(Dalam
Puisi Esai Denny JA)
Fang Yin, gadis berusia 22 tahun. Terpaksa kabur dari Indonesia
setelah diperkosa segerombolan orang dalam peristiwa huru hara tahun 1998.
Kisah Fang Yin yang bermuatan diskriminasi ini menggetarkan hati siapa saja,
terlebih lagi bagi Denny JA yang lantas menuliskannya dalam puisi esai berjudul
“Sapu Tangan Fang Yin”, salah satu dari lima judul puisi yang termuat dalam
buku “Atas Nama Cinta” (Rene Book, Jakarta, 2012: 215 halaman).
Masih
terlalu sulit untuk menemukan karya sastra yang ditulis dengan latar belakang
peristiwa tahun 1998, yang dikenal dengan peristiwa gerakan reformasi.
Kehadiran puisi esai Denny JA ini menjadi angin segar, sebab selain berkisah
tentang diskriminasi tapi sekaligus menawarkan wacana baru bagi perkembangan
kesusastraan Indonesia, yakni melalui apa yang disebut Denny JA “puisi esai.”
Tentang puisi esai dapat dibaca dalam epilog Sapardi Djoko Damono berjudul
“Memahami Puisi Esai Denny JA” (hal. 185-188).
//Apa arti
Indonesia bagiku? Bisik Fang Yin kepada dirinya sendiri. Ribuan keturunan
Tionghoa meninggalkan Indonesia/Setelah Mei yang legam, setelah Mei yang tanpa
catatan/Setelah Mei yang bergelimang kerusuhan//(hal. 20). Hati siapa tidak
bergidik membaca bait puisi di atas? Meski kalimatnya masih terkesan prosais,
dengan mudah ingatan kita dibawa melayang ke masa itu. Tidak cukup hanya bait
puisi di atas saja Denny JA menggambarkan dahsyatnya peristiwa kerusuhan
tersebut. Sebagai puisi esai yang mencantumkan catatan kaki, kita bisa membaca
data: bahwa tercatat sekitar 70.000
warga keturunan etnis Cina meninggalkan Indonesia pascakerusuhan Mei 1998 itu.
Disinilah kelebihan dan kecerdesan Denny JA memunculkan wacana baru bernama
puisi esai.
Pertanyaan
tentang arti Indonesia bagi Fang Yin pun muncul kembali.//Apa arti Indonesia bagiku?bisik Fang Yin/Kepada dirinya sendiri,
yang hidupnya telah dirampas/Yang tak lagi bisa merasakan sejuknya angin/Sebab
kebahagiaannya tinggal ampas//(hal. 20). Dibanding bait puisi sebelumnya, bait
puisi ini lebih terjaga diksinya, bahkan mengandung unsur persajakan. Dan
contoh bait puisi seperti inilah yang seharusnya ditulis Denny JA, sehingga
tidak terjebak dalam penulisan karya puisi yang terkesan reportase.
Ahirnya
//Fang Yin sekeluarga mengungsi ke Amerika/Bersama sejumlah warga keturunan
Tionghoa;/Mereka tinggal berdekatan di New York, Philadelphia,/Los Angeles, New
Jersey – bagaikan perkampungan Indonesia//(hal. 21). Timbul pertanyaan nakal di
benak saya, mengapa migrasi (atau mengungsi) yang hanya berjarak seminggu
setelah peristiwa huru hara itu berlokasi saling berdekatan di New York? Apakah
karena pengungsi lainnya masih mempunyai
hubungan keluarga dengan Fang Yin? Mengapa bisa tercipta suasana “bagaikan
perkampungan Indonesia?” Tentu dengan
tambahan catatan kaki akan lebih memudahkan pembaca untuk memahami suasana di
tempat pengungsian tersebut. Sulit menggunakan akal sehat jika dalam suasana
kerusuhan yang tidak menentu, masih ada korban kerusuhan yang berpikir untuk
tinggal saling berdekatan di negara lain. Tapi sekali lagi, inilah kebebasan
puisi dan kebebasan berekspresi. Denny JA lebih mempunyai hak untuk menuliskan
kisah Fang Yin, baik dengan catatan kaki maupun tanpa catatan kaki.
//13
tahun sudah di Amerika, tumbuh keinginannya/Untuk pulang ke tanah kelahirannya,
Indonesia;/Waktu itu usianya menginjak tiga puluh lima/Ia ingin memulai hidup
baru, membangun keluarga//(hal. 21-22). Tentu tidak semudah itu Fang Yin balik
ke Indonesia. Denny JA tampak piawai menceritakan kilas baliknya. Trauma yang
menghantui Fang Yin akibat terenggut
kehormatannya karena telah diperkosa. Kenangan pada Albert Kho, kekasihnya,
yang telah memberinya selembar sapu tangan kepada Fang Yin saat menjenguknya di
rumah sakit. Sapu tangan yang kemudian oleh Denny JA dijadikan idiom untuk
melambangkan kepedihan dalam kisah Fang Yin. Sapu tangan yang menyimpan bekas
tetesan air mata bagian abadi dari hidup Fang Yin.
Denny JA
juga jeli menambahkan ajaran Konghucu yang disampaikan oleh seorang guru spriritual
untuk menenangkan hati Fang Yin. Sesuai hakikat Shio, Fang Yin adalah gadis
Naga, dan 1998 adalah Macan, Naga kurang beruntung di tahun itu dan Fang Yin
harus menerimanya dengan dada terbuka. Tentu
dalam kisah pedih Fang Yin ini kita terjemahkan saja secara bebas pengertian
”kurang beruntung“ menjadi malapetaka.
Tidak
hanya itu saja, Denny JA pun mengutip isi Kitab Meng Zi: //Dengarkan: Yang
tidak susila jangan dilihat/Yang tidak susila jangan didengar/Yang tidak susila
jangan dibicarakan//(hal. 39). Tentu agak kurang relevan kutipan tersebut
untuk mengurangi derita Fang Yin. Beberapa bait puisi juga tidak terjaga
pilihan kata-katanya, dan jadinya seperti sebuah reportase.
Misalnya://Komunitas Tionghoa Indonesia di manca negara/kadang jumpa, berbagi
cerita tentang Imlek dan segala rupa/Sudah banyak yang ganti negeri/Menjadi
warga Amerika, Singapura, dan lain-lainnya//(hal. 41)
Berbeda
jika realitas tetap ditulis dengan kekuatan kata untuk memunculkan roh puisi,
seperti berhasil dilakukan Denny JA dalam bait://tembok setinggi apa
pun/Ternyata tak mampu mengamankannya/Tak mampu membendung gelombang
huru-hara/Yang membakar Jakarta//(hal. 26).
Akhirnya,
terbersit kerinduan di hati Fang Yin untuk kembali ke Indonesia.
Setelah bertahun mempelajari buku filsafat, sastra, agama, politik, dan telah
terpahat ilmu pengetahuan yang mengubah sikap hidupnya. Teringat nasihat
ayahnya://Amerika hanyalah tempat
sementara untuk singgah/Tapi kita lahir di Indonesia, jadi mati sebaiknya di
sana/Luka masa silam harus dilawan/Cinta Ibu Pertiwi harus ditumbuhkan//(hal.
45). Lantas ritual penyucian diri pun dilakukan, sesuai judul puisi esai
ini.//Ia nyalakan lagi korek api/Dan tanpa pikir panjang, ia bakar sapu tangan
itu;/Api menyala, sapu tangan terbakar/Ia melihat seluruh dirinya yang lama
menjadi abu//(hal. 47).
Berdasarkan
perhitungan kalender Cina, tahun 2012 adalah Shio Naga, membawa peruntungan
yang baik. Kita tunggu saja kepulangan kembali Fang Yin ke Jakarta, tempat di mana ia rindu menghabiskan
senja. Fang Lang menginginkan Indonesia
seperti dirinya: menang melawan masa lalu. //Aku
segera pulang ke sana!/Aku segera hidup di sana//(hal. 49).
Semoga. (Bambang Widiatmoko)
-oo00oo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar