dewasa. Tampaknya karya sastra telah membuka jalan baginya untuk
menjelajah dunia tanpa batas. Tak heran jika kegemaran membaca karya sastra
sejak usia dini tersebut memiliki dampak yang cukup baik bagi perkembangan
kesastrawanannya.
Tulisan ini dibagi menjadi
dua bagian. Bagian pertama tentang pencarian kata dalam sajak-sajak MH. Bagian
kedua menyoroti sajak-sajaknya yang bertema
konflik sosial.
Pencarian Kata Micky
Hidayat
Sejatinya, saya ingin membaca dan menikmati
sajak-sajak MH tanpa “gangguan” dari orang lain. Menikmati imaji-imaji MH yang
jauh melintasi cakrawala dalam pengembaraan sajak-sajaknya. Gangguan yang saya
maksud adalah sedemikian banyaknya komentar dari sahabat atas sajak-sajaknya.
Tercatat 36 komentar di halaman dalam dan satu komentar di sampul belakang,
Ditambah Catatan Pengantar dari Agus R. Sarjono, dan Catatan Penyair oleh
penyairnya sendiri. Ibaratnya jika ingin bertemu MH sebagai raja penyair di
istananya di Kalimantan Selatan, dari pintu gerbang sampai singgasana telah
dijaga deretan pengawal yang dengan setia terlebih dahulu menceritakan sosok
sang raja yang adil, arif dan bijaksana.
Tentu masih ada peluang untuk memberikan apresiasi bagi
sajak-sajak MH. Terlebih lagi setelah sekian puluh tahun MH menulis sajak, MH
pun merasa menemukan begitu banyak ruang gerak untuk senantiasa bersikap bijak.
Sikap bijak yang tentunya menjadi tujuan akhir dari seseorang yang ingin
disebut dirinya penyair. Kita baca sajaknya di halaman 108:
Aku Berguru pada
sajak
aku berguru pada
sajak
karena sajak begitu
banyak
memberiku ruang
gerak
di mana pun aku
berpijak.
aku berguru pada
sajak
karena sajak
senantiasi mengajak
dan mengajariku
bersikap bijak
menghadapi kehidupan
yang terkoyak.
aku berguru pada
sajak
karena sajak adalah
tonggak
tempatku berpegang
agar tetap
tegak
mengikuti ke mana
pun awan
berarak
aku berguru pada
sajak
karena sajak adalah
ombak
senantiasa tegar
walau gemulungnya pecah berserak
diterjang badai maha
dahsyat yang
congkak
1995
Sajak MH meskipun
terkesan sederhana tapi merupakan wujud perenungan yang dalam terhadap
kehidupan. Sebenarnya, jika lebih teliti lagi sajak di atas dapat ditulis dalam
bentuk tiap bait terdiri dari empat baris, yang akan mengandung sebuah alur dan
menghadirkan unsur persajakan. Bisa jadi unsur persajakan tidak begitu
diutamakan MH ketika menulis sajak. Begitu pula tidak perlu diperdebatkan,
apakah ombak dapat pecah berserak diterjang badai, atau ombak itu sendiri jika
terlalu besar sebutannya adalah badai. Seperti halnya ketika saya meyakini
bahwa yang menjadikan ombak adalah angin. Keyakinan yang salah setelah saya
memahami bahwa sesungguhnya yang menjadikan angin itu adalah ombak di laut.
Seperti juga keyakinan MH bahwa dia perlu
merasa berguru pada sajak, karena sajak adalah ombak dalam kehidupan nyata.
Karena hantaman ombaklah seseorang menjadi kuat, kuat sebagai penyair dan kuat sebagai manusia
biasa. Ada pepatah Cina menyebutkan:
“sayur matang dalam rebusan”. MH telah tampil matang
karena telah direbus pengalaman ketika berguru pada sajak.
Keterpukauannya dan kerinduannya
terhadap kata-kata muncul pula dalam sajak “Beri Aku Kata-kata” di halaman 38:
Beri Aku Kata-kata
beri aku kata-kata
setajam pisau
setajam kapak
untuk menikam bumi
sampai koyak
dan menghujam langit
sampai retak
beri aku kata-kata
sewangi dupa seampuh
mantera
untuk mengasapi
jagat semesta
dan membuyarkan
arak-arakan mega
beri aku kata-kata
sesejuk hawa surga
sepanas api neraka
untuk menunjukkan
rasa resah di jiwa
dan memijarkan
kekuatan yang hampir tiada
berilah aku
kata-kata
untuk menyembunyikan
hidupku
di balik
sayap-sayapnya
1984
Bagi MH, kekuatan kata-kata adalah
sedemikian besarnya, bisa setajam pisau setajam kapak. Dapat pula merusak alam
semesta. Jika kata-kata diibaratkan pisau maka yang ada dalam genggaman adalah
pisau bermata dua. Satu sisi bermata kejahatan dan sisi lainya untuk kebajikan:
//sewangi dupa seampuh mantera//. Atau bisa jadi //sebab kata-kata telah
ditelan gelombang air mata//(hal, 146).
Namun pada akhirnya muncul juga
dalam benak MH setelah berguru pada sajak, sajak bisa menghambur jadi debu,
mengotori udara dan memerihkan mata. Seperti dapat kita baca pada sajaknya di
halaman 111:
Sajak, 2
beribu sajak
dari ribuan kata
yang kutulis
menghambur jadi debu
mengotori udara
dan memerihkan
mataku
beribu sajak
dari ribuan kata
yang kuhamburkan
tak pernah menemukan
jejak
di jalan-jalan
kegelapan
beribu sajak
beribu kata
percuma saja
tanpa bahasa
1996
Sebagai penyair, MH
tetap meyakini kekuatan bahasa. //beribu sajak/beribu kata/percuma saja/tanpa
bahasa//. Tanpa bahasa tentu sajak tidak mampu berbicara apa-apa, meskipun
bahasa bukanlah hanya sekadar alat komunikasi. Seperti apa yang dikatakan Ember
(2006: 20), tanpa bahasa kita tidak dapat meneruskan atau menerima
keterangan-keterangan secara simbolis dan dengan demikian tidak dapat menjadi
pewaris dari suatu kebudayaan yang demikian kaya dan demikian aneka ragamnya.
Dengan bahasa MH dapat membaca
bahasa sunyi dalam sajak yang diperuntukan buat
Isbedy Stiawan ZS dengan judul “Membaca Bahasa Sunyimu” (hal. 158). Kita
baca:
Membaca Bahasa
Sunyimu
untuk Isbedy Stiawan ZS
Membaca bahasa
sunyimu
Tergambarlah semesta
kehidupanmu yang berdebu
dan menghitam bagai
arang. Bertahun-tahun kau
simpan dari dalam
ruang dan waktu. Bertahun-
tahun kau tulisi
keperihan dalam sajak-sajakmu.
Membaca bahasa
sunyimu
Tak bisa kutafsirkan
makna angin dan gelombangmu,
rahasia laut dan
badaimu, ketinggian awan dan
hujanmu.
Berabad-abad makna sunyi kau simpan,
tapi bahasa
kekerasan dan kecemasan masih saja
menghantuimu.
Berabad-abad sudah pembantaian,
luka, darah, dan
kematian terus mengalir di tanahmu.
Membaca bahasa
sunyimu
Tak habis-habis aku
membaca huru-hara, terror, dan
bencana. Begitu
mengerikan, menikam-nikam nuraniku
hingga koyak. Kata-kata dan sajak pun telah menemui
ajalnya.
Membaca bahasa
sunyimu
Aku nyaris melupakan
bahasaku sendiri – berabad-abad
hilang dalam kegelapan dan kesunyian.
2005
Begitulah kekuatan
bahasa, dapat menggambarkan semesta kehidupan
yang berdebu. Pada sisi lain, bahasa juga tak mampu menggambarkan makna
angin, gelombang, rahasia laut dan badai yang dialami oleh orang lain. Pada
titik kulminasi tertentu agaknya membuat
MH sama sekali tidak percaya lagi pada kekuatan bahasa -- dan ini sangat mengejutkan saya – dengan munculnya sajak
berjudul “Sajak Tak Berisi” di halaman 170. Dalam sajak itu tak ada sama sekali tercantum kata-kata yang ditulis
alias kosong, selain titimangsa penulisan sajak tahun 2008.
Melihat titimangsa
tahun penulisan sajak tersebut adalah tahun 2008 yang sama dengan tahun
diterbitkannya kumpulan sajak Meditasi
Rindu, agaknya MH telah berada dalam titik jenuh dalam penulisan sajak.
Atau bahkan sebaliknya seperti yang saya nyatakan di atas, bahwa bahasa
bukanlah hanya sekadar alat komunikasi. Tanpa kata yang tercantum dalam sebuah
sajak pun tetap akan melahirkan penafsiran yang begitu beragam. Barangkali luasnya lautan dan tak terbatasnya cakrawala. Barangkali tanpa
kata dan bahasa pun “imajinasi terbang mengitari kegelapan ruang”. Atau MH
ingin menunjukkan dalam pengakuannya bahwa menulis sajak baginya merupakan
bentuk aktualisasi sikap yang memberontak terhadap keadaan tertentu, yakni
pemberontakan yang lebih merujuk pada makna pembebasan – pemberontakan kreatif.
Bisa jadi MH ingin menunjukkan pula bahwa
dirinya tetap percaya pada kekuatan kata, namun kata-kata itu telah menghilang,
seperti dalam sajaknya “Hilang Kata”
yang merupakan sajak terakhir dalam kumpulan sajaknya: //imajinasi
terbang/mengitari kegelapan ruang/mencari kata-kata bersarang//tapi kata-kata
telah menghilang/tanpa jejak dan bayang/entah kapan kembali pulang//sedangkan
sajak sudah kepalang/ingin dibuai ditimang-timang/dan dibelai sepenuh
sayang//tapi kata-kata tak kunjung datang/hingga penyair lelah bertualang/malam
ke siang menanti petang//(hal. 171).
Ah. Micky Hidayat,
kembalilah berpetualang mencari kata-kata yang sedang menghilang.
Puisi Tentang Konflik Sosial
Tragedi berdarah akibat pertikaian
antaretnis di Sampit yang memilukan
diangkat oleh penyair Amang Bilem dalam puisinya “Nyanyian Pilu Sungai
Mentaya”. Mengungkap tragedi menyakitkan hati yang terjadi di kotanya, Amang
Bilem, berhasil membuat penonton pentas sastra yang memadati gedung Balairung
Taman Budaya berdecak kagum (Kalimantan
Post, 8 Agustus 2001).
MH juga tidak mau ketinggalan dengan
menuliskan puisi berjudul “Sampit” di halaman 140-141:
Sampit
Duh, Sampit
Neraka apa ini
Berkobaran api
Angkara murka
Membakar amarah
Tak padam-padam
Hamparan puing-puing
Dendam kesumat
Dan kebencian memuncak
Tak redam-redam
Siapakah dalam luka
Menyenandungkan lagu duka?
Langit pun merah
Semerah bara
Matahari berdarah
Bulan berdarah
Kota berdarah
Ribuan jasad berdarah
Berserak di tanah basah
Mengambang dan mencemari
Sungai kehidupan
Siapakah dalam kengerian
Bersorak kemenangan?
Duh, Sampit
Petaka apa pula ini
Adakah
yang lebih nikmat
Dibanding saling tikam
Adakah yang lebih terhormat
Dibanding saling terkam
Adakah yang lebih bermartabat
Dibanding saling santet pelampias
dendam
Adakah yang lebih kuat
Dibanding hati nurani yang lebam
Siapakah dalam tangis dan jeritan
Membayangkan hari gelap masa depan
Di barak-barak kumuh pengungsian?
Duh, Sampit
Tragedi
macam apa ini
Sejarah telah menulis namamu
Dengan
tinta merah
Lebih merah dari darah
Di
lembaran kekerasan dan pembantaian
Di peta nurani kemanusiaan yang
hilang
O, peradaban negeriku yang mengerang
Langit pun menangis
Tanpa air mata
2001
Peristiwa kerusuhan yang pecah di
Sampit tidak banyak terekam dalam bentuk
karya sastra. Beruntung MH menuliskan peristiwa berdarah itu dalam sajaknya.
Meskipun begitu, sajak di atas terlalu cair dan terkesan seperti reportase yang
sekadar merekam peristiwa konflik antar etnis tersebut. Diksinya belum terpilih
sehingga muncul://Adakah yang lebih bermartabat/dibanding santet pelampias
dendam//. Akan lebih menarik jika MH menggambarkan bagaimana wujud santet itu
dalam warna lokal kota Sampit. Apakah santet di daerah tersebut berbeda dengan
santet yang ada di daerah lain. Apakah benar-benar ada apa
yang disebut dengan “Mandau Terbang?” Namun harus kita maklumi, MH bukan bagian
dari pelaku yang mengalami peristiwa itu di tempat kejadian. Untuk
merepresentasikan peristiwa itu yang muncul akhirnya adalah kata-kata pada
umumnya://Langit pun merah/Semerah bara/Matahari berdarah/Bulan berdarah/Kota
berdarah//
Tentu kita bersyukur MH telah
menuliskan peristiwa yang memilukan itu. Peristiwa yang terekam dalam karya sastra akan menjadi
katarsis dan mengembalikan kepedulian dan rasa damai antar sesamanya bagaikan
dalam peristiwa yang berbeda RA Kartini menulis yang akhirnya menjadi buku Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Bukankah fungsi sastra di antaranya
adalah untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi? Mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri
dari emosi itu. “Goethe konon telah terbebas dari Weltschmerz dengan menciptakan karyanya, The Sorrows of Werther.” (Wellek & Warren, 1989: 35).
Persoalannya, apakah dengan kelahiran sajak-sajak mampu menghentikan konflik disertai
kekerasan yang merenggut banyak korban jiwa: //Ribuan jasad berdarah/Berserak
di tanah basah// dan meninggalkan luka mendalam serta demikian melekatnya dalam
kehidupan seseorang? Dengan sastra kita
berharap mampu menjadikan saling menghargai pluralisme yang ada, bukan untuk
membangkitkan luka lama.
Penutup
Sebagai penutup dalam tulisan ini
saya hanya menggarisbawahi komentar
D.Zawawi Imron dalam kumpulan sajak Meditasi
Rindu: “Sajak-sajak Micky yang alam bagus. Tapi yang sosial politik aku
kurang suka.”(hal. 176). Saya suka sajak-sajak MH yang mengacu pada local genius yang berbicara tentang
kearifan budaya Banjar yang tentu tidak akan habis untuk dituangkan dalam
bentuk sajak://membaca riwayatmu, o, sungaiku/tak habis-habis kubaca
berjilid-jilid buku/kesaksian tetaplah menjadi misteri/sebagaimana usia tak
pernah abadi//(hal. 7). Atau; //Kota adalah tonggak yang patah/Terpancang
angkuh di tanah haram menyarah*//(hal.
41). Juga MH tidak perlu merasa pesimis://Memandangi kota/Diam-diam tumbuh
perasaan/Antara kesanggupan dan ketidakberdayaan/Untuk mencintai dan
membenci/Atau mengejek dan menertawai/Kekalahan diri sendiri//(hal. 102).
Selamat buat Bung Micky Hidayat
melalui Meditasi Rindu, untuk menjadi
penyejuk kalbu. (Bambang Widiatmoko,
penyair, dosen Universitas Mercu Buana, Jakarta).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar