Senin, 11 Oktober 2010

Menikmati Puisi Dunia Maya. Bagian 7



Oleh : Hamberan Syahbana

Puisi adalah karya sastra yang tersulit dipahami pembacanya, dibanding dengan cerpen atau novel. Karena informasi yang disajikan dalam sebuah puisi tidak selengkap yang ada pada cerpen dan novel. Untain larik-lariknya juga lebih banyak menyajikan bahasa-bahasa ungkapan yang masih memerlukan penafsiran khusus. Rangkaian kata-kata yang tersaji pada umumnya bersifat ambiguitas yakni mengandung banyak makna. Dan penafsirannya juga bisa melebar ke mana-mana.
Puisi ditulis oleh pengarangnya bukan hanya sekedar untuk mengungkapkan pikiran dan persaannya saja, tetapi juga untuk memberikan rasa suka bagi pembacanya. Rasa suka adalah tahapan awal yang mengantarkan pembaca kepada pesan moral yang ingin disampaikan penulisnya. Karena apabila pembaca tidak mendapatkan rasa suka maka puisi itu tidak akan dibaca lagi.
Untuk memberikan rasa suka tsb penulis menggunakan bermacam cara. Diantaranya dengan menggunakan diksi atau pemilihan kata yang dianggap tepat. Kata-kata yang indah, menawan, mempesona dan memukau. Kata yang digunakan sangat menentukan nada dan suasana dalam sebuah puisi. Kata-kata yang bernada duka akan menimbulkan suasana iba. Kata-kata yang bernada kritik akan menimbulkan suasana pemberontakan. Kata-kata yang bernada syahdu akan menimbulkan suasana rindu.
Selanjutnya penulis puisi juga menggunakan gambaran-gambaran pengalaman yang biasa disebut citraan, atau imaji. Baik citraan realis maupun citraan surialis. Baik gambaran pengalaman secara visual [imaji visual] yang dapat dirasakan pembaca seakan benar-benar melihat apa yang digamabarkan penulisnya. Atau gambaran pengalaman secara auditif [imaji auditif] yang dapat dirasakan pembaca seolah-olah benar-benar mendengar suara dan kata-kata yang disajikan. Atau gambaran pengalaman rasa cecap [imaji taktil] yang dapat dirasakan pembacanya seakan benar-benar merasakan panasnya sesuatu, atau dingin dan sejuk, asam, asin dan sebagainya. Kadang-kadang penulisnya juga memasuki ranah yang lain, seperti: historis, ekonomi, politik, sosial budaya, religi dll. Bahkan penulis pengunjuk rasa masuk pada ranah politik yang menciptakan puisi orasi jalanan yang penuh dengan penggugah semanmgat bercampur hujat dan sumpah serapah.
Selanjutnya, penulis juga menggunakan ungkapan-ungkapan dengan perumpamaan, perbandingan, penegasan, bahkan ungkapan sindiran dan pertentangan. Ungkapan-ungkapan tersebut biasanya disebut majas atau gaya bahasa.
Untuk membuat puisi lebih indah, lebih enak dibaca, menggugah pendengarnya bila dibaca, penulisnya juga mengeksploitasi kata demi kata dengan membentuk pengulangan bunyi di ujung-ujung baris lariknya dalam sebuah bait. Bisa juga di awal kalimat bahkan di tengah kalimat. Hal ini biasanya disebut rima atau pola persajakan. Bukan itu saja bahkan pengulangan itu terdapat di seluruh tubuh puisi tsb. Baik pengulangan bunyi vocal, bunyi sengau, bunyi konsonan, kata, frase, klausa, pengulangan kalimat, bahkan pengulangan baitnya secara utuh. Hal ini biasanya disebut irama atau ritme. Dengan demikan, maka puisi itu semakin meresap ketika dibaca, dihayati, direnungkan dan tentunya untuk dapat dinikmati.
***
Catatan Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 7 ini juga sama dengan catatan-catatan terdahulu. Yakni masih mengulas dan membahas kajian dasar apresiasi puisi. Dan bukan bermaksud menggurui atau mengkritisi, tetapi lebih pada berbagi pengalaman untuk mendapatkan rasa suka dan sekaligus dapat menikmati puisi dunia maya. Sehingga tulisan ini berupaya mengulas secara mendasar untuk dapat mengungkapkan sejauh mana puisi tsb dapat dinikmati.
Adapun puisi yang akan kita bicarakan ada 4 buah puisi, yaitu:
1. SLIP puisi Arther Panther Olii dari kota Gorontalo Provinsi Sulawesi Utara
2. Kesaksian ruang batinku puisi Aulia Firdaus dari Kota Samarinda Provinsi Kalimantan Timur
3. Doa puisi Rain Queen dari kota Banda Aceh Provinsi Nangroe Aceh Darussalam
4. Bila Engkau Meminta puisi Faradina Izdhihary dari kota Blitar Propinsi Jawa Tengah
[1]
SLIP
Puisi Arther Panther Olii

mana lembaran cinta yang pernah kau simpan itu ?
tunjukkan padaku sebagai bukti
bahwa memang CINTA pernah berpelangi di jejak hidup kita

hei, mengapa lembaran ini kosong ?
mana nuansa warna itu ?
segaris lengkung pun tiada menikung
lembaran ini putih
lembaran ini sunyi
lembaran ini letih
lembaran ini seharusnya bernyanyi

ya, bernyanyi lantunkan sunyi
yang putih yang letih
yang jujur suarakan
bahwa ternyata CINTA di antara kita ;
tak lebih dari sekedar JANJI

Gorontalo, 22062010.


Tipografi puisi SLIP karya Arther Panther Olii dari Gorontalo ini terdiri dari 4 bait. Bait [1] terdiri dari 3 larik, bait [2] terdiri dari 7 larik, bait [3] terdiri dari 5 larik, dan bait [4] hanya terdiri dari 1 larik. Jadi semuanya berjumlah 16 larik.
Puisi SLIP ini dibangun dengan diksi atau kata-kata biasa sehari-hari, tapi bukan berarti puisinya juga menjadi puisi yang hambar. Kata-kata biasa tsb tampil menjelma menjadi larik-larik yang bernuansa cinta. Sebagaimana kita ketahui bahwa kisah cinta adalah kisah abadi sepanjang masa yang selalu menarik untuk dihayati. Karena cinta bukan hanya milik ABG, tetapi cinta sudah menjadi milik semua orang. Dari lapisan paling bawah sampai lapisan elite. Dari cinta monyet sampai cinta kakek-kakek dan nenek-nenek.
Kali ini Arther Panther Olii membuat kata-kata tsb membentuk konteks yang menimbulkan kesan kekesalan dan kekecewaan dalam dunia cinta. Diantaranya di sana ada kata: [lembaran cinta] di larik [1], kata [berpelangi] di larik [3], kata [nuansa] di larik [5], [garis lengkung] dan [menikung] di larik [6]. Berikutnya ada klausa [lantunkan sunyi] di larik [11], [ yang putih] dan [ yang letih] di larik [12], [yang jujur] dan [suarakan] di larik [13]. Akhirnya sampai pada titik kulminasinya bahwa CINTA diantara kita tak lebih dari sekedar JANJI.
Dalam puisi ini Arther telah membangunnya dengan dengan rima yang unik . Meski di bait [1] tak terlihat adanya rima tsb. Tetapi lihatlah di bait [2] terdapat rima yang unik.
larik [4] - hei, mengapa lembaran ini kosong ?
larik [5] - mana nuansa warna itu ?
larik [6] - segaris lengkung pun tiada menikung
larik [7] - lembaran ini putih
larik [8] - lembaran ini sunyi larik
larik [9] - lembaran ini letih larik
larik [10]- lembaran ini seharusnya bernyanyi
Di akhir larik [4] ada rima tak sempurna pada kata [kosong] yang bersajak dengan kata [menikung] di larik [6] yang ditandai dengan pengulangan bunyi sengau [ng]. Selanjutnya di larik [7] kata [putih] bersajak dengan kata [letih] dilarik [9] yang ditandai dengan pengulangan bunyi [tih]. Dan kata [sunyi] di larik [8] bersajak dengan kata [bernyanyi] di larik [10] yang ditandai degan pengulangan bunyi [nyi]. Rima tsb membentuk pola persajakan [a,b,a,c,d,c,d]. Di samping itu ada juga rima sempurna di awal larik [7,8,9,10] yaitu pada frase yang sama [lembaran ini]
Demikian juga di bait [3] berikut:
larik [11] - ya, bernyanyi lantunkan sunyi
larik [12] - yang putih yang letih
larik [13] - yang jujur suarakan
larik [14] - bahwa ternyata CINTA
larik [15] - di antara kita ;
larik [16] – tak lebih dari sekedar JANJI

Pada larik-larik di atas ada rima tak sempurna pada kata [sunyi] di larik [11] yang bersajak dengan kata [letih] di larik [12] dan kata [JANJI] di larik [16]. Berikutnya ada kata [CINTA] di larik [14] yang bersajak dengan kata [kita] di larik [15]. Pengulangan bunyi tsb membentuk pola persajakan [a,a,b,c,c,a].
Puisi SLIP ini juga dibangun dengan ritme atau irama yang mempesona. Hal ini ditandai dengan adanya pengulangan bunyi pada kata [cinta] di larik [1], larik [3] dan di larik [14]. Berikutnya ada pengulangan kata [lembaran] pada frase [lembaran cinta] di larik [1], pada klausa [lembaran ini putih] di larik [7], klausa [lembaran ini sunyi] di larik [8], klausa [lembaran ini letih] di larik [9], dan pada larik [lembaran ini seharusnya bernyanyi]. Ada juga pengulangan kata [yang] pada [yang putih] dan [yang letih] di larik [12], dan [yang jujur] di arik [13]. Pengulangan kata [sunyi] di larik [8] dan di larik [11]. Pengulangan kata [bernyanyi] di larik [10] dan di larik [11]. Pengulangan kata [kita] di larik [3], dan di larik [15]. Yang kesemuanya itu membentuk alunan irama yang enak di dengar ketika puisi ini dibacakan.
Puisi ini juga dibangun dengan majas erotesis di larik [1] pada untaian larik mana lembaran cinta yang pernah kau simpan itu?. Di larik [4] pada untaian hei, mengapa lembaran ini kosong? dan di larik [5] pada untaian mana nuansa warna itu?.
Berikutnya pada puisi ini juga ada majas personifikasi pada untaian: lembaran ini seharusnya bernyanyi di larik [10]. Di larik [11] ada: ya, bernyanyi lantunkan sunyi. Puisi ini juga diperkuat dengan majas anaphora yang ditandai dengan pengulangan kata pertama pada setiap awal larik. Lihatlah pada larik [7,8,9,10] lembaran ini putih/lembaran ini sunyi/lembaran ini letih/lembaran ini seharusnya bernyanyi. Demikian ada larik [12] dan [13]: yang putih yang letih/yang jujur suarakan.
Untaian-untaian larik dalam puisi ini membentuk majas perifrase berupa ungkapan panjang, sekaligus membentuk majas enumerasio yang mengungkapkan bagian-bagian dari maksud keseluruhan. Mari kita nikmati bersama kedua majas tsb.
mana lembaran cinta yang pernah kau simpan itu?/ tunjukkan padaku sebagai bukti bahwa memang/ CINTA pernah berpelangi di jejak hidup kita// hei, mengapa lembaran ini kosong ?/ mana nuansa warna itu?/ segaris lengkung pun tiada menikung/ lembaran ini putih/ lembaran ini sunyi/ lembaran ini letih/ lembaran ini seharusnya bernyanyi// ya, bernyanyi lantunkan sunyi/ yang putih yang letih/ yang jujur suarakan/ bahwa ternyata CINTA/ di antara kita;// tak lebih dari sekedar JANJI
Puisi Arther Panther Olii ini berjudul SLIP. Sebuah judul yang pendek, mudah diingat, memancing rasa ingin tahu pembaca, dan semuanya menggunakan huruf kapital. Padahal menurut EYD penggunaan huruf kapital pada sebuah judul, hanya digunakan pada hurup pertama di setiap kata dalam rangkaian judul. Tentulah Arther Panther Olii menulis SLIP dengan hurup kapital tsb bukan tanpa maksud.
Membaca kata SLIP, yang pertama teringat adalah telah terjadi suatu kesalahan. Bisa bermaksud slip of the tongue untuk padanan kata keseleo lidah atau salah ucap. Atau telah terjadi kecelakaan kereta api karena slip dari jalur rel. Atau seseorang yang terjatuh ketika meniti sebatang titian yang licin. Tetapi, tentu bukan itu maksudnya.
Untuk memahami maksudnya, kita harus mencermati kata yang juga menggunakan huruf kapital dalam puisi ini. Yaitu kata [CINTA] di larik [3] dan di larik [14] dan kata [JANJI] di larik [16]. Rasanya ada keterkaitan yang sangat erat antara [SLIP], [CINTA] dan [JANJI]. Kata-kata tsb menjadi lebih jelas lagi jika kita membaca larik [14], [15] dan [larik [16]: bahwa ternyata CINTA di antara kita; tak lebih dari sekedar JANJI. Ini artinya apa? Kalau klausa [sekedar janji] di kaitkan dengan judul [SLIP], maka jelas puisi ini adalah ungkapan kekecewaan Arther terhadap seseorang yang telah berjanji. Dan ternyata janji itu tak pernah dipenuhi. Atau dengan kata lain hanya janji palsu yang tak ada buktinya.
Membaca sepintas, puisi ini nampaknya hanyalah ungkapan kekecewaan cinta. Tetapi jika mengingat bahwa puisi adalah ungkapan perasaan penulis, atau lebih jelasnya puisi adalah sarana untuk menyampaikan pesan moral kepada khalayak. Baik pesan secara terang benderang, maupun pesan secara terselubung, baik yang tersurat maupun yang tersirat, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Dan melihat kata [JANJI] yang ditulis dengan hurtup kapital. Berarti ada janji yang sangat mengganjal di hati Arther. Sedangkan kata [CINTA] yang juga ditulis dengan hurup capital barangkali hanya pengecoh saja. Yang jelas penulisan judul [SLIP] menunjukan ada kekecewaan terhadap janji yang sudah diucapkan.
Pada skala kecil, ini bisa berarti janji palsu dari kekasihnya, atau dari keluarga kerabat dekat handai taulannya. Tetapi pada sekala yang lebih luas itu bisa berarti janji palsu rekan sejawat dalam karier, atau dalam dunia usaha. Atau bisda janji seorang caleg ketika berkampanye, bisa juga janji palsu seorang calon kepala daerah ketika kampanye . Setelah jadi, lalu lupa. Atau janji tinggal janji yang tak pernah ada bukti.
Dalam puisi ini Arther secara tersirat ingin mengungkapkan bahwa janganlah terlalu percaya dengan janji yang diikrarkan kepada kita. Oleh siapa pun. Yang penting janmganah terlalu beharap sebelum ada bukti.
[2]

Kesaksian ruang batinku
Puisi Aulia Firdaus

(malam kesekian aku menghabiskan rindu)
Sejurnya…
Masih kudengar gaung genta cinta Gemerincing memenuhi ruang jiwaku
Maka mewujutlah

Biar kuronce kembali remah remah angan lampau
Kubungkus air mata di telapak tanganku
Karena aku tak lagi mampu
Menyimpan luber kenang
Tentang penipuan batin
Dan ilalang tak berkembang
Yang tumbuh subur di belakang rumah

Kubiarkan kau serupa hantu
Terus menguntit perjalanan senjaku
dan kau saksikan ketika mawar yang kau sematkan di jambangan
Luruh satu persatu kelopaknya
Ketika hembusan angin semilirpun
Serupa Badai di sisa pertahanannya


Samarinda, 270610

Puisi Kesaksian ruang batinku karya Aulia Firdaus ini tampil dengan tipografi atau tata wajah yang sedikit unik. Puisi ini terdiri dari 19 larik. Dimana larik [1], larik [2] dan larik [5] masing-masing terdiri atas 1 larik saja. Berikutnya ada larik [3] dan larik [4] membentuk bait yang terdiri dari 2 larik. Selanjutnya dari larik [6] sampai dengan larik [12] membentuk bait yang terdiri diri dari 7 larik. Demikian pula dengan larik berikutnya, larik [13] sampai dengan larik [19] membentuk bait yang terdiri dari 7 larik. Sedangkan Larik [1] sampai dengan larik [5] bisa dikatakan sebagai larik-larik pembuka.
Puisi Auia Fidaus ini dibangun dengan diksi atau pemilihan kata yang bernuansa rindu dan kenangan yang menimbulkan kesan kesesalan dan kekecewaan. Lihatlah: di larik [1], [3], [4] dan [5] ada [menghabiskan rindu, [gaung], dan frase [genta cinta], [gemerincing], [ruang jiwa], dan [mewujudlah].
Berikutnya di larik [6] sampai dengan larik [12] ada: [kuronce], [remah-remah], [angan lampau], [luber kenang], [penipuan batin], [ilalang tak berkembang]. Selanjutnya di larik [13] sampai dengan larik [19] ada: [serupa hantu], [menguntit], [perjalanan senja], [mawar kau sematkan], [jambangan], [hembusan angin], [semilir], [serupa], [Badai], dan [sisa pertahanan].
Puisi Aulia Fidaus ini dibangun dengan rima yang tertata rapi. Meskipun di awal-awal terdapat untai larik yang terpisah, sendiri-sendiri. Sekedar untuk melihat rima kita bisa berandai-andai. Yaitu seandainya saja larik [1] sampai dengan larik [5] dijadikan 1 bait saja. Sebagai berikut:
larik [1] – (malam kesekian aku menghabiskan rindu ]
larik [2] - Sejujurnya,,,
larik [3] - Masih kudengar gaung genta cinta
larik [4] - Gemerincing memenuhi ruang jiwaku
larik [5] - Maka mewujutlah

Pada larik-larik di atas kita menemukan kata [rindu] di larik [1] bersajak dengan kata [jiwaku] di larik [4] yang ditandai dengan pengulangan bunyi vocal [u]. Berikutnya ada rima tidak sempurna pada kata [sejujurnya] di larik [2] bersajak dengan kata [cinta] di larik [3] yang ditandai dengan pengulangan bunyi vocal [a]. Demikian pada larik-larik tsb mmbentuk pola persajakan [a.b.b.a,c]
Berikutnya kita cermati pula larik [6] sampai dengan larik [12] berikut:

larik [6] - Biar kuronce kembali remah remah angan lampau
larik [7] - Kubungkus air mata di telapak tanganku
larik [8] - Karena aku tak lagi mampu
larik [9] - Menyimpan luber kenang
larik [10] -Tentang penipuan batin
larik [11] -Dan ilalang tak berkembang
larik [12] -Yang tumbuh subur di belakang rumah
Pada larik-larik di atas kita menemukan rima yang kurang sempurna pada kata [lampau] di larik [6] yang bersajak dengan kata [tanganku] di larik [7] dan kata [mampu] di larik [8]. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi vocal /vocal rangkap [u/au]. Kata [kenang] di larik [9] bersajak dngan kata [berkembang] di larik [11] yang ditandai dengan pengulanga bunyi sengau [ng]. Dengan demikian pada bait ini membentuk pola persajakan [a,a,a,b,c,b,d].
Selanjutnya kita cermati larik [13] sampai dengan larik [19] berikut ini:
larik [13] - Kubiarkan kau serupa hantu l
arik [14] -Terus menguntit perjalanan senjaku
larik [15] -dan kau saksikan
larik [16] -ketika mawar yang kau sematkan di jambangan
larik [17] -Luruh satu persatu kelopaknya
larik [18] -Ketika hembusan angin semilirpun
larik [19] -Serupa Badai di sisa pertahanannya
Pada larik-larik di atas kita menemukan kata [hantu] di larik [13] bersajak dengan kata [senjaku] dilarik [14] yang ditandai dengan pengulangan bunyi vocal [u]. Kata [saksikan] di larik [15] bersajak dengan kata [jambangan] di larik [1] yang ditandai dngan pengulangan bunyi sengau [n] pada [kan] dan [ngan]. Selain itu ada kata [kelopaknya] di larik [17] bersajak dengan kata [pertahanannya] di larik [19]. Dengan demikian pada bait ini membentuk pola persajakan [a,a,b,b,c,d,c].
Puisi ini juga dibangun dengan ritme atau irama yang indah, yang ditandai dengan pengulangan-pengulangan [Aku] dan [ku]. Dilarik [1] dan larik [8] ada pengulangan kata [aku]. Berikutnya ada pengulangan bunyi [ku] pada kata [kudengar] di larik [3], kata [jiwaku] di larik [4], kata [kurone] di larik [6], kata [kubunhgkus] di larik [17], kata [kubiarkan] di larik [13], dan kata [senjaku] di larik [14].
Selanjutnya terasa ada irama yang memukau pada untaian [gaung genta cinta] di larik [3]. Demikian pula ada rasa irama yang mempesona pada untaian [kuronce kembali] dan [remah-remah] di larik [6]. Meski kita tidak melihat adanya pengulangan yang lain, tetapi jika kita membacanya dengan alunan nada intonasi yang benar, ternyata hampir seluruh untaian larik-lariknya bergema penuh dengan irama yang menarik.
Puisi Aulia Firdaus ini juga dibangun dan diperkuat dengan imaji visual, imaji auditif dan imaji taktil. Di larik [3] dan [4] ada imaji auditif. Kita seakan benar-benar mendengar bunyi genta cinta yang gaungnya bergema ke dalam sanubari. Berikutnya kita juga menemui imaji visual di larik [6] kita serasa seakan benar-benar melihat rangkaian kenangan yang indah di masa lampau. Tentunya ini bukan secara realis tetapi lebih pada visual secara surealis. Dan di larik [11] dan [12] kita seakan melihat ilalang yang tak berkembang, yang tumbuh subur di belakang rumah. Berikutnya di larik [16] dan [17] kita juga menemukan imaji visual. Kita seakan turut menyaksikan luruhnya bunga mawar di dalam jambangan, yang kelopaknya berluruhan satu demi satu. Dan akhirnya di larik [18] dan [19] ada imaji taktil. Kita turut merasakan hembusan semilir angin yang berubah menjadi badai yang menerjang sisa-sisa pertahanan terakhir kekuatan hatinya.
Puisi Aulia Firdaus ini juga dibangun dan diperkuat dengan majas hiperbola yang ditandai dengan untaian larik: (malam kesekian aku menghabiskan rindu) di larik [1]. Masih kudengar gaung genta cinta/ Gemerincing memenuhi ruamng jiwaku di larik [3] dan [4] Biar kuronce kembali remah remah angan lampau di larik [6] Kubungkus air mata di telapak tanganku di larik [7] dan Serupa Badai di sisa-sisa pertahanannya di larik [19].
Berikutnya puisi ini juga diperkaya dengan majas antropomorfisme yang ditandai dengan pembentuk dua kata yang membentuk pengertian baru yaitu: [genta cinta] di larik [3], [remah angan] di larik [6], [air mata] di larik [7], dan [perjalanan senja] di larik [14]. Dan berikutnya di larik [13] ada majas simile dalam untaian: Kubiarkan kau serupa hantu Demikian juga di larik [18] dan [19] Ketika hembusan angin semilirpun serupa Badai di sisa-sisa pertahannya.
Keseluruhan untaian-untaian larik dalam puisi ini membentuk majas perifrase berupa ungkapan panjang, sekaligus membentuk majas enumerasio yang mengungkapkan bagian-bagian dari maksud keseluruhan. Marilah kita nikmati bersama kedua majas tsb.
(malam kesekian aku menghabiskan rindu).
Sejujurnya masih kudengar gaung genta cinta gemerincing memenuhi ruang jiwaku. Maka mewujutlah. Biar kuronce kembali remah remah angan lampau. Kubungkus air mata di telapak tanganku. Karena aku tak lagi mampu menyimpan luber kenang tentang penipuan batin. Dan ilalang tak berkembang yang tumbuh subur di belakang rumah Kubiarkan kau serupa hantu. Terus menguntit perjalanan senjaku dan kau saksikan ketika mawar yang kau sematkan di jambangan Luruh satu persatu kelopaknya Ketika hembusan angin semilirpun serupa Badai di sisa pertahanannya.
Puisi Aulia Firdaus ini berjudul Kesaksian ruang batinku Kata [kesaksian] ini mengingatkan kita pada sebuah pengakuan. Dan jika dikaitkan dengan [ruang batinku] berarti ada sebuah pengakuan tentang sesuatu yang sedang bergejolak di dalam batin Aulia Firdaus. Apalagi jika dikaitkan dengan (malam kesekian aku menghabiskan rindu). Berarti itu sudah berlangsung berkali-kali. Kata [menghabiskan rindu] bisa bermakna menumpahkan seluruh perasaan rindu. Ada kenangan di masa lalu masih berkesan. Juga ada angan-angan di masa lalu yang tak terwujud, yang kini meninggalkan bekas tetesan air mata yang menjelma derita.
Telah terjadi penipuan yang meninggalkan bekas luka mendalam di dalam batin. Aulia Firdaus menggambarkannya seumpama ilalang yang tak berkembang tumbuh subur di belakang rumah. Tak ada gunanya. Meski subur tapi tak ada kembangnya. Tak ada yang bisa diharapkan darinya. Bahkan serupa hantu menguntit perjalanan senjanya.
Kata [perjalanan senja] bisa bermakna sepanjang sisa hidupnya selama ini. Kemudian ada bunga mawar di dalam jambangan. Mawar adalah lambang cinta yang pernah bersemi, tetapi kini layu luruh satu persatu kelopaknya. Dihembus angin semilir yang terasa bagaikan badai menerjang. Kini yang tersisa hanya kenangan pahit.
Sepintas lalu puisi ini hanyalah ungkapan kekesalan kekecewaan yang begitu mendalam di dalam hati. Dalam hal ini yang diungkapkan Aulia Firdaus tidak jauh beda dengan apa yang diungkapkan Arther Panter Olii di atas. Tetapi jika mengingat bahwa puisi adalah sarana untuk menyampaikan pesan moral kepada khalayak. Tentu ada pesan lain yang tersirat dalam puisi ini. Yaitu penyampaian kekecewaan terhadap sesuatu yang dianggapnya sebagai sebuah penipuan. Semua yang dulunya pernah memberi harapan, ternyata itu hanyalah bagaikan ilalang tak berkembang, Meski tumbuh subur, dan barangkali berguna bagi yang lain, tetapi tidak buat Aulia Firdaus.
Pesan moralnya yang tersirat dalam puisi ini tak jauh beda dengan puisi Arther Panther Olii tsb di atas. Srbuah warning yang harus diwaspadai. Maka dari itu berhati-hatilah.
[3]
Rain Queen

D O A

Sepuluh jemari
Menantang bentang langit
: mengeja doa

Bila angkuh tak meretak
Menggugur khilaf berdahan lupa
: diguyur hujan sesal

Tapaki jejak ke barat
Menggulung pasir, hadap wajah
: menghijab diri

------------------

- aku melihat pria membuang sauh, bersuci tubuh, dan memanggil subuh
Dalam mimpiku -

Banda Aceh, 14.05.2010

Tipografi puisi Rain Queen yang berjudul DOA ini tampil dengan tata wajah konvensional yang terdiri dari 4 bait. Bait [1] terdiri dari 3 larik, bait [2] terdiri dari 3 larik, bait [3] terdiri dari 3 larik, dan bait [4] terdiri dari 2 larik. Keseluruhan lariknya berjumlah 11 larik.
Puisi Rain Queen ini dibangun dengan diksi puitis yang indah dan mempesona yang unik dan lebih bersifat pribadi. Di sini Rain Queen menampilkan diksi yang bernuansa religi khususnya yang berkaitan dengan doa dan berdoa. Lihatlah diksi-diksi itu. Di larik [2] ada kata [bentang]. Di larik [4] ada [tak meretak]. Berikutnya ada klausa [menggugur khilaf] dan [berdahan lupa] di larik [5]. Selanjutnya ada [hujan sesal] di larik [6]. Di larik [8] ada klausa [menggulung pasir] dan [menghojab diri] di larik [9]. Teakhr di larik [10] ada klausa [bersuci tubuh] dan [memanggil subuh].
Puisi Rain Queen ini dibangun dengan rima yang unik. Di bait [1] ada rima di akhir larik, sekaligus juga ada rima di awal larik. Marilah kita cermati bait [1] berikut ini:
larik [1] - Sepuluh jemari
larik [2] - Menantang bentang langit
larik [3] - : mengeja doa

Di bait [1] ada rima tak sempurna pada kata [jemari] di larik [1] yang bersajak tidak sempurna dengan kata langit] di larik [2]. Yang ditandai dengan pengulangan bunyi vocal [i]. Sedangkan di awal larik [2] ada kata [menantang] yang bersajak dengan kata [mengeja] di larik [3], yang ditandai dengan pengulangan bunyi [me]. Di samping oitu juga ada rima tak sempurna di awal larik [1], [2] dan [3] yang ditandai dengan pengulangan bunyi vocal [e] pada kata [sepuluh]. [menantang] dan [mengeja].
Berikutnya marilah pula kita cermati bait [2] berikut ini:
larik [4] - Bila angkuh tak meretak
larik [5] - Menggugur khilaf berdahan lupa
larik [6] - : diguyur hujan sesal

Di bait [2] ada rima tak sempurna yang ditandai dengan pengulangan bunyi vocal [a] pada kata [meretak] di larik [4] yang bersajak dengan kata [lupa] di larik [5] dan kata [sesal] di larik [6].
Berikutnya marilah kita cermati pula bait [3] berikut ini:
larik [7] - Tapaki jejak ke barat
larik [8] - Menggulung pasir, hadap wajah
larik [9] -: menghijab diri

Di bait [3] juga ada rima yang unik. Kata [barat] di larik [7] bersajak secara tidak sempurna dengan kata [wajah] di larik [8] yang ditandai denga pengulangan bunyi vocal [a]. Sedangkan di awal larik [8] ada kata rima awal pada kata [menggulung] yang bersajak dengan kata [menghijab] di larik [9] yang ditandai dengan pengulangan bunyi [me].
Terakhir marilah kita cermati bait [4] berikut ini:
larik [10] - - aku melihat pria membuang sauh, bersuci tubuh, dan memanggil subuh
larik [11] - Dalam mimpiku -
Di bait [4] ini ada rima tak sempurna pada kata [subuh] di larik [10] bersajak tidak sempurna dengan kata [mimpiku] di larik [11] yang ditandai denga pengulangan bunyi vocal [u]. Sedangkan di larik [10] ada rima asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vocal [u] pada kata [sauh], [tubuh] dan [subuh].
Puisi ini juga dibangun dengan ritme ritme yang bertebaran di larik-lariknya. Di larik [2] ada irama yang terbentuk dari pengulangan bunyi [tang] pada kata [menantang] dan kata [bentang], di arik [4] ada yang terbentuk dari pengulangan bunyi [tak] pada kata [tak] dan [meretak]. Berikutnya ada ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi [gu] pada klausa [menggugur khilaf] di larik [5], pada larik [diguyur hujan sesal] di larik [6] dan pada klausa [menggulung pasir] di larik [8]. Selanjutnya di larik [10] ada pengulangan bunyi [uh] pada kata [membuang sauh], [bersuci tubuh] dan [memanggil subuh].
Puisi ini juga dibangun dengan imaji visual, imaji auditif dan imaji taktil. Di bait [1] ada imaji visual dan auditif. Pembaca merasa seakan bebar-benar melihat ses eorang yang sedang berdoa dan sekaligus juga mendengar seseorang yang sedang membaca doa. Di samping itu kita juga turut merasakan rintihan jiwa mengiringi istigfar penyesalan atas segala keangkuhan dan kekhilafan, kealpaan selama ini. Semua tumpah ruah dalam doa. Seraya menapak tilasi segala kesalahan dalam melangkah, sebanyak pasir di pantai.
Selanjutnya kita seakan melihat seorang pria yang membuang sauh, mengambil air udhu. Kita merasa seakan mendengar orang menyeru dan mengumandangkan azan untuk sholat subuh. Di samping itu kita seakan merasakan dinginnya air udhu dan merasakan dinginnya cuaca di waktu subuh. Berikutnya kita juga merasakan mimpi seperti yang digambarkan penulisnya.
Puisi ini dibangun dengan majas. Diantaranya majas ellipsis yang ditandai dengan penghilangan subyek kalimat atau unsur kalimat lainnya. Lihatlah: Menggugur khilaf berdahan lupa, larik [5]. Diguyur hujan sesal larik [6], Tapaki jejak ke barat larik [7], Menggulung pasir, hadap wajah larik [8]. Menghijab diri larik [9]. Selain itu ada juga majas pars pro toto di larik [1] pada untaian Sepuluh jemari, hadap wajah di larik [8].
Berikutnya ada majas hiperbola pada Menantang bentang langit di larik [2], diguyur hujan sesal di larik [6] dan Menggulung pasir di larik [8]. Selain itu ada juga majas polisindenton pada untaian: aku melihat pria membuang sauh, bersuci tubuh, dan memanggil subuh di larik [10]
Puisi Rain Queen ini berjudul Doa. Doa adalah sebuah permohonan seseorang kepada Tuhan. Baik permohonan pengampunan atas segala dosa, maupun permohonan agar diterima segala amal ibadah. Atau permohonan dikabulkan sesuatu yang diinginkan dan dihindarkan dari segala yang tidak diinginkan.
Sementara orang lain menggunakan ungkapan Berdoa dengan menadahkan tangan ke langit, Rain Queen mengungkapkannya dengan: Sepuluh jemari/ Menantang bentang langit di larik [1] dan [2].
Dalam puisi ini Rain Queen mengungkapkan bahwa: Bila angkuh tak meretak/ Menggugur khilap berdahan lupa di larik [4] dan [5] yang bermakna bahwa bila kita tidak menyadari keangkuhan diri, kesombongan diri, tak pernah merasa khilaf merasa bersalah. Semua itu akan menimbulkan penyesalan mendalam di kemudian hari. Ini digambarkan dengan [diguyur hujan sesal].
Di dalam puisi ini ada frase [menggulung pasir]. Kata [gulung] mengingatkan kita pada [gulung tikar] yang bermakna [bangkrut]. Sedangkan kata [pasir] mengingatkan kita pada ungkapan “sebanyak pasir di pantai”. Dengan ungkapan [menggulung pasir] ini berarti ada sesuatu yang mengganjal di hati Rain Queen. Permasalahan yang begitu banyak, sehingga kita perlu memohon PadaNya menghadap ke barat bisa bermakna sholat dan berdoa menghadap ke kiblat dengan kesadaran penyesalan dan pertaubatan. Agar dapat menghijab diri, melindungi diri agar tidak lagi melakukan segala perbuatan dosa. Nampaknya ini adalah doa di sisa sepertiga malam menjelang subuh.
4
BILA ENGKAU MEMINTA
Faradina Izdhihary.

waktu terhenti di sini
pada hela nafas yang tersangkut di kerongkongan
Engkau mengecup tengkuk
merontokkan gairah yang liar dan basah

Daun-daun mendesah membagi resah pada kelelawar lelah
mendengar betapa serakah anak adam
Saat yang sama Engkau menghisap darah dari ubun-ubun
kematian itu melayang berputar-putar di batas kesadaran.

Engkau mengetuk pintu dan berseru
bahwa Engkaulah pemilik rumah
yang penghuninya adalah ruh dan hati
Diri tersungkur malu dalam kesombongan tanpa isi

Bila Engkau meminta rumah dan isinya
alu dimana: tempat berteduh? -erotesis

Blitar, 14 September 2010

Puisi BILA ENGKAU MEMINTA karya Faradina Izdhihary ini tampil dengan tata wajah konvensional yang tediri dari 4 bait. Bait [1] tediri dari 4 larik bait [2] terdiri dari 4 larik, bait [3] terdiri dari 4 larik, dan terakhir bait [4] terdiri dari 2 larik.
Puisi Faradina ini dibangun dengan diksi yang bernuansa kematian dan penuh misteri. Nuansa kematian ini menimbulkan kesan yang bagi banyak orang sangat menakutkan. Lihatlah di larik [1], [2], [3] dan [4] ada kata/ klausa [waktu terhenti], [hela nafas], [mengecup tengkuk], dan [merontokkan gairah yang liar dan basah]. Berikutnya di larik [5], [6], [7] dan [8] ada [Daun-daun mendesah], [membagi resah], [kelelawar lelah], [serakah], [menghisap darah dari ubun-ubun], [kematian itu melayang dan berputar-putar]. Di larik [9], [10], [11] dan [12] ada [mengetuk pintu dan berseru], [pemilik rumah], [ruh dan hati], [tersungkur malu] dan kesombongan tanpa isi].
Membaca sepentas lalu, dalam puisi Faradina ini nampaknya tidak ada rima sama sekali. Hal ini ditandai dengan tidak adanya pengulangan bunyi yang sama di akhir larik-lariknya, tidak juga di awal-awal lariknya. Tetapi setelah dicermati dengan seksama, ternyata puisi Faradina ini dibangun dengan rima yang unik. Marilah kta cermati dengan saksama bait [1] berikut ini:
larik [1] - waktu [terhenti] di sini
larik [2] - pada hela nafas yang [tersangkut] di kerongkongan
larik [3] - Engkau mengecup [tengkuk]
larik [4] - merontokkan [gairah] yang liar dan [basah]

Di bait [1] ini ada rima yang unik yaitu adanya pengulangan bunyi [te/ter] pada kata [terhenti] di larik [1] yang bersajak dengan kata [tersangkut] di larik [2] dan kata [tengkuk] di larik [3]. Dan di larik [4] ada pengulangan bunyi [ah] pada kata [gariah] dan [basah].
Demikian pula di bait [2] kita bisa menemukan rima yang unik. Marilah kita cermati bait [2 berikut ini:
larik [5] - Daun-daun [mendesah] membagi [resah] pada kelelawar lelah
larik [6] - mendengar betapa [serakah] anak adam
larik [7] - Saat yang sama Engkau menghisap [darah] dari ubun-ubun
larik [8] - kematian itu melayang berputar-putar di batas kesadaran.

Di larik [5] ada kata [mendesah] dan [resah] yang membentuk persajakan tidak sempurna dengan kata [serakah] di larik [6] dan kata [darah] di larik [7] yang ditandai dengan pengulangan bunyi [ah].

Berikutnya marilah kita cermati bait [3] berikut ini:
larik [9] – [Engkau] mengetuk pintu dan berseru
larik [10] - bahwa [Engkaulah] pemilik rumah
larik [11] - yang penghuninya adalah ruh dan [hati]
larik [12] - Diri tersungkur malu dalam kesombongan tanpa [isi]

Di bait [3] ternyata ada rima yang lebih unik lagi. Yaitu di awal larik [9] ada kata [Engkau] yang bersajak dengan kata [Engkaulah] di larik [10]. Berikutnya ada rima akhir yang tak semurna di larik [11] dan [12] yang ditandai dengan pengulangan bunyi vocal [i] pada kata [hati] dan [isi].
Terakhir lihat pula rima yang ada di bait [4] berikut ini:
larik [13] - Bila Engkau meminta rumah dan isinya
larik [14] - lalu dimana: tempat berteduh?

Di ait [4] tidak terdapat rima, baik di awal maupun di akhir larik. Tidak juga di tengah larik. Tetapi di dalam larik [13] dan [14] terasa ada pengulangan bunyi. Ternyata ada asonansi vocal [a] di larik [13] yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a]. Berikutnya juga ada aliterasi di larik [14] yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [t] pada kata [tempat] dan [berteduh].
Puisi ini dibangun dengan ritme yang tertata rapi. Hal ini ditandai dengan banyaknya pengulangan bunyi yang tersebar hampir di setiap lariknya. Diawali dengan pengulangan bunyi [ter/te] di bait [1] pada kata [terhenti], [tersangkut] dan [tengkuk], dan ada juga [tersungkur] di larik [12] dan kata [tempat] di larik [14]. Dan ada juga pengulangan kata [yang] di larik [2], [4], [7], dan di larik [11].
Selanjutnya ada pengulangan kata [Engkau] di larik [3], [7], [9], [10], dan di larik [13]. Dan pengulangan bunyi [me] di larik [3], [4], [5], [6], [7], [8], [9], dan di larik [13] pada kata [mengecup], kata [merontokan], kata [mendesah], [membagi], [mendengar], [menghisap], [melayang], [mengetuk] dan kata [meminta].
Selain itu ada juga pengulangan bunyi [ah] di larik [1], [5], [6], [7], [10], [11] dan [13] pada kata [gairah], [basah], [mendesah], [resah], [lelah], [serakah], [darah], [rumah], [adalah] dan kata [rumah].
Semua pengulangan bunyi dan kata tsb dengan sendirinya menimbulkan ritme atau irama, sehingga ketika dibacakan menjadi enak didengar dan dinikmati.
Puisi ini juga dibangun dengan imaji yang membuat pembaca larut ke dalam puisi ini. Di bait [1] kita menemukan imaji taktil. Betapa rapinya Faradina mengungkapkannya. Di mana kita merasa seakan benar-benar sulit bernafas, karena nafas itu terasa tersangkut di kerongkongan ketika ada sesuatu terasa di tengkuk. Kita merasa ada yang merontokkan semua keinginan kita yang selama ini tak terkendali.
Di bait [2] di larik [5] kada imaji visual yang sekaligus imaji auditif, kita seakan melihat sekaligus mendengar dengan jelas daun-daun mendesah membagi resah pada kelelawar lelah. Dan juga seakan mendengar betapa serakah anak adam di larik [6]. Berikutnya di larik [] dan [8] ada imaji taktil di mana kita juga seakan merasa ada yang menghisap darah kita dari ubun-ubun. Dan seketika kitapun merasa melayang berputar-putar.
Di bait [3] ada imaji visual sekaligus imaji auditif betapa kita seakan melihat dan mendengar ada yang mengetuk dan menyeru bahwa Dia lah pemilik rumah. Yang dimaksud rumah di sini adalah tubuh seseorang yang penghuninya adalah ruh dan hati. Betapa malunya mengingat bahwa betapa sombongnya kita selama ini.
Akhirnya di bait [4] ada imaji auditif kita serasa mendengar sebuah pertanyaan yang menanyakan di mana lagi tempat berteduh atau dengan ata lain: Mau tinggal di mana lagi? Jika rumah dan isinya sudah diambil oleh Sang Pemiliknya.
Puisi ini juga dibangun dan diperkuat dengan majas-majas yang ada hampir di setiap untaian lariknya. Di larik [1] dan [2] ada majas personifikasi pada larik: waktu terhenti di sini/ pada hela nafas yang tersangkut di kerongkongan. Berikutnya di larik [3] dan [4] ada majas metapora pada larik: Engkau mengecup tengkuk/ merontokkan gairah yang liar dan basah.
Di larik [5] dan [6] juga ada majas personifikasi pada larik: Daun-daun mendesah membagi resah pada kelelawar lelah/ mendengar betapa serakah anak adam. Berikutnya di larik [7] dan [8] ada majas metapora pada larik: Saat yang sama Engkau menghisap darah dari ubun-ubun/ kematian itu melayang berputar-putar di batas kesadaran.
Berikutnya di larik [9], [10] dan [11] ada majas metapora pada untaian: Engkau mengetuk pintu dan berseru/ bahwa Engkaulah pemilik rumah/ yang penghuninya adalah ruh dan hati. Sedangkan di larik [12] ada majas paradoks pada untaian: Diri tersungkur malu dalam kesombongan tanpa isi.
Di larik [13] ada majas paralelisme. Bila Engkau meminta rumah dan isinya. Dan di larik [14] ada majas erotesis pada untaian: lalu dimana: tempat berteduh?
Puisi Faradina ini berjudul Bila Engkau Meminta. Puisi bernuansa kematian yang penuh misteri. Bagi banyak orang nuansa kematian ini menimbulkan kesan yang sangat menakutkan.
Dalam puisi ini betapa cermatnya Faradina mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan kematian. Dia juga mengingatkan kita bahwa bila nafas telah tersangkut di kerongkongan, dan kita akan merasa melayang berputar-putar di batas kesadaran. Maka semua gairah hidup yang selama ini liar tak terkendali, saat itu rontok seketika. Itulah saatnya di mana kita akan meninggalkan dunia yang fana ini. Pada saat itu mahluk hidup lain [daun-daun dan kelelawar] selain manusia, turut merasakan keresahan manusia.
Faradina juga menyadarkan bahwa tubuh kita selama ini adalah sebuah rumah yang bukan milik kita. Penghuninya adalah ruh dan hati. Mengingat hal itu maka kita akan tersungkur malu, ternyata kegagahan dan ulah manusia selama ini hanya kesombongan tanpa isi. Manusia tak berdaya apa-apa. Sebab, jika Allah SWT Sang Pemilik hakiki meminta kembali rumah beserta aisinya. Kita mau apa? Mau ke mana? Karena memang tak ada lagi rumah yang lain.
Sepintas lalu puisi Faradina ini hanyalah sebuah ungkapan tentang kematian yang menakutkan itu. Tetapi mengingat bahwa puisi adalah ungkapan pikiran dan perasaan penulisnya berupa kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Maka tentu ada maksud lain yang sangat penting untuk diungkapkan. Ada pesan moral yang tersirat dalam puisi ini, yaitu janganlah hendaknya kita lupa akan mati. Sebab mengingat mati akan menyadarkan kita bahwa hidup kita cuma satu kali. Maka dari itu janganlah disia-siakan umur yang telah diberikan oleh Sang Pemilik hakiki. Hidup kita harus diisi dengan banyak hal yang bermanfaat, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain dan bagi lingkungan di sekitar kita. Syukur-syukur bermanfaat bagi manusia dan bagi lingkungan yang lebih luas lagi.
***
Akhirnya, tak lupa saya ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pembaca, penyuka dan penanggap essei Menikmati Puisi Dunia Maya selama ini. Karena semua itu turut membantu meningkatkan keberadaan dan pengabdian saya dalam dunia sastra selama ini. Sehingga turut memberikan nilai plus dan menempatkan saya sebagai salah seorang penerima hadiah seni bidang seni sastra tahun 2010 dari Gubernur Kalimantan Selatan.
Banjarmasin, 21 September 2010.

Tidak ada komentar: