Jumat, 05 Oktober 2012

FANG YIN: MENIMBA ILMU MELAWAN MASA LALU


(Dalam Puisi Esai Denny JA)

Fang Yin, gadis berusia 22 tahun. Terpaksa kabur dari Indonesia setelah diperkosa segerombolan orang dalam peristiwa huru hara tahun 1998. Kisah Fang Yin yang bermuatan diskriminasi ini menggetarkan hati siapa saja, terlebih lagi bagi Denny JA yang lantas menuliskannya dalam puisi esai berjudul “Sapu Tangan Fang Yin”, salah satu dari lima judul puisi yang termuat dalam buku “Atas Nama Cinta” (Rene Book, Jakarta, 2012: 215 halaman).
            Masih terlalu sulit untuk menemukan karya sastra yang ditulis dengan latar belakang peristiwa tahun 1998, yang dikenal dengan peristiwa gerakan reformasi. Kehadiran puisi esai Denny JA ini menjadi angin segar, sebab selain berkisah tentang diskriminasi tapi sekaligus menawarkan wacana baru bagi perkembangan kesusastraan Indonesia, yakni melalui apa yang disebut Denny JA “puisi esai.” Tentang puisi esai dapat dibaca dalam epilog Sapardi Djoko Damono berjudul “Memahami Puisi Esai Denny JA” (hal. 185-188).
            //Apa arti Indonesia bagiku? Bisik Fang Yin kepada dirinya sendiri. Ribuan keturunan Tionghoa meninggalkan Indonesia/Setelah Mei yang legam, setelah Mei yang tanpa catatan/Setelah Mei yang bergelimang kerusuhan//(hal. 20). Hati siapa tidak bergidik membaca bait puisi di atas? Meski kalimatnya masih terkesan prosais, dengan mudah ingatan kita dibawa melayang ke masa itu. Tidak cukup hanya bait puisi di atas saja Denny JA menggambarkan dahsyatnya peristiwa kerusuhan tersebut. Sebagai puisi esai yang mencantumkan catatan kaki, kita bisa membaca data:  bahwa tercatat sekitar 70.000 warga keturunan etnis Cina meninggalkan Indonesia pascakerusuhan Mei 1998 itu. Disinilah kelebihan dan kecerdesan Denny JA memunculkan wacana baru bernama puisi esai.
            Pertanyaan tentang arti Indonesia bagi Fang Yin pun muncul kembali.//Apa arti Indonesia bagiku?bisik Fang Yin/Kepada dirinya sendiri, yang hidupnya telah dirampas/Yang tak lagi bisa merasakan sejuknya angin/Sebab kebahagiaannya tinggal ampas//(hal. 20). Dibanding bait puisi sebelumnya, bait puisi ini lebih terjaga diksinya, bahkan mengandung unsur persajakan. Dan contoh bait puisi seperti inilah yang seharusnya ditulis Denny JA, sehingga tidak terjebak dalam penulisan karya puisi yang terkesan reportase.
            Ahirnya //Fang Yin sekeluarga mengungsi ke Amerika/Bersama sejumlah warga keturunan Tionghoa;/Mereka tinggal berdekatan di New York, Philadelphia,/Los Angeles, New Jersey – bagaikan perkampungan Indonesia//(hal. 21). Timbul pertanyaan nakal di benak saya, mengapa migrasi (atau mengungsi) yang hanya berjarak seminggu setelah peristiwa huru hara itu berlokasi saling berdekatan di New York? Apakah karena pengungsi lainnya  masih mempunyai hubungan keluarga dengan Fang Yin? Mengapa bisa tercipta suasana “bagaikan perkampungan Indonesia?”  Tentu dengan tambahan catatan kaki akan lebih memudahkan pembaca untuk memahami suasana di tempat pengungsian tersebut. Sulit menggunakan akal sehat jika dalam suasana kerusuhan yang tidak menentu, masih ada korban kerusuhan yang berpikir untuk tinggal saling berdekatan di negara lain. Tapi sekali lagi, inilah kebebasan puisi dan kebebasan berekspresi. Denny JA lebih mempunyai hak untuk menuliskan kisah Fang Yin, baik dengan catatan kaki maupun tanpa catatan kaki.
            //13 tahun sudah di Amerika, tumbuh keinginannya/Untuk pulang ke tanah kelahirannya, Indonesia;/Waktu itu usianya menginjak tiga puluh lima/Ia ingin memulai hidup baru, membangun keluarga//(hal. 21-22). Tentu tidak semudah itu Fang Yin balik ke Indonesia. Denny JA tampak piawai menceritakan kilas baliknya. Trauma yang menghantui Fang Yin  akibat terenggut kehormatannya karena telah diperkosa. Kenangan pada Albert Kho, kekasihnya, yang telah memberinya selembar sapu tangan kepada Fang Yin saat menjenguknya di rumah sakit. Sapu tangan yang kemudian oleh Denny JA dijadikan idiom untuk melambangkan kepedihan dalam kisah Fang Yin. Sapu tangan yang menyimpan bekas tetesan air mata bagian abadi dari hidup Fang Yin.        
            Denny JA juga jeli menambahkan ajaran Konghucu yang disampaikan oleh seorang guru spriritual untuk menenangkan hati Fang Yin. Sesuai hakikat Shio, Fang Yin adalah gadis Naga, dan 1998 adalah Macan, Naga kurang beruntung di tahun itu dan Fang Yin harus menerimanya dengan dada terbuka. Tentu dalam kisah pedih Fang Yin ini kita terjemahkan saja secara bebas pengertian ”kurang beruntung“ menjadi malapetaka.      
            Tidak hanya itu saja, Denny JA pun mengutip isi Kitab Meng Zi: //Dengarkan: Yang tidak susila jangan dilihat/Yang tidak susila jangan didengar/Yang tidak susila jangan dibicarakan//(hal. 39). Tentu agak kurang relevan kutipan tersebut untuk mengurangi derita Fang Yin. Beberapa bait puisi juga tidak terjaga pilihan kata-katanya, dan jadinya seperti sebuah reportase. Misalnya://Komunitas Tionghoa Indonesia di manca negara/kadang jumpa, berbagi cerita tentang Imlek dan segala rupa/Sudah banyak yang ganti negeri/Menjadi warga Amerika, Singapura, dan lain-lainnya//(hal. 41)
            Berbeda jika realitas tetap ditulis dengan kekuatan kata untuk memunculkan roh puisi, seperti berhasil dilakukan Denny JA dalam bait://tembok setinggi apa pun/Ternyata tak mampu mengamankannya/Tak mampu membendung gelombang huru-hara/Yang membakar Jakarta//(hal. 26).
            Akhirnya, terbersit kerinduan di hati Fang Yin untuk kembali ke Indonesia. Setelah bertahun mempelajari buku filsafat, sastra, agama, politik, dan telah terpahat ilmu pengetahuan yang mengubah sikap hidupnya. Teringat nasihat ayahnya://Amerika hanyalah tempat sementara untuk singgah/Tapi kita lahir di Indonesia, jadi mati sebaiknya di sana/Luka masa silam harus dilawan/Cinta Ibu Pertiwi harus ditumbuhkan//(hal. 45). Lantas ritual penyucian diri pun dilakukan, sesuai judul puisi esai ini.//Ia nyalakan lagi korek api/Dan tanpa pikir panjang, ia bakar sapu tangan itu;/Api menyala, sapu tangan terbakar/Ia melihat seluruh dirinya yang lama menjadi abu//(hal. 47).
Berdasarkan perhitungan kalender Cina, tahun 2012 adalah Shio Naga, membawa peruntungan yang baik. Kita tunggu saja kepulangan kembali Fang Yin ke Jakarta, tempat di mana ia rindu menghabiskan senja. Fang Lang menginginkan Indonesia seperti dirinya: menang melawan masa lalu. //Aku segera pulang ke sana!/Aku segera hidup di sana//(hal. 49). Semoga. (Bambang Widiatmoko)
-oo00oo-

Tidak ada komentar: