Minggu, 26 Desember 2010

SURAT SASTRA BUAT BUNG DJAZLAM ZAINAL DI MALAYSIA



oleh Dimas Arika Mihardja

Salam sastra,
Indonesia dan Malaysia berjalin-berkelindan melalui bahasa puak Melayu. Melalui bahasa dan karakter budaya Melayu ini kita lantas menjalin silaturahmi bungahati, saling mengkritisi dan mengungkapkan kesejatian diri. Melalui surat sastra ini kukabarkan bahwa keberagaman budaya kita bisa senantiasa direntang-panjangkan menyeberangi selat Malaka. Ingin kukabarkan kepadamu bahwa aku masih terus melahirkan aneka puisi dalam bingkai segitiga sama sisi. Aku merasa perlu menulis surat sastra ini agar pembacaan atas puisi-puisi yang kugubah selama ini mendapatkan tempat yang proporsional dan barangkali dapat menambah latar pembicaraan bung Djazalam Zainal pada sajak-sajakku di bawah tajuk "Dimas Arika Mihardja: Sumbangannya pada Puisi Indonesia".

Pada awal mula segala seni sastra adalah religius. Itulah sebabnya mengapa para estetikus abad-abad lampau telah mencoba menerangkan apakah seni itu. Seni, sambil memperhitungkan adanya berbagai trend, dalam keadaannya yang murni, lazim ditanggapi sebagai kekayaan rohaniah manusia yang memberikan satu pesona, satu pengalaman tak sehari-hari, sesuatu yang transendental, yang dalam bahasa Plato merupakan bayangan Keindahan Sejati, yang oleh Bergson maupun Iqbal ditanggapi kurang lebih sebagai ilham Ilahiat yang bahkan layak diperbandingkan dengan ilham kerasulan.

Walhasil, seni itu sesuatu yang luhur. Kenapa? Sebab watak seni sastra menuntut kejujuran (hanya melahirkan yang memang hidup dalam jiwa), menuntut simpati kemanusiaan (berbicara dari hati ke hati secara jujur dan bukan dari ideologi ke ideologi), dan yang mengungkapkan haru (bukan “kepedihan”). Dengan demikian, seni susastra memang bergerak pada “arus bawah” hidup dan memunculkan ke permukaan undangan ke arah kedalaman. Arus bawah ini dikenal dengan istilah religiusitas (bukan beragama). Haru itu sendiri, memang agaknya tak lain dari rasa hening yang aneh (yang sering tak disadari) yang menyebabkan orang tersentak dan menyebut: “Allah”. Dalam religiusitas, terdapat nilai ibadah.

Seni puisi di satu pihak harus mampu mengajak seseorang beriman, mengagungkan Allah, dan di pihak lain ia harus mampu mengasimilasi sifat-sifat Allah pada diri manusia seperti cinta kasih, penyayang dan lain sebagainya yang mampu membawa kedamaian bagi umat manusia. Hal ini tidak berarti penyair berkarya untuk menyaingi Allah, tetapi ia berkarya untuk menyesuaikan diri secara lebih baik dengan tata ciptaan-Nya. Secara maknawi, karya puisi tidak dimaksudkan menambah jumlah pemeluk, melainkan memperdalam serta mempermudah hubungan manusia dengan Allah, terlepas dari segala penyakit hipokrisi.

Komunikasi antara manusia-penyair dengan Allah realisasinya bisa meluas, bisa pula menyempit perspektifnya. Secara luas, bentuk komunikasi antara manusia-penyair dengan Allah teraktualisasi dalam bentuk kekaguman manusia-penyair akan berbagai bentuk ciptaan Allah (Allah adalah Maha Kreator yang mampu menciptakan alam semesta beserta isinya). Manusia-penyair, dalam konteks ini hanyalah peniru secara mimesis. Dari tangan manusia-penyair lalu lahir berbagai karya yang secara mimesis tidak dimaksudkan menandingi kreativitas Allah, melainkan sebagai semacam perpanjangan tangan. Hitung-hitung manusia-penyair bertindak sebagai kafilah di bumi yang dengan suntuk mengangungkan berbagai Keindahan Ciptaan Allah.

Selain itu, manusia-penyair ternyata juga merupakan makhluk individu dan makhluk sosial dalam pranata sosiologis. Secara individual, manusia-penyair memiliki atensi pada masalah-masalah personal sebagai pangkal tolak konsepsi estetis dalam setiap berkarya. Dalam perspektif individual pula, manusia-penyair selalu dirundung kegelisahan untuk berdekatan dengan Sang Khalik. Lantaran Sang Khalik sifatnya serba “Maha”, secara personal manusia terkadang serupa debu di “terompah-Nya”. Manusia lantas merasa kecil, kotor, dan silau oleh Cahaya Maha Cahaya. Manusia secara personal juga terkadang penasaran untuk menyibak rahasia ciptaan-Nya: alam semesta beserta isinya acapkali membuat manusia “terluka” oleh berbagai penyebab. Selain itu, secara watak personal manusia ialah memiliki rasa ingin tahu segalanya, termasuk rahasia-Nya.
Secara sosial, manusia-penyair langsung atau tidak langsung terlibat dalam kancah persoalan sosial kemasyarakatan. Itulah latar belakang kenapa hampir setiap manusia-penyair selalu tertarik memperbincangkan dan mengusung persoalan personal dan persoalan sosial ke dalam puisi yang diciptakannya. Terminologi Islami untuk mengangkat dan dekat dengan persoalan sosial itu, habluminnanas, menjadi proyek penulisan yang tidak pernah habis dijadikan entry penulisan puisi. dalam perspektif ini manusia-penyair lantas berhubungan dengan aneka persoalan manusia di dunia: keadilan-ketidakadilan, keburukan-kebaikan, kemiskinan-kekayaan, material-spiritual, jasmani-rohaniah, dan oposisi binner lainnya dalam konfrontasi tiada henti.
Konsepsi estetik manusia-penyair, dengan demikian, berpangkal tolak pada tiga dimensi: religiusitas, individual, dan sosial.

Skema ini disebut dengan “SEGITIGA SAMA SISI” dalam proses kreatif penciptaan karya berupa puisi. Pada sudut paling atas segitiga adalah ALLAH (representasi MISTERI ILAHI); sudut bawah—kiri adalah MANUSIA (representasi MISTERI manusia); dan sudut kanan—bawah adalah KEHIDUPAN (representasi MISTERI kehidupan) dan bidang yang berada di tengah-tengah segi tiga adalah lingkaran MISTERI.
Bung Djazlam Zainal yang baik, kau pasti merasakan bahwa dalam hubungan antara manusia dengan Ilahi terentang misteri. Pemahaman, penghayatan, dan keyakinan manusia terhadap Sang Ilahi merentangkan hubungan misterius dalam berbagai tingkatan: syariat, tariqat, hakikat, dan makrifat, dan berbagai paham serta keyakinan lainnya. Dalam hubungan antara manusia dengan kehidupan juga merentangkan sejumlah misteri: ada-tiada, berada-mengada, ada-bersama, ada-sendiri, dll. Demikian pula hubungan antara manusia, Ilahi, dan kehidupan terdapat misteri dan manusia secara filosofis-transendental selalu berupaya memahami hakikat hidup, asal muasal hidup, rona hidup, tujuan hidup, kualitas hidup, dan lainnya.

Secara triadik, di dalam segitiga sama sisi ini terdapat LINGKARAN MISTERI yang tidak habis digali selama proses kreatif penciptaan puisi. Konsepsi estetik ini, lebih lanjut memang menjadi urusan masing-masing kreator. Setiap kreator memiliki pandangan yang beragam tentang bagaimana ia menghasilkan puisi. Konsepsi estetik ini merupakan wujud nyata visi sastrawan pelahirnya.
Lantas, apakah roh? Di manakah “Roh” berada? Seperti apakah ronanya? Seperti apakah fungsi dan maknanya? Roh berada di dalam LINGKARAN MISTERI. Artinya, sehebat apapun manusia dengan perkembangan dan dukungan teknologi apapun tetaplah tidak mampu memotret roh dengan persis. Roh, keberadaannya dapat seperti angin yang bisa dirasakan, namun tidak dapat dipegang. Roh berposisi sebagai misteri atau teka-teki, dan teka-teki tak mesti dipertanyakan serta dijawab. Adanya roh lantaran adaNya. AdaNya bagi manusia bukanlah teka-teki, tak perlu ditanyakan atau dijawab. Sebab, Dia Ada dengan sendirinya dan di luar jangkauan pemikiran manusia. Di sinilah misteri Ilahi itu.
Mengenai apa itu roh dan bagaimana ronanya? Ada yang menawarkan jawabannya, yakni: roh alam, roh kehidupan, roh tulisan, roh lisan, roh pandangan, roh pendengaran, roh penciuman, roh keyakinan, roh persaudaraan, roh persahabatan, roh gerakan. Selain itu, juga roh pada jiwa, roh pada rasa, roh pada raga, roh pada agama, roh pada negara, roh dalam waktu... berakhir pada Dia. Benarlah hubungan triadik SEGITIGA SAMA SISI yang aku skemakan. Senyatanya roh berada di dalam lingkaran misteri Ilahi, rahasia personal dan persoalan sosial. Semua roh personal dan sosial berakhir pada Dia. Karena pada akhirnya bermuara pada Dia, maka manusia sebagai kafilah di bumi merasa terpanggil untuk melakukan pemujaan atau pengangungan kepada-Nya. Tidaklah heran, setelah pencarian dan penemuan bahwa ujung pencarian ialah Dia, maka dalam berkarya, berbuat, dan berkelakuan.

Tiga bingkai konsepsi estetik yang berpangkal tolak dari SEGITIGA SAMA SISI, bisa jadi menyediakan wacana puisi yang merupakan: (1) pencerminan karya reformis yang melahirkan revolusi dalam bentuk, (2) pencerminan karya inspiratif yang menawarkan kejenialan ide dan tematik, (3) karya-karya yang revolusioner lantaran kekuatan estetikanya, dan (4) memiliki makna penting sebagai wacana religiusitas. Orang Indonesia, konon, ada yang menyukai yang sederhana dalam pengungkapan, tak perlu penjelasan; ada pembaca yang memang awam dan perlu dituntun dengan uraian puisi. Uraian dan kajian bung Djazlam Zainal atas sajak-sajakku setidak-tidaknya telah memandu pembaca awam untuk dapat mengenal dan menghargai puisi. Dahaga mereka memang perlu kita puasi dengan kupasan-kupasan puisi. Terima kasih.

Demikian, salam budaya.

Tidak ada komentar: