Senin, 04 Juni 2012

PEMBERONTAKAN IDEALIS RUH “SANG PENYAIR GILA”



Oleh : Awan Hadi Wismoko

Anak seorang polisi. Dialah Arsyad Indradi sang penyair gila. Perjalanannya di bidang seni dan sastrAnak seorang polisi ini sangat diharapkan orang tuanya, meneruskan tradisi keluarga untuk menjadi a sebenarnya dimulai sejak SMP, beberapa puisi tentang budaya banjar, alam kalimantan, religi, juga tentang kritik sosial telah diciptanya. Kesungguhannya untuk mencari jati diri dilakukannya saat beliau berani meninggalkan Asrama Pendidikan Kepolisian di hari pertamanya. Beruntung pelariannya tidak berujung di dunia yang penuh dengan kesesatan dan tipu daya tapi terseret masuk dalam dunia seni yang mungkin sudah ada dalam niatan kalbunya. Keberuntungannya bertambah saat orang tua akhirnya dengan berat hati namun sangat bijaksana memberikan ijin untuk mendalami dunia seni dengan syarat kesungguhan yang sebenarnya. Berpindah dari sanggar ke sanggar mengikuti pergerakan hatinya yang haus, beberapa dunia kesenian telah dipelajarinya mulai dari musik tradisional, tari tradisional, drama, puisi, dan menulis. Menurut saya petualangan beliau sesungguhnya bukanlah seni yang dipelajarinya tetapi proses bagaimana kedalaman pemikiran yang beliau peroleh melampaui tahap demi tahap yang dilakukanya dengan sangat unik dan penuh makna seperti saat untuk beberapa lama beliau membiarkan dirinya tidur di emperan toko, hanya dengan beralaskan koran dan berselimutkan angin malam. Tidak ada alasan tapi itulah yang beliau lakukan.
Keunikan lainnya adalah pada saat beliau menerima hibah dua setengah hektar tanah. Tanah itu ditanaminya ketela atau gumbili dalam bahasa Banjarnya. Beliau menjadikan ketela sebagai makanan pokok pengganti nasi. Luar biasanya, itu dilakukan selama kurang lebih dua tahun. Dalam kurun waktu itu beliau sempat diajari oleh orang jawa yang sempat terheran-heran dengan kelakuan beliau yang menjadikan ketela makanan sehari-harinya, padahal ada beras. Orang jawa itu mengajari bagaimana mengolah ketela menjadi gaplek (ketela yang dikeringkan dengan cara dijemur) lalu mengolahnya menjadi makanan seperti gatot (gaplek yang dikukus) dan tiwul (gaplek yang ditumbuk halus lalu dikukus). Pengalaman yang jelas menjadi bekas tapak kedalaman pemikiran berikutnya.
Perjalanannya dibidang sastra mencapai puncaknya ketika beliau menerbitkan buku pertamanya yaitu Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan. Tidak mudah mengumpulkan antologi puisi penyair dari seluruh nusantara dalam keadaan beliau adalah orang yang gagap teknologi, tidak bisa komputer, tidak mengenal dunia maya, sehingga semua antologi yang terkumpul dikirim melalui kantor pos. Memang menjadi pertanyaan sebagian besar penyair nusantara tapi toh akhirnya bisa dimaklumi dan berhasil mengumpulkan materi untuk buku Antologi Puisi Penyair Nusantara yang digagasnya. Masalah selanjutnya adalah tidak adanya sponsor yang mau menerbitkan buku itu. Tidak putus asa, dan dengan keteguhan yang luar biasa di umurnya yang lebih dari setengah abad itu beliau mengawali rencananya dengan belajar komputer kepada muridnya di bidang sastra yang telah menganggap beliau sebagai ayahnya. Ya karena dedikasinya dalam perkembangan sastra di Indonesia khususnya di Kalimantan Selatan hampir semua muridnya memanggil beliau dengan sebutan “abah” yang berarti “ayah”. Berbagai aplikasi komputer berhasil dikuasainya, mulai dari belajar lay out penulisan sebuah buku berikut cara mendesain covernya. Masih dalam api semangat yang berkobar didalam dadanya, dengan tak kenal lelah akhirnya jadilah master sebuah buku yang digadangnya. Ujian masih terus berlanjut karena memang sangat jarang sponsor yang mau mensponsori sebuah karya sastra. Dengan mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dari hasil mengajar seni dan tari, kertas bahan untuk mencetak buku lama-lama terkumpul hingga cukup untuk membuat buku yang diharapkannya. Dicetaklah buku itu hanya dengan printer kecil , dan tetap memperhatikan kualitas cetakan yang maksimal dengan printer laser yang dipakainya. Empat bulan berselang jadilah buku-buku itu dan segera mengirimkannya ke seluruh penyair di nusantara yang telah mengirimkan antologi puisinya. Sambutan luar biasa atas terbitnya buku Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan oleh penyair nusantara ditandai dengan beberapa esai yang ditulis pengamat sastra dan para penyair ternama dibeberapa media nasional dan lokal hingga menyebut Arsyad Indradi sebagai seorang “Penyair Gila” . Yah itulah gelar yang melekat kepada beliau hingga kini, “Penyair Gila”. Beberapa buku lain yang telah ditulisnya antara lain, berjudul Nyanyian 1.000 Burung, Romansa Setangkai Bunga, Anggur Duka, Risalah Penyair Gila, Kalalatu, Burinik dan Narasi Musafir Gila. Kemudian 50-an lebih buku antologi puisi karya bersama.
Luapan-luapan perasaan yang dituangkan ke dalam puisi-puisinya adalah lubernya kedalaman perasaan yang diperoleh selama perjalanan hidupnya yang penuh raihan. Kalo boleh penulis menulis apa yang beliau lakukan dalam perjalananya menekuni bidang seni dan sastra juga usahanya untuk mewujudkan buku Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan sebagai pemberontakan yang santun idialisme ruh beliau melalui dunia seni dan sastra. Namun beliau tetap menyadari kekurangannya sebagai manusia. Dengan keteguhan prinsip kebenaran yang diyakininya dalam kehidupannya sehar- hari beliau adalah sosok yang sederhana, ramah, murah senyum, pemberi motifasi orang-orang disekelilingnya untuk pantang menyerah dalam mendapatkan keinginan positif. Sorot matanya yang tajam seiring dengan pandangan beliau yang menganggap koruptor sebagai “pembunuh”, serta pendapat beliau mengenai segala permasalahan yang terjadi di masyarakat bahwasannya pembangunan yang baik dan kehidupan layak buat masyarakat mungkin terjadi apabila mempunyai pemimpin yang punya keberanian mengambil keputusan-keputusan yang membangun berdasarkan nurani bukannya kebijakan-kebijakan yang menguntungkan diri sendiri dan hanya sebagian orang. Harapan beliau yang ekstrim adalah apabila tidak ada pemimpin seperti itu lebih baik Indonesia ditenggelamkan saja seperti halnya ditenggelamkannya umat Nabi Nuh.
Pelajaran yang bisa dipetik dari sosok “penyair gila” adalah bahwa dalam hidup ini orang harus punya tujuan, niat yang kuat untuk meraih, pantang menyerah dalam menghadapi rintangan, menikmati proses sebagai sebuah pembelajaran, memperhatikan kualitas sebagai ukuran pencapaian, untuk selanjutnya membiarkannya mengalir menuju keputusan yang sejati, keputusan Sang Maha.

Banjarbaru, 12 Mei 2012
*** Penulis : Pengamat Seni Budaya, Sosial dan Desain Grafis’

Tidak ada komentar: