Minggu, 23 Desember 2007

Antologi Puisi Penyair Nusantara:





Sebuah Catatan Ringan


Oleh: Sudaryono


Fenomena yang muncul di tengah masyarakat dan menjadi semacam “wabah” di nusantara adalah hadirnya orang-orang yang memiliki obsesi menulis puisi, menerbitkan puisi, dan memanfaatkan puisi untuk berbagai jenis keperluan. Hal yang fenomenal adalah banyaknya penyair yang melahirkan sejumlah puisi di nusantara ini. Dalam konteks ini lantas ada sinyalemen tentang terjadi inflasi penyair dan puisi di nusantara. Penyair dan puisi seperti jamur di musim hujan. Apakah yang melatari banyaknya penyair memproduksi puisi di nusantara? Apakah ada relevansi antara bencana, musibah, penderitaan, dan berbagai tekanan kehidupan di nusantara dengan kelahiran puisi dan penyair? Atau, apakah puisi yang digali dari rahim ibu pertiwi merupakan semacam pelarian aman untuk mendapatkan kenikmatan sesaat atau kebahagiaan sesat? Apakah buku kumpulan puisi menjadi tujuan, sarana, atau target bagi sejumlah penyair? Siapakah yang rela mendanai penerbitan buku puisi yang merupakan “proyek rugi” secara materiil selain seorang yang di luar batas kenormalan? Fenomena ini ada pada sosok Arsyad Indradi.

Arsyad Indradi lahir di Barabah 31 Desember 1949. Ia acap mengenakan topi dalam penampilannya (Jika di Film Anak-anak ada Pahlawan Bertopeng, pantaskah dia disebut Seniman/Budayawan/Penyair Bertopi?). Lantaran banyak cabang seni yang ia geluti, pantaslah Bung Arsyad ini disebut seniman dan budayawan. Seniman/budayawan/penyair bertopi ini bermukim di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Perhatiannya terfokus pada dunia kebudayaan dan kesenian terutama tari, teater, dan puisi. Lantaran ia juga pendidik, kegiatan berkesenian didedikasikan juga untuk pendidikan seni. Sebagai penyair, Arsyad Indradi terkesan konsisten dan produktif. Hal ini tampak pada titimangsa puisi yang diciptakannya merentang dari masa ke masa. Komitmennya di lapangan puisi ini ditandai oleh diterbitkannya beberapa antologi puisi pribadi yang dibidaninya (didukuni?) sendiri seperti Nyanyian Seribu Burung (April, 2006) memuat 122 puisi yang ditulis dalam kurun 1970—1999; Narasi Musyafir Gila (Juni, 2006) memuat 90 puisi yang digubah dalam kurun 2000—2006; Kalalatu (September, 2006) memuat 100 puisi berbahasa Banjar dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia; dan terakhir adalah Antologi Puisi Penyair Nusantara (Desember, 2006) merangkum 142 penyair nusantara. Hal yang pantas dicatat lantaran fenomenal ialah semua buku ini diterbitkan dengan biaya sendiri!

Sebagai seniman, Ia pernah dijebloskan ke penjara bersama 15 seniman Banjarmasin karena perang melawan tirani pada tahun 1972. Ia bersama kawan-kawan waktu itu secara nyata memperjuangkan kebenaran dan keadilan serta melakukan unjuk rasa membacakan puisi-puisi jalanan melawan segala bentuk penindasan. Lewat pesan singkat (SMS), Arsyad Indradi menulis seperti ini: “Saat diinterogasi sebelum masuk bui, kurebut rokok penginterogasi”. Lalu ditambahkannya, “kami baca puisi di depan aparat hanya mengenakan cawat”. Ganjaran bagi orang yang kuat mempertahankan hati nurani adalah bui dan julukan “Musyafir Gila” pantas disandangnya.

Pendiri Galuh Marikit Dance dan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru ini seperti dukun yang membantu lahirnya Antologi Puisi Penyair Nusantara “142 Penyair Menuju Bulan” (Kelompok Studi Puisi Banjarbaru, 2006). Buku yang didedikasikan untuk ulang tahun ke-7 Kota Banjarbaru, Tahun baru 2007, ulang tahun Arsyad Indradi ke-57, dan dimaksudkan sebagai warisan bagi generasi mendatang ini tergolong spektakuler. Buku ini memuat 427 puisi yang ditulis 142 penyair dari seluruh pelosok nusantara.

Hal yang layak dicatat, bukanlah jumlah penyair atau kuantitas puisi yang dimuat dalam buku, melainkan bagaimana kisah di balik obsesinya seperti Gadjah Mada dengan sumpah Amukti Palapa dan ingin menyatukan nusantara. Bayangkan, antologi puisi penyair nusantara ini dikumpulkannya sendiri melalui pergaulannya yang luas (Ia menyebutnya silaturahmi kultural). Lewat pesan singkat (SMS) dan juga brosur ia meminta partisipasi penyair yang berdomisili di Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Ambon, Bali, Mataram, Jawa, dan seterusnya. Puisi-puisi dari seluruh penjuru nusantara (kecuali tanah Papua tidak ikut serta, sebab tak ditemukannya jejak alamat penyair) yang berdatangan ke rumahnya (tempat Kelompok Studi Sastra Banjarbaru beraktivitas) memenuhi ruang privasinya. Naskah-naskah puisi itu lalu diseleksi, ditik, diedit, dilayout, dicetak, dan didokumentasikan, dan didistribusikan dengan biaya sendiri. Sekali lagi didanai dari dompetnya yang tipis dan lusuh. Sebagai rasa simpati dan apresiasi yang tinggi atas tekadnya, pernah saya tanyakan nomor rekening bank kepadanya agar bisa berpartisipasi meringankan beban pembiayaan dan dijawab “Terima kasih. Rekeningku kering, Cuma duit pensiun kusisihkan lembar demi lembar. Biarlah ini sebagai amal sebelum aku diajalkan”. Barangkali hal ini layak dicatat oleh Museum Rekor Nusantara (MURI) sebab kinerjanya itu terkesan “tanpa pamrih”. Dengan perasaan tulus tanpa pamrih dan jauh dari kesan sombong, Arsyad Indradi tampil sebagai dukun puisi! Ya, dukun puisi (Kawan lain menyebutnya Maesenas, Maestro, atau Musyafir Gila).

Dukun puisi? Dukun adalah orang yang ahli mengobati penyakit atau gangguan jiwa dengan jampi-jampi. Puisi adalah anak kandung kehidupan yang dicipta oleh sperma kreativitas dan dibuahi pemikiran reflektif di atas ranjang hati nurani. Lantas apakah kandungan maksud “Dukun Puisi”? Ia adalah seorang yang dapat mengobati semacam “penyakit gangguan jiwa” dengan jampi-jampi (doa-doa, motivasi, nyata kerja, dll.). Dukun puisi dapat juga dimaknai sebagai orang yang membantu kelahiran puisi.

Gangguan jiwa? Ya, pada galibnya seorang penyair adalah seorang yang (dalam tanda petik) “terganggu jiwanya”. Setiap penyair “terganggu jiwanya” untuk melahirkan puisi yang paling sublim, paling kental, paling kenyal, paling gurih, paling sedap, dan paling cantik. Setiap penyair terobsesi melahirkan puisi yang paling puncak (paling tuak, SDY) sebagai prestasi dalam dunia kreativitas. Setiap penyair semacam mengidap “penyakit akut” untuk melahirkan puisi yang selain mengandung estetika, juga memancarkan pesona makna yang tidak habis digali nilai-nilainya. Puisi yang baik, konon, puisi yang abadi. Puisi yang abadi selalu menampilkan pancaran cinta, kasih, sayang, dan berbagai makna lainnya sepanjang masa.

Penyair merupakan orang tua bagi anak-anaknya: puisi. Sayang, banyak puisi yang menjadi yatim piatu lantaran orang tuanya tidak serius mengurus anak-anaknya. Puisi yang dilahirkan oleh penyair dan acap terkesan kurang gizi dan menjadi tumpahan segala pemikiran serta perasaan. Lantaran penyair belum puas terhadap puisi-puisi yang dilahirkannya (sebab terdapat cacat pada puisi), ia terobsesi untuk terus berkarya melahirkan puisi yang lebih baik. Keinginan melahirkan puisi yang paling elok, paling manis, dan paling cantik mengganggu jiwa penyair bersangkutan. Setiap melahirkan puisi ada semacam perasaan puas dan sekaligus kecewa dan bahkan berbagai perasaan lainnya. Pelahiran puisi acap dihubungkan dengan perasaan “plong” seperti seorang ibu yang berhasil melahirkan bayinya secara normal. Para penyair pun tahu bahwa perasaan “plong” itu pun sesaat sifatnya, sebab iia terusik untuk melahirkan puisi baru.

Setelah dilahirkan, sebuah puisi memerlukan ruang pengasuhan yang representatif menyangkut ruang publik, ruang sosialisasi, dan ruang apresiasi. Ruang-ruang ini tampaknya semakin menyempit sehingga puisi kurang mendapatkan tempat terhormat. Satu dua ruang yang tersedia untuk denyut kehidupan puisi sebut saja media massa atau buku misalnya, memang tersedia bagi ruang hidup puisi. Akan tetapi, ruang puisi yang bernama buku menjadi terkesan amat mahal. Padahal, kehadiran buku yang menyediakan ruang bagi puisi dipandang urgen dan strategis dalam upaya “memanjakan, mengasuh, mendidik, dan merawat” puisi.

Antologi Puisi Penyair Nusantara (APPN) yang diterbitkan oleh Kelompok Studi Puisi Banjarbaru Kalimantan Selatan selain merupakan obsesi seorang Arsyad Indradi tampaknya juga didedikasikan untuk keperluan studi puisi bagi berbagai kalangan. Dalam kerangka studi puisi pulalah tulisan ini diturunkan. Tulisan sederhana ini tentu saja hanya mampu memberikan gambaran umum bagaimana mendekati puisi dan memaknai puisi. Pembicaraan ini lebih mirip dengan pembicaraan “ngalor-ngidul” alias tidak diarahkan pada satu fokus. Hal-hal yang dibicarakan pun menyangkut hal-hal yang umum. Pembicaraan ini boleh dianalogikan dengan “gado-gado” yang rasanya menggoda lidah. Tulisan ini diturunkan tanpa berpretensi menilai penyair atau mengadili puisi sebagai hasil gubahan. Soal penilaian dan pengadilan terhadap puisi dan kiprah penyairnya memerlukan kesempatan serta ruang yang lapang.


***


Puisi, sebagai buah kreativitas penyair, merupakan bentuk karya puisi yang paling tua. Puisi besar dan agung seperti Mahabarata, Rama­yana, Wedatama, Tripama, Babad Tanah Jawi, diungkapkan dalam bentuk puisi; bahkan semua Kitab Suci ditulis dalam format puisi, setidaknya terasa kesan puitisNya. Sebagai salah satu bentuk dan hasil ekspresi, kreasi, dan imajinasi penyair, puisi merupakan simbol verbal. Simbol verbal puisi ini selanjutnya dapat didekati dan dikaji sebagai cara pemahaman (mode of comprehension), cara komunikasi (mode of communication), dan cara penciptaan (mode of creation). Tiga cara kajian ini tentunya berkitan dengan perspektif sejarah. Tiga cara mendekati puisi seperti itu dapat dirunut dari model komunikasi puisi yang diperkenalkan oleh Abrams (1976) dalam bagan seperti ini.



Bagan Model Komunikasi Puisi (Abrams, 1976)


Bagan model komunikasi puisi yang dikemukakan oleh Abrams ini secara sederhana menunjukkan empat wawasan dasar dalam mendekati puisi, yakni (1) pendekatan objektif, (2) pendekatan ekspresif, (3) pendekatan mimetik, dan (4) pendekatan pragmatik. Pertama, pendekatan objektif memandang puisi sebagai dunia yang otonom. Pendekatan ini dalam praktiknya mengabaikan penyair dan lingkungan sosial budaya. Menurut pendekatan ini puisi harus dilihat sebagai objek yang mandiri dan menonjolkan puisi sebagai struktur verbal yang otonom dengan koherensi internal. Dalam pendekatan ini terjalin secara jelas antara konsep-konsep linguistik dengan kajian puisi, baik secara metaforis maupun secara ekletis.

Kedua, pendekatan ekspresif menonjolkan peranan penyair. Titik berat pendekatan ini adalah pada diri penyair seperti kesadaran penyair secara psikologis, wawasan budaya penyair, dan respon penyair terhadap problem dasar kehidupan. Dalam perspektif historis, pendekatan ekspresif berusaha mencari asal-usul terciptanya puisi, yaitu bagaimana puisi itu diciptakan, apa yang menjadi motif atau latar penciptaan, dan bagaimana model transformasi dunia penyair.

Ketiga, pendekatan mimetik menonjolkan aspek referensial. Dasar pandangan pendekatan mimetik ini adalah adanya anggapan bahwa puisi merupakan tiruan alam atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia di semesta raya ini. Sasaran yang diteliti adalah sejauh mana puisi merepresentasikan dunia nyata atau semesta dan kemungkinan adanya intertektualitas dengan karya lain. Oleh karena itu, pendekatan mimetik ini berhubungan dengan teori intertekstualitas, teori dekonstruksi, dan teori strukturalisme genetik.

Keempat, pendekatan pragmatik atau lazim disebut estetika resepsi menonjolkan peranan pembaca sebagai penyambut, penghayat, dan pemberi makna puisi. Anggapan dasar pendekatan pragmatik ini adalah puisi dipandang sebagai artefak tidak berarti apa-apa tanpa keterlibatan pembaca sebagai penyambut, penghayat, dan pemberi makna. Dalam bagan yang telah dikemukakan itu tidak terlihat hubungan antara pembaca dan penyair. Hubungan antara pembaca dan penyair tidak dapat dilakukan secara langsung, melainkan harus melalui puisi yang dibacanya. Dalam konteks ini pembaca dituntut kreativitasnya untuk menemukan pesan penyair melalui puisi yang dibacanya. Pembaca dalam komunikasi puisi dapat berfungsi sebagai subjek atau objek. Sebagai subjek, pembaca adalah pemberi makna, perebut amanat dan pemberi nilai terhadap puisi yang menjadi objeknya. Sebaliknya, sebagai objek pembaca selalu terkena bermacam-macam pengaruh dan kekuatan sosial budaya yang melingkupinya.

Kajian puisi dalam perspektif model komunikasi sebagaimana dikemukakan oleh Abrams itu berkaitan dengan berbagai faktor bahasa dan fungsinya. Enam faktor bahasa dan fungsinya itu, meliputi (1) faktor penyampai (addresser), yaitu seorang penyair berusaha menyampaikan gagasan melalui karya berupa puisi kepada pembaca—dalam hal ini faktor penyampai memiliki fungsi emotif atau ekspresif; (2) faktor penerima (addressee), yaitu pembaca atau khalayak sebagai objek yang dituju oleh si penyair—dalam hal ini pembaca berusaha menerima atau menanggapi pesan yang disampaikan oleh penyair dalam rangka menjalankan fungsi konatif, reseptif, atau pragmatik; (3) faktor konteks (context), yaitu faktor-faktor yang turut mempengaruhi penyampaian pesan penyair—dalam hal ini konteks berhubungan dengan fungsi referensial bahasa atau fungsi acuan; (4) faktor amanat (message), yaitu sebagai tanda puisi memiliki amanat berupa pesan yang harus dipahami oleh pembaca—dalam hal ini pesan berhubungan dengan fungsi puitik atau estetik; (5) faktor kontak (contact), yaitu pembaca harus menghubungkan dirinya dengan puisi yang dibaca dan dinikmatinya—dalam hal ini berlangsung fungsi fatik; dan (6) faktor kode (code), yaitu pembaca harus dapat memahami kode-kode bahasa sesuai dengan konvensi puisi dan konvensi budaya yang melingkupi puisi—dalam hal ini berlaku fungsi metalingual atau sosio-budaya.

Selanjutnya, kajian aspek bahasa puisi berhubungan dengan kemampuan penyair secara ekspresif dalam menyatakan pendapat, mengemukakan gagasan, dan menyampaikan buah imajinasi dalam wadah bahasa yang dipilihnya. Kajian terhadap bahasa puisi dapat diarahkan pada kemampuan penyair dalam menggunakan bahasa untuk mencapai efektivitas komunikasi. Kajian terhadap bahasa puisi juga terfokus pada sistem lambang bahasa yang muncul dalam komunikasi yang meliputi (1) karakteristik hubungan antara bentuk, lambang, dan makna; (2) hubungan antara bentuk keba­hasaan dengan dunia luar yang diacunya; dan (3) hubungan antara lam­bang dan pemakaiannya. Kajian seperti itu juga berkaitan dengan sistem sosial budaya dalam suatu masyarakat bahasa, sistem kebahasaan yang melandasi, bentuk kebahasaan yang digunakan, serta aspek semantis yang dikandungnya.

Kajian aspek makna puisi difokuskan pada nilai, kontribusi atau kegunaannya dalam kehidupan manusia. Puisi mengandung muatan nilai-nilai budaya yang berharga dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai budaya yang terdapat di dalam puisi merupakan konsepsi ideal tentang sesuatu yang dipan-dang dan diakui berharga serta dijadikan pedoman, pengendali ucapan, tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makluk ber-Tuhan.

Kajian puisi sebagai cara komunikasi mengacu pada bagaimana seorang penyair melalui karyanya dapat berkomunikasi dengan para pembacanya. Kajian puisi sebagai cara komunikasi dalam khazanah kajian puisi termasuk ke dalam kajian pendekatan ekspresif dan reseptif. Kajian respon pembaca dalam meresepsi makna puisi le­bih cenderung termasuk ke dalam kajian sosiologi puisi yang mengangkat per­soalan penyair, karya berupa puisi, dan respon masyarakat pembaca. Kajian tentang ekspresi dan kreasi berhubungan dengan pro­ses kreatif penyair dalam penciptaan puisi. Dengan demikian, yang menjadi fokus per­hatian kajian ekspresif adalah (1) proses kreatif yang dilakukan oleh penyair dalam menciptakan puisi; (2) faktor-faktor yang mendorong penyair berkarya; (3) visi, misi, dan konsepsi yang dianut oleh penyair; (4) aliran puisi yang diciptakan oleh penyair; dan (5) latar belakang sosial-bu­daya, agama, keyakinan, dan pandangan hidup penyair bersangkutan.

Sebuah kajian yang ideal melibatkan keempat cara pendekatan tersebut secara komprehensif dan integratif. Penerapan keempat pendekatan secara komprehensif dan integratif dapat menyingkap­kan misteri teks puisi yang digubah oleh penyair secara utuh-menyeluruh. Namun demikian, pemilihan salah satu pendekatan kajian dimungkinkan, sebab penerapan empat pendekatan kajian ter­sebut merupakan “peker­jaan raksasa” yang selain memerlukan banyak waktu, tenaga, biaya, juga menuntut kemampuan pengkaji. Se­jalan dengan hal itu, maka pe­milihan pada satu atau dua pendekatan di­mungkinkan. Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini ialah pendekatan yang bersifat gado-gado, campuran beberapa pendekatan.


***

Teks puisi yang dimuat dalam buku APPN memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap berbagai ma­salah kehidupan penyairnya. Berbagai ma­salah kehidupan penyair, baik berupa peris­tiwa yang terjadi dalam kehidupan se­hari-hari, se­suatu yang dialami oleh penyair, masalah sejarah-so­sial-politik-ekonomi-bu­daya, maupun berbagai fenomena kehidupan yang menjadi bahan renungan, ha­yatan, pe­mikiran penyair diekspresikan secara unik dan menarik. Keunikan dan daya tarik teks puisi yang dimuat dalam buku APPN realisa­sinya berhubungan dengan misi, visi, dan konsepsi penyair selaku kreator. Penyair yang kreatif akan dapat menghasilkan teks puisi yang khas, dan dengan demikian memiliki daya tarik tersendiri. Teks puisi di­bentuk dan dicipta­kan oleh penyair berdasarkan de­sakan emosional dan rasional. Puisi merupakan se­buah ciptaan, se­buah kreasi, dan bukan sebuah imi­tasi. Oleh karena itu, wajar apa­bila un­sur-unsur pribadi penyair yang tergabung dalam buku APPN seperti pengetahuan penyair, peristiwa penting yang dialami, visi, misi, dan konsepsi penyair meronai puisi yang dicipta­kannya.

Secara fisik, teks puisi dalam buku APPN terungkap melalui pemaparan bahasa yang pe­nuh dengan simbol, bahasa kias, dan sarana kepuitisan lainnya. Peng­gunaan simbol, bahasa kias, metafora, dan sarana kepuitisan oleh seorang penyair dimaksudkan untuk me­madatkan pengungkapan dan mengefektifkan pengung­kapan. Dengan pemakaian simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa tersebut penyair dapat mencipta­kan puisi yang mengutamakan intensifikasi, korespondensi, dan musikalitas. Intensi­fi­kasi, korespondensi, dan musikalitas inilah yang tampil dominan dalam karya puisi berbentuk puisi dan terangkum dalam buku APPN. Intensifikasi merupakan upaya penyair memperdalam intensitas penuturan dengan berbagai cara pemaparan bahasa. Korespon­densi merupakan upaya penyair menjalin gagasan menjadi satu ke­satuan. Musikalitas meru­pakan upaya penyair mempermanis, mem­perkuat, dan menonjolkan efek puitik kepada hasil kreasinya. Dengan intensifikasi, korespondensi, dan mu­sikalitas yang baik penyair mampu men­ciptakan puisi yang secara fisik berbeda dengan prosa. Jika prosa lebih bersifat menerangjelaskan, maka puisi bersi­fat memusat dalam perenungan.

Bagaimanakah karakteristik puisi yang terangkum dalam buku APPN? Riffaterre dengan tepat mengungkapkan karakteristik teks puisi dalam ungkapan “Says one thing, means another” atau dalam ungkapan penyair Sapardi Djoko Damono “bilang begini, maksudnya begitu”. Kedua ungkapan yang dikemukakan oleh pakar puisi itu memiliki maksud bahwa puisi sebagai teks mengungkapkan sesuatu hal dan berarti hal lain secara tidak langsung. Menurut Riffaterre ketidaklangsungan itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya pemakaian kias seperti metafora dan metonimi; (2) penyimpangan arti (distorting of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaran baris.

Teks puisi dalam buku APPN cenderung berisi monolog. Artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu di dalamnya. Instansi atau pihak yang bermonolog itu lazimnya disebut “aku lirik”. Aku lirik ini di dalam teks puisi tidak selalu dapat ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti “aku” atau “-ku”. Kata-kata ini dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi.

Puisi dapat dipandang sebagai sis­tem lam­bang budaya yang intersubjektif dari suatu masyarakat. Sebagai lam­bang budaya yang inter­subjektif, puisi bukanlah artefak (ar­tefact) atau fakta kebendaan seba­gaimana dinyatakan oleh beberapa ahli puisi. Puisi adalah sebuah teks yang merupakan inskripsi yang menjadi fakta mentalitas (mentifact), fakta kesadaran kolektif bu­daya, dan fakta sosial (sociofact) dari masyarakat yang menghasil­kannya. Sebagai sistem lambang budaya puisi berhubungan dengan dunia hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan terhadap nilai tertentu dalam konteks dialektika bu­daya tertentu.

Teks puisi selalu berhubungan dengan konstruksi pengetahuan budaya ter­tentu. Se­bagai con­toh, puisi yang dihasilkan oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya Jawa; puisi yang ditulis kawan-kawan dari Bugis merepresentasikan kon­struksi realitas nilai bu­daya Bugis; puisi yang digubah penyair berdarah Banjar merepresentasikan konstruksi realitas budaya Banjar; puisi Nusantara merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya Nusantara, dan seeterusnya dan seterusnya. Hal ini menunjukkan bahwa puisi selalu erat berkaitan dengan nilai budaya tertentu karena ke­beradaan dan kedudukannya sebagai sistem lambang budaya mem­buat­nya selalu terlekati nilai budaya dalam konteks dan proses dialektika bu­daya tertentu.

Puisi-puisi yang terangkum dalam APPN menam­pilkan ha­yatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan tentang kon­struksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialek­tika bu­daya nusantara. Dalam hubungan ini dapat dinyatakan bahwa puisi Nusantara yang ditulis oleh penyair berlatar belakang budaya beragam menam­pilkan ha­yatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan tentang kon­struksi realitas budaya yang majemuk di tengah konteks dan proses dialek­tika bu­daya nusantara. Puisi nusantara selalu membayangkan atau menghadirkan ten­tang konstruksi re­alitas bu­daya nusantara yang dihayati, direnungi, diingat, dipikirkan, diga­gas, dan dipandang oleh penyairnya.

Puisi-puisi karya penyair nusantara juga dipandang sebagai teks dan sekali­gus inskripsi yang selalu merepresentasikan konstruksi re­alitas budaya nusantara. Yang terepresentasi dalam puisi Nusantara adalah konstruksi realitas nilai bu­daya nusantara. Dengan dasar pemikiran seperti itu, buku APPN yang penyairnya berasal dari beragam etnis tentulah selalu membayangkan atau menghadirkan ten­tang konstruksi re­alitas bu­daya nusantara yang dihayati, direnungi, diingat, dipikirkan, diga­gas, dan dipandang oleh penyairnya. Beragam latar belakang budaya penyairnya tentulah turut meronai sosok budaya yang beragam pula. Keberagaman (dan perbedaan) budaya yang melatari penyair turut memperkaya khasanah untaian bunga budaya yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.

***

Pada akhirnya, puisi-puisi yang terangkum dalam buku APPN secara umum dapat ditandai dan diberikan catatan seperti ini. Pertama, puisi selain merupakan bentuk karya tertua, ia merupa­kan teks yang di dalamnya penuh dengan misteri. Kemisterian itu antara lain tampak ketika dilakukan pemba­caan sering terjadi pembaca mengalami kesulitan dalam mema­hami keseluruhan makna puisi, sebab dalam realitasnya penyair sering menggunakan cara pengungkapan yang unik. Oleh karena itu, teks puisi yang termuat dalam APPN perlu dipaparkan dan diberi penjelasan secukupnya sehingga pembaca puisi memperoleh informasi yang diperlukan dalam memahami ‘kemisterian puisi’.

Kedua, di dalam teks puisi-puisi APPN terdapat cara ekspresi atau strategi komunikasi yang mengandung unsur per­mainan, ekspresi yang ‘menunjukkan’ tanpa kata-kata, berisi kias, lambang, dan lain-lain. Fenomena ini berkaitan dengan pemakaian bahasa kias dan lambang serta strategi komuni­kasi yang dipilih oleh penyair dalam fung­sinya untuk mengkomuni­kasikan ide-idenya.

Ketiga, teks puisi yang terekspresikan oleh para penyairnya mengandung nilai-nilai budaya seperti: nilai edukatif, nilai religius, nilai filosofis, ni­lai etis, dan nilai estetis. Nilai edukatif ini berhubungan dengan adanya ajaran, pesan, atau amanat yang terungkapkan. Nilai religius berhubungan dengan keteri­katan manusia kepada kekudusan dan kesucian Tuhan Yang Maha Esa. Nilai filosofis berhubungan dengan keterikatan manusia kepada ke­benaran dan kete­patan. Nilai etis berhubungan dengan persoalan ke­baikan dan kesusi­laan. Nilai estetika ber­hubungan dengan per­soalan keindahan dan keelo­kan fenomena estetis. Beragam nilai budaya itu perlu dipaparkan dan dijelaskan sehingga dapat menambah kekayaan rohani pembaca terhadap khazanah budaya bangsanya.

Keempat, realitas yang disebut puisi merupakan ‘gejala komunikasi khas berupa bahasa yang diabdikan pada fungsi estetis’. Puisi mengandung unsur-unsur yang yang hadir secara simultan, yaitu bdrupa paparan bahasa, struktur isi, dan aspek keindahan. Berdasarkan ciri hubungan, ciri kehadiran, dan tingkatan hubungan antarunsur dalam membangun totalitas puisi dapat diketahui bahwa unsur pembangun itu dapat bersifat internal, yaitu unsur yang hadir secara simultan, mengandung pasangan langsung, dan saling berinter-dependensi, dan unsur yang bersifat eksternal, yakni unsur yang apabila ditinjau dari perspektif entitas puisi merupakan unsur-unsur yang memiliki hubungan kausal dan fungsional. Penjelasan dan pemaparan aspek intrinsik dan ekstrinsik teks puisi akan menambah khazanah wawasan pembaca dalam upaya merebut maknanya.

Kelima, di hadapan sebuah puisi berbahasa Indonesia yang terangkum di dalam buku APPN, muncul kesan seperti dinyatakan oleh Goenawan Mohamad bahwa kita tidak dapat menengok ke dalam ‘dunia bahasa puisi yang penghuninya berjejal kelewat rapat’. Bahasa yang ada masih seperti dusun datar yang baru saja dihuni para transmigran—lokasi yang di­ancam wa­bah, perdu yang di­ham­piri hama. Tetapi itu, bagi penyair Nusantara, ada­lah satu-satunya bahasa yang mungkin. Penyair Indonesia tak bisa menghindari pemakaian bahasa Indonesia yang dalam hal tertentu masih miskin sebagai bahasa literer.

Keenam, ada beberapa penyair masih menghadapi persoalan dengan bahasa Indonesia. Dalam hubungan dengan persoalan bahasa Indonesia ini lantas muncul pertanyaan, seberapa jauh (seberapa dalam) bahasa Indonesia dapat menjalankan fungsi sosio-kulturalnya sebagai saluran komu­nikasi dan sebagai unsur integratif sebuah karya cipta dalam hal ini puisi? Pertanyaan ini mengindikasikan jawaban tentang per­soalan di­namika hubungan antara wujud, makna, dan fungsi komunikatif ba­hasa sebagai saluran komunikasi simbolik bagi penyampaian pe­san, realitas “objektif”, dan berita pikiran dengan lingkungan khalayak pemakai bahasa, baik pengirim pe­san maupun pene­rima pesan. Apakah ba­hasa sebagai saluran komuni­kasi yang membentuk realitas, yang mewujudkan pesan, atau­kah, khalayak pema­kai yang menentukan corak saluran pesan itu? Dalam hubungan ini dapat dinyatakan bahwa penambahan dan pem­besaran perbendaharaan pengeta­huan, tentang berbagai gejala alam, so­sial, dan kemanusiaan, kerap menim­bulkan keha­rusan perubahan “kata” menjadi “istilah” atau “kon­sep”, yang me­wakili seperangkat ide. Ketika perubahan ini ter­jadi, maka terpu­tuslah hubungan kata dengan artinya yang semula “telah disetu­jui” oleh komunitas penutur bahasa. Konsep bu­kan lagi yang bisa ditentukan artinya, sebagai­mana tertera dalam ka­mus, tetapi se­suatu yang maknanya harus dirumuskan dan kalau perlu di­per­debatkan.

Ketujuh, satu paradoks puisi yang dimuat dalam buku APPN ialah dalam upayanya un­tuk menjadi ekspresi verbal yang otentik, puisi tidak sepe­nuh­nya mewujudkan diri sebagai ‘tindak verbal’. Beberapa puisi karya penyair yang tergabung dalam buku APPN masih ber­sandar pada kekuatan kata dan variasinya. Ada sejumlah penyair tampil serupa perupa, tetapi kurang mengenal bahasa warna. Ada sejumlah penyair tampil seperti penyanyi, tetapi belum menguasai notasi. Ada penyair yang tampil serupa pekerja teater, namun belum didasarkan pada penguasaan tata pentas. Padahal, puisi yang elegan mestinya memberikan ruang perenungan (ruang samadi/pertapaan) yang menurut pujangga Jawa abad ke-10, Ronggowarsito, disebut sebagai ke­heningan yang sekali­gus kebe­ningan, kehampaan yang sesung­guhnya berisi (weninging ati kang suwung, nanging sajatining isi). Demikian, salam budaya.


Jambi, 2007-05-13

Pemerhati Seni, Sastra,dan Budaya serta Dosen FKIP Universitas Jambi

Tidak ada komentar: