Rabu, 30 Maret 2011

Rendahnya Apresiasi Akademik terhadap Karya Sastrawan Kalsel



Oleh Sainul Hermawan

Salah satu isu penting yang saya tawarkan dalam diskusi sastra yang diselenggarakan oleh Radar Banjarmasin pada 30 Desember 2010 di Minggu Raya Banjarbaru adalah apakah kemeriahan sastra di Kalsel yang ditandai dengan kegiatan aruh sastra, festival, tadarus, sayembara dan pelatihan penulisan, penerbitan buku dan peluncurannya, dan sebagainya berhasil menciptakan publik pembacanya? Asumsi saya bahwa satra Kalsel tidak terlalu banyak ditekuni dalam publik pembacaan yang meriah tampaknya memang perlu disikapi bersama sehingga pada pelaksanaan kegiatan bersastra di tahun ini dan tahun-tahun yang akan datang perlu menguatkan kegiatan yang berorientasi pada perayaan pembacaan dalam pengertian yang luas, yaitu bukan sekadar dibaca untuk pertunjukan, melainkan juga pembacaan dalam pengertian memasukkan dalam materi pembelajaran sastra dan bahasa di sekolah dan perguruan tinggi serta upaya pembacaan dalam pengertian transformatif-intertekstual antarmedia kesenian.

Membicarakan persoalan ini memerlukan keterlibatan banyak pihak dalam ranah yang sangat lintas disiplin. Sistem sastra memerlukan pemain yang lain: guru/dosen bahasa dan sastra, wartawan, apresiator, kritikus, dan seniman lain. Dalam esai ini saya hanya mengisahkan hasil survey tentang penelitian sastra di PBSI FKIP Unlam Banjarmasin. Saya berharap upaya survey yang sama dapat dilakukan di institusi lain yang menyelenggarakan pembelajaran sastra baik di perguruan tinggi, sekolah, maupun di tengah masyarakat umum. Kedua institusi yang berada di ibukota provinsi ini dapat dianggap sebagai lembaga yang relatif representatif untuk melihat bagaimana “perayaan akademik” terhadap produk para sastrawan di Kalsel. Data hasil survey bersumber dari buku wisuda sarjana kedua kampus itu yang mencantumkan judul-judul skripsi para wisudawannya.

Survey judul penelitian sastra di PBSID FKIP Unlam didasarkan pada buku wisuda tahun 1999, 2002 sampai 2006, dan 2008 sampai 2010 Kesimpulan tulisan ini tentu terikat pada katerbatasan data yang digunakan. Saya tak berhasil menemukan buku wisuda tahun 2000 sampai 2001 dan 2007. Dari sumber itu terkumpul seratus lebih judul penelitian sastra. Berapa banyak puisi, cerpen, novel, dan drama karya sastrawan Kalsel yang diteliti?

Dari 1999 sampai 2006
Dalam rentang itu penelitian tentang puisi karya sastra sastrawan Kalsel: (1) Tema dan Gaya Bahasa dalam Puisi M. Rifani Djamhari Penyair Banjarbaru (Maisyarah, 2003) dan (2) Religi Mantra dalam Puisi Bahasa Banjar Mangga Riau Naga Karya Noor Cahya Khairani (Mahrita, 2003); (3) Analisis Struktural dan Semiotik dalam Antologi Puisi Duri-Duri Tataba Karya Penyair Tabalong (Asni Farina, 2005).
Cerita pendek karya sastrawan Kalsel yang dibaca dalam penelitian akademik yaitu: Konflik Sosioreligius dalam Kumpulan Cerpen Karya Aliman Syahrani dan Karya Kidh Hidayat (Siti Nurdiniah K. 2004); Unsur dalam Cerpen Racun Karya YS Agus Suseno (Libermart C. S. 2004); Citra Perempuan dalam Cerpen Banjar Modern (Samsul Bahri 2005); Representasi Kehidupan Religi Masyarakat Dayak Loksado dalam Novel Palas Karya Aliman Syahrani (Gusti Y. Risman, 2005)
Dalam rentang waktu 6 tahun, karya sastrawan Kalsel yang dibaca adalah karya Aliman Syahrani, YS Agus Suseno, Noor Cahya Khairani, Rifani Dajmhari, dan lain-lain. Dalam perspektif pembaca, dibaca atau tidak merupakan dasar untuk menyatakan sastrawan itu ada atau tidak. Meskipun demikian, hasil sementara ini perlu dicocokkan dengan aktivitas pembacaan di ranah yang lain. Oleh karena itu, pencatatan tentang aktivitas sosial apa saja yang membaca karya sastrawan Kalsel, kapan, dan dimananya perlu terus dilakukan sebelum menyatakan bahwa sastrawan Kalsel telah ribuan jumlahnya.
Pencataan tentang bagaimana karya sastrawan Kalsel telah dibaca dalam penelitian, resensi buku, esai, diskusi buku, festival dan lomba-lomba, jauh lebih penting daripada catatan tentang jumlah sastrawan. Sebab, dalam perspektif sejarah sastra, hanya karya sastra yang dibacalah yang ada. Ada dan tiadanya karya sastra bukan ditentukan oleh kuantitas produksi, melainkan juga ditentukan oleh kuantitas konsumsi atau penerimaan pembaca (readers’ responses).

Dari 2008 sampai 2010
Pada wisuda ke-64, 14 Oktober 2008, ada 30 wisudawan PBSI. Dari wisudawan itu ada 8 penelitian sastra. Hanya ada 2 karya sastrawan Kalsel yang diapresiasi, yaitu karya Ajamuddin Tifani dan Arsyad Indradi. Karya Ajamuddin diteliti oleh Eva Wahyuni (2008) dengan judul Metafora Puisi Sosial Karya Ajamuddin Tifani dalam Tanah Perjanjian, dan karya Arsyad diteliti oleh Noorhana (2008) dengan judul Karakteristik Puisi dalam Antologi Kalalatu Karya Arsyad Indradi.
Pada wisuda Unlam ke-66, 29 September 2009, wisudawan PBSI sebanyak 25 orang. Penelitian sastranya sebanyak 11 skripsi. Karya sastrawan Kalsel yang diteliti saat itu cuma karya Jamal T. Suryanata, yang dilakukan oleh Taufik Akbar dengan judul Penggunaan Maksim Kerjasama dan Maksim Kesantunan dalam Kumpulan Cerpen Galuh Karya Jamal T. Suryanata.

Pada wisuda ke-67 dan 68, PBSI meluluskan 51 sarjana, dengan penelitian sastra sebanyak 18 skripsi. Karya sastrawan Kalsel yang dibaca secara akademik hanya ada dua, yaitu karya Arsyad Indradi dan Hajriansyah. Karya Arsyad diteliti oleh Nova Liyani (2010) dengan judul Kemampuan Siswa Kelas X SMA PGRI 2 Banjarmasin memahami Jenis Gaya Bahasa Puisi Romansa Setangkai Bunga Karya Arsyad Indradi, dan karya Hajriansyah diteliti oleh Annisa Fitrahmaniah (2010) dengan judul Penggunaan Gaya Bahasa pada Kumpulan Cerpen Angin Besar Menggerus Ladang-Ladang Kami Karya Hajriansyah.

Perhatian dunia ilmiah yang rendah terhadap karya sastrawan Kalsel menyiratkan beberapa kemungkinan: Pertama, karya sastra lokal tidak mudah diakses atau diperoleh oleh mahasiswa. Kedua, pengetahuan tentang signifikansi dan urgensi kajian sastra lokal rendah. Ketiga, lemahnya pengetahuan teoretis para dosen tentang kemungkinan penelitian sastra lokal yang menarik yang dapat ditawarkan kepada mahasiswa, dan keempat, ini hanya hanya semacam gunung es dari sikap umum yang memandang sastra sebagai produk budaya yang tak bermanfaat atau sebagai artefak artistik semata yang tak ada kaitannya dengan pendidikan, politik, sejarah, ilmu jiwa, serta ilmu dan karya seni lainnya, dan keempat, tiadanya nilai penting dalam karya itu karena tidak setiap karya sastra dapat diteliti jika peneliti tidak memiliki pertimbangan alasan rasional yang dapat dipertanggungjawabkan secara teoretis mengenai nilai penting karya sastra.

Kemungkinan pertama dapat diatasi dengan menggencarkan pemasaran produk sastra ke kampus dalam bentuk ceramah sastra bersama. Komunitas Sastra Indonesia cabang daerah (Banjarmasin, Banjarbaru, Barabai, atau Kotabaru) dalam hal ini bisa memerankan diri sebagai mediator yang dapat menjembatani kerjasama antara kampus dan sastrawan Kalsel. Kemungkinan kedua dan ketiga memerlukan keterlibatan para akademisi sastra untuk terus menyegarkan pengetahuan sastra. Ilmu
sastra terus berkembang. Kemandekan dan kemonotonan jenis penelitian sastra di kampus bukan hanya mencerminkan kualitas pembelajaran yang monoton dan stagnan, melainkan juga cerminan kualitas dosen dan mahasiswanya.
Kemungkinan keempat memerlukan peran sastrawan untuk mencipta karya yang lebih berkualitas secara artistik, historis, psikologis, dan filosofis. Faktor ini juga jadi acuan utama mereka dalam meneliti karya sastra. Karena itu, karya Andrea Hirata dan Habiburrahman el- Shirazy lebih banyak dibaca dalam rentang 2008-2010. Ini bukan pekerjaan sederhana. Sastrawan harus antikemapanan dan berusaha untuk terus inovatif. Selera pembaca, sejarah, dan budaya terus berubah dan sastrawan dan ilmuwan sastra serta pembaca sastra secara umum perlu sama-sama menghiasi diri dengan bacaan-bacaan baru. Kalau tidak, kita hanya akan jadi bagian riwayat pembacaan dan penulisan sastra yang jalan di tempat: stagnan!
Bjm., 16.01.2011

Harian Radar Banjarmasin
Berita Budaya dan Sastra
Minggu, 6 Februari 2011

Tidak ada komentar: