Sabtu, 30 Juni 2012

APRESIASI IPI



Oleh Salju Pink
di BENGKEL PUISI SWADAYA MANDIRI

Puisi merupakan ungkapan perasaan atau pikiran penyairnya dalam satu bentuk ciptaan yang utuh dan menyatu. Secara garis besar, struktur sebuah puisi terdiri atas struktur lahiriah dan struktur bathiniah. Struktur lahiriah terdiri atas tipografi, diksi, imaji, kata kongkret, kata/bahasa figuratif (majas), versifikasi, adapun struktur bathinnya yaitu tema, rasa, nada, dan amanat. Pada kesempatan ini Pink tidak akan mengurai lebih dalam tentang struktur lahiriah puisi, tetapi lebih kepada struktur bathiniahnya.

Pada ajang IPI di BPSM kali ini adalah manusia dan penderitaan. Menurut pikiran sadarku adalah tema yang cukup menantang bagi penulis puisi tentang bagaimana ia memaknai penderitaan manusia atau kemanusiaan baik individu ataupun kelompok tertentu.

Pink sebagai yang awam, karena ini merupakan esai pertama Pink, maka ini Pink (sekedar) mencoba untuk sedikit mengulas puisi yang ditulis oleh akhwat Alfiah Muntaz yang berjudul “Ada Cerita Yang Belum Selesai: Palestina”.

Kecerdikan penulis untuk mengangkat tema penderitaan manusia ini adalah dengan mengambil konflik kemanusiaan di Palestina sebagai latar puisi yang bernarasi tersebut.
Berikut puisi secara utuh yang dimaksud tersebut di bawah ini:

ADA CERITA YANG BELUM SELESAI : Palestina

asap menggelembung
mendung mengepul sepanjang kota
setelah segar darah
memenuhi sumber-sumber air mata

tak ada lagi nyanyian puteri-puteri sion
meninabobokan bocah-bocah ketakutan
desing timah menjadi lagu
membara. mengiringi lantunan
tembakan meriam yang menikam
jauh ke dalam : selirih pedih

memar dada
memar aqsa

sabra dan sathila mengerang
dikoyak kapak
bayi-bayi terlepas dari pelukan
perawan berlarian. diburu peluru.
sepasang bibir lebam menggumam,

doakan kami
doakan kami

tahun-tahun lewat
bermaterai perjanjian
tanah memerah b a s a h

Batu Tulis, 24 Juni 2012

Tampak dari judulnya “ada cerita yang belum selesai” dengan tambahan sub judul Palestina sebagai latar narasi puisi sudah sangat terang mengajak pembaca untuk mengunjungi daerah yang disebut dengan Palestina bahwa di sana ada cerita yang belum selesai. Cerita apakah yang dimaksud oleh puisi ini? Berikut penuturan naratifnya.

asap menggelembung
mendung mengepul sepanjang kota
setelah segar darah
memenuhi sumber-sumber air mata

pada bait pertama ini digambarkan suasana latar cerita yakni negeri Palestina. Di sana ada asap menggelembung/mendung mengepul sepanjang kota. Ini adalah gambarang sebuah suasana setelah terjadinya sebuah ledakan dahsyat dari sebuah bom atau rudal yang menjadi hal biasa di sana. Pembaca bisa membayangkan gambar atau video misalnya asap menggelembung dan mendung mengepul sepanjang kota seperti bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki yang menghancurkan kota menjadi kepingan. Hasil dari ledakan bom/rudal itu adalah adanya korban dan kesedihan rakyat di sana, dengan penggambaran pada larik ketiga dan keempat.

tak ada lagi nyanyian puteri-puteri sion
meninabobokan bocah-bocah ketakutan
desing timah menjadi lagu
membara. mengiringi lantunan
tembakan meriam yang menikam
jauh ke dalam : selirih pedih

suasana lanjutan dari bait pertama dilanjutkan dengan bait kedua bahwa tak ada lagi nyanyian puteri-puteri sion/[yang] meninabobokkan bocah-boca ketakutan. Puteri-puteri sion menurut referensi yang Pink baca adalah yerussalem atau penduduk yerussalem namun secara umum puteri sion lebih dimaknakan dengan bani israil. Puteri-puteri sion dalam kidungnya selalu menyampaikan lirik-lirik perdamaian. Nyanyian kedamaian puteri-puteri sion itu telah diganti dengan lesatan peluru-peluru yang mendesing di telinga-telinga rakyat Palestina yang saling bersambut dengan suara meriam yang menembakkan rudalnya.

memar dada
memar aqsa

repetisi yang diucap pada diksi memar pada bait ketiga ini bersifat setara dan seimbang dan memunyai rima yang pas. Sedikit mengusik kata aqsa di bait ini. Aqsa dari perspektif kepercayaan (agama), merupakan satu dan utama yang menjadi penyebab konflik di sana. Namun di sini lain, misalnya dari sisi politis, perseteruan dua bangsa tersebut bukanlah soal klaim siapa pemilik Aqsa yang sah, tetapi lebih kepada konflik perebutan tanah. Tentang sejarah konflik kedua bangsa tersebut Pink rasa sudah diketahui secara umum, meski informasi tersebut kadang-kadang bahkan selalu parsial dan tergantung dari kepentingan penulis sejarah/informasinya.

Pembaca tak perlu merasa aneh ketika tiba-tiba penulis memilih diksi sabra dan sathila di bait ini. Meskipun sabra dan sathila letaknya ada di Libanon, bukan di Palestina karena Palestina sebagai anak kalimat pada judul di atas tersebut tidak semata bersemantik dengan daerah teritori tetapi juga adalah bangsa.

Bait keempat adalah lanjutan narasi tentang cerita konflik di antara dua bangsa yang tak pernah usai yang kali ini mengambil latar sabra dan sathila. Sabra dan sathila adalah daerah pengungsian bangsa Palestina untuk menghindari asap menggelembung dan desingan peluru di daerahnya. Penulis ingin mengambil salah satu peristiwa penting dalam perjalanan cerita yang tak usai tersebut, yaitu peristiwa sabra dan sathilla dengan baitnya sabra dan sathila mengerang/dikoyak kapak/bayi-bayi terlepas dari pelukan/perawan berlarian. /diburu peluru. /sepasang bibir lebam menggumam,

doakan kami
doakan kami

model bait ini mirip dengan bait ketiga. Tetapi tekanannya berbeda. Pada bait ketiga repetisinya menggambarkan suasana, sedangkan bait kelima ini mengandung pesan yang sangat menggugah. Penulis mengajak pembaca untuk merenungi tragedi kemanusiaan sabra dan sathila.

Konflik di antara kedua bangsa tersebut telah berlansung sangat lama. Perjanjian demi perjanjian pun telah disepakati di atas kertas, namun hampir setiap perjanjian tersebut menjadi tidak berarti karena masih adanya pihak-pihak yang melanggar perjanjian sehingga darah-darah manusia di kedua bangsa tersebut masih terus mengalir dengan penandaan unik penulisan diksi b a s a h yang diberi spasi. Penggambaran suasana ini ditampakkan pada bait terakhir /tahun-tahun lewat/bermaterai perjanjian/tanah memerah b a s a h/.

Bagi Pink pribadi, puisi ini kugolongkan sebagai puisi diafan karena kemudahannya dipahami. Hal tersebut ditunjang dengan pemanfaatan diksi-diksi kongkret dan bahasa/diksi figuratif yang tidak banyak. Itu menjadi lebih indah karena tanpa menggunakan bahasa/figuratif yang banyak, penulis berhasil mengajak pembaca untuk ikut mengimajinasikan suasana bangsa di palestina sana, sebab lainnya karena suasana di sana juga memang sudah sangat puitis. Entah unsur kesengajaan atau tidak, unsur versifikasi seperti repetisi, rima dan ritme pada puisi ini begitu terjaga, khususnya di bait ketiga dan kelima. tipografi puisi ini termasuk bebas sebagaimana umumnya puisi kontemporer. Amanat tersuratnya disebutkan dengan jelas pada bait kelima: doakan kami/doakan kami/, sedang amanat tersurat yang diusung puisi ini adalah perasaan empahty pembaca terhadap penderitaan bangsa yang dilanda konflik tersebut.

Tidak ada komentar: