Senin, 11 Oktober 2010

Menikmati Puisi Dunia Maya (bagian 6)



Oleh : Hamberan Syahbana

Menikmati puisi berarti kita menikmati sebuah karya hasil imajinansi pengarang yang mengungkapkan pikiran dan perasaannya melalui sebuah puisi. Puisi yang bisa dinikmati tentunya puisi yang dapat menimbulkan rasa suka. Rasa suka setiap orang itu sifatnya relatif. Ada yang suka karena untaian kata-kata yang indah. Ada yang suka dengan pengulangan bunyi dan pengulangan larik-lariknya. Ada juga yang suka dengan tema dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Cilakanya kalau orang tidak suka, maka puisi itu tidak akan dibacanya lagi dan langsung ditutup. Bagaimana bisa menikmatinya?
Tentulah rasa suka itu adalah hal yang utama bagi pembacanya. Di samping itu ada juga yang suka dengan puisi Romansa yang berisi luapan perasaan cinta kasih dan sayang. Atau puisi Elegi yang berisi ratapan duka jeritan nestapa bahkan tangisan kesedihan. Ada lagi yang suka puisi Satire yang berisi sindiran dan kritik social. Sedangkan yang lain barangkali ada yang suka dengan Balada kisah orang-orang perkasa, atau puisi Himne yang berisi pujian untuk Tuhan, tanah air dan para pahlawan. Tentu ada juga yang menyukai Ode puisi sanjungan untuk orang yang berjasa, atau Epigram puisi tuntunan ajaran hidup dan kehidupan.

Ulasan kita dalam Essei Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 6 ini menampilkan 4 buah puisi dari empat orang penyair, yaitu:

1. ‘Masih” (sajak mistis sang katawarna) karya Indra N.List dari kota Slawi Provinsi Jawa Tengah
2. “Sajak Kehidupan” karya Dalasari Pera dari kota Belawa Provinsi Sulawesi Selatan
3. “Bilur Senja” karya Dewi Restunawati dari kota Bekasi Provinsi Jawa Barat
4. “Mendulang Cahaya Bulan” Karya Arsyad Indradi si Penyair Gila dari Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan

1
‘Masih” (sajak mistis sang katawarna)
Puisi Indra N.List

Jika ada harum
Itulah wangi bunga khayangan.

Melati mungil bertabur di tilam hamparan kasih,
merindu dalam bayang bibir.
Yonipun bersenandung,
merdu warnai alam.
Lingga tersentak dalam kenang kelam,
menggeragap masuki mimpi.
Kendati tak hendak,
janji tak basi.
keringat belum tetesi raga,
gerimismu belum basahi hati.
Masih ada hari,
tak berbisa
tak bertuba.

Saat berpendar di malam keempatbelas,
itulah jiwa

Bersenyawa


Slawi, 24 Agustu 2010

Puisi ‘Masih” [sajak mistis sang katawarna] karya Indra N List adalah berbentuk puisi 4 bait yang terdiri dari 18 larik. Bait [1] terdiri dari 2 larik, bait [2] terdiri dari 13 larik, bait [3] terdiri dari 2 larik, dan terakhir bait [4] hanya terdiri dari 1 larik.

Puisi ini dibangun dan diperkuat dengan diksi atau pemilihan kata yang memukau. Diantaranya: [bunga kayangan], [melati mungil], [hamparan kasih], [lingga], [kenang kelam], [yoni], [lingga], [menggeragap], [mimpi], [tak basi], [tetesi raga], [gerimismu], [tak berbisa], [tak bertuba], [berpendar], dan [bersenyawa].
Dalam puisi ini betapa piawainya Indra merangkai kata-kata tsb menjadi untaian-untaian larik yang menarik. Dan kata-kata ini juga tampil menjadi rima dan ritme yang indah mengalun. Di samping itu larik-lariknya juga mampu menampilkan imaji-imaji dan majas-majas yang turut memperkuat puisi ini.

Membaca sepintas lalu, nampaknya Indra tidak menggunakan rima di dalam puisi ini. Hal ini dapat dilihat pada bait [1] : Jika ada harum. Itulah wangi bunga khayangan, larik [1,2] Di larik-larik ini sama sekali tak ada rima awal, rima akhir, maupun rima di tengah-tengah larik. Hal ini ditandai dengan tidak adanya pengulangan bunyi, baik vocal, bunyi sengau maupun bunyi konsonan. Walaupun demikian, bait [1] ini tetap terasa indah dan dapat dinikmati. Karena entah sengaja atau tidak, ternyata di sana ada rima asonansi, atau yang biasa disebut dengan pengulangan bunyi vocal dan bunyi sengau dalam satu larik. Hal ini ditandai dengan adanya pengulangan bunyi vocal [a] pada kata [jika], [ada], dan kata [harum] di larik [1]. Dan di larik [2] pada kata [itulah], [wangi], [bunga], dan kata [khayangan].
Selanjutnya pada bait [2] juga demikian. Hampir tidak ada rima di akhir larik kecuali di larik [6] dan larik [7] ada pengulangan bunyi sengau [m] pada kata [alam], dan [kelam]. Keduanya diakhiri dengan bunyi yang sama yaitu bunyi [lam].
Berikutnya di [8], [10], [12] dan di lari, [13] ada pengulangan bunyi vocal [i] pada kata [mimpi], [basi, [hati] dan kata [hari]. Keempat larik tersebut di akhiri dengan bunyi [pi], [si], [ti] dan bunyi [ri] yang membentuk rima tak sempurna.
Kemudian di larik [11], [14] dan larik [15] ada pengulangan bunyi vocal [a] pada kata [raga], [berbisa] dan [bertuba]. Ketiga larik tsb diakhiri dengan bunyi [ga], [sa] dan bunyi [ba] yang membentuk rima tak sempurna.
Sedangkan di bait [3] di dua lariknya sama sekali tak rima akhir dan rima awal. Kecuali pada larik [16] ada rima asonansi pengulangan bunyi vocal [e] pada kata [berpendar] dan kata [keempatbelas].

Ritme pada sebuah puisi adalah irama yang terbentuk karena adanya pengulangan bunyi yang teratur. Pengulangan bunyi itu bisa berupa pengulangan bunyi vocal, bunyi sengau, dan bunyi konsonan. Bisa juga berupa pengulangan bunyi kata, bunyi frasa, bunyi klausa, bunyi kalimat, bahkan pengulangan bunyi larik atau baris puisi seutuhnya.
Pada puisi Indra ini kita dapat merasakan irama tsb. meski secara kesat mata hampir tak terlihat pengulangan tsb. Kecuali pengulangan bunyi [ber] pada kata [bertabur] di larik [3], kata [berpendar] di larik [16] dan pada kata [bersenyawa] di larik [18].
Selanjutnya ada pengulangan bunyi [tak] pada kata [tak hendak] di larik [9], [tak basi] di larik [10], [tak berbisa ] dilarik [14], dan pada kata [tak bertuba] di larik [15].
Berikutnya ada pengulangan bunyi kata [belum] di larik [11] dan [12]. Juga ada pengulangan bunyi [lam] pada kata [tilam] di larik [3], [dalam] di larik [4, 7], dan pada kata [malam] di larik [16].
Keseluruhan pengulangan itu mampu menimbulkan irama yang indah mempesona, begitu memukau jiwa dan perasaan pembaca.

Dalam puisi ini kita menemukan penggunaan imaji cecap, kita merasa seakan benar-benar mencium harum mewangi bunga khayangan di larik [1, 2], sekaligus ada imaji visual. Kita larut dalam puisi ini seakan benar-benar melihat bunga melati yang harum semerbak mewangi bertaburan terhampar di tilam hamparan kasih di larik [3]. Indahnya malam keempatbelas saat purnama di larik [16].
Di dalam puisi ini juga ada imaji auditif. Kita merasa seakan benar-benar mendengar senandung yang merdu seakan mewarnai alam di larik [5, 6]. Selain itu dalam puisi ini kita juga seakan-akan benar-benar merasa ada lingga tersentak menggeregap [maaf agak anu sedikit].

Dalam puisi ini sangat kentara sekali penggunaan majas eufimisme pada kata [yoni] dalam: “Yonipun bersenandung” di larik [5], kata [lingga] dalam: “Lingga tersentak dalam kenang kelam” di larik [7]. Sedangkan kedua kata itu sebenarnya amat tabu bila diucapkan dalam bahasa Indonesia. Karena keduanya berkaitan dengan alat vital wanita Selain itu ada juga kata [bersenyawa] di larik [18]. Kata [bersenyawa] barangkali bisa disinonimkan dengan kata kata [bersetubuh]. Atau bisa jadi membentuk kata tersendiri. Kata [bersenyawa] terdiri dari 3 morfem, yakni morfem [nyawa], [se], dan [ber]. Dengan proses pembentukan I yaitu [nyawa] mendapat awalan [se] menjadi [senyawa] yang artinya satu nyawa. Pada proses pembentukan II yaitu [senyawa] mendapat awalan [ber] menjadi [bersenyawa] yang artinya proses pembentukan janin saat pembuahan pertemuan antara sperma dan sel telur.
Di larik [5] ada majas personifikasi dalam untaian larik: “Yonipun bersenandung.” Berikutnya di larik [7,8 dan 9] ada majas paradoks dalam untaian larik-larik: “Lingga tersentak dalam kenang kelam, menggeragap masuki mimpi Kendati tak hendak,”
Sedangkan urut-urutan keseluruhan untaian larik-larik puisi ini membentuk satu majas yaitu majas enumerasio, yang ditandai dengan penegasan berupa penguraian bagian demi bagian suatu keseluruhan. Lihalah:

“Jika ada harum. Itulah wangi bunga khayangan.” Kemudian “wangi bunga khayangan” ini diuraikan dalam arik-larik:

“Melati mungil bertabur di tilam hamparan kasih, merindu dalam bayang bibir. [Dan] Yonipun bersenandung, merdu warnai alam. [lalu] Lingga tersentak dalam kenang kelam, menggeragap masuki mimpi. Kendati tak hendak, [karena mengingat] janji [yang baru diucapkan] tak basi. [ Selagi] keringat belum tetesi raga, [dan] gerimismu [pun] belum [mem]basahi hati. [Ingatlah, bahwa] Masih ada hari, [yang] tak berbisa [dan] tak bertuba. [Yaitu di] Saat berpendar di malam keempatbelas itulah jiwa. [Dan waktu itulah nanti kita] Bersenyawa”

Marilah kita cermati apa sesungguhnya yang ingin diungkapkan Indra dalam puisinya yang berjudul “Masih” ini. Kata [masih] sendiri mengandung dua sisi pengertian, yaitu sisi positif dan sisi negartif. Pada sisi positif berarti ada sesuatu yang dari dulu sampai sekarang masih berjalan, dan mungkin akan [terus berjalan] sampai di masa yang akan datang. Pada sisi negatif berarti ada sesuatu yang tidak diinginkan berlaku dari dulu hingga sekarang, bahkan tidak juga di masa yang akan datang.
Jika dikaitkan dengan untaian larik [13,14,15] 13. yaitu: “Masih ada hari, [yang] tak berbisa [dan] tak bertuba. Maka ini bermakna suatu warning atau peringatan agar jangan melakukan itu. Karena aka tiba juga saatnya nanti, yaitu itu “masih ada hari [esok] yang tidak menggelincirkan atau dengan kata lain hari yang tidak menimbulkan kenistaan.
Jika dikaitkan dengan larik [5,6,7,8] “Yonipun bersenandung, merdu warnai alam. Lingga tersentak dalam kenang kelam, menggeragap masuki mimpi”. Kendati tak hendak,” Ini berarti sesuatu itu sudah terjadi. Hal ini ditandai dengan unaian larik [9] Kendati tak hendak. Maksudnya meskipun bertentangan dengan kehendak hati tetap juga kecolongan. Karena tergoda dengan melati mungil yang bertaburan di tilam hamparan kasih merindu dalam bayangan bibir yang merekah. Akibatnya yonipun bersendung merdu mewarnai alam.
Dalam puisi ini Inra telah berhasil mengungkapkan sesuatu yang maaf sejujurnya berbau porno. Dengan kepiawaiannya Indra berhasil mengungkakannya dengan bahasa puisi yang indah dan sedikitpun tidak terlihat pornografinya.


2

Sajak Kehidupan
Dalasari Pera

Alam adalah surat cinta terindah
masihkah rabun menemani kita mengejanya?
Semesta adalah sajak kehidupan masihkah baitnya engkau katakan tak sempurna tawarkan melati yang tak tawar Mewangi abadi di antara kabut dunia Pun di atas jalan keabadian dan dalam istirah bersama Sang Keabadian


Belawa, 3 Juli 2010

Tipogafi puisi “Sajak Kehidupan” karya Dalasari Pera ini hanya terdiri dari satu bait yang terdiri dari 8 larik. Puisi ini adalah puisi yang benar-benar hemat dalam penggunaan bait dan kata. Tapi bukan tanpa makna, karena semakin sedikit yang terungkap semakin banyak makna yang belum terungkap. Semakin sedikit yang tersurat semakin luas yang tersirat. Semakin sedikit kata yang tanpil semakin banyak ambiguitasnya. Dan maknanya pun bisa melebar ke mana-mana.

Puisi Dalasari ini dibangun dengan diksi atau pemilihan kata : [Alam], [surat cinta], [rabun], [mengejanya], [Semesta], [sajak kehidupan], [baitnya], [tak sempurna], [tak tawar], [Mewangi abadi], [kabut dunia], [jalan keabadian], [istirah], [Sang Keabadian]
Puisi ini juga dibangun dengan rima akhir yang meluncur wajar. Hal ini dapat dilihat pada kata [mengejanya] di larik [2] bersajak dengan kata [sempurna] di larik [4], dan kata [dunia] di larik [6]. Ketiga kata itu membentuk rima akhir tak sempurna pada bunyi [nya], [na] dan [a] yang sama-sama di akhiri degan bunyi vokal [a]. Berikutnya pada kata [kehidupan] di larik [3] bersajak dengan kata [keabadian] di larik [7] dan larik [8]. Ketiga kata tsb membentuk rima akhir yang sama-sama diakhiri dengan bunyi sengau [an].

Puisi ini juga dibangun dengan ritme atau irama yang tertata rapi. Hal ini dtandai dengan adanya pengulangan-pengulangan bunyi pada kata [adalah] di larik [1] dan di larik [3]. Berikutnya ada pengulangan bunyi [masihkah] di awal larik [2] dan [4]. Ada juga pengulangan kata [tak] pada frasa [tak sempurna] di larik [4] dan [tak tawar] di larik [5]. Selain itu ada juga pengulangan bunyi [tawar] di larik [5]. Sedangkan di larik [7] dan di larik [8] ada pengulagan bunyi pada kata [keabadian].
Selain irama yang ditimbulkan oleh pengulangan bunyi-bunyi tsb juga terasa adanya irama yang mengalun pada kalimat tanya di larik [2] dan larik [4]. Demikian pula ketika kita membaca puisi ini. Alunan kata dalam larik-lariknya mampu menimbulkan irama.

Puisi ini termasuk yang harus direnungkan, dalam perenungan itu ada imaji visual. Kita seakan-akan merasa melihat selembar surat cinta yang terindah dari yang indah-indah lainnya di larik [1]. Kita juga merasa melihat sebuah sajak kehidupan dalam kesemestaan di larik [3]. Dan berikutnya ada imaji cecap. Kita seakan merasa melati yang tak tawar, tetapi melati yang harum mewangi abadi di larik [5,6].

Di dalam puisi ini ada majas metapora di larik [1] dan [3] pada larik “Alam adalah surat cinta terindah” dan Semesta adalah sajak kehidupan”. Berikutnya ada majas erotesis di larik [2]: “masihkah rabun menemani kita mengejanya?” dan di larik [3]: “masihkah baitnya engkau katakan tak sempurna?”. Selanjutnya ada juga majas ironi dalam untaian larik “tawarkan melati yang tak tawar” di larik [5].
Di dalam puisi ini Dalasari juga menggunakan beberapa majas antromorfisme di dalam larik-lariknya. Di larik [1] ada [surat cinta], di larik [3] ada [sajak kehidupan], di larik [6] ada [kabut dunia], di larik [7] ada [jalan keabadian], dan di larik [8] ada [Sang Keabadian].

Setelah dicermati dengan saksama, untaian larik-lariknya begitu sederhana tetapi memukau dan syarat makna. Ternyata puisi ini adalah puisi Epigram. Hal ini ditandai dengan larik-lariknya yang sarat tuntunan dan ajaran tentang hidup dan kehidupan.
Puisi ini dibuka dengan untaian larik: “Alam adalah surat cinta terindah”. Kata [surat cinta] mengingatkan kita pada untaian kata-kata indah yang penuh dengan janji-janji dan harapan-harapan. Alangkah bahagianya jika janji-janji dan harapan-harapan itu terwujud menjadi kenyataan. Demikian pula dengan [Alam]. Dengan kata lain Dalasari ingin mengungkapkan bahwa [Alam] adalah seumpama surat cinta yang paling indah dari suratcinta-suratcinta yang pernah ada.
Alam adalah sesuatu yang paling menjanjikan. Alam bukan hanya berisi janji-janji dan harapan- harapan, tetapi alam telah memberikan segalanya. Di kala pagi matahari selalu timbul di ufuk barat, kemudian memberikan cahayanya yang penuh energi. Matahari membagikan energinya ke seluruh tumbuhan di bumi. lalu energi itu berpindah ke mahluk hidup lainnya, termasuk kepada kita manusia. Apakah kita masih rabun [mengejanya?]
Kata [mengeja] dalam puisi ini bermakna [membaca]. Kata [membaca] mengingatkan kita pada “Iqra”. Ayat pertama yang diwahyukan Allah SWT melalui Jibril AS kepada nabi Muhammad SAW di bulan Ramadhan.
Selanjutnya dalam untaian larik [3] “Semesta adalah sajak kehidupan”. Jelasnya semesta adalah laksana sajak kehidupan. Dalam puisi ini Dalasari Pera sengaja menyajikan sebuah Surat Cinta terindah dan sebuah sajak kehidupan yang sama sekali tidak menggurui. Tetapi mengajak kita membacanya bersama-sama, menghayatinya bersama-sama, memikirannya bersama-sama, dan akhirnya menjaganya bersama-sama.

3

“Bilur Senja”
Dewi Restunawati

Semburat merah oranye melingkupi mayapada
Menyeruak rembesi celah senja
Hentak kerumunan camar bersenda
Berpencar kalahkan kepak burung baja

Harap sendu ...
Ku tak ingin engkau berlalu
Ramaikan degup jantungku bertalu
Jangan biarkan terhenti merindu

Bekasi, 24 Agustus 2010


Pada puisi “Bilur Senja” ini, Dewi Restunawati sengaja menggunakan tipografi puisi konvesional. Puisi ini terdiri atas 2 bait yang masing-masing terdiri atas 4 baris. Jadi semuanya berjumlah 8 barik larik.

Puisi “Bilur Senja” dibangun dengan diksi yang berkaitan dengan situasi di senja hari. Di bait [1] di antaranya ialah: [Semburat], [merah oranye], [mayapada], [Menyeruak], [rembesi], [celah senja], [Hentak], [kerumunan camar], [bersenda], [Berpencar], [kepak], dan [burung baja]. Berikutnya di bait [2] ada: [Harap sendu], [Ramaikan], [degup jantungku], [bertalu], dan [merindu].

Puisi Dewi Restunawati ini juga dibangun dengan rima yang tertata rapi. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi pada kata [mayapada] di larik [1] yang bersajak dengan kata [bersenda] di larik [3] sama-sama diakhiri dengan bunyi [da]. Berikutnya kata [senja] di larik [2] bersajak dengan kata [baja] di larik [4], sama-sama diakhiri dengan bunyi [ja]. Sehingga secara konvensional di bait [1] membentuk rima akhir [da,ja. da,ja] dengan pola persajakan [a,b,a,b].
Selain pola persajakan di atas, ternyata bait [1] tsb juga membentuk rima akhir tak sempuna. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi tak sempurna pada [mayapada], [senja], [bersenda] dan [baja] sama-sama dikahiri dengan bunyi vocal [a], sehingga mementuk pola persajakan [a,a,a,a].
Demikian pula pada bait [2]. Bait ini juga dibangun rima yang tertata rapi. Hal ini ditandai dengan pengulagan bunyi pada kata [sendu] di larik [5] dan kata [merindu] di larik [8] sama-sama dikahiri dengan bunyi [du]. Berikutnya ada pengulangan bunyi pada kata [berlalu] di larik [6] dan kata [bertalu] di larik [7]. Sama-sama diakhiri dengan bunyi [lu]. Sehingga secara konvensional dibait [2] membentuk rima akhir peluk [du,lu,lu,du] dengan pola persajakan [a,b,b,a].
Selain pola persajakan di atas, ternyata bait [2] tsb juga membentuk rima akhir tak sempuna. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi tak sempurna pada [sendu], [berlalu], [bertalu] dan [merindu] sama-sama dikahiri dengan bunyi vocal [u], sehingga membentuk pola persajakan [a,a,a,a].

Dalam puisi sama sekali tak ada pengulangan kata, frase, klausa, apalagi pengulangan larik. Padahal pengulangan-pengulangan tsb diyakini mampu menimbulkan irama. Walaupun demikian bukan berarti tidak ada ritme sama sekali dalam puisi ini. Irama itu akan terasa ketika kita membaca puisi ini. Terrnyata irama tsb terasa dengan sendirinya melalui kata-kata dalam untaian larik-lariknya. Ritme tsb ditimbulkan oleh pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam satu kalimat yang biasa disebut aliterasi. Atau yang ditimbulkan oleh adanya penguangan bunyi vokal dan bunyi sengau dalam satu baris, yang biasa disebut asonansi.
Di larik [1] ada pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata [semburat], [merah] dan kata [oranye]. Dalam larik ini juga ada pengulangan bunyi vocal [e] pada kata [semburat], [merah], dan [melingkupi]. Berikutnya di larik [2] ada pengulanan bunyi vocal [e] pada kata [menyeruak], [rembesi], [celah] dan kata [senja]

Puisi Dewi Restunawati ini juga dibangun dengan imaji yang tertata rapi. Di bait [1] ada imaji visual di mana kita sekan benar-benar melihat semburat warna merah oranye yang begitu indah di ufuk senja. Kita seakan melihat sebah lukisan warna senja yang menawan mempesona. Warna-warna merah oranye itu menyeruak merembes ke celah-celah senja. Kita juga seakan melihat kerumunan burung camar di senja hari yang sedang bersendau gurau terhentak oleh semburat warna tsb. Mereka bepencar berusaha mengalahkan kepak burung baja [?].
Berikutnya di bait [2] kita menemukan imaji auditif dimana kita seakan benar-benar mendengar bunyi degup jantung yang ramai bertalu-talu. Di samping itu kita juga larut dalam perasaan penyair yang mengharapkan perasaan sendu tidak akan berlalu dan jangan berhenti merindu.

Puisi ini juga dibangun dengan majas personifikasi ang ditandai dengan untaian larik di bait [1] pada larik: Semburat merah oranye [itu] melingkupi mayapada, di larik [1] [semburat merah oranye itu] Menyeruak [me]rembesi celah senja, dilarik [2]. [ia juga] [meng]Hentak kerumunan camar bersenda, di larik [3], dan larik: [dan] Berpencar kalahkan kepak burung baja, di larik [4.].
Berikutnya di bait [2] ada majas personifikasi pada larik: Ku tak ingin engkau berlalu, di larik [6], Kata engkau] mengacu pada kata [semburat merah oranye] Jangan biarkan terhenti merindu di larik [8]. Selain itu di larik [7] juga ada majas paradok pada larik: Ramaikan degup jantungku bertalu. Dikatakan paradoks karena kata ramai sangat bertentangan dengan bunyi degup jantung].

Puisi ini berjudul [Bilur Senja]. Secara denotative kata [senja] adalah memang benar-benar [senja]. Yang bagi banyak orang [senja] adalah suatu saat yang sangat berkesan. Di saat itu orang bisa menikmati suasana sunset yang indah. Betapa indahnya memandang saat-saat tenggelamnya matahari. Tapi bagi sebagian orang senja juga bisa menimbulkan kesan misteri, horror, menyeramkan dengan akan bangkitnya mahluk-mahluk malam yang menyeramkan.
Bagi Dewi Restunawati senja adalah gambaran kesan keindahan angkasa di senja hari. Betapa indahnya Semburat merah oranye melingkupi mayapada, menyeruak dan merembesi celah senja. Lalu menghentak kerumunan camar yang sedang bersenda sesamanya. Lalu berpencar mengalahkan kepak burung baja. Di dalam bait ini ada kata [burung baja].
Pada bait [2] Dewi mengharapkan kesenduan senja itu tak akan berlalu begitu saja. Biarkan terus meramaikan degup jantungnya yang bertalu-talu. Ia mengharapkan jangan biarkan terhenti merindu
Ditinjau secara konotatif, kata [senja] bisa bermakna suatu masa akhir, sisa-sisa waktu menjelang ahir sesuatu. Bagi seorang PNS bisa bermakna masa menjelang purna bakti. Bagi eksekutif atau pemegang mandataris ketua suatu organisasi atau sebangsanya bisa bermakna menjelang akhir masa bakti atau akhir masa jabatan. Bagi anggota legislative dan para kepala daerah jelas masa-masa menegangkan di akhir masa jabatannya. Dewi menginginkan agar masa-masa indah yang masih tersisa jangan segera berakhir. Meskipun ada harap-harap pengap. Hal ini ditandai dengan larik-larik di bait [2]: “Ramaikan degup jantungku bertalu” di larik [7], dan “Jangan biarkan terhenti merindu” di larik [8].
Dalam puisi ini betapa halusnya Dewi mengambarkannya di larik [4], yaitu: “Berpencar kalahkan kepak burung baja”. Di sini ada kata [burung baja]. Kata [burung] ini mengingatkan kita pada salah satu kumunitas angkasa. Kata angkasa bermakna suatu tempat yang berada di atas. Artinya boleh jadi adalah orang yang sedang berkuasa. Sedangkan kata [baja] mengingatkan kita pada sifat [kuat] atau [kekuatan]. Dan kata [kekuatan] itu mengingatkan kita pada kekuasaan. Semburat merah oranye yang melingkupi mayapada dan merembes ke celah-celah senja bisa bermakna kesan-kesan yang indah. Sesuatu yang bisa membuat kita lengah dan lupa, bahwa sebentar lagi senja itu akan berakhir. Akan berganti dengan suasana malam yang belum pasti. Akankah lebih menggembirakan dan membutakan lagi dengan glamournya gemerlap dunia malam? Ataukah lebih memiriskan hati dengan kesan misteri dunia malam yang menyeramkan?
Dalam hal ini mungkin Dewi menginginkan semburat merah oranye jangan sampai merusak senja yang sebentar lagi akan berakhir. Apakah yang sebentar lagi akan berakhir itu? Pada skala kecil barang kali itu adalah sesuatu yang ada lingkaran keluarga dan kerabatnya sendiri? Atau pada tingkat kelurahan/desa? Tingkat kecamatan? Selanjutnya tingkat Kabupaten/kota, atau bahkan provinsi? Jawabannya? Hanya Dewi Restunawati seorang yang tahu. Silahkan tebak.

4

Mendulang Cahaya Bulan
Arsyad Indradi

Dosadosa siapa yang menyembul dari tujuh patala bumi
menciarciar di atas kehidupan
Dosadosa siapa yang melaras dari tujuh patala langi
meraung raung di atas semesta
Malam memberi bulan sepenuhnya terang
Ya Rabbi dosadosa penyairkah yang mengotori asmamu
sampai arasymu bergoncang?
Duhai kami yang tunduk terpejam tafakur
tangantangan gemetar jarijari menisik batubatu tasbih
pecah berdarah
Kami datang ke altarmu ya Rabbi, menadah
Kami pendulang yang tadzallul sujud di kakimu
datang dari duniawi yang sesungguhnya kau palingkan muka
Malam ini lapangkan napas kami
yang mengalir ke tapaktanganmu mengalir ke Hu Allah
Batubatu tasbih adalah wirid fana kami
Batubatu tasbih adalah zikir rindu kami
Sajadah adalah dulang kami
Malam ini kami mendulang cahaya bulanmu Ya Rabbi
Kami lenggang dengan muraqabah iman kami
Kami basuh batubatu tasbih dengan tobat nasuha
Kami bilas dengan airmata lailahailallah
Dulang kami penuh batubatu tasbih O cahaya bulan
Galuh bulan galuh cahaya bulan galuhmu Hu Allah
Sebiji bulan seribu bulan lailahailallah
Selembar cahaya bulan seribu cahaya bulan lailahailallah
Duhai beri kami barang selembar cahaya
yang dapat menghapus segala dosadosa
Kami dulang cahaya kedamaian
Kami dulang cahaya ketentraman
Malam ini kami dambakan cahaya cintakasih
Karena kaulah yang mampu menyucikan hati kami
yang bergelumang
Karena kaulah yang mampu mencabut tamak kami
Ya Rabbi hidupkan jiwa kami yang tak beruh
Malam ini dulang kami lenggang dalam mardatillah firmanmu

Banjarbaru, 2005

Melihat tahun pembuatannya, puisi ini diciptakan Arsyad Indradi tahun 2005 tapi masuk ke dinding profilku pada tgl 28 Agustus 2010 bertepatan dengan Nuzulul Quran yang baru lalu. Puisi “Mendulang Cahaya Bulan” karya Arsyad Indradi kali ini sedikit berbeda dengan puisinya yang lain. Puisi-puisinya yang lain tetap tampil dengan bait-bait yang tertata rapi. Tetapi puisi “Mendulang Cahaya Bulan” ini tampil dengan tipografi tanpa bait. Seluruh untaian lariknya mulai dari larik [1] hingga ke larik [36] mengumpul jadi satu bait saja. Melihat tata wajah puisi yang panjang tanpa bait ini, maka masalah yang berkenaan dengan rima dan berbagai pola persajakan lainnya menjadi tidak penting lagi.

Dalam hal ini nampaknya Arsyad Indradi focus pada diksi atau pemilihan kata. Kali ini Arsyad Indradi tanpil dengan dengan diksi yang puitis, indah, mempesona dan sekaligus memukau. Diksi dalam “Mendulang Cahaya Bulan” yang bertebaran di setiap untaian larik-lariknya, bukan hanya ungkapan-ungkapan puistis, tetapi juga penuh dengan ungkapan kekhusyuan tafakur penyadaran, pengakuan, pertaubatan, percakapan, dan juga permohonan pengampunan seorang sufi kepada Sang Khalik. Seluruh untaian lariknya penuh dengan pemilihan kata yang indah memukau dan merasuk jiwa pembacanya. Memang di sinilah kekutan puisi-puisi Arsyad Indradi.

Pusi ini diawali dengan majas erotesis yang ditandai dengan kalimat tanya: “Dosadosa siapa yang menyembul dari tujuh patala bumi menciarciar di atas kehidupan. Dosadosa siapa yang melaras dari tujuh patala langit meraung raung di atas semesta”. Di samping Erotesis juga selaligus majas hoperbola yang ditandai dengan begitu dahsyatnya dosa itu “menyembul dari tujuh patala bumi” dan “melaras dari tujuh petala langit” Ungkapan-ungkapan ini tampil begitu mantap, dahsyat di sanubari nurani pembaca. Hal ini dapat dirasakan baik pada ungkapannya, lebih-lebih lagi makna dan roh yang ada pada kata-kata tsb.

Berikutnya, saya sebagai pengulas puisi ini tiba-tiba saja merasa bergetar seluruh tubuh, tak terasa hingga berkeringat dingin ketika membaca untaian di larik [6] dan [7]: “Ya Rabbi dosadosa [penyairkah] yang mengotori asmamu Sampai arasymu bergoncang?” Inilah pengakuan yang paling dalam dari seorang penyair Arsyad Indradi yang sangat menyadari bahwa Allah SWT dan rasulNya Muhammad SAW sangat membenci para penyair. Hal ini jelas terbaca pada hadist dan Al Quran. Sampai-sampai Allah SWT perlu mewahyukan surah “Asysyu’ara” yang berarti penyair atau tukang buat syair. Tentu penyair yang dimaksud adalah penyair jahiliyah dan sebangsanya.

Para penyair yang dalam puisi-puisinya selalu melantunkan puisi-puisi yang indah, yang isinya sangat menghormati , memuja, memuji, mengagung-agungkan para jagoan-jagoan mereka. Dan sebaliknya menghina, mencela, menghujat, sumpah serapah dan sejenisnya pada kalangan musuh mereka. Berikutnya mereka juga memuji keindahan tubuh wanita, kecantikan wajahnya, dan seluruh lekuk-lekuk tubuhnya yang menggiurkan dengan kata-kata yang menimbulkan gairah birahi pembaca dan pendengarnya. Dan puncaknya mereka juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad itu adalah tukang sihir. Dan Al Quran itu adalah puisi.
Padahal kita tahu bahwa puisi adalah ungkapan pikiran dan perasaan seseorang terhadap sesuatu melalui bahasa yang indah tersusun dalam bait dan larik. Sedang Al Quran jelas bukan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang. Tetapi Ia adalah wahyu sebagai acuan pedoman dan petunjuk dari Alah SWT yang diturunkan melalui malaikat Jibril AS kepada Nabi Muhammad SAW.

Membaca untaian puisi “Mendulang Cahaya Bulan” ini, tentulah Arsad Indradi bukan penyair yang dibenci tsb. Menyadari semua itu, Arsyad Indradi mengawali tafakurnya dengan: ”Duhai kami yang tunduk terpejam tafakur, tangantangan gemetar jarijari menisik batubatu tasbih [hingga] pecah berdarah. Kami datang ke altarmu ya Rabbi, menadah. Kami pendulang yang tadzallul sujud di kakimu datang dari duniawi yang sesungguhnya kau palingkan muka” dalam larik [8] hingga [13].
Di dalam larik-larik [9] dan [10] juga ada majas hiperbola pada untaian: “jarijari menisik batubatu tasbih pecah berdarah”

Di dalam puisi ini kita merasakan ada maji yang lain. Pada imaji visual kita seakan benar-benar melihat segalanya yang diungkapkannya.hanya saja semua terlihat tidak secara realis tetapi lebih pada surealis. Bagaimana jelasnya kita melihat tangan yang pecah bedarah karena menisik batubatu tasbih. Pada larik yang lain kita seakan benar-benar melihat para penyair mendulang cahaya bulan. [Mendulang cahaya bulan] benar-benar ungkapan yang memukau. Tentu saja ini lebih pada sebuah ungkapan bathin yang dalam. [Cahaya bulan] dimaksud adalah sesuatu yang dapat menghapus segala dosadosa, yang mampu menyucikan hati yang bergelumang dosa, yang mampu mencabut rasa tamak dari jiwa yang tak bersih, yang mampu menghidupkan jiwa yang tak beruh. Cahaya bulan adalah rasa keberimanan yang berakar pada keikhlasan Tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah. Untuk itulah Arsyad Indradi mendulang cahaya bulan pada malam yang khairun min alfi syahr. Malam yang lebih baik dari seribu bulan. Lihatlah betapa daahsyatnya ungkaan ini: Malam ini dulang kami lenggang dalam mardatillah firmanmu/ Kami lenggang dengan muraqabah iman kami/ Kami basuh batubatu tasbih dengan tobat nasuha/ Kami bilas dengan airmata lailahailallah/ Dulang kami penuh batubatu tasbih O cahaya bulan/Galuh bulan galuh cahaya bulan galuhmu Hu Allah
Sebiji bulan seribu bulan lailahailallah/ Selembar cahaya bulan seribu cahaya bulan lailahailallah/ Duhai beri kami barang selembar cahaya/ yang dapat menghapus segala dosadosa/ Kami dulang cahaya kedamaian/ Kami dulang cahaya ketentraman/ Malam ini kami dambakan cahaya cintakasih.
Selain dari imaji, kita juga dapat merasakan irama dalam puisi ini. Irama itu terasa dengan sendirinya mengalun syahdu sekaligus khusyu karena adanya pengulangan bunyi. Baik pengulangan bunyi berupa kata, frase, klausa, atau pun pengulagan kalimat yang tidak utuh.

Akhirnya, tak ada lagi kata yang bisa saya sampaikan selain dari ucapan Selamat hari Raya Idul Fitri 1 Syawwal 1431 H. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga kita bertemu lagi di hari fitri tahun-tahun mendatang, amin.

Banjarmasin,11 September 2010

Tidak ada komentar: