Kamis, 27 September 2012

BERGURU PADA SAJAK UNTUK MENJADI BIJAK: SAJAK-SAJAK MICKY HIDAYAT



Oleh : Bambang Widiatmoko

Pengantar

Micky Hidayat, penyair  yang lahir di Banjarmasin, 4 Mei 1959 dan menetap di tanah kelahirannya ini sudah saya kenal sejak tahun l980-an. Artinya, sudah lebih dari 30 tahun Micky Hidayat (yang selanjutnya disingkat MH)  menulis sajak. Sepanjang waktu itu tentu sudah ribuan puisi yang ditulis MH, yang kemudian beberapa diantaranya dibukukan dalam kumpulan sajak Meditasi Rindu (Tahura Media, 2008: 200 halaman). Yang lebih mengejutkan, MH memuat fotonya yang saya “jepret” tahun 1980-an dalam biodatanya. MH memang pendokumentasi foto dan sajak yang baik.
            Di dalam Ensiklopedia Sastra Kalimantan Selatan (2008) disebutkan, sejak kecil Micky Hidayat memang beruntung karena dibesarkan di lingkungan keluarga, terutama ditunjang pula oleh status ayahnya yang seorang sastrawan, yang mengenal pentingnya bacaan dan budaya membaca. Lingkungannya yang mendukung menumbuhkan semangat kreatif sehingga ia menekuni bidang sastra hingga memasuki usia dewasa. Tampaknya karya sastra telah membuka jalan baginya untuk menjelajah dunia tanpa batas. Tak heran jika kegemaran membaca karya sastra sejak usia dini tersebut memiliki dampak yang cukup baik bagi perkembangan kesastrawanannya.
Tulisan ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama tentang pencarian kata dalam sajak-sajak MH. Bagian kedua menyoroti sajak-sajaknya yang bertema  konflik sosial. 
Pencarian Kata Micky Hidayat
    Sejatinya, saya ingin membaca dan menikmati sajak-sajak MH tanpa “gangguan” dari orang lain. Menikmati imaji-imaji MH yang jauh melintasi cakrawala dalam pengembaraan sajak-sajaknya. Gangguan yang saya maksud adalah sedemikian banyaknya komentar dari sahabat atas sajak-sajaknya. Tercatat 36 komentar di halaman dalam dan satu komentar di sampul belakang, Ditambah Catatan Pengantar dari Agus R. Sarjono, dan Catatan Penyair oleh penyairnya sendiri. Ibaratnya jika ingin bertemu MH sebagai raja penyair di istananya di Kalimantan Selatan, dari pintu gerbang sampai singgasana telah dijaga deretan pengawal yang dengan setia terlebih dahulu menceritakan sosok sang raja yang adil, arif dan bijaksana.
            Tentu masih ada peluang untuk memberikan apresiasi bagi sajak-sajak MH. Terlebih lagi setelah sekian puluh tahun MH menulis sajak, MH pun merasa menemukan begitu banyak ruang gerak untuk senantiasa bersikap bijak. Sikap bijak yang tentunya menjadi tujuan akhir dari seseorang yang ingin disebut dirinya penyair. Kita baca sajaknya di halaman 108:

Aku Berguru pada sajak

aku berguru pada sajak
karena sajak begitu banyak
memberiku ruang gerak
di mana pun aku berpijak.

aku berguru pada sajak
karena sajak senantiasi mengajak
dan mengajariku bersikap bijak
menghadapi kehidupan yang terkoyak.

aku berguru pada sajak
karena sajak adalah tonggak
tempatku berpegang agar tetap
tegak
mengikuti ke mana pun awan
berarak

aku berguru pada sajak
karena sajak adalah ombak
senantiasa tegar walau gemulungnya pecah berserak
diterjang badai maha dahsyat yang
congkak

1995
           
Sajak MH meskipun terkesan sederhana tapi merupakan wujud perenungan yang dalam terhadap kehidupan. Sebenarnya, jika lebih teliti lagi sajak di atas dapat ditulis dalam bentuk tiap bait terdiri dari empat baris, yang akan mengandung sebuah alur dan menghadirkan unsur persajakan. Bisa jadi unsur persajakan tidak begitu diutamakan MH ketika menulis sajak. Begitu pula tidak perlu diperdebatkan, apakah ombak dapat pecah berserak diterjang badai, atau ombak itu sendiri jika terlalu besar sebutannya adalah badai. Seperti halnya ketika saya meyakini bahwa yang menjadikan ombak adalah angin. Keyakinan yang salah setelah saya memahami bahwa sesungguhnya yang menjadikan angin itu adalah ombak di laut.
 Seperti juga keyakinan MH bahwa dia perlu merasa berguru pada sajak, karena sajak adalah ombak dalam kehidupan nyata. Karena hantaman ombaklah seseorang menjadi kuat,  kuat sebagai penyair dan kuat sebagai manusia biasa. Ada pepatah Cina  menyebutkan: “sayur matang dalam rebusan”. MH telah tampil matang karena telah direbus pengalaman ketika berguru pada sajak.
            Keterpukauannya dan kerinduannya terhadap kata-kata muncul pula dalam sajak “Beri Aku Kata-kata” di halaman 38:

Beri Aku Kata-kata

beri aku kata-kata
setajam pisau setajam kapak
untuk menikam bumi sampai koyak
dan menghujam langit sampai retak

beri aku kata-kata
sewangi dupa seampuh mantera
untuk mengasapi jagat semesta
dan membuyarkan arak-arakan mega

beri aku kata-kata
sesejuk hawa surga sepanas api neraka
untuk menunjukkan rasa resah di jiwa
dan memijarkan kekuatan yang hampir tiada

berilah aku kata-kata
untuk menyembunyikan hidupku
di balik sayap-sayapnya

1984

            Bagi MH, kekuatan kata-kata adalah sedemikian besarnya, bisa setajam pisau setajam kapak. Dapat pula merusak alam semesta. Jika kata-kata diibaratkan pisau maka yang ada dalam genggaman adalah pisau bermata dua. Satu sisi bermata kejahatan dan sisi lainya untuk kebajikan: //sewangi dupa seampuh mantera//. Atau bisa jadi //sebab kata-kata telah ditelan gelombang air mata//(hal, 146).
            Namun pada akhirnya muncul juga dalam benak MH setelah berguru pada sajak, sajak bisa menghambur jadi debu, mengotori udara dan memerihkan mata. Seperti dapat kita baca pada sajaknya di halaman 111:

Sajak, 2

beribu sajak
dari ribuan kata yang kutulis
menghambur jadi debu
mengotori udara
dan memerihkan mataku

beribu sajak
dari ribuan kata yang kuhamburkan
tak pernah menemukan jejak
di jalan-jalan kegelapan

beribu sajak
beribu kata
percuma saja
tanpa bahasa

1996
           
Sebagai penyair, MH tetap meyakini kekuatan bahasa. //beribu sajak/beribu kata/percuma saja/tanpa bahasa//. Tanpa bahasa tentu sajak tidak mampu berbicara apa-apa, meskipun bahasa bukanlah hanya sekadar alat komunikasi. Seperti apa yang dikatakan Ember (2006: 20), tanpa bahasa kita tidak dapat meneruskan atau menerima keterangan-keterangan secara simbolis dan dengan demikian tidak dapat menjadi pewaris dari suatu kebudayaan yang demikian kaya dan demikian aneka ragamnya.
            Dengan bahasa MH dapat membaca bahasa sunyi dalam sajak yang diperuntukan buat  Isbedy Stiawan ZS dengan judul “Membaca Bahasa Sunyimu” (hal. 158). Kita baca:

Membaca Bahasa Sunyimu
untuk Isbedy Stiawan ZS

Membaca bahasa sunyimu
Tergambarlah semesta kehidupanmu yang berdebu
dan menghitam bagai arang. Bertahun-tahun kau
simpan dari dalam ruang dan waktu. Bertahun-
tahun kau tulisi keperihan dalam sajak-sajakmu.

Membaca bahasa sunyimu
Tak bisa kutafsirkan makna angin dan gelombangmu,
rahasia laut dan badaimu, ketinggian awan dan
hujanmu. Berabad-abad makna sunyi kau simpan,
tapi bahasa kekerasan dan kecemasan masih saja
menghantuimu. Berabad-abad sudah pembantaian,
luka, darah, dan kematian terus mengalir di tanahmu.
Membaca bahasa sunyimu
Tak habis-habis aku membaca huru-hara, terror, dan
bencana. Begitu mengerikan, menikam-nikam nuraniku
hingga koyak. Kata-kata dan sajak pun telah menemui
ajalnya.

Membaca bahasa sunyimu
Aku nyaris melupakan bahasaku sendiri – berabad-abad
hilang  dalam kegelapan dan kesunyian.

2005

Begitulah kekuatan bahasa, dapat menggambarkan semesta kehidupan  yang berdebu. Pada sisi lain, bahasa juga tak mampu menggambarkan makna angin, gelombang, rahasia laut dan badai yang dialami oleh orang lain. Pada titik kulminasi tertentu agaknya  membuat MH sama sekali tidak percaya lagi pada kekuatan bahasa  -- dan ini sangat  mengejutkan saya – dengan munculnya sajak berjudul “Sajak Tak Berisi” di halaman 170. Dalam sajak itu tak ada  sama sekali tercantum kata-kata yang ditulis alias kosong, selain titimangsa penulisan sajak tahun 2008.
Melihat titimangsa tahun penulisan sajak tersebut adalah tahun 2008 yang sama dengan tahun diterbitkannya kumpulan sajak Meditasi Rindu, agaknya MH telah berada dalam titik jenuh dalam penulisan sajak. Atau bahkan sebaliknya seperti yang saya nyatakan di atas, bahwa bahasa bukanlah hanya sekadar alat komunikasi. Tanpa kata yang tercantum dalam sebuah sajak pun tetap akan melahirkan penafsiran yang begitu beragam. Barangkali luasnya lautan dan tak terbatasnya cakrawala. Barangkali tanpa kata dan bahasa pun “imajinasi terbang mengitari kegelapan ruang”. Atau MH ingin menunjukkan dalam pengakuannya bahwa menulis sajak baginya merupakan bentuk aktualisasi sikap yang memberontak terhadap keadaan tertentu, yakni pemberontakan yang lebih merujuk pada makna pembebasan – pemberontakan kreatif. Bisa jadi  MH ingin menunjukkan pula bahwa dirinya tetap percaya pada kekuatan kata, namun kata-kata itu telah menghilang, seperti dalam sajaknya “Hilang Kata”  yang merupakan sajak terakhir dalam kumpulan sajaknya: //imajinasi terbang/mengitari kegelapan ruang/mencari kata-kata bersarang//tapi kata-kata telah menghilang/tanpa jejak dan bayang/entah kapan kembali pulang//sedangkan sajak sudah kepalang/ingin dibuai ditimang-timang/dan dibelai sepenuh sayang//tapi kata-kata tak kunjung datang/hingga penyair lelah bertualang/malam ke  siang menanti petang//(hal. 171).
Ah. Micky Hidayat, kembalilah berpetualang mencari kata-kata yang sedang menghilang.
 Puisi Tentang Konflik Sosial
            Tragedi berdarah akibat pertikaian antaretnis di Sampit yang memilukan  diangkat oleh penyair Amang Bilem dalam puisinya “Nyanyian Pilu Sungai Mentaya”. Mengungkap tragedi menyakitkan hati yang terjadi di kotanya, Amang Bilem, berhasil membuat penonton pentas sastra yang memadati gedung Balairung Taman Budaya berdecak kagum (Kalimantan Post, 8 Agustus 2001).
            MH juga tidak mau ketinggalan dengan menuliskan puisi berjudul “Sampit” di halaman 140-141:

            Sampit

            Duh, Sampit
            Neraka apa ini
            Berkobaran api
            Angkara murka
            Membakar amarah
            Tak padam-padam
            Hamparan puing-puing
            Dendam kesumat
            Dan kebencian memuncak
            Tak redam-redam

            Siapakah dalam luka
            Menyenandungkan lagu duka?

            Langit pun merah
            Semerah bara
            Matahari berdarah
            Bulan berdarah
            Kota berdarah
            Ribuan jasad berdarah
            Berserak di tanah basah
            Mengambang dan mencemari
            Sungai kehidupan

            Siapakah dalam kengerian
            Bersorak kemenangan?

            Duh, Sampit
            Petaka apa pula ini
            Adakah yang lebih nikmat
            Dibanding saling tikam
            Adakah yang lebih terhormat
            Dibanding saling terkam

            Adakah yang lebih bermartabat
            Dibanding saling santet pelampias dendam
            Adakah yang lebih kuat
            Dibanding hati nurani yang lebam

            Siapakah dalam tangis dan jeritan
            Membayangkan hari gelap masa depan
            Di barak-barak kumuh pengungsian?
            Duh, Sampit
            Tragedi macam apa ini
            Sejarah telah menulis namamu
            Dengan tinta merah
            Lebih merah dari darah
            Di lembaran kekerasan dan pembantaian
            Di peta nurani kemanusiaan yang hilang
            O, peradaban negeriku yang mengerang

            Langit pun menangis
            Tanpa air mata

            2001
           
            Peristiwa kerusuhan yang pecah di Sampit  tidak banyak terekam dalam bentuk karya sastra. Beruntung MH menuliskan peristiwa berdarah itu dalam sajaknya. Meskipun begitu, sajak di atas terlalu cair dan terkesan seperti reportase yang sekadar merekam peristiwa konflik antar etnis tersebut. Diksinya belum terpilih sehingga muncul://Adakah yang lebih bermartabat/dibanding santet pelampias dendam//. Akan lebih menarik jika MH menggambarkan bagaimana wujud santet itu dalam warna lokal kota Sampit. Apakah santet di daerah tersebut berbeda dengan santet yang ada di daerah lain. Apakah benar-benar ada apa yang disebut dengan “Mandau Terbang?” Namun harus kita maklumi, MH bukan bagian dari pelaku yang mengalami peristiwa itu di tempat kejadian. Untuk merepresentasikan peristiwa itu yang muncul akhirnya adalah kata-kata pada umumnya://Langit pun merah/Semerah bara/Matahari berdarah/Bulan berdarah/Kota berdarah//
            Tentu kita bersyukur MH telah menuliskan peristiwa yang memilukan itu. Peristiwa yang  terekam dalam karya sastra akan menjadi katarsis dan mengembalikan kepedulian dan rasa damai antar sesamanya bagaikan dalam peristiwa yang berbeda RA Kartini menulis yang akhirnya menjadi buku Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
            Bukankah fungsi sastra di antaranya adalah untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi?  Mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu. “Goethe konon telah terbebas dari Weltschmerz dengan menciptakan karyanya, The Sorrows of Werther.” (Wellek & Warren, 1989: 35). Persoalannya, apakah dengan kelahiran sajak-sajak mampu menghentikan konflik disertai kekerasan yang merenggut banyak korban jiwa: //Ribuan jasad berdarah/Berserak di tanah basah// dan meninggalkan luka mendalam serta demikian melekatnya dalam kehidupan seseorang?  Dengan sastra kita berharap mampu menjadikan saling menghargai pluralisme yang ada, bukan untuk membangkitkan luka lama.
Penutup
            Sebagai penutup dalam tulisan ini saya  hanya menggarisbawahi komentar D.Zawawi Imron dalam kumpulan sajak Meditasi Rindu: “Sajak-sajak Micky yang alam bagus. Tapi yang sosial politik aku kurang suka.”(hal. 176). Saya suka sajak-sajak MH yang mengacu pada local genius yang berbicara tentang kearifan budaya Banjar yang tentu tidak akan habis untuk dituangkan dalam bentuk sajak://membaca riwayatmu, o, sungaiku/tak habis-habis kubaca berjilid-jilid buku/kesaksian tetaplah menjadi misteri/sebagaimana usia tak pernah abadi//(hal. 7). Atau; //Kota adalah tonggak yang patah/Terpancang angkuh di tanah haram menyarah*//(hal. 41). Juga MH tidak perlu merasa pesimis://Memandangi kota/Diam-diam tumbuh perasaan/Antara kesanggupan dan ketidakberdayaan/Untuk mencintai dan membenci/Atau mengejek dan menertawai/Kekalahan diri sendiri//(hal. 102).
            Selamat buat Bung Micky Hidayat melalui Meditasi Rindu, untuk menjadi penyejuk kalbu.  (Bambang Widiatmoko, penyair, dosen Universitas Mercu Buana, Jakarta).














Tidak ada komentar: