Sabtu, 30 Juni 2012

INDONESIAN POETRY IDOL "MANUSIA DAN PENDERITAAN"



Oleh Windu Mandela
di BENGKEL PUISI SWADAYA MANDIRI

Pertama-tama saya standing aplaus buat seorang Dimas Arika Mihardja yang tak henti-hentinya merangsang anak asuhnya di bengkel yang hangat ini untuk senantiasa bergairah dalam hal kepenulisan, sastra khususnya. Indonesian Poetry Idol, menjadi salah satu terobosan lagi dalam menggerakkan kreatifitas warga bengekel, semisal bendungan yang tak henti-hentinya memutarkan turbin untuk menghasilkan listrik dan menyalakan lampu-lampu kreatifitas di kamar-kamar bengkel.

Indonesian Poetry Idol kali ini mengusung tema “Manusia dan Penderitaan”, telah muncul banyak puisi yang bagus di dinding bengkel yang menyuarakan manusia dan penderitaannya. Tema ini merupakan sebuah tema yang besar, tentu saja DAM selaku bos bengkel memiliki maksud dan tujuan tertentu mengapa mengusung tema ini, mungkin saja DAM ingin warganya lebih peka terhadap keadaan sekitar yang memerlukan kekuatan dan keajaiban kata-kata.

Dari sekian banyak puisi yang diposting di bengkel telah terpilih tiga sajak, ke tiga sajak ini memang bagus, menyuarakan penderitaan dari sudut pandangnya masing-masing. Seorang Muhammad Rain merekam penderitaan yang kompleks, Alfiah Muntaz dengan terfokus pada satu titik, dan Dewi Suswati memuisikan penderitaannya sendiri karena sajaknya konon telah memeluk duka.

Saya memilih sajak Alfiah Muntaz yang diberi judul “ADA CERITA YANG BELUM SELESAI” pada ajang Indonesian Poetry Idol minggu ini. Membaca sajak ini tidak terlalu mengkerutkan kening dan dengan nafas yang seperti diburu-buru, malahan pembaca disuguhi dengan metafora-metafora yang halus.

ALFIAH MUNTAZ

ADA CERITA YANG BELUM SELESAI
: Palestina

asap menggelembung
mendung mengepul sepanjang kota
setelah segar darah
memenuhi sumber-sumber air mata

tak ada lagi nyanyian puteri-puteri sion
meninabobokan bocah-bocah ketakutan
desing timah menjadi lagu
membara. Mengiringi lantunan
tembakan meriam yang menikam
jauh ke dalam
: selirih pedih

memar dada
memar aqsa

sabra dan sathila mengerang
dikoyak kapak
bayi-bayi terlepas dari pelukan
perawan berlarian. Diburu peluru.
Sepasang bibir lebam menggumam,

doakan kami
doakan kami

tahun-tahun lewat
bermaterai perjanjian
tanah memerah b a s a h

Batu Tulis, 24 Juni 2012

Saya melihat kejelian seorang AM dalam pemberian judul “CERITA YANG BELUM USAI”, karena memang penderitaan di negeri Palestina belumlah usai, masih sering terjadi tragedi kemanusian setiap saatnya yang menyebabkan korban-korban berjatuhan. Penderitan di negeri Palestina akan selalu membayangi warganya dengan teror-teror dan ketakutan-ketakutan sampai pada hari yang ditentukan.

Asap menggelembung
mendung mengepul sepanjang kota
setelah segar darah memenuhi sumber-sumber air mata

“setelah segar darah/memenuhi sumber-sumber air mata” atau setelah ada darah segar yang memancar (entah oleh peluru atau apa) maka darah itu menggenang dan memenuhi “sumber-sumber air mata”. Kata-kata ini mengilustrasikan bahwa ada kedukaan yang begitu hebat, sehingga ‘sumber-sumber air mata(pun)” penuh olehnya. Ditambah dengan “asap menggelembung”, mungkin saja darah yang tumpah itu karena hantaman semisal bom atau sejenisnya, karena dapat membuat “asap (yang) menggelembung”, dan “mendung mengepul sepanjang kota” ini sebagai metafore yang menggambarkan pada saat itu kota diterpa dukanya, diselimuti duka.

Pada bait pertama ada metafore-metafore yang membius daya imaji, nampaknya seorang AM lihai memainkannya. “asap menggelembung”, ini mengatakan sesuatu yang lain, tidak langsung menyatakan misalnya pembakaran, pengeboman atau sejenisnya, AM menggunakan sebuah metafore yang mengait atau menggandeng sesuatu yang lain di dalamnya. “setelah segar darah”, tidak langsung menuliskan pembunuhan, penindasan atau sejenisnya, penggunaan metafore yang baik.

tak ada lagi nyanyian puteri-puteri sion
meninabobokan bocah-bocah ketakutan
desing timah menjadi lagu
membara. Mengiringi lantunan
tembakan meriam yang menikam
jauh ke dalam : selirih pedih

Pada bait ini am memainkan simbol “puteri-puteri sion”, puteri sion dilambangkan sebagai pemberi rasa aman dan damai, namun pada sajak ini nyanyian puteri-puteri sion tak ada lagi, sehingga tidak bisa “meninabobokan bocah-bocah ketakutan”, tidak mampu menyihir “desing timah menjadi lagu membara” dan “mengiringi lantunan/tembakan meriam yang menikam/jau ke dalam: selirih pedih”. Nampak jelas seorang puteri sion adalah seorang yang dalam nyanyaiannya mampu memberikan rasa damai, namun dalam sajak ini nyanyian itu tak ada lagi.

memar dada
memar aqsa

Bait ke tiga hanya dibubuhi dengan dua larik saja, di sana ada pengulangan kata “memar” pada awal larik, “memar dada/memar aqsa”. Secara harfiah memar berarti rusak di bagain dalam dan keadaan ini tidak nampak dari luar, “memar dada” dapat ditarik artinya sebagai sebuah kerusakan, kehancuran atau kesedihan di dalam dada, “memar dada/memar aqsa” dapat dimaknai dengan kesedihan yang ada di dalam dada adalah karena kesedihan, kehancuran atau keterpurukan di aqsa, masjid al-aqsa.

sabra dan sathila mengerang
dikoyak kapak
bayi-bayi terlepas dari pelukan
perawan berlarian. Diburu peluru. Sepasang bibir lebam menggumam,

Dalam wikipedia, Sabra dan Sathila merupakan pembantaian yang terjadi pada bulan September 1982. “sabra dan satila mengerang”, secara geografis Sabra dan Sathila berada di luar wilayah Palestina, namun dalam hal ini ada keterkaitannya karena para pejuang Palestina menyusun kekuatannya di sana, Lebanon.

“sabra dan satila mengerang/dikoyak kapak” nampak ada permainan musikalitas, konon salah satu puisi yang enak dibaca itu salah satunya terletak pada musikalitasnya, di sini ada musikalitas atau bunyi yang membuat sebuah harmoni “dikoyak kapak”, -ak.

“bayi-bayi terlepas dari pelukan/perawan berlarian. Diburu peluru./sepasang bibir lebam menggumam” peristiwa ini saya teringat akan peristiwa hari kiamat, di mana bayi yang masih di dalam kandungan dilahirkan, suasana pada saat itu tidak karuan. Suasana di Sabra dan Sathila pada saat terjadi peristiwa itu dapat dibayangkan dalam bait ini, kacau dan mencekam.

“ada sepasang bibir lebam bergumam,//do’akan kami/do’akan kami” ada seseorang bergumam “do’akan kami/do’akan kami”, di sana dua larik yang sama atau pengulangan kata sempurna dipisahkan baitnya untuk memberikan suatu suasana yang khusyu, benar-benar mendalam dan penuh harap. Ada juga kata “bergumam” tidak memilih berteriak, berkata, dan berbisik, ini menandakan bahwa mungkin seseorang di sana yang entah laki-laki atau perempuan mungkin sedang tersudut atau sembunyi hingga ia bergumam saja.

tahun-tahun lewat
bermaterai perjanjian
tanah memerah b a s a h

“tahun-tahun lewat/bermaterai perjanjian”, keadaan semacam ini memang telah berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin telah berabad-abad perseturuan di tanah Palestina, Yerusalem, sedangkan yang ada hanya “bermaterai perjanjian” yang tak jelas dijunjung keteguhannya. Perjanjian bermaterai di sini mungkin sebagai simbol gencatan-gencatan senjata atau sejenisnya, namun tak jarang perjanjian ini senantiasa diingkari keadaanya meskipun dibubuhi sebuah "materai", keadaan yang sebenarnya malah rakyat Palestina yang semakin tersudut.

“tanah memerah basah”, mungkin ini sebagai metafore atas tumpah darah yang kerap terjadi di sana, di palestina. penulisan “b a s a h” dengan menggonakan dua kali spasi mungkin dimaksudkan untuk pemberian suasana yang teramat basah, atau basah yang sebenar-benarnya basah.

Menilik lagi kepada judul “ADA CERITA YANG BELUM SELESAI” dalam sajaknya ini AM sedang bercerita atau mengisahkan tentang penderitaan rakyat Palestina yang diperlakukan semena-mena, dan tentu saja cerita ini belum usai penderitaan rakyat palestina masih panjang, namun bukan berarti ketidakmanusiaan dibiarkan begitu saja, dan AM telah berhasil menyuarakannya dalam sajak ini.

Saya memilih sajak ini karena penggunaan metafore, simbol dan penggalian nilai historis dalam sajak ini begitu kuat. Selamat dan sukses.

Terus berkarya,

Sumedang, Juni 2012

Daftar Pustaka ; http://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_Sabra_dan_Shatila

Tidak ada komentar: