Oleh : Usup Supriyadi
Ada dua kemungkinan barangkali, pertama ialah itu menandakan sebuah sajak yang ditulis memang benar di dalam kamar bernomer sekian dan sekian. Atau kamar di situ identik dengan ruang-batin si penyair, hal itu terindikasi dalam salah satu baris puisinya dalam sajak "Dalam Kamar 230" katanya, Getar bibir:/ Tuhan/ jangan kau tinggalkan aku//. Bisa pula berarti bulan. Lepas dari uniknya judul-judul tersebut, saya akan mencoba menginap lalu lenyap dalam kamar-kamar Arsyad Indradi berikut;
Dalam Kamar 111
Kubakar tubuhmu
Dalam pedupaan malam
Agar angananganku mencair
Jika besok mentari terbit
Tak pernah lagi menjadikan pudar kehidupan
Nyalamukah yang bergoyang dalam tatapan
Wanginya harum bibir pijar
Aku mendaki puncak letupan dadamu
Berpacu pada bubus asap nafasmu
Gerai rambut lelatu
Menguntai bara liar
Pada kamar nyala damar
Berturai menyibak kelam
Tubuhmutubuh tak lagi lelaki
Apa yang kau harap dari sembunyi
Inilah semata dusta semesta
Pada tarikan gorden penghabisan
Kau lepas burungburung di alir cahya
Dengan kepak dan kicau :
Selamat pagi wahai insan yang merindu
Malang 2011
Betapa alunan kata-kata yang melagu dan indah lagi menyentuh kalbu. Permainan
diksinya begitu tepat, dan rimanya tidak terkesan dipaksakan. Benar-benar,
natural. Jelas sekali sajak tersebut berisikan kesah hati yang dirumahkan dalam
"kamar" tersebut, sehingga saya bisa memasukinya dan tinggal di
dalamnya, tidak hanya itu, saya pun terhibur dengan ucapan "selamat"
di akhir. Adakah pesannya? Secara singkat singkat kita semua adalah perindu,
yang merindu "menyibak kelam" di "semesta" yang
"semata dusta" betapa hal tersebut sesuatu yang tak bisa dibilang
sakral ataupun profan. Namun, siapa saja yang melepas "burung" dalam
hal ini adalah hati, ke "alir cahya" maksudnya jalan maha kuasa, maka
betapapun mengerihkannya "bara liar" kita akan mendapati "nyala
damar" di "kamar" mengucapkan "selamat."
Dalam Kamar 230
Tubuhmukah di atas tubuhku
Persis seperti dulu
Seperti akan menjadikan aku kembali berdua
Getar bibir memetik katakata
Yang masih jelas kau untai
Di dinding kamar ingatan
Begitu tulus
Dalam dosa dan doa
Tubuhmu luka
Aku pelita
Kehilangan cahaya
Tubuh nestapa
Aku berlari apakah kau disana
ke loronglorong cuma kosong ke padangpadang cuma ilalang ke batubatu cuma batu
kupetik bintang cuma kunangkunang siapasiapa cuma dusta
Setelah itu tinggal bayang
Tubuhmu masih di atas tubuhku
Getar bibir : Tuhan jangan kau tinggalkan aku
Malang, 2011
Saya menyebut sajak di atas sajak manunggaling kawula gusti atau senggama sang
hati dengan sang pemilik hati. Betapa jujur penyair membuka kita dengan
ungkapannya, "begitu tulus/ dalam dosa dan doa/" tak peduli
"tubuh(mu) tuhan luka" kita acapkali serius dalam dosa maupun doa.
Tapi betapapun ironis dan paradoksisnya manusia, yakni kita, "getar
bibir" dari dalam kamar jiwa, selalu berharap agar persenggamaan antara
"aku" dan sang tuhan tidak kenal selesai. secara keseluruhan diksinya
pun menawan, walaupun pada baris keempat belas terlalu panjang menurut saya.
Dalam Kamar 045
Kumasuki dirimu
Tenggelam ke dasar angan
Seperti seribu tahun
Musafir gila
Antara bumi dan langit
Hampa semata
Engkau semata entah
Dalam hampa aku merindu
Dalam entah aku menyeru
Semata hanyalah cuma
Dirimu ternyata jika
Saat kubuka jendela negri
Jendela hati sarat mimpi
Yogya, 2011
Sajak yang ketiga yang memikat saya ini, terlihat singkat dan padat tapi begitu
banyak sekat-sekat sehingga bisa melihat berbagai sisi dimensi. namun, saya
menangkap bahwa sajak tersebut adalah tentang generasi penerus bangsa, ini
mungkin tidak tepat. tapi saya ingin membacanya dari arah tersebut. kita adalah
generasi bangsa yang penuh dengan mimpi-mimpi dan harapan yang begitu
"masa depan" semua pemuda-pemudi bahkan para tetua yang masih setia
tidak mau mengalah-atau lebih tepatnya masih nyari untung, di gedung-gedung
yang serupa gudang di sana, kebanyakan hanya wacana "hampa semata"
jika kita atau generasi yang mewacana itu tidak melakukan laku "jika"
apa maksudnya dari laku jika? adalah usaha untuk mewujudkan "jendela hati
sarat mimpi" tersebut.
Saya bersyukur bisa membaca ketiga sajak Arsyad Indradi penyair yang lahir di
Barabai yang menyajikan sajak-sajak yang bombai, dan begitu limbai. Mungkin itu
juga karena Arsyad Indradi memang suka terhadap seni tari.
Ketiganya, bagi saya memuisi dan memuasi. lepas dari adanya kata-kata yang ejaannya tidak sesuai dengan KBBI. Saya harap Arsyad Indradi terus berkarya! dan sehat selalu. Amin. Berikut ini sajak yang bisa saya tulis dari hasil lenyap pada ketiga sajak di atas tersebut.
Umbai
: Kepada Penyair Dalam Kamar a.k.a Arsyad Indradi
umbi-umbian masihkah mudah
didapatkan di pelosok-pelosok hutan
yang menjerit-pekik anak-anak itik
di hamparan kalimantan?
aku melihat sebuah truk
mengangkut potongan-potongan
pohon berusia tua-lalu aku ingat
kamu berbadan pohon
o, banyak sungguh yang tak suka
kata bicara soal daun-daun,
embun-embun kita rabun
lalu membalurkan sabun pada tubuh
agar luruh semangat jatuh
tapi aku lihat kau masih setia
memanen rindu pada nyala tetabuhan
dan umbai dari penari di barabai
selalu kaupakai untuk mengajak
jejak agar ingat saat dijejakkan
rupanya benar
jangan tanya masih adakah
hingga nyata tak ada
tapi sebelum datang itu hilang
marilah kita menanam sekarang
Bogor, April 2012
Usup Supriyadi
Salam!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar