Kamis, 10 Maret 2011

DIALOG SASTRA DAN REMU PENYAIR 3 KOTA DI JAMBI



oleh Dimas Arika Mihardja

Penyair dalam proses kreatif penciptaan sajak selalu menggumulii “tanah pilih” sebagai lahan garapan bagi sajak-sajaknya. Lewat observasi, penjelajahan, pengembangan, pengolahan, pendalaman, dan pergumulan terus-menerus penyair dalam proses kreatifnya senantiasa melakukan pilihan terbaik. Dalam melakukan pilihan itu, dengan intensitas masing-masing, penyair memilih lahan garapan bagi sajak-sajaknya. Bagi penyair, lahan garapan di “Tanah pilih” menyediakan aneka pengalaman fisik, spiritual, dan estetis. Aneka pengalaman fisik, spiritual, dan estetis itu kemudian diproses ke dalam sajak. Sajak, dengan demikian merupakan endapan pegalaman fisik, spiritual, dan estetis yang dieksplorasi melalui proses introspeksi, membaca diri, memahami minat, hasrat, dan arah tujuan masing-masing.

“Tanah Pilih” menyediakan keleluasaan bagi penyair untuk melakukan kinerja kreatif-inovatif-produktif.

Penyair dalam melakukan kinerja kreatifnya berpangkal tolak dari kreativitas. Dengan kreativitas, penyair memiliki keleluasaan melakukan penjelajahan, eksprolasi, dan menghasilkan sajak yang memiliki kadar “kebaruan” Dengan “kebaruan” penyair dapat memberikan tawaran-tawaran inovatif dan produktif. Dalam kinerja kreatif-inovatif-produktif, penyair selalu melakukan observasi, penjelajahan, pengembangan, pengolahan, pendalaman, dan pergumulan terus-menerus. Hasil kinerja kreatif-inovatif-produktif berupa sajak dapat diidentifikasi upaya setiap penyair dalam memformulasikan jati diri, identitas, atau warna sajak yang ditulis. Lewat sajak-sajak yang terdedah dalam buku ini dapat diidentifikasi bahwa hampir setiap penyair berusaha keras menawarkan pola ucap sajak yang menjadi ciri estetik masing-masing.

Secara personal, penyair memiliki kemerdekaan dalam memilih lahan garapannya. Penyair dapat leluasa menulis tentang diri sendiri, orang lain, atau konteks sosial-kemasyarakatan serta melakukan mimesis terhadap ciptaan Allah. Penyair dengan leluasa dapat menuliskan kepolosan dirinya, kurap dan penyakit masyarakat, merefleksikan apresiasi terhadap alam dan Sang Pencipta. Penyair dalam berkarya dituntut untuk jujur pada diri sendiri, orang lain, dan terhadap Sang Pencipta. Penyair menggubah sajak secara apa adanya, jauh dari sentimen pribadi, bertanggung jawab, dan tentu saja bercita rasa estetis tinggi merupakan manifestasi adanya sikap jujur. Kejujuran! Sebuah kata yang kini langka kita temukan di zaman yang carut-marut oleh berbagai kepentingan. Kejujuran tentu perlu dijadikan acuan bagi para pencinta kehidupan, penggubah kata, peengembang kebudayaan. Yang perlu dimiliki oleh seorang penyair adalah kejujuran. Dengan kejujuran akan lahir sajak-sajak yang menyentak lantaran lugas, cerdas, dan bernas. Kepolosan dan kelugasan di masa euforia penuh slogan, eufemisme, kepura-puraan, dusta, dan kesombongan terasa mendapatkan tempatnya tersendiri! Sajak yang menyentak adalah karya yang cerdas yang dikemas secara bernas.

Penyair memiliki banyak pemikiran dan tawaran kreatif dalam sajak-sajak yang digubahnya. Kinerja penyair lebih mengarah pada persoalan spiritual (tidak semata mendapatkan keuntungan finansial). Kinerja penyair lebih banyak memberi daripada menerima segala sesuatu yang bersifat kebendaan. Semangat, etos kerja, keikhlasan, dan meyakini bahwa segala yang dilakukan akan memberikan faedah bagi diri sendiri dan orang lain tentulah cukup membahagiakan. Sebab, urusan hidup tidak selalu dapat diukur dengan kelimpahan materi, melainkan ada hal-hal lain yang lebih mengarah ke hal yang rohaniah, spiritual, dan pengabdian terus-menerus. Namun, buru-buru perlu ditambahkan bahwa kinerja penyair semestinya masuk dalam kategori profesi yang profesional. Itulah sebabnya hasil karya dan kinerjanya perlu mendapatkan apresiasi yang memadai dan tempat yang terhormat.

Hal yang penting dikemukakan ialah bahwa sajak menyediakan diri dibicarakan dengan berbagai pendekatan. Bobot sajak terutama terletak pada cara penyajian dan pada adanya pendaran nilai-nilai sebagai hasil refleksi dan kontemplasi sastrawannya. Bobot sajak selain ditentukan oleh penampilan sajak di atas kertas, terutama ditentukan oleh khalayak pembaca. Kepada para pembaca budiman, silakan menikmati sajak-sajak dengan khidmat, sebab melalui pembacaan penuh penghayatan akan terbentuk silaturahmi batiniah yang pada gilirannya akan memperkaya khasanah dan cakrawala kita tentang hidup dan kehidupan.

BAGAIMANA PROSES KREATIF penyair Diah Hadaning (Jakarta), DAM (Jambi), dan D Kemalawati (Banda Aceh)? Bagaimana atraksi mereka saat tampil membaca puisi di hadapan audience? Bagaimana respon mereka menghadapi berbagai tanggapan, pertanyaan,kritik dan saran? Semua itu akan terjawab di dalam agenda DIALOG SASTRA DAN TEMU PENYAIR 3 KOTA (JAKARTA, JAMBI, ACEH) yang dihelat di aula Rektorat Lantai III Universitas Jambi Kampus Pinang Masak Mendalo 22 Maret 2011 mulai pukul 08.30 WIB. Jika forum ini belum memuaskan, malam harinya akan digelar LESEHAN SASTRA di Taman Budaya Jambi mulai pukul 19.30 WIB. Acara ini lalu akan digelar di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin Jakarta 25 Maret 2011 pukul 19.00 WIB. Sahabat dan peminat silakan hadir.
Salam sastra!

Tidak ada komentar: