Selasa, 16 Oktober 2012

CATATAN DEWAN JURI LOMBA MENULIS PUISI TINGKAT NASIONAL ARUH SASTRA KALSEL IX BANJARMASIN 2012


            Dewan Lomba Menulis Puisi Tingkat Nasional yangdiselenggarakan oleh Panitia Aruh Sastra Kalsel IX Banjarmasin 2012 telah memeriksa dan memberikan penilaian terhadap 306 judul puisi untuk katagori peserta umum dan 26 judul puisi untuk katagori peserta pelajar.

Jum’at, 23 Agustus 2012 bertempat di sebuah cafe di lingkungan Taman Budaya Kalsel, Banjarmasin, dewan juri bersidang. Sidang berlangsung dalam suasana akrab penuh kekeluargaan pada pukul 14.00-16.30. Turut hadir 3 orang anggota panitia sebagai fasilitator sekaligus saksi berlangsungnya sidang dewan juri dimaksud..

          Sebelum sidang digelar, para juri lebih dahulu bersepakat bahwa puisi yang diunggulkan oleh 3 juri adalah puisi yang lebih unggul dibandingkan dengan puisi yang diunggulkan oleh 2 juri. Puisi yang cuma diunggulkan oleh 1 juri tidak ikut dinilai lebih lanjut dalam proses penetapan puisi pemenang lomba dan puisi nominasi untuk ikut dimuat dalam antologi puisi bersama hasil lomba.

Perlu dijelaskan bahwa daftar puisi unggulan telah dibuat oleh masing-masing juri sebagai hasil pemeriksaan dan penilaiannya selama beberapa hari di rumahnya masing-masing. Dewan juri sama sekali tidak saling berkomunikasi mengenai daftar puisi unggulan yang dibuatnya masing-masing.
Berikut ini adalah daftar puisi unggulan katagori umum yang dibuat oleh Micky Hidayat, Arsyad Indradi, dan Tajuddin Noor Ganie. Puisi pemenang katagori umum dalam daftar di bawah ini diurut berdasarkan peringkat kemenangannya, dan puisi nominasi diurut berdasarkan nomor undiannya..

Nomor Urut
Nomor Undian,
 Judul Puisi,
dan Peringkat
Kemenangannya
dalam Lomba

MH

AI

TNG
1.
230, Aliansyah Jumbawuya, Banjarbaru, Kisah tak Sudah tentang Juriat yang Setia Menimang Adat,
Pemenang I


v


v


v
2.
232,  Siti Aisyah, Banjarmasin, Menyisir Jejak Lelaki Belukar, Pemenang II

v

v

v
3.
190, Rezqie Muhammad Al Fajar, Banjarmasin, Nyanyian Bumi Paikat
Pemenang III

v

v

v
4.
187, Khoiriyyah Azzahro, Banjarmasin, Rindu Batang Banyu, Pemenang Harapan 1

v

v

v
5.
202, M. Sayid Wijaya, Bali
Elegi Gadis ke Tujuh, Witri
Pemenang Harapan 2

v

v

x
6
159, Budi Saputra, Padang
Penganut Musim, Pemenang Harapan 3

v

v

x
7.
058, Kurnia Hadi, Pasaman, Sumbar, Malam Pernikahan
Nominasi

v

x

v
8.
071, Ida Ayu Adityarini, Bali, Kita Pernah Menjadi Sepasang Layang-layang
Nominasi

v

x

v
9
110, Bram Lesmana, Banjarbaru, Dan yang Seribu itu adalah Aku
Nominasi

v

v

x
10.
131, Wahyudi, Banjarbaru,
Tanahku, Tanah Kami, Tanah Siapa, Nominasi

v

v

x
11.
155, Erika Adriani, Barabai,
Senandung Orang Huma
Nominasi

v

v

x
12.
168, Apito Lahire, Tegal, Jateng, Langkah
Nominasi

v

x

v
13.
205, Nurul Khamsi HB, Barito Kuala, Pulang
Nominasi
v
v
x
14.
248, Muhammad Irwan Aprialdi, Lapangan Batu
Nominasi

v

v

x
15
273, A Rahman el Hakim, Banjarmasin,
Padang Terasing,
Nominasi

v

v

x
16
310, Shinta Ardiatni, Bojonegoro, Jatim,
Mantra Bumi
Nominasi

v

x

v


Keterangan
MH      =    Micky Hidayat
AI        =    Arsyad Indradi
TNG    =    Tajuddin Noor Ganie
V         =    Tanda dukungan juri yang bersangkutan
X         =    Tanda bahwa juri yang bersangkutan tidak mendukung puisi dimaksud

Pemenang lomba tulis puisi katagori umum di atas ditetapkan berdasarkan hasil diskusi intensif yang dilakukan dewan juri. Diskusi berlangsung sangat alot dan sengit, karena para juri tanpa tedeng aling-aling mengemukakan argumentasinya masing-masing tentang keunggulan dan kelemahan yang terkandung di dalam 15 judul puisi di atas. Suhu diskusi tidak jarang memanas akibat terjadinya perbedaan pendapat yang cukup tajam di antara mereka
Berikut ini adalah catatan ringkas untuk puisi-puisi yang ditetapkan sebagai Pemenang I-III, dan Harapan Pemenang 1-3.

1.      Kisah tak Sudah tentang Juriat yang Setia Menimang Adat
Lapis bunyinya dijalin dengan formula yang teratur, larik demi larik. Pengulangan bunyi vocal dan konsonannya sangat ritmis dan melodis. Lapis artinya dijalin dengan kosa kata yang denotatis. Pemakaian 5 kosa kata bahasa Banjar sama sekali tidak mengurangi kelancaran para pembaca untuk memahami lapis satuan artinya. Pemakaian kosa-kata bahasa Banjar dimaksud memang sulit dihindari, karena berkaitan dengan nama-nama tempat, nama-nama kue, dan adat istiadat etnis Banjar di Kalsel. Lapis satuan artinya membuat pembaca larut dalam suasana mistis upacara titual yang digelar para seniman topeng Banjar di kampung Banyiur, Banjarmasin. Lapis dunia puisi ini menggambarkan sikap pribadi penyairnya yang menaruh simpati kepada para seniman topeng Banjar yang dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan identitas kesenimanannya di tengah-tengah serbuan budaya asing yang datang tanpa dapat dicegah sama sekali, seperti serbuan budaya pop Korea (K-Pop) misalnya. Penyair berharap para pembaca puisinya juga mengambil sikap seperti dirinya yang menaruh simpati kepada kegigihan para seniman topeng Banjar melsetarikan salah satu kekayaan budaya lokal etnis Banjar di Kalsel. Lapis metafisisnya merujuk kepada pengalaman imajiner penyair yang ingin ikut serta merasakan aura mistis yang tidak kasat mata di balik upacara ritual yang digelar seniman topeng Banjar di kampung Banyiur, Banjarmasin..

2.      Menyisir Jejak Lelaki Belukar
Lapis bunyinya dijalin dengan formula yang teratur, larik demi larik. Pengulangan bunyi vocal dan konsonannya sangat ritmis dan melodis. Lapis artinya dijalin dengan kosa kata yang denotatis, namun menyentuh kalbu. Selain itu juga ditemukan paduan kata yang relative unik, yakni tabiat melati, berdarah pijar, dan bertameng rajah. Lapis satuan artinya membuat pembaca yang berasal dari daerah Kalsel menjadi trenyuh dengan nasib buruk seorang tokoh pejuang revolusi bernama Ibnu Hajat. Tokoh ini di awal revolusi fisik merupakan ikon pejuang sejati yang gagah berani dalam konflik bersenjata melawan pasukan KNIL yang mengabdi kepada kepentingan pemerintah colonial Belanda. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang meraih pangkat tinggi di institusi ketentaraan republic adalah para mantan anggota militer KNIL yang dulu memihak pemerintah colonial Belanda. Dengan dalih tak pernah sekolah dan tak punya ijazah, para tentara pejuang itu tak diberi pangkat tinggi, sebaliknya malah digusur dengan sistematis dari barak-barak tentara yang belum begitu lama mereka tempati. Ibnu Hajar yang kecewa kemudian angkat senjata untuk melawan kezaliman itu, ia kobarkan perlawanan di daerah Kalsel. Tapi, ia kemudian ditipu dengan bujuk rayu, akhirnya bersedia menghentikan perlawanannya. Segera setelah itu ia dibawa ke Jakarta, lalu menjalani sidang milter, dan akhirnya divonis hukuman mati. Makamnya tak jelas di mana. Tema local puisi ini sangat menonjol, tema local semacam ini masih jarang diangkat orang, tema local inilah yang membuat para juri tertarik untuk mengunggulkannya. Namun, bagi para pembaca yang belum mengenal sosok pribadi Ibnu Hajar akan mengalami kesulitan untuk memahami lapis satuan artinya. Lapis dunianya merujuk kepada sikap pribadi penyairnya yang menaruh simpati kepada nasib buruk yang dialami Ibnu Hajar. Penyair berharap para pembaca puisinya juga mengam,bil sikap seperti dirinya. Lapis metafisis puisi ini merujuk kepada pengalaman pengalaman imajiner penyairnya ketika berusaha menyelami kehidupan Ibnu Hajar sebagai pejuang yang dicampakkan penguasa yang tidak pandai berterima kasih. Nasib buruk Ibnu Hajar mengingatkan kita kepada pepatah yang popular di kalangan para martir bahwa revolusi selalu memakan anak-anaknya, dan Ibnu Hajar adalah salah seorang anak bangsa yang dimakan oleh revolusi yang dulu dikobarkannya.

3.      Nyanyian Bumi Paikat
Lapis bunyinya tidak dijalin dengan formula yang teratur, larik demi larik. Pengulangan bunyi vocal dan konsonannya kurang begitu menonjol. Lapis artinya dijalin dengan kosa kata yang denotatis, namun para pembaca yang berasal dari luar daerah Kalsel akan mengalami ketersendatan (kekurang-lancaran) untuk memahami lapis satuan artinya. Penyair memasukkan tidak kurang dari 10 kosa-kata bahasa Banjar. Namun, pemakaian kosa-kata bahasa Banjar yang demikian itu memang sulit dihindari oleh penyairnya. Hal ini berkaitan dengan tema local yang diusungnya, yakni puja-puji bagi tanah kelahirannya, yang disebutnya Bumi Paikat. Penyair mencoba membangun warna local dalam puisinya ini dengan cara menggunakan kosa-kata bahasa Banjar. Masih berkaitan dengan lapis arti dan lapis satuan, dalam puisi ini ditemukan tidak kurang 14 paduan kata yang sangat menarik, yakni (1) lampit masa lalu, (2) garis petuah sungai Martapura, (3) jejak saka, (4) konser balian, (5) riwayat ladang, (6) penatah banua, (7) nyanyian bumi paikat, (8) deretan duri, (9) hutan purba, (10) ombak yang diam, (11) topeng imitasi, (12) kindai dunia, (13) pakucuran kedurhakaan, dan (14) biduk rampa. Lapis dunia puisi ini menggambarkan sikap pribadi penyairnya yang begitu memuja kepermaian alam tanah leluhurnya. Penyair berharap agar para pembaca puisinya menjadi tergugah untuk mengambil sikap yang sama dengannya. Lapis metafisis puisi ini merujuk kepada pengalaman imajiner penyairnya ketika berada di tanah leluhurnya yang tetap terjaga keasrian alamnya dari masa ke masa.

4.      Rindu Batang Banyu
Tipografi puisi ini sangat menarik. Lapis bunyinya tidak dijalin dengan formula yang teratur, larik demi larik. Pengulangan bunyi vocal dan konsonannya kurang begitu menonjol. Lapis artinya dijalin dengan kosa kata yang denotatis, namun tetap menarik hati. Didalamnya ditemukan paduan kata yang unik, yakni (1) sungaiku kisut, (2) sungaiku muram, dan (3) sungaiku tersedu. Semua juri berpendapat kelemahan puisi ini terletak pada pemakaian huruf K kafital pada Kupulang dan Kukembali. Dewan juri berpendapat huruf k dimaksud sebaiknya ditulis dengan huruf kecil saja. Mengenai hal ini penyair tentunya mempunyai alasan tersendiri. Namun, lazimnya sebuah lomba tulis puisi, tidak tersedia forum yang memungkinkan bagi penyair untuk menjelaskan argumentasinya. Lapis satuan arti puisi ini membawa para pembacanya terhanyut ke suasana romantic melankolis, yakni merindukan masa lalu aku lirik yang serba indah di tengah-tengah alam yang masih asri. Ketika lanting masih ada dan ketika air sungai masih terjaga kebeningannya. Lapis dunia puisi ini menggambarkan sikap pribadi penyairnya yang ingin mengembalikan keasrian sungai di kampung halamannya. begitu memuja kepermaian alam tanah leluhurnya. Penyair berharap agar para pembaca puisinya menjadi tergugah untuk mengambil sikap yang sama dengannya. Lapis metafisis puisi ini merujuk kepada pengalaman imajiner penyairnya yang galau akibat terlalu banyak memikirkan lingkungan alam di kampung halamannya yang rusak parah

5.      Eligi Gadis ke Tujuh, Witri
Lapis bunyinya tidak dijalin dengan formula yang teratur, larik demi larik. Pengulangan bunyi vocal dan konsonannya kurang begitu menonjol. Lapis artinya dijalin dengan kosa kata yang denotatis. Selain itu juga ditemukan paduan kata yang unik, yakni (1) ialalang tak pernah merapat (2) kendi cinta, (3) enam tangkai peri berguguran, (4) jerami langit, (6) sketsa yang terpatri, (7) etalase malam, (8) kebaya ke tujuh dibubuhkan pada lesung, (9) isak yang menetes, (10) gersang mata, (11) anyir udara, (12) mematri pilu, dan (12) selangkangan rumah. Tidak hanya itu, lapis arti puisi ini juga dipenuhi dengan kosa-kata yang merujuk kepada konotasi tak menyenangkan seperti rintih, isak, gersang mata, anyir udara, dan pilu. Lapis satuan arti puisi ini membawa para pembacanya kepada suasana eligi, suasana haru, atau suasana sedih. Lapis dunia puisi menggambarkan sikap pribadi penyairnya yang bersimpati kepada nasib buruk yang dialami tokoh lirik Witri. Penyair mengharapkan para pembaca puisinya juga bersikap seperti dirinya. Lapis metafisis puisi ini merujuk kepada pengalaman imajiner yang dirasakan oleh tokoh imajiner bernama Witri. Tokoh ini digambarkkan penyair sebagai korban budak nafsu orang yang berkuasa (dengan symbol sebagai pemilik harem). Penyair menyebutnya sebagai budak ke tujuh (simbol ketidak-berdayaan) dalam sebuah harem (symbol di mana kaum wanita kehilangan kebebasan asasinya sebagai seorang manusia). Kisah sedih (eligi) ini diperankan oleh Witri yang dipersonifikasikan sebagai lesung berkebaya (symbol wanita) yang (harus merasakan kesakitan) akibat ditumbuk dengan alu (symbol pria durjana) (perlukah aku merintih/ketika pasak itu membelah keperawananku).

6.      Penganut Musim
Lapis bunyinya dijalin dengan formula yang teratur, larik demi larik. Pengulangan bunyi vocal dan konsonannya tidak ditata secara horizontal, tetapi ditata secara vertical dengan jarak yang begitu dekat dalam satu baris yang sama. Efek akustik yang ditimbulkannya adalah bunyi-bunyi ritmis yang melodis. Lapis art puisi ini diperkaya dengan paduan kata yang unik, antara lain (1) penganut musim, (2) sisa pembakaran yang kehilangan kaki-kai petualang, (3) angin yang bertiup tajam, (4) kembali mematut diri di dasar perulangan, (5) kedalaman usia, (6) daun-daun mekar tak berdosa, (7) akar yang menjalar riang, (8) hari-hari yang berkhotbah, (9) matahari yang tegak lurus, (10) menancapkan panas yang kodrati, (11) bangsa hujan (mungkin yang dimaksudnya adalah sebangsa hujan), (12) tanah yang terserang demam berkepanjangan, (13) taat keniscayaan, (14) mendiami diri, (15) kesedihan dan kebahagiaan yang kerap berganti warna, dan (16) tabah menahan segala perih. Lapis satuan arti puisi ini membuat para pembacanya masuk ke dalam khalwat suatu pengalaman mistis, yakni ikhlas dan pasrah menerima nasib yang sudah menjadi putusan kodrati baginya. Kisah seorang penganut yang ridha menerima kemauan musim (takdir reguler) yang sudah terjadwal kedatangannya (kematian). Lapis dunia puisi ini merujuk kepada sikap penyair yang merasa tak berdaya menolak takdir kodrati yang sudah digariskan baginya. Penyair berharap para pembaca puisinya juga mengambil sikap seperti dirinya. Tak peduli apakah takdir dimaksud berupa nasib buruk atau sebaliknya berupa nasib baik. Lapis metafisi puisi ini merujuk kepada pengalaman imajiner seorang penganut yang setia (orang yang beriman) dalam menerima segala sesuatu yang sudah menjadi takdir kodratinya di dunia fana ini.

Setelah pemenang lomba tulis puisi katagori umum berhasil dipilih dan ditetapkan, dewan juri melanjutkan sidangnya untuk memilih dan menetapkan puisi pemenang lomba katagori pelajar.
Berikut ini adalah daftar puisi unggulan katagori pelajar yang dibuat oleh Micky Hidayat, Arsyad Indradi, dan Tajuddin Noor Ganie. Puisi pemenang katagori pelajar dalam daftar di bawah ini diurut berdasarkan peringkat kemenangannya.


Nomor Urut
Nomor Undian,
 Judul Puisi,
dan Peringkat
Kemenangannya
dalam Lomba

MH

AI

TNG
1.
246, Muhammad Irwan Aprialdy, Banjarmasin,
Tanah Banjar
Pemenang I


v


v


v
2.
091, Safira Rizka Aulia, Banjarmasin, Terpuruk
Pemenang II

v

v

v
3.
128, Norhalisah, Pelaihari
Curahan Hati
Pemenang III

v

v

v
4.
234, Irmayanti, Banjarmasin
Rintihan dalam Doa
Pemenang Harapan 1

v

v

v
5.
244, Ayu Mardiyati Hasdia, Banjarmasin, Jendela
Pemenag Harapan 2

v

v

x
6
260, Maria Ulfah, Martapura
Anugerah Pagi
Pemenang Harapan 3

v

v

x

Keterangan
MH      =    Micky Hidayat
AI        =    Arsyad Indradi
TNG    =    Tajuddin Noor Ganie
V         =    Tanda dukungan juri yang bersangkutan
X         =    Tanda bahwa juri yang bersangkutan tidak mendukung puisi dimaksud

Secara umum kami selaku dewan juri mencatat bahwa banyak diantara puisi yang tak kami loloskan ke jenjang nominasi 15 besar (puisi katagori umum) dan 6 besar puisi katagori pelajar karena faktor-faktor di bawah ini.
1.      Puisi dimaksud ditulis dengan menggunakan huruf kafital secara keseluruhannya
2.      Ditulis tanpa mengindahkan tipografi pembagian bait sama sekali. Puisi ditulis begitu saja dalam satu bait dengan jumlah baris lebih dari 15 baris, untuk puisi pendek antara 4-8 baris, hal ini masih bisa ditoleransi, namun untuk puisi panjang di atas 15 baris, aspek tipografi pembagian bait merupakan suatu keharusan, supaya bentuk fisik puisi menjadi lebih indah dipandang mata. 
3.      Bahasa ungkapnya cengeng, bombas, dan vulgar, dan tidak kalah banyaknya puisi yang bahasa ungkapnya sangat mempribadi, saking mempribadinya, maka makna muatan dan makna ikutan hanya diketahui dan dimengerti oleh penyairnya sendiri. Sama sekali tidak ada peluang untuk berkomunikasi.
4.      Temanya sangat local. Puisi bertema local yang tidak ada hubungannya dengan daerah Kalsel mengalami nasib buruk dalam lomba tulis puisi kali ini.  Dalam konteks lomba tulis puisi kali ini, kami selaku juri hanya memilih tema local yang ada hubungannya dengan daerah Kalsel saja. Puisi genre ini relative banyak dikirimkan oleh para peserta lomba, namun hanya 5 judul puisi saja yang mampu menawan hati kami sebagai juri,
5.      Lapis bunyinya tidak ditata secara apik (formulaic), bahkan banyak peserta lomba yang mengabaikannya.
6.      Paduan kata dalam metafora yang digunakan para peserta lomba pada umumnya adalah metafora yang sudah klise, kering, bahkan sudah mati.
7.      Masih banyak factor lain yang membuat kami selaku dewan juri tidak tertarik untuk menominasikan puisi-puisi yang lainnya itu


Demikian yang dapat kami sampaikan sebagai kata-kata pertanggung-jawaban kami selaku juri. Salah khilaf mohon maaf. Selamat beraruh sastra di kota kayuh baimbai seribu sungai.

Banjarmasin, 24 Agustus 2012
Hormat kami dewan juri,
Arsyad Indradi, S. Pd (Ketua)
Micky Hidayat (Anggota)
Tajuddin Noor Ganie, M. Pd (Anggota).























Tidak ada komentar: