Jumat, 22 Oktober 2010

Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 8

oleh Hamberan Syahbana

Menikmati sebuah puisi sama saja dengan menikmati hidangan santapan 4 sehat 5 sempurna. Tentu sesuai dengan selera masing-masing. Ada yang suka masakan berkuah, ada yang suka dengan lalapan plus sambal pedasnya. Seleranya pun macam-macam. Ada yang suka rasa asin, suka rasa manis, ada yang suka rasa asam, bahkan ada yang suka rasa pahit. Demikian pula dengan puisi. Ada beberapa jenis puisi [1] Romansa yang berisi luapan perasaan cinta kasih dan sayang, [2] Elegi yang berisi ratapan duka jeritan nestapa bahkan tangisan kesedihan, [3] Satire yang berisi sindiran dan kritik sosial, [4] Balada yang berisi kisah orang-orang perkasa, [5] Himne yang berisi pujian untuk Tuhan, tanah air dan para pahlawan, [6] Ode yang berisi sanjungan untuk orang yang berjasa, [6] Epigram yang berisi tuntunan ajaran hidup dan kehidupan.
Motif dasar orang menyantap makanan di samping supaya kenyang juga ingin menikmati lezatnya masakan. Perasaan lezat setiap orang itu relative. Sama hal nya dengan membaca sebuah puisi. Sesorang membaca puisi adalah untuk mendapatkan rasa senang. Sesuatu yang bisa membuat rasa senang seseorang itu relatif. Ada yang merasa senang membaca untaian kata-kata yang indah, memukau dan mempesona, atau kata-kata lirih merintih dan menjerit, atau kata-kata yang meledak dan menggebu-gebu. Di samping itu ada juga yang suka pada persajakan atau persamaan bunyi di akhir-akhir kalimat, atau menemukan majas-majas di dalam sebuah puisi. Ada juga yang senang dengan imaji visual atau gambaran seakan-akan benar-benar melihat, imaji auditif sekan merasa benar-benar mendengar dan imaji taktil seakan merasa apa yang tertulis dalam puisi. Dan ada juga yang senang dengan pesan moral yang terkandung dalam puisi tsb.
Bilamana seorang pembaca menemukan rasa senang di dalam sebuah puisi, maka ia akan membacanya dari awal hingga akhir. Dan itu bisa dibaca ulang hingga berkali-kali. Bahkan ada yang mengutipnya sebagai penyedap dalam sebuah surat cinta, atau sebagai pelengkap dalam sebuah pidato. Dengan demikian maka sudah dapat dipastikan bahwa amanat atau pesan moral yang ada pada puisi itu akan sampai kepada pembacanya. Sebaliknya jika tidak, maka puisi itu pasti tidak akan dibaca lagi. Dan tentunya apa yang ingin diungkapkan penulisnya tidak akan sampai kepada pembacanya.
Pada Essei Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 8 ini kita akan mencermati 3 buah puisi yang berjudul:
1. KAU DAN POHON BERINGIN DI BOULEVARD KAMPUS BIRU karya SriKanti Kupu Hitam dari Kudus Provinsi Jawa Tengah
2. Istri Seorang Koruptor Menunggu Hadiah Ulang Tahun karya Holy Adibz dari kota Padang Provinsi Sumatera Barat
3. GUMAM DARI ISTANA DAUN RETAK Karya Ali Arsyi dari kota Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan
Marilah kita nikmati puisi yang pertama berikut ini.
[1]
KAU DAN POHON BERINGIN DI BOULEVARD KAMPUS BIRU
Puisi SriKanti Kupu Hitam
Aku melihat pohon itu tumbuh rindang, di depan boulevard kampus biru tahun itu seperti aku melihat matamu yang teduh sementara mulutmu berteriak meminta keadilan untuk rakyat waktu harga sembako murah mulai minggat bau keringatmu seanyir nafas katamu yang berhembus di ruang dewan senat seketika itu, cintaku padamu segera lekat erat menjerat
aku temukan di semilir angin yang berhembus dari pohon beringin depan boulevard kampus biru tahun itu sama saat aku menemukan kelembutan auramu, kekasih anggun angkuh tegak atas tirani tak bernurani suaramu sekeras derak ranting sementara daun-daun luruh jatuh di atas kepalamu
dalam semusim kau bertahan di bawah naungan pohon kampus kita yang melindungimu dari terik mentari sambil mengelupas kulit para serigala Negara hingga topeng mereka lepas menampakan muka merah marah menujah tubuh, suara dan semangatmu dengan kaprah sampai akhirnya pohon itu tumbang dan kau berdarah menyisakan boulevard kampus sepi tinggal sejarah
musim ini aku masih mengenangmu dan pohon itu di depan boulevard kampus biru
Kudus, 29 Juni 2010
Puisi SriKanti Kupu Putih yang berjudul KAU DAN POHON BERINGIN DI BOULEVARD KAMPUS BIRU di atas tampil dengan judul yang panjang dengan beberapa untaian lariknya yang panjang, Puisi ini terdiri dari 4 bait. Bait [1] terdiri dari 7 larik. Bait [2] terdiri dari 5 larik. Bait [3] terdiri dari 7 larik, dan bait [4] terdiri dari 3 bait. Semua lariknya berjumlah 22 untaian larik.
Puisi SriKanti ini dibangun dengan pemilihan kata yang bernuansa kenangan, cinta dan perjuangan mahasiswa menentang ketidak-adilan tirani yang tidak bernurani. Marilah kita cermati untaian larik [1] sampai larik [3]: Aku melihat pohon itu tumbuh rindang, di depan boulevard kampus biru tahun itu, seperti aku melihat matamu yang teduh. Dalam untaian larik ini ada imaji visual. Betapa piawainya SriKanti Kupu Hitam mengungkapkannya. Perasaan kita larut terbawa dalam kenangan itu. Kita merasa seakan benar-benar melihat pohon yang tumbuh rindang di depan boulevard kampus. Kita juga merasa betapa teduhnya pandangan mata sang kekasih. Di sini juga ada majas simile. Hal ini ditandai dengan ungkapan aku melihat pohon itu tumbuh rindang di depan boulevard kampus tahun itu yang dihubungkan dengan kata [seperti] yang ada di larik: seperti aku melihat matamu yang teduh. Majas simile itu terdapat pula di larik [6] pada untaian larik: bau keringatmu seanyir nafas katamu yang berhembus di ruang dewan senat.
Berikutnya mari kita cermati untaian larik [4] sampai dengan larik [7]: sementara mulutmu berteriak meminta keadilan untuk rakyat, waktu harga sembako murah mulai minggat, bau keringatmu seanyir nafas katamu yang berhembus di ruang dewan senat, seketika itu, cintaku padamu segera lekat erat menjerat.
Di dalam untaian larik-larik ini ada imaji visual sekaligus imaji auditif. Di mana kita seakan benar-benar melihat sang kekasih berteriak lantang. Kita juga seakan mendengar suara lantang sang kekasih. Perjuangan khas mahasiswa yang berjuang meminta keadilan untuk rakyat ketika waktu itu, harga sembako yang murah mulai menanjak naik. Di sini juga ada imaji taktil di mana kita seakan mencium bau anyir keringat dan nafas sang kekasih yang berhembus di ruang sidang. Ungkapan bau anyir di sini adalah bau yang tidak enak bagi mereka yang tidak suka dengan perjuangan mahasiswa. Tetapi sebaliknya bagi Si Penyair justru bau anyir itulah yang membuat cintanya segera lekat erat menjerat. Di dalam klausa [segera lekat erat menjerat ] ini ada majas aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [t] dan sekaligus asonansi yang dtandai dengan pengulangan bunyi vocal [e] pada kata [lekat], [erat] dan kata [menjerat]
Nampaknya di larik [1] sampai larik [3] tak ada rima, kecuali di larik [4] sampai degan larik [7]. Di larik-larik ini terdapat rima akhir yang tertata rapi. Hal ini ditandai dengan adanya pengulangan bunyi [at] pada kata [rakyat] di akhir larik [4] yang bersajak dengan kata [minggat] di ujung larik [5] kata [senat] di larik [6] dan kata [menjerat] di larik [7]. Dengan demikian persajakan di bait [1] ini berbentuk pola persajakan [a,b,c,d,d,d].
Secara keseluruhan untaian larik [1] sampai dengan larik [7] membentuk majas perifrase yang ditandai dengan ungkapan yang panjang. Marilah kita nikmati majas tsb. berikut ini.
Aku melihat pohon itu tumbuh rindang di depan boulevard kampus biru tahun itu seperti aku melihat matamu yang teduh sementara mulutmu berteriak meminta keadilan untuk rakyat waktu harga sembako murah mulai minggat [sementara] bau keringatmu seanyir nafas katamu yang berhembus di ruang dewan senat [dan] seketika itu cintaku padamu segera lekat erat menjerat
Berikutnya marilah pula kita cermati bait [2]. Di bait [2] kita menemukan pemilihan kata yang begitu indah mempesona. Kata-kata tsb masih bernuansa kenangan, cinta dan perjuangan mahasiswa. Hal ini ditandai dengan [kampus biru] dan [tahun itu] di larik [9]. Kata [boulevard] dan [kampus biru] sengaja dipilih penulisnya karena kata [boulevard] itu terdengar begitu indah ketimbang menggunakan kata [taman] dengan maksud yang sama.
Secara denotatif [kampus biru] maknanya memang benar-benar sebuah kampus yang tembok dan dinding-dindngnya semuanya berwarna biru. Tetapi jika ditinjau dari makna konotatif [kampus biru] bisa bermakna lain. Frase [kampus biru] ini mengingatkan kita pada sebuah film yang berjudul Cintaku di Kampus Biru yang sangat popular di tahun 70an. Film yang menceritakan sebuah percintaan sesaat antara Anton (Roy Marten) dengan dosennya yang dibintangi oleh Rae Sita. Berkaitan dengan ini, maka (kampus biru) di sini bisa bermakna sebuah kampus yang penuh kenangan cinta di masa yang lalu. Sebuah kenangan yang tak mudah dilupakan.
Sebelumnya ada semilir angin yang berhembus bernuansa romantis. Berikutnya ada nuansa kekaguman atas perjuangan sang kekasih. Ini dapat dilihat pada frase [kelembutan auaramu] di larik [10] dan kata [anggun] [angkuh] dan [tegak] atas [tirani tak bernurani] di larik [11]. Selanjutnya ada klausa [suaramu sekeras derak ranting]. Selama ini kita tahu bahwa bunyi derak ranting itu tidak begitu keras, tetapi bagi seseorang yang sedang dilanda cinta plus kekaguman maka bunyi apapun terasa indah kedengarannya. Demikian pula dengan bunyi derak ranting. Keadaan itu semakin romantis dengan adanya [daun-daun luruh] yang [jatuh di atas kepalamu]. Sedangkan kata [anggun] dan [angkuh] sebenarnya adalah dua kata yang kurang bersahabat. Tetapi lain lagi nuansanya bagi penulis yang sedang kasmaran. Sosok sang pejuang ini begitu anggun dalam keangkuhannya. Begitu berani tegak membusungkan dada menghadapi tirani yang tak berani.
Bait [2] ini juga dibangun dengan rima dan ritme yang indah. Hanya saja tidak dibangun dengan rima di akhir larik, tetapi menggunakan rima asonansi dan rima aliterasi. Di larik [8] ada rima asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi sengau [ng] dan [n] pada kata [angin] dan [beringin]. Demikian juga di larik [9] ada pengulangan bunyi vocal [u] pada kata [kampus], [biru], [tahun] dan kata [itu]. Di larik [10] ada pengulangan bunyi konsonan [s] pada kata [sama], [saat] dan kata [kekasih]. Di larik ini juga ada pengulangan bunyi sengau [m] pada kata [sama], [menemukan], [kelembutan] dan kata [auramu]. Berikutnya ada pengulangan bunyi konsonan [k] pada kata [aku], [menemukan], [kelembutan] dan kata [kekasih]. Di larik [11] ada pengulangan bunyi sengau [ang] pada kata [anggun] dan [angkuh], dan pengulangan bunyi konsonan [k] pada kata [angkuh], [tegak] dan kata [tak]. Di larik ini juga ada pengulangan bunyi [nurani] pada kata [nurani] dan [bernurani]. Terakhir di larik [12] ada pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata [suaramu], [sekeras], [derak], [ranting], [sementara] dan [luruh]. Semua pengulangan bunyi itu membentuk irama yang indah kedengarannya.
Bait [2] ini juga dibangun dengan imaji taktil, imaji visual dan imaji audtitif. Di larik [8] ada imaji taktil pada untaian: aku temukan di semilir angin yang berhembus dari pohon beringin. Membaca untaian larik ini kita turut merasakan hembusan semilir angin dari pohon beringin. Berikutnya ada juga imaji taktil di larik [10] pada untaian: sama saat aku menemukan kelembutan auramu, kekasih. Di sini kita turut merasakan ada kelembutan aura sang kasih. Sedangkan di larik [9] dan larik [11) ada imaji visual. Pada untaian larik: depan boulevard kampus biru tahun itu. Kita merasa seakan melihat pohon beringin yang rindang di depan boulevard kampus. Berikutnya ada untaian: anggun angkuh tegak atas tirani tak bernurani. Terbayang dalam benak kita sang pejuang rakyat bagaikan pohon beringin berdiri anggun dalam keangkuhannya tegak menantang tirani tak bernurani. Terakhir di larik [12] ada imaji auditif pada untaian: suaramu sekeras derak ranting dan ada imaji visual pada untaian larik: sementara daun-daun luruh jatuh di atas kepalamu. Di sini kita seakan mendengar bunyi suara sang pejuang sekeras suara derak ranting. Selanjutnya kita seakan melihat daun-daun yang luruh berjatuhan di atas kepala sang pejuang.
Secara keseluruhan untaian di bait [2] ini membentuk majas perifrase yang ditandai dengan adanya ungkapan yang panjang. Marilah kita nikmati majas tsb berikut ini.
aku temukan di semilir angin yang berhembus dari pohon beringin [di] depan boulevard kampus biru tahun itu sama [seperti] saat aku menemukan kelembutan auramu, kekasih. anggun angkuh tegak atas tirani tak bernurani [kudengar] suaramu sekeras derak ranting sementara [ketika itu kulihat] daun-daun luruh jatuh di atas kepalamu.
Di bait [2] ini juga ada majas perbandingan di larik [11] yang membandingkan sang kekasih dengan pohon beringin yang anggun angkuh tegak atas tirani tak bernurani. Dan dilarik [12] ada majas simile yang ditandai dengan klausa suaramu sekeras derak ranting. Kata [sekeras] adalah bentuk lain dari kata [seperti kerasnya]
Berikutnya marilah kita cermati untaian larik-larik di bait [3]. Bait [3] ini juga dibangun dengan diksi yang masih bernuansa kenangan ketika gigih-gigihnya para mahasiswa berjuang menantang tirani yang tak bernurani. Hal ini ditandai dengan untaian: dalam semusim di larik [13], kau bertahan di bawah naungan pohon kampus kita yang melindungimu dari terik mentari larik [14]. Di sini juga ada diksi [mengelupas kulit], [serigala Negara] larik [15], Ungkapan [mengelupas kulit] bisa bermakna membuka rahasia, sedangkan [serigala Nergara] maksudnya adalah sekelompok orang liar yang sama dengan serigala yang mengejar dan memangsa tangkapannya dengan lahapnya. Sayang serigala liar ini adalah serigala yang masih berstatus aparat Negara. Berikutnya di larik [16] ada kata [topeng], [menampakan muka], dan [merah marah]. Kata [topeng] maksudnya adalah perbuatan baik yang selama ini menutupi kebusukannya, sedangkan [menampakan muka] maksudntya memperlihatkan wajah asli, memperlihatkan kebusukan aslinya sehingga mikanya menjadi [merah marah] maksudnya malu dan marah.
Selanjutnya di larik [16] ada ungkapan: hingga topeng mereka lepas menampakan muka merah marah. Kata [topeng] maksudnya adalah penutup pengaman dalam bertugas. Sedangkan kata [lepas] maksudnya terbuka, tidak ada lagi yang tertutupi. Di larik [17] ada ungkapan: menujah tubuh, suara dan semangatmu dengan kaprah. Maksudnya gerakan perjuangan yang disuarakan dengan semangat yang menyala-nyala di dada selama ini sudah tepat maksudnya tidak salah kaprah.
Meskipun gerakan mahasiswa ini awal-awalnya hanyalah berkaitan dengan harga sembako yang menanjak naik. Tapi biasanya perjuangan mahasiswa melebar menjadi perjuangan melawan serigala Negara yang lain. Biasanya mereka meneriakan yel-yel dan menyanyikan lagu-lagu yang menyindir dan membuka rahasia para koruptor. Sampai akhirnya pohon itu tumbang dan kau berdarah [larik 18]. Dan di larik [19] ada untaian: menyisakan boulevard kampus sepi tinggal sejarah. Maksudnya kini semua tinggal kenangan sejarah yang sangat berkesan.
Bait [3] ini juga dibangun dengan imaji visual, imaji taktil dan imaji auditif. Di mana kita seakan melihat seseorang sedang bertahan dari terik matahari bernaung di bawah pohon beringin yang rindang. Sekaligus kita juga merasakan betapa teduhnya bernaung di bawah pohon rindang, sementara di sekitar pohon terasa teriknya matahari [larik 13 dan 14].
Berikutnya di larik [15] ada imaji visual non realis tapi lebih pada imaji surealis yang lebih bersifat ungkapan. Kita seakan melihat para pejuang mahasiswa itu mengelupas kulit para serigala Negara. Membuka rahasia seseorang yang selama ini kelihatannya baik. Padahal ia adalah [serigala Negara] musuh-musuh Negara yang terdiri dari para koruptor yang menggerogoti harta negara. Mereka membongkar kebusukan koruptor itu dengan data dan fakta. Selanjutnya di larik [16] kita seakan melihat dengan jelas bahwa perjuangan itu telah berhasil hingga topeng mereka lepas menampakan muka merah marah. Kebaikan yang selama ini melindungi kebusukan musuh Negara itu telah terbuka dan tidak ada lagi rahasia yang tertutupi. Di larik [17] kita turut merasakan bahwa gerakan perjuangan yang disuarakan mahasiswa dengan semangat yang menyala-nyala di dada selama ini sudah tepat, tidak salah kaprah. Di larik [18] kita seakan merasa benar-benar melihat dan mendengar perjuangan mahasiswa yang turun ke jalan. Mereka meneriakan yel-yel dan menyanyikan lagu-lagu yang menyindir dan membuka rahasia para koruptor. Sampai akhirnya pohon itu tumbang dan kau berdarah. Dan di larik [19] kita turuit merasakan semua itu tinggal kenangan sejarah yang sangat berkesan.
Berikutnya marilah kita cermati bait terakhir yaitu bait [4]. Puisi SriKanti ini ditutup dengan: musim ini aku masih mengenangmu dan pohon itu di depan boulevard kampus biru. Seperti juga bait terdahulu, bait ini dibangun dengan diksi yang berkaitan dengan kenangan indah yang tak akan terlupalan. Meskipun bait [3] hanya terdiri dari 3 larik yang sederhana, tetapi bait ini tetap dapat dinikmati melalui diksi dan rima yang melekat dalam bait ini.
Di larik [20] meskipun hanya terdiri dari 2 kata saja yaitu [musim] dan [ini]. Tetapi di sini ada pengulangan bunyi sengau [m] bunyi vocal [i]. Demikian pula di larik [21]. Di sini ada pengulangan bunyi sengau [m] pada kata [masih] dan kata [mengenangmu], Selanjutnya di larik [22] ada pengulagan bunyi komnsonan [d] pada kata [di], [depan] dan kata [boulevard]. Pengulangan bunyi-bunyi tsb jika dibacakan atau diperdengarkan akan menimbulkan irama yang indah.
Berikutnya di akhir larik [21] ada kata [itu] yang bersajak dengan kata [biru] di larik [22] pengulangan bunyi ini membentuk rima akhir. Dengan demikian persajakan di bait [3] ini membentuk pola persajakan [a,b,b]
Puisi in berjudul KAU DAN POHON BERINGIN DI BOULEVARD KAMPUS BIRU. Semuanya ditulis dengan menggunakan hurup kapital. Ini menunjukan bahwa semua yang diungkapkan oleh SriKanti dalam puisi ini tentu sangat penting. Paling tidak sangat penting bagi dirinya sendiri. Puisi ini nampaknya menunjukkan adanya kesan yang tak mudah dilupakan.
Sepintas lalu puisi ini hanyalah sebuah kenangan tentang cinta dan perjuangan mahasiswa yang dikarenakan harga sembako mulai minggat. Tetapi jika dikaitkan dengan mengelupas kulit para serigala Negara. Ini bukan sekedar memperjuangkan harga sembako murah. Serigala tidak sama dengan anjing. Sebab anjing termasuk binatang peliharaan yang amat setia dengan tuannya, sedangkan serigala adalah binatang liar yang hidup bergerombol di hutan-hutan. Hal ini tidak bisa dikaitkan dengan aparat yang selalu bersinggungan dengan perjuangan mahasiswa. Sebab aparat bertindak sesuai dengan prosedur melaksanakan tugas Negara. Sedangkan serigala betindak atas keinginan dan kepentingan sendiri. Setidaknya untuk kepentingan sesama kelompoknya. Apalagi jika dikaitkan dengan sampai akhirnya pohon yang dikelupas kulitnya itu tumbang. Ini menunjukkan bahwa pohon yang tumbang itu bukan benar-benar pohon. Pohon tu adalah ungkapan suatu kekuatan yang selalu menggerogoti Negara. Menguras harta Negara demi kepentingan pribadi dan golongannya.
Dalam puisi ini ada pesan moral yang disampaikan penulisnya melalui untaian larik-lariknya. Secara tersurat dia mengungkapkan bahwa hendaknya mahasiswa yang ada sekarang bercermin dengan perjuangan mahasiswa dari zaman ke zaman. Secara tersirat penulisnya mengatakan bahwa tugas mahasiswa itu di samping belajar menuntut ilmu, juga adalah pejuang keadilan rakyat.
***
Berikutnya marilah kita nikmati puisi yang kedua berikut ini
[2]
Istri Seorang Koruptor Menunggu Hadiah Ulang Tahun
Puisi Holy Adibz
suamiku
hari ini aku ulang tahun
sudahkah kau siapkan hadiah untukku
dari uang pajak yang telah mereka bayar

suamiku
kau harus membelikan kalung emas untukku
dari amplop yang mereka selipkan ke sakumu
agar engkau tutup mulut

suamiku
istri temanmu baru membeli sebuah mobil mewah
teruslah mengalirkan dana bank itu ke halaman rumah kita
aku ingin punya mobil yang lebih mewah

suamiku
aku bosan tinggal di rumah ini
sebab ini hari ulang tahunku
aku ingin kau membelikan rumah baru
segeralah kau tulis surat pengadaan barang dan jasa
atas nama belanja Negara

suamiku
aku tahu kau tak ‘kan mengecewakanku
cepat jual kayu-kayu di hutan itu
pada mereka yang sudi membayar tanpa tanda tangan
dan ajaklah aku berlibur keliling dunia
sebagai hadiah ulangtahunku kali ini


Padang, 30 September 2010
Lewat Tengah Malam

Puisi Istri Seorang Koruptor Menunggu Hadiah Ulang Tahun karya Holy Adibz ini terdiri dari 5 bait. Bait [1] terdiri dari 4 larik. Bait [2] tediri dari 4 larik. Bait [3] terdiri dari 4 larik. Bait [4] terdiri dari 6 larik. Bait [5] terdiri dari 6 larik. Seliuruhnya berjumlah 24 larik.
Puisi ini dibangun dengan diksi yang sederhana dan mudah dicerna. Dan puisi ini termasuk puisi imajis demghan kesederhanaan diksinya membuat puisi mudah dipahami dan mudah dinikmati pembaca. Walaupun demikian puisi ini bukan berarti tanpa makna. Malah sebaliknya Holy Adibz menyajikan menu yang lain dari yang lain. Semua diksinya bernuansa sindiran halus yang menggelitik dikemas dalam bujukan dan rengekan seorang istri kepada suaminya. Sungguh ini sangat menarik. Marilah kita cermati untaian di bait [1] ini: suamiku, hari ini aku ulang tahun. sudahkah kau siapkan hadiah untukku dari uang pajak yang telah mereka bayar.[?].
Di bait [1] ini ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi [ku] di akhir kata [suamiku] di larik [1] dan kata [untukku] di larik [3]. Meskipun tidak ada pengulangan bunyi di larik [2] dan [4], tetapi ini sudah membentuk persajakan dengan pola [a,b,a.c]. Di bait [1] ini juga ada rima awal yang ditandai dengan pengulangan bunyi [su] di awal kata [suamiku] di larik [1] yang bersajak dengan kata [sudahkah] di larik [3]. Di larik [2] ada pengulagan bunyi [ri] di akhir kata [hari] yang bersajak dengan [dari] di larik [4]. Pengulangan bunyi ini mmbentuk rima awal dengan pola [a,b,a,b]
Di bait [1] ini ada untaian: dari uang pajak yang mereka bayar di larik [4]. Hal ini mengingatkan kita pada kasus Gayus Tambunan yang mengalihkan uang pembayaran pajak ke rekening pribadi. Kalimat ini adalah sindiran halus yang amat terang benderang bagi petugas pajak yang nakal. Di bait [1] ini juga ada majas erotesis yang ditandai dengan kalimat tanya: sudahkah kau siapkan hadiat untukku [?]. Ucapan ini tentu hanya didengar oleh sang suami si koruptor itu.
Berikutnya akan semakin jelas bila kita mencermati bait [2] dari puisi ini. Dengarlah lanjutannya: suamiku, kau harus membelikan kalung emas untukku dari amplop yang mereka selipkan ke sakumu agar engkau tutup mulut. Semua untaian larik ini begitu indah kedengarannya. Karena di samping kata-katanya yang begitu familiar, juga karena ada rima yang tertata rapi. Di sini ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u]. Bunyi vocal itu ada dalam suku kedua yang berbunyi [ku] dan [mu] pada kata [suamiku] di larik [5] yang bersajak dengan kata [untukku] di larik [6] dan kata [sakumu] di larik [7]. Pengulangan bunyi vocal [u] membentuk pola persajakan [a,a,a,b]. Sedangkan di larik [8] secara khusus ada rima asonansi dan aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vocal [u] dan bunyi konsonan [t] dalam kata [tutup] dan [mulut].
Di bait [2] ini Holy Adibz mencoba menggambarkan permintaan istri koruptor kelas rendahan. Ini dapat dilihat pada untaian: suamiku, kau harus membelikan kalung emas untukku. Dia hanya minta dibelikan kalung emas atas jasa tutup mulut suaminya. Memang itu kemampauan koruptor kelas bawah. Berbeda dengan istri koruptor kelas atas, yang diminta dibelikan kalung berlian tentunya dengan harganya yang wah.
Untuk melihat keinginan istri sang koruptor kelas tinggi dapat kita cermati pada bait [3] berikut. Dengarlah: suamiku, istri temanmu baru membeli sebuah mobil mewah, teruslah mengalirkan dana bank itu ke halaman rumah kita aku ingin punya mobil yang lebih mewah. Sangat jelas kan? Dia tidak minta dibelikan kalung emas, bahkan berlian pun tidak. Karena kedua kalung itu hanya dapat dilihat pada pertemuan arisan dsb. Beda dengan mobil yang lebih mewah dari yang mewah, di samping bisa di lihat pada waktu pertemuan arisan juga bisa pamer setiap hari.
Untaian larik di bait [3] ini terasa indah karena di sini juga ada rima yang memukau antara frase [mobil mewah] dan [mobil yang lebih mewah]. Persajaan ini membentuk rima akhir dengan pola [a,b,c,b].
Selanjutnya marilah kita cermati bait [4]. Di bait ini ada untaian yang lebih seru. Mari kita nikmati untaian larik-larik tsb. suamiku, aku bosan tinggal di rumah ini sebab ini hari ulang tahunku aku ingin kau membelikan rumah baru segeralah kau tulis surat pengadaan barang dan jasa atas nama belanja Negara. Di sini yang diminta sebagai hadiah ulang tahun adalah sebuah rumah baru. Hebatnya lagi pembelian rumah ini atas biaya belanja Negara.
Untaian larik-larik ini terasa indah, karena di sini ada rima yang tertata rapi. Yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] pada kata [suamiku] di larik [13] yang bersajak dengan [ulang tahunku] di larik [15], dan [rumah baru] di larik [16]. Berikutnya ada pengulangan bunyi vocal [a] pada kata [jasa] di larik [17] yang bersajak dengan kata [Negara] di larik [18]. Pengulangan tsb membntuk rima dengan pola persajakan [a,b,a,a,c,c].
Marilah kita cermati bait [5].Di bait ini juga ada untaian yang lebih heboh. Mari kta cermati larik-larik tsb. suamiku aku tahu kau tak ‘kan mengecewakanku cepat jual kayu-kayu di hutan itu pada mereka yang sudi membayar tanpa tanda tangan dan ajaklah aku berlibur keliling dunia sebagai hadiah ulangtahunku kali ini. Di bait [5] yang diminta sebaga hadiah ulangan tahun adalah berlibur keliling dunia.
Di bait ini juga ada rima akhir dengan pengulangan bunyi vocal [u] pada kata [suamiku] di lark [19] yang bersajak dengan kata [mengecewakanku] di larik [20] dan kata [itu] di larik [21]. Pengulangan bunyi tsb embentuk rima dengan pola persajakan [a,a,a,b,c,d].
Puisi Holy Adibz juga dibangun dengan imaji visual sekaligus imaji auditif. Membaca puisi ini kita sekan meliat seorang istri yang cantik bermanja-manja dengan suaminya yang koruptor itu. Kita juga seakan mendengar suara sang istri yang menanyakan hadiah ulang tahun kepada suaminya yang duitnya dari penggelapan uang pajak. Begitu jelasnya Holy Adibz memaparkan ucapan manja yang biasanya hanya berupa bisikan di tempat tidur. Ada beberapa hadiah ulang tahun yang diminta. Diantaranya minta dibelikan kalung emas, lalu menceritakan bahwa istri teman suaminya baru membeli mobil mewah. Dan ia minta dibelikan mobil yang lebih mewah. Berikutnya minta sebagai hadiah ulang tahun adalah sebuah rumah baru. Hebatnya lagi pembelian rumah ini atas biaya belanja Negara. Selanjutnya minta dibawa berlibur keliling dunia, dengan biaya hasil penjualan hutan kayu tanpa tanda tangan sebagai bukti transaksi.
Sepintas lalu semua hadiah ulang tahun itu hanya untuk satu orang istri koruptor saja. Tetapi jika kita cermati ada permintaan hadiah ulang tahun berupa kalung emas, maka nampaknya ini bukan satu orang saja. Biasanya kalung emas bukanlah impian seorang istrimpejabnat kelas kakap. Berarti di dalam puisi ini ada beberapa orang istri dari beberapa kelas koruptor. Dari kelas rendahan yang hanya minta kalung emas, sampai koruptot kekas kakap yang minta dibawa berlibur keliling dunia.
Di sini Holy Adibz juga secara terang benderang mengungkapkan praktek korupsi dengan cara: [1] menggelapkan dan memanipulasikan pembayaran pajak, [2] uang suap tutup mulut, [3] penyimpangan dana bank, [4] manipulasi biaya pengadaan barang milik negara, [5] uang transaksi jual beli hutan kayu tanpa tanda bukti.
Puisi Holy Adibz ini termasuk puisi imajis yang bermuatan sindiran dan kritik. Di dalam puisi ini nampaknya Holy Adibz ingin menyampaikan pesannya kepada: [1] sesama mahasiswa sebagai calon pemimpin di masa yad, [2] pejabat pemegang amanah yang belum pernah korupsi, [3] siapa saja berpeluang menjadi koruptor. Agar jangan sampai terpengaruh dengan rengekan istri yang menjurus ke arah praktek korupsi.
Disamping Holy Adibz juga ingin menyampaikan pesan moralnya kepada: [1] para istri pejabat pemegang amanah, [2] para wanita yang akan bersuami pemegang amanah, [3] para wanita siapa saja yang berpeluang mendorong suami kea rah korupsi: agar jangan meminta sesuatu dengan biaya hasil korupsi. Karena hal itu akan berakibat merugikan Negara dan membahayakan posisi sang suami sendiri.
[3]
GUMAM DARI ISTANA DAUN RETAK
Puisi Ali Syamsuddin Arsy
telunjuk mengarah pada satu titik, istana daun retak bertahun sudah mencoba membangun lembar-lembar daun, dari yang berserak kepada menghimpun telunjuk itu membuka garis-garis di telapak
lihat, ini pasukan cicak di belantara rimbun daun dan jejak-jejak dengar, suara-suara gemeretak dari helai-helai daun yang mulai retak kering, lusuh-lapuk menuju lenyap
sebagaimana hikayat dari bangunan sebuah istana pasir-pasir menjadi perih di tempias ujung kelopak buih-buih dari berjuta akan selesai bila telah berucap ternyata tidak segampang itu ternyata tidak semudah itu ternyata tanah tempat bangunan istana itu terbuat dari serak-serak rerimbun daun-daun retak runtuh pun mengancam di puncak mahkota mahkota, ya mahkota dari cuaca terkuak tak jua tak tak memperjelas gerak tak
lihat, ini pasukan manusia kelas paling miskin] berduyun berjejal terinjak-injak dengar, gemuruh di dapur-dapur lusuh dan sakit pasukan perut yang selalu melilit
setelah ini, siapa lagi tampil mendaftar istana daun retak
Banjarbaru, 19 januari 2010 (gerimis tipis di luar mengepung sepi)
Puisi GUMAM DARI ISTANA DAUN RETAK karya Ali Arsyi ini tampil dengan tipografi 5 bait. Bait [1] terdiri dari 5 larik, bait [2] terdiri dari 5 larik, bait [3] terdiri dari 9 larik, bait [4] terdiri dari 4 larik dan bait [5] terdiri dari 2 larik. Jadi seluruhnya berjumlah 25 larik.
Bait [1] puisi ini dibangun dengan kata-kata yang biasa digunakan sehari-hari. Tetapi di tangan Ali Arsyi kata-kata biasa itu menjelma menjadi untaian kata yang pantastis. Kata-kata tsb mampu membentuk rima yang tertata rapi. Lihatlah di larik [1] ada [istana daun retak] yang bersajak dengan [yang berserak] di larik [3] dan [garis-garis di tekapak] di larik [5]. Yang sama-sama diakhiri dengan bunyi [ak]. Berikutnya di larik [2] ada kata [membangun] yang bersajak dengan kata [menghimpun] di larik [5], yang sama-sama diakhiri dengan bunyi [un]. Pengulangan bunyi tsb membentuk persajakan dengan pola [a.b.a,b.a].
Di bait [1] ini juga kita temukan untaian larik yang menarik, mempesona sekaligus memukau. Bait [1] ini diawali dengan gerakan telunjuk yang menunjuk ke istana daun retak. Lihatlah betapa menariknya: [istana daun retak] yang dibangun dari [lembar-lembar daun] yang [berserak]. Di sini Ali Arsyi telah berhasil membuat kita bertanya-tanya. Bagaimana mungkin? Daun-daun retak yang berserakan itu digunakan untuk membangun sebuah istana? Selanjutnya bait [1] ini ditutup dengan telunjuk itu membuka garis-garis di telapak.
Di sini ada imaji visual. Kita seakan melihat telunjuk tangan yang kelima jemarinya mengarah pada satu titik. Selanjutnya kita seakan melihat sebuah istana. Kita melihat ada usaha membangun istana selama bertahun-tahun. nampak bagi kita pengumpulan lembaran daun yang berserakan, lalu di jadikan sebagai bahan bangunan sebuah istana. yaitu istana daun retak, Terakhir kita seakan melihat telunjuk itu membuka garis-garis di telapak tangan. Di sini juga ada imaji auditif, kita serasa mendengar bunyi gemeretak dari helai-helai daun yang mulai retak. Untaian larik-ini memeperlihatkan betapa piawainya Ali Arsyi membangun sebuah imaji. Dan imaji ini harus dimaknai secara khusus, karena citraan yang digambarkan masih berupa ungkapan yang mengandung misteri.
Berikutnya di bait [2], puisi ini dibangun dengan diksi atau pemilihan kata yang unik memukau. Lihatlah! Di larik [6] ada [pasukan cicak] di [belantara]. Di larik [7] ada [rimbun daun] dan [jejak-jejak]. Di larik [8] ada suara-suara [gemeretak]. Di larik [9] ada [helai-helai daun yang mulai retak]. Di larik [10] ada kata [kering], [lusuh] dan [menuju lenyap]. Bait ini memperlihatkan imaji visual dan imaji auditif yang ramai dan heboh. Kita seakan melihat pasukan cicak di hutan belantara. Diantara rerimbunan daun dan jejak-jejak. Kita juga seakan mendengar suara-suara gemeretak dari helai daun yang mulai retak, kering, lusuh dan melapuk, akhirnya lenyap menghilang. Bayangkan! Bukankah ini suatu gambaran yang pantastis memukau?
Secara denotatif [pasukan cecak] ini maknanya benar-benar kumpulan beratus-ratus. cecak di hutan belantara. Tetapi secara konotatif [pasukan cecak] ini bisa bermakna lain. Untaian-untaian ini penuh dengan misteri yang belum terungkap. Apalagi jika dikaitklan dengan [istana daun retak]. Frase [istana daun retak] sendiri tidak mungkin bermakna benar-benar istana yang dibuat dari daun retak. Tetapi frase ini adalah sebuah ungkapan. Kata [istana] erat kaitannya dengan kukasaan. Kekuasaan berkaitan dengan jabatan. Mungkinkah [istana daun retak] ungkapan sebuah jabatan yang dibangun dari [daun retak]? Mengapa dinamakan istana daun retak? Karena dibangun dari daun retak. Frase [daun retak] adalah istilah lain dari sesuatu yang biasa dibagi-bagikan kepada khalayak dalam tanda petik[“—“].
Bait [2] ini juga dibangun dengan rima yang tertata rapi. Lihatlah kata [jejak-jejak] di larik [7] bersajak dengan kata [gemeretak] di larik [8], dan [mulai retak] di bait [9]. Sedangkan kata [belantara] di larik [6] membentuk rima tidak sempurna dengan kata [lenyap] di larik [10]. Dengan demikian persamaan atau penghulangan bumnyi di bait [2] ini membentuk persajakan dengan pola [a.b.b.b,a]
Mari kita cermati bait [3] dengan ungkapan-ungkapannya yang semakin heboh dan semakin dahsyat. Di larik [11] ada [Sebagaimana], [hikayat] dan [sebuah istana]. Di larik [12] ada [pasir-pasir menjadi perih] dan [tempias ujung kelopak]. Di larik [13] ada [buih-buih] dan [dari berjuta akan selesai bila telah berucap]. Di larik [14] ada [ternyata tidak segampang itu ternyata tidak semudah itu] Di larik [15] ada [tanah tempat bangunan istana itu]. Di larik [16] ada [serak-serak] dan [rerimbun daun-daun retak]. Di larik [17] - [runtuh pun mengancam di puncak]. Di larik [18] ada [mahkota mahkota] dan [cuaca terkuak]. Di larik [19] ada [tak jua tak] dan [tak memperjelas gerak tak]
Semua untaian larik di bait [3] ini, disadari atau tidak. Ternyata ini adalah sebuah sindiran atau kritik. Hal ini ditandai dengan adanya kekhawatiran. Bagaikan sebuah hikayat membangun sebuah istana yang pasir-pasirnya beterbangan masuk ke mata. Tentu perih rasanya. Di sini ada kekhawatiran bahwa istana itu akan runtuh, karena tanah dasar bangunan itu ternyata terbuat dari serakan daun-daun yang retak. Dan tentu akan menggoyahkan mahkota pemilik istana itu.
Misteri di dalam bait-bait terdahulu kini mulai terungkap. Kalau sebelumnya ada unmgkapan pasukan cecak. Tetapi di di bait [4] Ali Arsyi sudah secara terang benderang menggunakan [pasukan manusia kelas paling miskin] dalam untaian pembukanya. Mari kita cermati untaian berikut ini.
lihat, ini pasukan manusia kelas paling miskin, berduyun berjejal terinjak-injak. Mereka itu barangkali yang ikut menyerbu pendaftaran untuk mendapatkan pembagian jatah daun retak. Atau barangkali juga ikut mendaftar untuk memasuki istana daun retak. Yang jelas, mereka adalah orang-orang yang selama ini hidup dalam gemuruh di dapur-dapur lusuh dan sakit. Mereka adalah pasukan perut yang selalu melilit.
Mencermati untaian larik-larik di bait [4] ini, kita teringat akan antrian panjang yang ditayangkan di dalam berita TV. Diantaranya, beberapa tahun yang lalu ada pembagian zakat langsung kepada fakir miskin, yang menelan korban jiwa. Ada juga antrian pembnagian jatahb sembako. Lalu ada antrian pembagian BLT/SLT BBM. Ada juga antrian tutup mulut serangan fajar menjelang pemilu dan pilkada. Dan banyak lagi yang lainnya. Akhirnya Ali Arsyi menutup puisinya dengan untaian larik setelah ini, siapa lagi tampil mendaftar [ke] istana daun retak [?]
Puisi Ali Arsyi ini berjudul GUMAM DARI ISTANA DAUN RETAK. Kata [gumam] maksudnya ucapan yang hanya bisa dimengerti olah orang yang bergumam itu sendiri. Karena bagi orang lain [guman] hanyalah berupa bunyi-buyi yang tak jelas. Bergumam itu boleh dikata berdekatan maknanya dengan menggerutu. Menggerutu itu adalah bentuk lain dari kekhawatiran. Berkaitan dengan [istana daun retak] tentu ada yang mengganjal di hati penulisnya.
Puisi ini adalah puisi sindiran manis yang dikemas dengan manis dan pantastis. Dalam puisi ini Ali Arsyi nampaknya ingin menyampaikan pesan moral kepada kita, bahwa janganlah kita bersikap tutup mata tutup telinga. Karena barangkali ada pasukan cicak di sekitar kita, yang secara terang benderang menghimpun daun-daun retak yang berserakan buat membangun sebuah istana. Karena sebuah istana yang dibangun dengan kumpulan daun-daun retak tentu tidak akan berdiri kuat. Dan pada saatnya akan luluh lantak berantakan yang merugikan kita semua.

Salam dari Banjarmasin, 19 Oktober 2010

Tidak ada komentar: