Senin, 09 Januari 2012

Variasi Model Pembacaan Novel "Rumah Debu"

RUMAH DEBU NOVEL BERDEBU
Oleh: HE. Benyamine

Cerita tentang yang semestinya dilakukan seorang anak laki-laki ketika sudah mulai beranjak dewasa untuk melakukan perjalanan-perjalanan jauh; melihat kota-kota dan negeri jauh dengan segala perbedaannya dan keunikannya. Perjalanan jauh atau pengembaraan yang terus mengusik pikiran tokoh Rozan dalam Novel Rumah Debu (2010) karya Sandi Firly, seperti menjadi pegangan bagi yang membaca novel tersebut sebagai sesuatu yang penting untuk diingat karena dari awal hingga akhir terus diulang nasehat dari “ayah”nya Rozan tersebut.

Membaca novel Rumah Debu, dengan pengulangan nasehat sang “ayah” tokoh tentang pengembaraan, secara sekilas mengingatkan pada buku Sang Alkemis, Novel Spiritual tentang Realisasi Impian Anda karya Paulo Coelho yang juga terus mengulang kalimat “Saat kau menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk membantumu meraihnya”. Kedua novel tersebut juga bercerita tentang pengembaraan. Pada Sang Alkemis menceritakan pengembaraan sebagai pilihan tokoh yang selanjutnya direalisasikannya, sedangkan pada Rumah Debu menceritakan tokoh diarahkan (bukan pilihan) untuk melakukan pengembaraan yang pada akhir cerita tergambar pengembaraan itu sedang berlangsung. Saat membaca Rumah Debu, ada bayangan bahwa Sandi Firly terinspirasi novel Sang Alkemis yang merasuk dalam dirinya.

Novel Rumah Debu mengalur dengan lurus, cukup ringan untuk dinikmati, dan latar cerita yang dihubungkan dengan sebagian aktivitas pertambangan berupa angkutan batu bara; untuk masyarakat Kalsel begitu mudah untuk merasakan dan membayangkannya. Permasalahan angkutan batu bara yang menggunakan jalan negara cukup jelas tergambar, setidaknya sudah ditandai dengan judul novel Rumah Debu, yang menggiring untuk membayangkan rumah-rumah di sepanjang jalan yang dilewati armada truk batu bara terlihat seperti berwarna abu-abu. Debu yang monoton seakan telah menghapus pelangi kehidupan di sepanjang jalan itu.

Sebagai novel pertama Sandi Firly, ada kesan penggarapannya tergesa-gesa dan membuat ada beberapa hal yang terlihat tidak cermat. Misalnya pada bagian pertama yang bercerita tentang Rantau sebagai tujuan pengembaraan pertama, yang tentu saja keadaan kota Rantau tidak seperti yang digambarkan dalam novel, mungkin yang dimaksudkan adalah kota Binuang. Bagi pembaca yang tidak mengenal atau tahu kota Rantau, gambaran itu memang tidak berpengaruh, tapi akan berbeda dengan pembaca yang tahu dan/atau warga Rantau sendiri tentu terlihat ketidakcermatan tersebut.

Berkenaan dengan permasalahan pertambangan, kecuali tentang angkutan batu bara, novel ini tidak bercerita banyak. Malah terkesan tidak mau memanfaatkan data yang tersedia, padahal Sandi Firly adalah seorang jurnalis yang semestinya tidak mengalami kesulitan dengan berita-berita yang berkenaan dengan permasalahan pertambangan. Hal ini terlihat pada bagian yang mencoba untuk menguatkan pendapat bahwa pertambangan batu bara mengakibatkan kerusakan alam dan berdampak pada manusianya dengan menghadirkan data dan fakta dari Walhi Kalsel, namun lebih cenderung untuk mendukung dengan suasana penggambaran tentang bertebarannya debu sebagaimana judul novel ini yang berhubungan dengan truk-truk pengangkut batu bara.

Begitu juga saat Sarah berhadapan dengan hidup mati dalam persalinan yang dibantu bidan desa, ada hal yang sangat mengganggu tentang “ketuban pecah dan baru pembukaan empat”, yang bagi bidan desa dalam novel seperti hal yang biasa dan bersikap santai saja. Ketuban pecah merupakan hal yang serius dalam persalinan, yang seharusnya mendapat tindakan medis secepatnya, karena taruhannya nyawa ibu atau bayi atau keduanya. Apalagi, persalinannya terjadi saat bayi baru berumur 7 bulan yang merupakan kelahiran prematur, yang mana bayinya perlu ditempatkan pada inkubator, yang dalam medis bisa dilakukan dengan cara ceacar atau vacuum untuk mempercepat bayi keluar. Dalam proses persalinan ini sebenarnya memberikan kesempatan pada pengarang untuk lebih menampilkan dramatisasi yang menegangkan, yang di sini tidak dimanfaatkan dengan baik dan malah tidak cermat.

Memperhatikan tokoh Rozan, ada yang begitu menarik untuk dilihat dari awal novel hingga akhir, yang mengenalkan sosok sebagai pengagum Jalaluddin Rumi, dengan terus membawa buku karya Jalaluddin Rumi ke mana saja. Kekaguman atas karya seorang tokoh (Jalaluddin Rumi) dan membawanya ke mana saja dan sering membacanya secara berulang, tentu begitu berpengaruh terhadap cara pandang Rozan dalam bersikap dan bertindak. Begitu juga dengan buku-buku novel yang lebih menarik dibandingkan kitab-kitab yang ada di pesantren. Memang ada beberapa kutipan dari buku Jalaluddin Rumi, tetapi dalam penampilan Rozan tidak terlihat adanya pengaruh tersebut selain beberapa kutipan pendek.

Selesai membaca novel Rumah Debu, dengan beberapa hal di atas yang dapat bermata ganda, secara langsung mengatakan bahwa karya ini layak untuk dibaca dan dinikmati. Setidaknya bagian kecil dari pertambangan batu bara; angkutan batu bara memanfaatkan jalan negara, terungkap dengan berbagai permasalahan dan dampaknya. Jadi, Rumah Debu dapat dikatakan tersaji masih dalam keadaan berdebu yang mungkin tidak sempat dicermati penulisnya. “Ketika tokoh muda kita ini hendak menuju rumah….”, sapalah ia melalui pembacaan novel Rumah Debu karya Sandi Firly, meskipun kalimat yang dikutip itu bagian dari seperti sisipan liar, yang tidak akan mengurangi nilai novel ini.

Banjarbaru, 25 Januari 2011

Tidak ada komentar: