Selasa, 12 Oktober 2010

Menikmati Puisi Dunia Maya (bagian 4)


Oleh : Hamberan Syahbana

Puisi adalah karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan emotif, melalui proses perenungan imajinasi dengan menggunakan bahasa estetik, hemat, padat dan berisi, melalui penataan unsur bunyi, irama, dan makna khusus.
Aspek yang paling menonjol dalam sebuah puisi adalah pemilihan kata atau diksi. Kata yang dipilih biasanya padat, berisi, indah, memukau, penuh pesona dan ungkapan berkias. Diksi atau pemilihan kata tsb mampu meningkatkan rasa dan nilai sebuah puisi, karena biasanya kata-kata yang digunakan:
1. menimbulkan dan membentuk pengulangan atau persamaan bunyi yang biasa disebut rima, baik rima awal, rima tengah, ataupun rima di akhir baris.
2. membentuk ritme/irama berupa pengulangan bunyi vokal, bunyi konsonan, kata, frase, klausa, bahkan pengulangan kalimat/baris secara utuh.
3. mnejadi sebuah majas, apakah itu majas perbandingan, majas sindiran, majas penegasan, atau majas pertentangan.
4. mampu memberikan gambaran pengalaman imaji atau citraan yang mampu membuat pikiran dan perasaan membaca larut dalam sebuah puisi, seakan-akan benar-benar merasakan pengalaman apa yang digambarkan penulisnya. Bagaikan benar-benar melihat [imaji visual], mendengar [imaji audiif], dan merasa seperti rasa enaknya makanan, rasa manisnya teh, asam, asin, atau merasa panasnya atau segarnya udara, merasa dingin menggigil [imaji taktil/ cecap]
5. mempunyai atau memberikan makna khusus pada kata-kata dan kiasan-kiasan, baik makna tersurat maupun tersirat. Makna denotatif [makna kamus], maupun makna konotatif [makna ungkapan].

***

Pada essei sastra Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 4 ini, kita akan mencermati sekaligus menikmati 3 buah puisi yang masing-masing berjudul:
1. ”Bidadari” - puisi karya Reski Handani dari kota Padang Provinsi Sumara Barat
2. ”Kabar” - puisi karya Wahyu Agustiono Catur Sasono dari kota Jember Provinsi Jawa Timur
3. ”Topeng sang penyair” - puisi Jack Slawi dari DKI Jakarta

Marilah kita cermati bersama puisi yang pertama buah karya Reski Handani dari kota Padang Provinsi Sumatra Barat, yang berjudul ”Bidadari” berikut ini.

[1]

Bidadari
Puisi Reski Handani

Di sini, dahulu engkau berjuntai kaki
menganyam jemari sembari menunggu sirah bulan
tajam mata tergenang
mengintai usai hujan mencekak malam
melalau jaga pada kelam

diam-diam aku jadi pengembara di dadamu
tak tunai setiang usia kujelajah
engkau menyimpan sejuta nisan
kutemukan di sepanjang badan

di sini, dahulu aku melambai
engkau temukan bulan sirahmu
sehelai kepak bulu kau titip

aku kini senantiasa berjuntai kaki
menenun jemari sepuluh membilang waktu

aku menjadi ibu bagi sepi menunggu


Padang; 26/05/2010

Sirah: merah

Tipografi puisi “Bidadari” karya Reski Handani [Reski] ini terdiri dari 5 bait, masing-masing terdiri atas 5 baris, 4 baris, 3 baris, 2 baris, dan terakhir hanya 1 baris. Dalam puisi ini nampaknya Reski tidak terpengaruh dengan adanya kekuatan rima dalam sebuah puisi. Padahal rima termasuk salah satu unsur pembangun intrinsik yang mampu meningkatkan keindahan sebuah puisi. Reski hanya fokus pada diksi atau pemilihan kata. Ini dapat dilihat hampir tidak ada rima baik di akhir baris, maupun di awal baris. Kecuali pada bait [1] di akhir baris [4] ada kata [malam] dan di akhir baris [5] ada kata [kelam]. Keduanya membentuk rima akhir yang sama-sama diakhiri dengan bunyi [lam]. Dan istimewanya di bait ini juga ada pengulangan bunyi di awal baris yaitu di baris [2] ada kata [menganyam], di baris [4] ada kata [mengintai] dan di baris [5] ada kata [melalau], Ketiga kata tsb membentuk rima awal yang sama-sama diawali dengan bunyi [me]. Dengan demikian diksi di bait [1] ini membentuk rima akhir dengan pola persajakan [a,b,c,d,d] dan sekaligus juga membentuk rima awal dengan pola persajakan [a,b,c.b,b]
Pada bait [2] hampir tidak ada rima sama sekali, kecuali di baris [8] ada kata [nisan] yang diakhiri dengan bunyi [san] dan di baris [9] ada kata [badan] yang diakhir dengan bunyi [dan]. Kedua kata [nisan] dan [badan] ini membentuk rima tak sempurna. Bait [2] ini juga diperkuat dengan majas metapora di baris [6] dalam larik: “aku jadi pengembara di dadamu”, dan di baris [7] juga ada majas litotes pada larik: “tak tunai setiang usia ku jelajah”, yg ditandai dengan kata [setiang] varian dari kata [satu tiang]. Selanjutnya di baris [8] juga ada majas hiperbola pada larik: “engkau menyimpan sejuta nisan”, yang ditandai dengan kata [sejuta].
Pada bait [3] dan bait [4] tidak terdapat rima baik di akhir baris, maupun di awal baris. Kecuali rima tengah di baris [10] yang ditandai dengan adanya pengulangan bunyi [u] pada kata [dahulu] dan kata [aku]. Di baris [11] ada kata [temukan] dan kata [bulan] dan di baris [12] ada kata [bulu]. Dan ada juga pengulangan bunyi vocal rangkap [au] di baris [11] pada kata [engkau] dan di baris [12] pada kata [kau]. Selanjutnya ada pengulangan bunyi vocal [i] di baris [10] pada kata [di sini] dan vocal rangkap [ai] pada kata [melambai] di baris [10] dan kata [sehelai] di baris [12].
Selanjutnya di baris [13] ada pengulangan bunyi vokal [i] dalam larik: “aku kini senantiasa berjuntai kaki”, yaitu pada kata [kini], [senantiasa], dan kata [kaki] beserta vocal rangkap [ai] pada kata [berjuntai]. Pada larik ini juga ada pengulangan bunyi konsonan [k] pada kata [aku], kata [kini], dan kata [kaki]. Selanjutnya di baris [14] pada larik: “menenun jemari sepuluh membilang waktu” terdapat pengulangan bunyi vokal [e] pada kata [menenun], kata [jemari], kata [sepuluh], dan kata [membilang]. Pada larik ini juga ada pengulangan bunyi vocal [u] pada kata [menenun], [sepuluh], dan kata [waktu]. Demikian pula di baris terakhir baris [15] pada larik: “aku menjadi ibu bagi sepi menunggu”, terdapat pengulangan bunyi vokal [u] pada kata [aku], [ibu], dan kata [menunggu]. Juga ada pengulangan bunyi vocal [i] pada kata [menjadi], kata [ibu], kata [bagi], dan kata [sepi].
Jika kita membaca puisi ini dengan penghayatan dan intonasi yang tepat, ternyata pengulangan bunyi-bunyi tsb mampu membentuk irama yang mengalun sendu. Sehingga puisi ini menjadi semakin berasa untuk dinikmati.

***
Sebagaian besar diksi yang digunakan dalam puisi ini adalah kata-kata yang biasa digunakan sehari-hari. Kecuali di bait [1] ada frase [menganyam jemari], kata [sembari], frase [sirah bulan], rase [mencekak malam] dan kata [melalau]. Di bait [2] ada frase [pengembara di dadamu], frase [setiang usia], frase [sejuta nisan], dan frase [di sepanjang badan]. Di bait [3] ada frase [bulan sirahmu], frase [sehelai kepak]. Selanjutnya di baris [14] ada frase [menenun jemari], dan terakhirdi baris [15] ada frase [ibu bagi sepi].
Meskipun sebagian besar puisi ini dibangun dengan diksi atau kata-kata yang biasa digunakan sehari-hari, tetapi aku merasakan ada sesuatu yang dahsyat dalam puisi ini. Ternyata, Reski telah berhasil merangkai kata-kata tsb membentuk larik-larik yang indah, memukau dan mempesona. Tidak hanya satu dua atau tiga larik saja, tetapi semua larik-larik tsb indah, memukau dan memepsona.
Puisi ini berjudul “Bidadari”. Pertanyaan pertama yang timbul adalah: Siapakah bidadari itu? Untuk menjawabnya kita harus mencermati untaian kata-kata yang terjalin dalam larik-lariknya. Puisi ini dibuka dengan larik: “Di sini, dahulu engkau berjuntai kaki”, larik ini mengingatkan kita pada suatu tempat yang nyaman untuk berjuntai kaki. Hal ini ada erat hubungannya dengan kata [Bidadari]. Terbayang dalam pikiran kita kisah Jaka Tarub dan Nawang Wulan di tanah Jawa. Atau kisah Awang Sukma dan Putri Bungsu Telaga Bidadari di daerah Kandangan Kalimantan Selatan. Apakah juga ada kisah serupa versi Sumatra Barat? Maka tempat berjuntai itu pastilah berada di air terjun, telaga, atau setidaknya suatu tempat pemandian bidadari yang indah, sejuk segar dan menyenangkan. Sedangkan kata [dahulu] menyatakan bahwa peritiswa itu merupakan kenangan di masa lalu. Selanjutnya pada baris [2] ada larik: “menganyam jemari sembari menunggu sirah bulan”. [menganyam jemari] bermakna memainkan jari-jarinya, [sembari] artinya [sambil], sedangkan [sirah bulan] bisa berarti merahnya bulan yang bermakna bulan yang dinanti-nanti. Reski dalam hal ini lebih memilih sirah bulan ketimbang sinar bulan, sinar rembulan, atau bulan purnama. Tentu Reski punya alasan tersendiri.
Berikutnya baris [3] ada larik: “tajam mata tergenang”. Kata [tergenang] kita ingat pada air telaga yang tergenang, tenang. Kata [tergenang] bisa juga bermakna terkenang-kenang Baris ini membuat imaji kita langsung membayangkan seakan mata kita benar-benar memandang pada genangan air telaga pemandian yang penuh kenangan. Disinilah dahulu bidadari cantik mempermainkan jari-jarinya yang lentik sambil menjuntaikan kakinya yang indah menarik membuat siapapun pasti akan tertarik melirik. Ternyata ada risau di tenunan jemarinya. Karena hingga hujan itu usai di malam hari, ia tetap [melalau] mengegerutu bicara pada diri sendiri di malam kelam yang sunyi sepi..
Berikutnya marilah kita cermati bait [2] berikut ini: Pada bait [2] ini sama seperti Jaka Tarub yang telah memperistri bidadari Nawang Wulan. Ini digambarkannya dalam larik di baris [6] [diam-diam aku jadi pengembara di dadamu]. Berikutnya larik di baris [7]: [tak tunai setiang usia kujelajah]. Kata [tak tunai] berarti [belum sampai]. Kata [setiang usia] bisa bermakna belum begitu lama. Ini berkaitan erat dengan larik di baris [8]: [engkau menyimpan sejuta nisan]. Majas hiperbola ini menegaskan kesedihan sang bidadari yang amat dalam. Selanjutnya di baris [9] ada larik: [kutemukan di sepanjang badan], maksudnya kesedihan itu terlihat di sekujur tubuhnya. Misalnya rambut kusut masai tak terurus, wajah sayu, badan layu, mata redup, semangat hidup hilang.
Bait [3] dari puisi ini menggambarkan suatu perpisahan. Ini dapat dilihat di baris [10] pada larik: “di sini, dahulu aku melambai”. Maksudnya pada waktu itu ia melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Karena: “engkau temukan bulan sirahmu”, maksudnya dia telah menemukan kembali sesuatu yang diperlukannya untuk kembali. Berikuthya pada baris [12] ada larik: “sehelai kepak bulu kau titip”, Maksudnya pada waktu perpisahan itu ia sempat menitipkan sehelai bulu sayapnya. Untuk memanggilnya bila saat diperlukan. .
Di baris [13] dan [14] ada larik: “aku kini senantiasa berjuntai kaki” dan “menenun jemari sepuluh membilang waktu”. Larik ini menggambarklan betapa sedihnya dia sepeninggal bidadari. Kalu dulu yang bejuntai kaki di telaga itu adalah bidadarinya, kini justru dia yang berjuntai kaki. Sambil menghitung-hitung waktu dengan jari-jemarinya .
Akhirnya puisi ini ditutup dengan baris [15] dengan larik: “aku menjadi ibu bagi sepi, menunggu” Kalau Jaka Tarub menjadi singleparents bagi anak hasil perkawinannya dengan Nawang Wulan, di sini Reski menjadi ibu bagi sepi menunggu.
Puisi ini sepertinya menyajikan tayang ulang kisah Jaka Tarub dan Nawang Wulan versi Reski. Tapi sebenarnya bukan itu yang terjadi. Bidadari di sini hanyalah ungkapan, seseorang yang dianggapnya bidadari yang telah pergi meningalkannya. Atau setidaknya dia mengungkapkan kisah cinta yang tak jauh beda dengan cerita tsb. Bisa jadi ini adalah kisah diriya sendiri atau bisa juga orang lain.
Mengingat bahwa puisi itu ambiguitas yang maknanya bisa melebar ke mana-mana, maka puisi ini juga bisa dimaknai berlapis-lapis. Boleh jadi ini ungkapan perasaan bahwa sesuatu yang tadinya ditemukan secara tak terduga, sebuah harapan baru yang datang tiba-tiba, Harapan barus tsb boleh jadi seseorang yang sangat dicintainya kini telah pergi. Bisa juga rekan dalam dunia bisnis yang kini juga telah pergi bergabung ke kelompok basinis lain. Atau harapan pada seseorang caleg atau calon kepala daerah yang telah menjanjikan perubahan ke arah yang lebih baik, ternyata kini ia telah melupakan janji-janjinya. Dia kembali berbuat sama, atau bahkan lebih gila dari sosok yang terdahulu.
Kini harapan itu telah hilang menyisakan sebuah kedukaan, penderitaan yang teramat dalam, bahkan nyaris keputus asaan. Seperti juga halnya Jaka Tarub yang secara tak sengaja menemukan sekumpulan bidadari yang tengah mandi dan bermain-main di telaga air terjun. Kemudian kawin dengan salah serang bidadari itu, hingga melahirkan seorang bayi yang mungil. Tapi akhirnya mereka berpisah menyisakan penderitaan rindu yang mendalam.

***
[2]

KABAR

Puisi: Wahyu Agustiono Catur Sasono

sudah sampai manakah kisah gigil kita
dikabarkan kenyataan..?
batu-batu dikikis alir air sungai waktu
bisu tak berjawab
kita hanyut
dimuarakan pada musim kering

lantas rindu kita meranggas
luruh
berguguran
lenyap diterpa
kesiur cemburu
yang egois

Jember, Minggu, 9 Mei 2010

***

Tipografi puisi ‘Kabar” karya Wahyu Agustiono Catur Sasono [Wahyu] ini terdiri dari 2 bait, masing-masing terdiri atas 6 baris larik. Dalam puisi ini nampaknya Wahyu sama sekali tidak terpengaruh dengan adanya kekuatan rima. Wahyu hanya fokus pada diksi atau pemilihan kata. Kata-kata yang dipilihnya juga sebagian besar kata-kata yang biasa digunakan sehari-hari. Meski demikian, kata-kata sehari-hari ini ditangan Wahyu mampu menjadi kata-kata bersayap, menjadi ungkapan-ungkapan yang harus dimaknai secara konotatif. Lihatlah di baris [1] ada kata [gigil] maksudnya menggigil, di baris [3] ada [batu-batu] dan frase [sungai waktu], dibaris [4] ada klausa [bisu tak berjawab], di baris [5] ada kata [hanyut], dan di baris [6] ada kata [dimuarakan] varian dari klausa [dibawa ke muara]. Selanjutnya di baris [7] ada kataa [meranggas], di baris [8] ada kata [luruh], di baris [9] ada kata [bergururan], di baris [10] ada kata [lenyap] dan kata [diterpa], di baris [11] ada kata [kesiur] varian dari kata [kesimpang-siuran], atau bisa juga [kesiur cemburu] maksudnya terhembus cemburu. Cemburu disini bisa bermakna kecemburuan sosial.

Selain rima. Wahyu juga tidak terpengaruh dengan kekuatan ritme atau irama dalam puisinya ini. Hal ini dapat dilihat pada puisi ini tidak ada sama sekali pengulangan kata, frase, klausa, apalagi pengulangan baris secara utuh. Padahal rima dan ritme adalah dua diantara unsur intrinsik yang mampu meningkatkan rasa keindahan dan nilai puitis sebuah puisi. Walaupun demikian, bukan berarti puisi ini menjadi kering, hambar, tidak puitis. Karena Wahyu sudah berhasil merakit kata-kata biasa tsb menjadi kata-kata yang luar biasa, menjadi ungkapan yang memukau, dan harus dimaknai secara khusus.
Meskipun demikian, di dalam puisi ini aku merasa ada rima terselubung dalam satu baris. Apakah itu asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vocal [a,i,u,e,o] dan bunyi sengau [m,n,ny,ng]. Apakah itu rima atau majas aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan. Pengulangan bunyi tsb. membentuk ritme atau irama yang mampu meningkatkan puisi ini menjadi lebih indah dan lebih berasa.

Pada bait [1] di baris [1] ada aliterasi dan sekaligus majas Sigmatisme yang ditandai dengan pengulangan bunyi [s] dalam larik: “sudah sampai manakah kisah gigil kita”,pada kata [sudah] dan [sampai]. Di baris [1] dan [2] juga ada aliterasi dalam larik “dikabarkan kenyataan…?” yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [k] pada kata [manakah], [kisah], [kita], [dikabarkan] dan kata [kenyataan]. Berikutnya di baris [3] juga ada aliterasi konsonan [b] dalam larik: “batu-batu dikikis alir air sungai waktu” yang ditandai dengan pengulangan bunyi [batu-batu]. konsonan [b] pada kata [batu]. Dan di baris [4] pada kata [bisu] dan kata [berjawab]. Di baris [5] ada aliterasi konsonan [t] pada kata [kita] dan kata [hanyut]. Terakhir di baris [6] ada asonansi bunyi sengau [m, n, ng] pada kata [dimuarakan], [musim] dan kata [kering].
Pada bait [2] di baris [7] ada aliterasi konsonan [t] pada kata [lantas] dan [kita], ada aliterasi konsonan [s] pada [lantas] dan [meranggas]. Di baris [8] dan [9] ada asonanasi vocal [u] pada kata [luruh] dan [berguguran]. Kemudian pada baris [9], [10] dan [11] ada asonansi vocal [e] pada kata [berguguran], lenyap], [diterpa], [kesiur], dan [cemburu]. Pada baris-bars ini juga ada aliterasi konsonan [r] pada kata [berguguran], [diterpa], [kesiur] dan [cemburu].

***
Bait [1] ini diperkuat dengan imaji taktil, pembaca turut merasa dingin menggigil. Ada juga imaji visual. Pembaca larut seakan bebar-benar melihat batu-batu yang dikikis aliran air sungai. Sebuah imaji yang begitu dahsyat: pembaca membayangkan batu-batu kali yang keras itu hanyut di bawa ke muara. Kata [musim kering] bermakna musim kemarau, membuat pembaca membayangkan pemandangan tanah kering kerontang, air sungai surut, debu-debu beterbangan, sampai kabut asap pembakaran hutan yang mneyesakkan dada. Di bait [1] ini juga ada imaji auditif, pembaca seakan mendengar berita yang bisu tak berjawab.
Bait [2] ini juga diperkuat dengan imaji visual yang abstrak. Ada penggambaran rindu, yang dirasakan pembaca secara abstrak. Pembaca dalam imajinansinya merasa melihat rindu yang meranggas, karena udara panas dan musim kering itu, rindu pun luruh, lalu bergguran, lalu lenyap diterpa hembusan angin cemburu yang berlebihan. Sungguh, ini adalah gambaran imaji abstrak yang begitu dahsyat, yang membuat puisi ini semakin berasa untuk dinikmati.

***
Puisi Wahyu ini berjudul ”Kabar”. Membaca judul puisi ini dapat dipastikan bahwa ada sesuatu yang mengusik pikirannya berkaitan dengan berita yang diberitakan akhir-akhir ini. Sehingga Wahyu menganggap penting mengungkapkannya dalam sebuah puisi.
Puisi ini dibuka dengan majas Erotesis yang ditandai dengan tanda tanya [?] di akhir baris [2]. Secara lengkap larik pembuka tsb tertulis di baris [1] dan [2] “sudah sampai manakah kisah gigil kita dikabarkan kenyataan …?” Dalam larik ini ada frase [kisah gigil]. Kata [gigil] ini mengingatkan kita dengan rasa dingin sekujur tubuh ketika demam, atau ketika kecebur di sungai yang airnya begitu dingin, atau ketika kehujanan. Kisah gigil yang dikabarkan inilah kenyataan yang mengganggu pikiran penulis dalam puisi ini.
Di baris [3] ada larik: “batu-batu dikikis alir air sungai waktu”. Di sini diberitakan ada sungai waktu yang mengalir mengikis batu-batu. Bayangkan batu-batu kali yang keras itupun kini telah terkikis. Larik ini mengungkapkan bahwa sesuatu yang dulunya keras, kuat memegang prinsip, kokoh pada pendirian, tegap tak tergoyahkan berani menentang arus. Kini telah terkikis oleh alir sungai waktu. Ini bermakna sesuai dengan situasi dan kondisi zaman beredar, waktu pun berganti. Yang dulu “begitu kuat”, kini sudah “ikut jadi begini.” Dalam keadaan sudah tak berkutik, sebagaimana tertulis di baris [4] pada larik” bisu tak berjawab”. Baris ini dapat dimaknai bahwa kini hanya bisa membisu , tak bisa menjawab. Kenapa? Jawabnya ialah seperti pengakuannya di baris [5] dalam lariknya: “kita hanyut”. Itulah yang mengganggu pikiran Wahyu. Hal ini digambarkannya dalam baris [6] pada larik: “dimuarakan pada musim kering”. Musim kering bisa berarti musim serba susah. Susah mencari uang, susah mendapatkan pekerjaan yang layak, susah mendapatkan posisi yang tepat, susah mencari panutan, susah mencari pemimpin yang amanah.
Berikutnya di bait [2] dapat kita cermati bahwa: bait [2] ini nampaknya adalah akibat dari bait [1]. Lihtlah di baris [7] ada larik: “lantas rindu kita meranggas”, baris [8] ada kata [luruh], baris [9] ada kata [berguguran], baris [10] ada klausa [lenyap diterpa], baris [11] ada klausa [kesiur cemburu] dan akhirnya di baris [12] ada klausa [yang egois].

Karena semua sudah hanyut terbawa arus ke muara, maka beliau-beliau yang biasa jadi panutan sudah tidak bisa diikuti lagi. Beliau-beliau itu sudah melenceng dari berpendirian awal, sudah mulai menjual prinsip. Hidupnya pun juga dikendalikan oleh pihak lain. Semua jadi membisu tak bisa bebuat apa-apa. Kenapa? Karena sudah hanyut ke muara. Akibatnya rindu pun kian meranggas, semua harapan jadi luruh berguguran, semua harapan telah lenyap diterpa kesimpang siuran cemburu yang egois. Saling curiga mencurigai antara sesama teman seiring. Ke arah mana mereka hanyut? Ke kelompok mana mereka bergabung? Bagaimana mungkin mereka bisa tergoda dengan rayuan sesaat? Semuanya sudah tidak berarti lagi, walau tetap bersikukuh bertahan dengan egonya masing-masing. Tapi inilah kenyataan. Inilah kabar yang ingin diketahui. inilah kabar yang merisaukan itu.

***
[3]

Topeng sang penyair

Jack Slawi
Aku
bisa juga aku kamu atau dia
baik buruk jahat pendusta
itu aku

aku
didampingi dunia semu
kemunafikan palsu
aku itu munafik
dengan kata aku sihir jadi baik
dan aku itu munafik
dengan sajak aku buat jadi menarik
jadi jangan percaya kalau aku apik.

Jakarta,31 mei '10

Pada awalnya puisi karya Jack Slawi [Jack] yang berjudul ”Topeng sang penyair” ini nampak biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa, kata-kata yang digunakannya juga kata-kata biasa. Tetapi begitu aku baca, aku cermati, aku hayati, aku merasa ada greget pada puisi ini. Membuatku penasaran dan membuatku lebih tertarik untuk mencermatinya lebih dalam lagi.
Dimulai dengan mencermati tipografi atau tata wajah puisi. Tipografi puisi Jack ini terdiri atas 2 bait. Meskipun hanya 2 bait, tetapi kedua bait itu begitu variatif. Bait [1] terdiri atas 4 baris larik dan bait [2] terdiri atas [8] baris larik. Larik-lariknya pun bervariasi. Ada yang hanya terdiri atas 1 kata, yaitu larik [1] dan larik [5], yang terdiri dari 2 kata yaitu larik [4] dan larik [7], yang juga terdiri dari 3 kata yaitu larik [6] dan larik [8], yang terdiri dari 4 kata yaitu larik [3] dan larik [10], dan ada juga yang terdiri dari 6 kata yaitu larik 2[], larik [9], larik [11], dan larik [12].
Selain itu puisi Jack ini dibangun dengan rima atau persajakan yang tertata rapi. Ini dapat dilihat di baris [1] ada kata [aku] yang bersajak mutlak dengan kata [aku] di baris [4]. Di baris [2] ada kata [dia] yang membentuk rima tidak sempurna dengan kata [pendusta] di baris [3]. Selanjutnya juga ada rima tak sempurna di bait [2] di baris [5], baris [6], dan di baris [7] yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] pada kata [aku], [semu] dan [palsu]. Di akhir baris [8] ada kata [munafik], baris [9] ada kata [baik], baris [10] kembali ada kata [munafik], di baris [11] ada kata [menarik], dan terakhir di akhir baris [12] ada kata [apik]. Semua kata tsb membentuk rima yang sama-sama diakhiri dengan bunyi [ik]. Dengan demikian di bait [1] ada rima peluk di akhir baris dengan pola persajakan [a,b,b,a], dan di bait [2] ada rima akhir dengan pola persajakan [a,a,a,b,b,b,b,b]
Puisi Jack ini juga dibangun dengan ritme yang juga tertata rapi, yang ditandai dengan adanya pengulangan kata [aku] hampir di semua baris kecuali baris [3], [6] dan [7]. Selain itu ada juga pengulangan larik [aku itu munafik] di baris [8] dan di baris [10]. Selain itu di baris [9] dan baris [11] ada larik: ”dengan kata aku sihir jadi baik”, ”dengan sajak aku buat jadi menarik”. Dengan adanya pengulangan kata [dengan], [aku] dan [jadi] bagi aku kedua larik tsb membentuk irama yang indah dan menarik. Demikian pula dengan klausa [aku sihir jadi baik] dan klausa [aku buat jadi menarik], kedua klausa itu juga turut memperkuat irama pada larik ini.
Selain dibangun dengan rima dan ritme yang tertata rapi, pusi ini juga dperkuat dengan majas Antitesis pada bait [1] baris [3] yang ditandai dengan kata [buruk baik] pada larik: ”buruk baik jahat pendusta”. Pada larik ini juga sekaligus ada majas Paralelisme yang ditanda dengan kata [buruk], [jahat] dan [pendusta]. Selain itu pada baik [2] di baris [8] dan baris [9] ada majas Metapora pada larik ”aku itu munafik” Klausa aslinya adalah: aku ini seperti orang munafik”, atau ”aku ini bagaikan sudah kadi otang munafik”
Membaca judulnya ”Topeng sang penyair” Kata [topeng] mengingatkan kita pada wajah yang ada dibalik topeng itu. Topeng adalah sesuatu alat untuk melindung wajah yang sebenarnya. Lalu apa hubungannya dengan sang penyair? Untuk menjawabnya kita memerlukan pemahaman ekstra.
Dalam puisi ini sepintas lalu nampaknya Jack menyatakan bahwa penyair itu termasuk dalam kelompok orang-orang yang bisa baik, bisa buruk, bisa jahat, dan bisa juga jadi pendusta. Ini jelas tertulis pada bait [1] di baris [3] Lebih banyak negatifnya [buruk, jahat, pendusta] dari pada positifnya [baik]. Tidak itu saja, malah Jack juga menyatakan bahwa penyair itu: ”didampingi dunia semu”, ”munafik”. Karena dengan kata penyair bisa menyihir yang buruk, jahat, dan pendusta bisa menjadi baik. Dengan sajak dia juga membuat jadi menarik. Karena penyair itu munafik. Jadi jangan percaya kalau penyair itu apik.
Jika hanya berpegang pada untaian yang tersurat dalam puisi ini, maka kesimpulannya adalah bahwa penyair itu adalah pribadi munafik. Buruk benar citra seorang penyair itu dimata Jack Slawi. Tapi kita yakin TENTU BUKAN ITU maksud Jack Slawi yang sebenarnya. Bukankah motif dasar penulisan sebuah puisi adalah mengungkapkan perasaan? Perasaan senang atau tidak senang, memuja atau membenci, jeritan, sindiran atau perasaan apa saja. Semua perasaan itu tumpah ruah dalam sebuah puisi. Dengan kata lain Jack Slawi mengungkapkan perasaannya melalui puisi ini dengan cara yang tidak biasa. Jack melampiaskan dengan penuh kekesalan. Karena hanya orang yang sangat kesal yang menggunakan kata [itu aku]. “Ya, itu aku, akulah yang melakukannya. Mau apa lagi? puas!” Padahal perbuatan itu yang sama sekali tidak pernah dilakukannya. Untuk itu kita juga harus mencermati makna yang tersirat dibalik yang tersurat. Mengingat bahwa puisi itu bersifat ambiguitas yang maknanya bisa melebar ke mana-mana, maka puisi ini juga bisa dimaknai berlapis-lapis.
Pada lapis pertama puisi ini mengungkapkan bahwa penyair juga manusia. Sebagai manusia maka penyair itu juga bisa baik, bisa juga buruk, jahat dan pendusta. Tapi pasti bukan itu maksudnya. Pada lapis ke dua puisi ini adalah puisi satire yang berisi sindiran halus tapi tajam, berisi kritik yang pedas kepada seseorang atau sekelompok orang. Yang dengan rangkaian kata-kata, bagaikan penyair dengan kata-kata puitisnya telah berhasil menipunya.
Pada skala kecil orang tsb bisa jadi kekasihnya, atau teman dekatnya sendiri, atau kerabat dekat handai taulan, atau mungkin juga orang lain. Dan pada skala yang lebih luas, orang itu bisa saja sekelompok calon legislatif, calon eksekutif yang mengobral janji pada waktu berkampanye. Pada saat berorasi bagaikan seorang penyair menggunakan bahasa puitis indah dan mempesona. Dengan kata ia bisa menyihir yang jahat jadi baik. Dengan sajak ia bisa membuat yang buruk jadi menarik. Bagaikan tukang sihir Dia mampu mempengaruhi, menggugah dan membakar semangat pendengarnya. Akhirnya puisi ini ditutup dengan amanat atau pesan agar jangan percaya bahwa orang-orang yang bagaikan penyair itu benar-benar baik. Karena seperti biasanya, setelah tercapai apa yang diinginkannya mereka mulai lupa janji-janjinya. Ya, begitulah kira-kira,-

Banjarmasin, 25 Juni 2010

Tidak ada komentar: