Rabu, 29 Desember 2010

CATATAN DI HULU SUNGAI BATANGHARI



oleh Dimas Arika Mihardja

Seperti Naga dari Selatan, Jambi menggeliat dengan pembangunan pesat di bidang investasi dan perdagangan, sehingga mall, mini market, plaza, hingga hipermarket berdiri menghiasi gambaran metropolis.Sebagai fenomena, kita catat bahwa masyarakat Jambi memasuki tahap perkembangan yang disebut post tradisional society. Kita mencatat unsur-unsur modernitas yang menandai mentalitas masyarakat modern, seperti individualisme (sikap ”Siape lu, siape gua”), orientalisme terhadap kehidupan kota, fenomena kehidupan demokratis, dominasi media massa, dan mengutamakan mutu hasil karya.

Di samping pembangunan yang berindikator dunia ekonomi dan perdagangan modern itu, ternyata pasar tradisional tergusur. Lihatlah Pasar Angso Duo merana, Pasar Burung nempel di gang yang sesak, Pasar TAC memprihatinkan, dan pasar-pasar liar tumbuh di sepanjang troar dan gang-gang sempit (apalagi ketika musim buah tiba). Ketika pembangunan mall, hipermarket, dan plaza menggusur pasar tradisional, maka rakyat kecil menggeliat dengan kreativitasnya sendiri membangun pasar-pasar liar. Ironisnya, pedagang kaki lima terus digerus oleh tangan-tangan kekuasaan lewat Satpol PP. Pedagang digusur dan tidak pernah diberikan solusi, padahal rakyat kecil bagaimana pun perlu menghidupi keluarganya. Lokalisasi Payo Sigadung terus saja menampung pendatang dari luar daerah, menjajakan gairah.

Fenomena sosial terjadi ketika anak-anak jalanan bertubuh dan berpakaian bersih menadahkan tangan di Traffict Light, nenek renta susah payah menyeberang jalan di tengah keramaian kota (dan maaf, tidak ada lagi Pramuka/ Satpam/ polisi yang rela membantu). Anak-anak "punk" dengan gayanya sendiri menghiasi terminal dan tempat-tempat strategis dengan aneka asesoris yang dikenakan. Seakan-akan orang-orang tidak lagi peduli pada penderitaan orang lain, orang memanfaatkan musibah sebagai upaya mendapatkan sedekah (menolong korban tabrak lari, tapi yang lebih dulu diselamatkan adalah dompet dan perhiasannya), dan masih banyak lagi bentuk-bentuk fenomena sosial-budaya di negeri ini.

Gaya hidup orang kota kini menjadi trend centre bagi warga masyarakat. Semacam ada image bahwa orang metropolis gaya hidupnya cenderung glamour, perlente, melengkapi diri dengan aneka asesoris mutakhir, dan membawa ikon-ikon ekonomi kreatif dan efektif. Setiap orang merasa perlu menenteng handphone atau telefon selular (meskipun terkadang tampak gagap teknologi). Generasi muda, termasuk anak-anak sekolah menggendong laptop (komputer jinjing). Gaya berpakaian modis (meski membelinya di loakan), mobilitas tinggi (meski terkadang hanya jalan-jalan di pusat keramaian dengan tujuan tidak jelas). Kita juga mencatat bahwa kemacetan lalu lintas mulai terasa di Jambi sebagai manifestasi gaya hidup urban-metropolis, egois, dan tidak disiplin. Daerah Simpang Mayang, misalnya, tentu perlu penjagaan dan pengaturan polisi sehingga lalu lintas dapat berjalan lancar serta terhindar dari kemacetan.

Dapat dicatat juga fenomena munculnya cultural lag, yaitu fenomena yang menggambarkan keadaan masyarakat yang dengan mudah menyerap budaya yang bersifat meterial, tetapi belum mampu untuk mengadaptasi budaya yang bersifat non-material. Fenomena persaingan dunia usaha telephone seluler, aneka produk play statition, aneka game dan lambang prestise (membawa laptop) hanya untuk keperluan mode yang bersiafat musiman. Masyarakat hanyalah konsumen, user, yang hanya bisa memanfaatkan teknologi maju, tanpa dibarengi pemahaman karakteristiknya. Dampak ikutan gaya hidup ini ialah maraknya aneka penipuan secara canggih dengan iming-iming aneka hadiah yang menggiurkan.

Reformasi 1998 membuahkan hasil masyarakat semakin kritis dalam iklim kehidupan yang demokratis. Namun, perilaku demokratis ini senyatanya belum menjadi bagian hidup masyarakat perkotaan. Contoh-contoh sikap kritis dalam bingkai kehidupan yang demokratis tampak dari berbagai unjuk rasa berbagai elemen masyarakat terhadap setiap akan dilakukan pengundangan Rencana Undang Undang. Kita masih ingat betapa lapisan masyarakat berssikap pro kontra terhadap sosialisasi Undang Undang Pornografi dan Porno Aksi, Undang Undang Badan Hukum Pendidikan; Lapisan masyarakat tertentu juga reaktif terhadap pelaksanaan PILKADA, sehingga timbul kesan ”Siap memang, tetapi tidak siap kalah”.

Hal yang menggembirakan (juga menyedihkan) dalam pranata kehidupan sosial post tradisionalis, media massa memegang otoritas dalam mengendalikan berbagai isue, pemberitaan, penciptaan opini, penciptaan trend centre, dan berbagai macam dampak positif maupun negatif yang mengiringinya. Media massa senyatanya telah berhasil menciptakan mitos baru, pencitraan pejabat, dan bisa jadi pembunuhan karakter orang-perorang. Dalam masyarakat post tradisionalis juga ditandai oleh adanya penghargaan terhadap karya dan kekaryaan sebagai bagian dari kebudayaan dalam pengertian yang luas dan kompleks. Pekerjaan baru bagi gubernur baru, walikota baru, dan pemangku budaya Jambi ialah "mengangkat batang terendam" di berbagai bidang. Menggeliatlah Naga dari Selatan lalu merenangi aliran Batanghari menyambut tahun baru 2011.

Demikianlah potret fenomena budaya kita hari ini. Salam.

Tidak ada komentar: