Senin, 28 Februari 2011

Menikmati Puisi Dunia Maya (Bagian 11 )


Oleh: Hamberan Syahbana

Essei Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 11 ini akan membahas 4 buah puisi: yakni
Pesan Singkat puisi karya Kang Arief Dari Ngawi jawa Timur
Riwayat Liang Lahat puisi karya Mif d’King dari Banjarmasin Kalimantan Selatan
raungan macan asia puisi Heru Yoga Pamungkas dari Jawa Timur
Langkah Ketiga Puluh puisi karya Kurnia Effendi dari DKI Jakarta

Seyogyanya essei bagian 11 ini seperti biasa akan membahas keempat puisi tsb sekali gus. Tetapi karena ada sedikit keluhan dari pembaca yang menyatakan bahwa essei ini tsb terlalu panjang dan membuat pusing kepala membacanya sehingga essei tsb kurang maksimal dinikmati. Untuk menanggapi hal tsb. essei ini dibagi menjadi essei bagian 11a dan bagian 11b.

Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 11a

I. MENIKMATI PUISI KANG ARIEF

Penyair yang satu yang nama lengkapnya adalah Oekusi Arifin Siswanto. lahir di Malang Jawa Timur pada tanggal 23 April 1979. Dalam dunia maya ia lebih dikenal dengan nama Kang Arief yang puisinya bertebaran di dunia maya, khususnya di jejaring sosial facebook.
Penyair ini juga pernah kuliah di Perguruan Tinggi di Akademi Komputer dan Manajemen, dan ISI Surakarta fakuktas senirupa. Kini dia menetap di RT 01 RW 09 Desa Gendingan Kecamatan Widodaren Kabupaten Ngawi sebagai pengabdi masyarakat di Kantor Desa Gendingan di samping kesibukannya kesehariannya sebagai petani sawah dia juga rajin menulis puisi.
Penyair yang satu ini mengaku sama sekali tidak memiliki background sastra. Belajar menulis sastra secara otodidak. aktif menulis puisi facebook, menulis untuk majalah mingguan berbahasa daerah (Jawa) JAYABAYA dalam bentuk Cerita Cekak ( cerpen berbahasa Jawa) dan geguritan [puisi berbahasa jawa], juga menulis Cerpen dan Puisi berbahasa Indonesia.

PESAN SINGKAT
Puisi Kang Arief

Kemanakah lari membawa kaki
Tengah mengejar bahterakah
Atau justru sedang menggarami luka
Sementara paluh telah jengah
Terlalu lama terapung di permukaan mata
Semalaman penuh kutunggui labuh
Di sudut palka yang tak jua segera menjadi
Hingga lumut menubuh malam
Dan cahaya pun menguap sudah
Datanglah datang pengusung pesan
Bawakan aku nyala pucuk api dari puncak batu
Atau segenggam sarang laba-laba dari lawang goa
Untuk mematik lentera cinta bersinar kembali
Jibril
Tiupkanlah kisah yang kau jaring siang tadi
Bukan bukan..!!
Bukan tentang tahta emas Biqis
Pun lantai Sulaiman yang melautkan bulan dan bintang bintang
Kupinta cerita
Tentang sebaik-baik cara untuk merogoh jantung
Serta bagaimana meletakkannya di cawan sujudku
Agar mata dan telingaku mengerti
Satunya lafal yang ada dalam dzikir sekepal daging
Dan selanjutnya tak perlu lagi ada dusta
Atau pun saling ingkar antar tubuh
Kelak, tepat saat janji menuai waktu

Ngawi 17 Nopember 2010.

Puisi Kang Arirf yang berjudul PESAN SINGKAT ini tampil dengan tipografi tanpa bait-bait. Puisi ini terdiri 26 untaian larik yang mengumpul jadi satu bait saja. Puisi ini dibangun dengan diksi yang setengahnya bernuansa perjalanan laut, dan setengahnya lagi bernuansa religi. Nuansa ini dapat dirasakan dalam pemilihan kata: bakhtera, terapung di permukaan, labuh, palka, pucuk api [maksudnya mercu suar yang terlihat di ketinggian] puncak batu. Kata-kata ini berkaitan erat dengan pelayaran di malam hari. Berikutnya ada kata pemilihan kata: pengusung pesan [maksudnya pembawa risalah], sarang kaba-laba dari lawang goa, Jibril, Biqis [Ratu Bulkis], Sulaiman [nabi Sulaiman Alaihi Salam], sujudku,dzikir. Semua kata-kata tsb berkaitan erat dengan religi. Untuk bisa menikmati puisi ini kita harus mencermatinya secara bertahap. Untuk itu marilah kita cermati mulai dari larik1 sampai dengan laik 9 berikut ini.

1. Kemanakah lari membawa kaki
2. Tengah mengejar bahterakah
3. Atau justru sedang menggarami luka
4. Sementara paluh telah jengah
5. Terlalu lama terapung di permukaan mata
6. Semalaman penuh kutunggui labuh
7. Di sudut palka yang tak jua segera menjadi
8. Hingga lumut menubuh malam
9. Dan cahaya pun menguap sudah

Membaca larik-larik di atas kita melihat bahwa larik-larik tsb dibangun dengan diksi dan untaian larik yang puitis dan memukau. Semua itu bukanlah untaian larik yang bisa langsung tertulis begitu saja. Tetapi semua kata-kata tab adalah hasil buah pemikirian dan pencarian yang dalam. Larik-lariknya penuh dengan ambiguitas ungkapan yang harus dimaknai secara konotatif. Larik-lariknya juga diperkuat dan diperindah dengan majas-majas. Komposisinya mampu membentuk rima dan ritme yang tertata rapi. Sehingga puisi ini menjadi nyaman untuk dinikmati, menjadi indah untuk dibaca dan direnungkan. Dan menjadi irama yang merdu ketika diperdengarkan.

Di larik 1 ada ungkapan lari membawa kaki. Secara denotatif maknanya memang benar-benar lari membawa kaki, tetapi secara konotatif bisa bermakna lain. kata lari maknanya adalah perjalanan hidup dan membawa kaki barangkali maknanya membawa nasib. Secara keseluruhan larik 1 ini membentuk majas erotesis yang ditandai dengan kalimat tanya Kemanakah lari membawa kaki[?]. Di sini juga ini ada majas pleonasme sekaligus juga majas zeugma pada ungkapan lari membawa kaki.
Di larik 2 ada ungkapan mengejar bahktera. Secara denotative bahtera adalah alat atau sarana transportasi di laut. Pada skala kecil ungkapan bahktera di sini bisa berarti cinta sebagai alat berupa dasar untuk mewujudkan sebuah rumah tangga, atau bisa juga bermakna rumah tangga yang mengarungi samudra kehidupan dalam menuju pantai bahagia. Tetapi pada skala yang lebih besar bisa bermakna suatu badan atau sebuah organisasi, bahkan pada skala nasional bsa berarti Negara dalam perjalanan sejarah mencapai tujuan Negara yang adil dan merata makmur sejahtera. Untaian larik 2 ini juga adalah majas erotesis yang ditandai dengan pertanyaan. Tengah mengejar bahterakah. Jika dikaitkan dengan larik sebelumnya yaitu larik 1 yang mengungkapkan lari membawa kaki dalam mengejar bakhtera di larik 2 ini adalah majas hiperbola yang menggunakan ungkapan yang berlebihan. Ini ditandai dengan ungkapan lari membawa kaki untuk mengejar bakhtera yang lebih dahulu melaju mengarungi lautan luas.
Di larik 3 ada ungkapan menggarami luka. Kata luka maknanya adalah duka. Dalam istilah puisinya adalah duka lara nestapa yang rasanya tentu pedih perih dan sangat menyakitkan. Di sini ada majas hiperbola dengan menggunakan ungkapan yang melebih-lebihkan keadaan. Bayangkan luka itu sudah pedih rasanya jika digarami tentu rasanya akan lebih pedih lagi. Menggarami luka maknanya adalah menambah duka yang sudah ada. Dengan kata lain adalah membuat duka semakin lara.
Di larik 4 ada ungkapan paluh tengah jengah atau dengan kata lain keringat sudah banyak bercucuran. Maknanya adalah tenaga sudah banyak terkuras, sebagai tanda bahwa sudah banyak usaha yang dilakukan. Dan tentu juga sudah banyak pengorbanan dalam mewujudkan keinginan atau cita-cita. Dengan kata lain larik ini mengungkapkan adanya perjuangan dan pengorbanan yang belum menampakkan hasilnya. Ternyata larik ini juga terasa sangat indah dan puitis. Lebih-lebih jika membacanya dengan penekanan pada bunyi vocal [e] ada pada kata. Sementara, telah dan kata jengah.
Di larik 5 ada ungkapan terapung di permukaan mata. Biasanya kata terapung itu menunjukkan ada sesuatu yang mengapung di permukaan air. Sedangkan dalam larik ini terapung di permukaan mata. Berarti mata di sini adalah hanyalah sebuah ungkapan yang sama sifatnya dengan permukaan air. Kalau dikaitkan demgan larik 4 di atas, maka berarti yang mengapungnya adalah paluh yang telah jengah itu. Ini berarti bahwa perjuangan dan pengorbanan selama ini telah lama mengapung di permukaan mata. Di mata ini juga ada air, yakni air mata. Sedangkan kata air mata sendiri kesannya adalah tangisan yang menandakan ada suka dan juga ada duka. Suka dan duka pada puncaknya sama-sama mengeluaran air mata. Untaian di larik 5 ini membentuk majas hiperbola yang ditandai terlalu lama terapung di permukaan mata.
Di larik 6 ada ungkapan Semalaman penuh kutungggui labuh. Kata semalaman maknanya adalah sepanjang malam atau selama 1 malam. Malam itu kesannya adalah gelap. Malam di sini maknanya masa-masa penantian yang gelap selama menanti labuh. Kata labuh ini mengingatkan kita pada kata pelabuhan tempat berlabuhnya kapal ketika tiba dari sebuah pelayaran yang jauh.
Di larik 8 ada ungkapan lumut menubuh malam. Kata lumut erat kaitannya dengan air. Kalau suatu barang di luar air jika terlalu lama bisa dikatakan berkarat dan berdebu. Maka dengan maksud yang barang di dalam air dikatakan berlumut sebagai tanda bahwa sesuatu itu sudah terlalu lama. Dalam konteks larik-larik di atas ini berarti sudah terlalu lama lari membawa kali, sudah terlalu lama terapung di permukaan mata, sudah terlalu lama perjalanan hidup ini sampai berlumut. Sedangkan kata menubuh adalah sebuah kata bentukan dari morfem tubuh dan me menjadi menubuh. Yang artinya adalah menjadi tubuh. Dan kata malam di sini kesannya adalah gelap. Dalam hal ini maknanya adalah hidup dalam keadaan gelap. Dalam konteks larik sehingga lumut menubuh malam maka maknanya lumut bagaikan menubuh malam, lumut menjadi satu dengan malam. Ungkapan ini menandakan malam semakin berlumut, berarti hidup yang gelap jadi semakin gelap. Dengan kata lain hidup semakin suram
Berikutnya di larik 9 ada ungkapan cahaya menguap. Kata cahaya maknanya adalah harapan. Dalam konteks ini berarti harapan itu sudah mulai sirna. Larik 9 ini juga merupakan majas hiperbola yang ditandai dengan uangkapan cahaya menguap.
Selanjutnya marilah kita cermati larik 10 sampai dengan larik 13 berikut ini.
10. Datanglah datang pengusung pesan
11. Bawakan aku nyala pucuk api dari puncak batu
12. Atau segenggam sarang laba-laba dari lawang goa
13. Untuk mematik lentera cinta bersinar kembali

Larik-larik di atas dibangun dengan diksi bernuansa doa dan harapan. Untuk lebih jelasnya marilah kita cermati larik-larik tsb satu persatu berikut ini. Di larik 10 di atas ada doa dan harapan Datanglah datang pengusung pesan. Karena terlalu lama terapung di permukaan mata, semalaman penuh menunggu labuh, hingga lumut menubuh malam, maka satu-satunya jalan adalah berharap agar datang pesan lewat pengusung pesan. Larik 10 ini diperindah dengan pengulangan bunyi [da] dan bunyi [pe] pada klausa datanglah datang pengusung pesan.
Di larik 11 ada ungkapan nyala pucuk api dan puncak batu. Kata api dengan sifatnya yang panas mampu membakar sesuatu, dalam konteks ini adalah mampu membakar semangat. Sedangkan kata batu yang sifatnya yang kuat dan keras mampu menghadapi berbagai masalah. Dalam hal ini penyair menginginkan agar pembawa pesan membawa sesuatu yang bisa membangkitkan semangat sehingga mampu menghadapi berbagai masalah.
Di larik 12 penyair mengharapkan agar pembawa pesan dapat membawakan alternatif lain berupa sarang laba-laba dari lawang goa. Buat apa? Membaca sarang laba-laba mengingatkan kita pada jaring laba-laba yang mampu menjaring lalat dan serangga lainnya. Sedangkan sarang laba-laba dari lawang goa mengingatkan kita pada riwayat hijrahnya Nabi Muhammad SAW bersama sahabatnya Abu Bakar r.a yang bersembunyi di dalam goa dari kejaran musuh. Tetapi selamat karena adanya laba-laba yang secara tak terduga membuat sarang di lawang goa. Ini adalah suatu keajaiban. Dalam konteks ini sang penyair nampaknya menginginkan adanya suatu keajaiban yang bisa menyelamatkannya.
Di larik 13 ada ungkapan mematik lantera cinta bersinar kembali. Maka jelaslah sudah bahwa doa dan harapan yang diungkapkan di larik 10 sampai dengan larik 12 adalah dalam rangka menyinarkan kembali lantera cinta yang mulai redup. Pada tataran pertama kata cinta di sini maknanya memang benar-benar cinta sepasang anak manusia. Tetapi mengingat puisi ini bernuansa religi maka kata cinta di sini adalah: [1] cinta hakiki antara Tuhan dengan kekasihnya Muhammad SAW. [2] Kecintaan kita kepada junjungan kita dan orang-orang yang terkasih lainnya. [3] Kecintaan murni kita kepada saudara-saudara kita. Yang selama ini lantera cinta tsb terasa sangat redup bahkan barangkali sudah padam.
Larik-larik ini terasa indah dan puitis karena larik-larik tsb juga dibangun sepenuhnya dengan imaji auditif sekaligus juga imaji visual. Kita seolah-olah mendengar sesorang bergumam mengucapkan harapannya. Sekaligus terbayang di benak kita suatu gambaran secara surealis ada yang datang dri puncak bukit batu membawakan nyala api. Juga terbayang sarag laba-laba di mulut goa.
Larik-larik ini juga menjadi indah karena di sini juga ada majas hiperbola di larik 11 yang ditandai dengan bawakan aku nyala pucuk api dari puncak batu. Di larik 12 majas litotes yang ditandai dengan segenggam sarang laba-laba. Dan di larik-larik ini juga ada majas antropomorfisme yang ditandai dengan pucuk api dan lantera cinta.
Berikutnya marilah kita cermti larik 14 sampai dengan larik 21 berikut ini.
14. Jibril
15. Tiupkanlah kisah yang kau jaring siang tadi
16. Bukan bukan..!!
17. Bukan tentang tahta emas Biqis
18. Pun lantai Sulaiman yang melautkan bulan dan bintang bintang
19. Kupinta cerita
20. Tentang sebaik-baik cara untuk merogoh jantung
21. Serta bagaimana meletakkannya di cawan sujudku

Larik-larik di atas dibangun dengan ungkapan-ungkapan religius fantastis. Lihatlah di larik 14 ada kata jibril yang mengingatkan kita pada malaikat Jibril ‘Alaihis Salam yang biasanya selalu menyampaikan risalahNya kepada para Rasul. Berikutnya di larik 15 ada ungkapan Tiupkanlah kisah yang kau jaring siang tadi. Maksudnya adalah kisah-kisah dan mutiara hikmah disampaikan melalui berbagai media ini. Baik berupa ceramah kultum, atau siaran rohani lainnya yang memaparkan kisah dan riwaaayat orang-orang yang diberkahi.
Di larik 16, 17 dan 18 ada serangkaian ungkapan penyangkalan yang ditandai dengan: Bukan bukan ..!! Bukan tentang tahta Biqis. Pun lantai Sulaiman yang melautkan bulan dam bintang-bintang. Larik-larik ini mengingatkan kita pada kisah Siti Bulkis dengan Nabi Sulaiman. Keduanya memang orang-orang terkasih yang diberkahi tetapi kesannya lebih pada kemegahan tahta dan dan kekayaan. Dalam konteks ini bukan cerita itu yag diinginkan sang penyair. Yang diinginkannya terungkap di dalam larik 19, 20 dan larik 21. Kupinta cerita. Tentang sebaik-baik cara untuk merogoh jantung. Serta bagaimana meletakkannya di cawan sujudku.
Kata cerita di sini maknanya adalah contoh-contoh riwayat orang-orang yang diberkahi. Kata jantung mengingatkan kita pada organ tubuh yang sangat penting. Bahkan kita tak bisa hidup tanpa jantung. Dalam konteks ini jantung bisa bermakna inti atau makna hakiki kehidupan. Manusia tidak dapat hidup tanpa jantung. Demikian juga hidup dan kehidupan menjadi sia-sia jika tanpa makna hakiki. Sedang makna hakiki kehidupan itu mengacu pada hakikat penciptaan manusia sebagaimana yang telah dinyatakanNya dalam firmanNya bahwa Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaku.
Dalam konteks ini sebaik-baik cara merogoh jantung maknanya adalah cara memaknai hidup secara baik dan benar. Kata cawan mengingatkan kita pada benda yang biasa digunakan buat mewadahi minuman dan makanan berkuah lainnya. Sedangkan kata sujud mengingatkan kita pada gerakan ibadah yang ada di dalam berbagai agama. Ungkapan meletakannya di cawan sujudku. Maknanya memaknainya dengan pengabdian yang benar.
Berikutnya marilah kita cermati untaian di larik 22 sampai dengan larik 26 berikut ini.
22. Agar mata dan telingaku mengerti
23. Satunya lafal yang ada dalam dzikir sekepal daging
24. Dan selanjutnya tak perlu lagi ada dusta
25. Atau pun saling ingkar antar tubuh
26. Kelak, tepat saat janji menuai waktu

Larik-larik di atas dibangun dengan diksi bernuansa religi sekaligus juga bermuatan peringatan dan prediksi yang bakal pasti terjadi di hari perhitungan yang akan datang. Hal ini jelas terungkap di dalam larik Dan selanjutnya tak perlu lagi ada dusta - Atau pun saling ingkar antar tubuh - Kelak, tepat saat janji menuai waktu. Larik-larik ini mengingatkan kita bahwa nanti tak akan ada lagi dusta, karena kita memang tidak bisa bohong. Bagian-bagian tubuh kita bicara sendiri tentang apa yang sudah kita perbuat. Mulut kita akan bicara tentang makanan halal-haram yang sudah kita makan. Mata, telinga dan hidung juga akan akan bicara. Tangan dan kaki juga akan bicara sendiri. Kita tidak bisa apa-apa, apalagi berbohong seperti di dunia ini.
Inilah inti pesan singkat yang di sampaikan Kang Arief melalui puisinya ini. Amanat dan pesan moral yang dapat kita petik dalam puisi ini adalah: Hendaknya kita harus mengingat kembali tentang hari pembalasan yang biasa kita sebut Yaumil Mahsyar. Hari pembalasan melalui pengadilan yang maha adil. Sekecil apapun kebaikan dan keburukan kita akan tertungkap. Semuanya kita akan mendapat ganjaran dan balasan yang seadil-adilnya.

II. MENIKMATI PUSI MIF D’KING

Mif d’King adalah nama pena dari Ahmad Miftah . Penyair kelahiran Kuala Trengganu Malaysia 22 September 1985 ini sekarang menetap di Jalan Ahmad Yani Km.3,5 Komplek Karang Paci Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan.
Putra pertama dari 4 bersaudara dari Drs.H.M.Musni Tabsier dan Norhamidah ini telah menyelesaikan pendidikan terakhirnya S1 (SH) pada Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dan masih berstatus lajang.
Dalam kesibukannya sehari-hari sebagai Public Relation dari sebuah CV yang bergerak di bidang jasa pengiriman, ternyata ia juga seorang penulis. Dia juga rajin menulis puisi melalui jejaring facebook dengan nama Mif d’King. Diantara puisinya itu adalah Riwayat Liang Lahat berikut ini.


Riwayat Liang Lahat
oleh Mif d'King

Sesudah ini nafas itu kemana
Sesudah ini tertinggal kafan saja
Sesudah ini sholat pun tak bisa
Sesudah ini tanah selimut raga
Sesudah ini tamparan pun tak berguna
Sesudah ini dunia tertawa
Sesudah ini keranda harus kemana
Sesudah ini apa yang tersisa
Sudah disini sesal berjumpa

Sebelum ini goreskan kencana
Sebelum ini sholat fardu terjaga
Sebelum ini sunnah terlaksana
Sebelum ini amal mulia
Sebelum ini terbijaksana
Sebelum ini bahagia
Sebelum ini bertakwa
Sebelum ini tentram di dada
Sebelum disini rindu berjumpa

Kemana anak istriku?
Kemana pula suami pelindungku?
Teriak pun tak mampu

Liang lahat tak terlihat
Dari sana aku terbuat
Bermula riwayat
Berakhir hikayat

Banjarmasin, 11122010

Puisi Riwayat Liang Lahat karya Mif d’King ini terdiri dari 4 bait. Bait 1 terdiri dari 9 larik. Bait 2 terdiri dari 9 larik. Bait 3 terdiri dari 3 larik. Baik 4 terdiri dari 4 larik. Seluruh lariknya berjumlah 25 larik. Sesuai dengan judulnya maka puisi ini banyak berbicara tentang hal ikhwal yang berkaitan dengan keadaan si mayyit setelah dan keadaan sebelum dimasukkan ke liang lahat.
Marilah kita cermati dengan saksama bait 1 berikut ini.
1. Sesudah ini nafas itu kemana.
2. Sesudah ini tertinggal kafan saja
3. Sesudah ini sholat pun tak bisa
4. Sesudah ini tanah selimut raga
5. Sesudah ini tamparan pun tak berguna
6. Sesudah ini dunia tertawa
7. Sesudah ini keranda harus kemana
8. Sesudah ini apa yang tersisa
9. Sudah disini sesal berjumpa

Bait 1 ini sepenuhnya dibangun dengan rima sekaligus ritme yang tertata rapi. Hal ini ditandai dengan pengulangan kata Sesudah ini di setiap awal larik. Dan pengulangan bunyi vokal [a] di setiap akhir lariknya. Pengulangan-pengulangan tsb membentuk rima awal sekaligus rima akhir dengan pola pesajakan a, a. a, a, a, a, a, a, a.
Bait ini jiga dibangun dengan diksi yang bernuansa sebuah pemakaman. Bait ini diawali dengan sebuah pertanyaan Sesudah ini nafas itu ke mana. Frasa nafas itu di sini mengingatkan kita pada roh yang kini telah keluar dari jasad. Jasad yang sejatinya berasal dari tanah kini kembali ke tanah.
Sesudah pemakaman ini yang tertinggal hanyalah kain kafan saja. Tinggal sendiri di dalam kubur berselimutkan tanah yang setia. Hidup di alam barzah tak mampu berbuat apa-apa lagi. Mau marah? Di sini tamparan sudah tak berguna lagi. Dunia di luar sana banyak yang masih bisa tertawa. Tapi di sini? Keranda adalah symbol kematian. Mau dibawa ke mana? Pasrah terpaksa harus menerima ganjaran apa yang akan didapat.Karena saat ini, bahkan sholat pun sudah tak bisa lagi. Yang ada tersisa hanyalah sesal semata.
Marilah kita cermati bait 2 berikut ini.
10. Sebelum ini goreskan kencana
11. Sebelum ini sholat fardu terjaga
12. Sebelum ini sunnah terlaksana
13. Sebelum ini amal mulia
14. Sebelum ini terbijaksana
15. Sebelum ini bahagia
16. Sebelum ini bertakwa
17. Sebelum ini tentram di dada
18. Sebelum disini rindu berjumpa
Bait 2 ini dibangun dengan diksi yang berkaitan erat dengan perbuatan manusia yang seygyanya diperbuat sebelum meninggal. Bait 2 ini diawali dengan larik Sebelum ini goreskan kencana. Klausa sebelum ini maknanya adalah semasa hidup sebelum roh berpisah denga jasad. Kata kencana berarti emas yang kita tahu bahwa emas itu adalah simbol kemuliaan. Sebelum ini goreskan kencana maksudnya adalah buatlah hidup kita selalu berakhlak mulia dan beramal yang baik. Hidup dalam koridor habum minallaah dan hablum minannasy. Puisi ini masuk dalam koridor puisi epigram yang ditandai dengan ungkapan-ungkapan yang berisi tuntunan agar selamat di alam kehidupan yang akan datang. Tuntunan tu jelas tersurat dalam untaian larik-larik di bait 2 di atas.
Agar kita bisa selamat berada di alam barzah dan alam akhirat nanti hendaklah kita selalu: menentramkan diri dengan cara meningkatkan iman dan takwa, menjaga jangan sampai melalaikan sholat fardhu, melaksanakan sunnah rasul, beramal mulia, berlaku adil dan bijaksana, membiasakan hidup bahagia sakinah mawaddah warrahmah. Jika semua rambu-rambu itu sudah ditaati dan dilaksanakan dengan benar, maka kerinduan berjumpa dengan kebahagiaan akhirat insya Allah akan terwjujud. Bukan di akhirat saja, bahkan di alam kubur pun kita sudah berjumpa dengan amal mulia yang menemani kita sebelum tiba di alam akhirat.
Berikitnya marilah kita cermati bait 3 berkut ini.
19. Kemana anak istriku?
20. Kemana pula suami pelindungku?
21. Teriak pun tak mampu

Bait 3 di atas dibangun dengan diksi yang bernuansa keresahan dan kegelisahan bagi mayyit yang selama hidupnya tak mengindahkn warning di bait 2 tsb di atas. Tinggal sendiri di dalam kubur. Tak ada lagi anak dan istri. Bagi mayyit wanita tinggal sendiri di dalam kubur, tak ada lagi suami yang biasa melindunginya. Semuanya sudah terjadi. Bahkan tak mampu berteriak. Kini hanya ada sesal yang sudah tak berarti lagi.
Berikutnya mari kita cermati bait 4 berikut ini.
22. Liang lahat tak terlihat
23. Dari sana aku terbuat
24. Bermula riwayat
25. Berakhir hikayat

Bait 4 ini dibangun dengan rima dan ritme yang tertata rapi yang ditandai dengan pengulangan bunyi [at] di akhir larik 22, 23, 24 dan 25. dalam kata terlihat, terbuat, riwayat dan di dalam kata hikayat. Semua pengulangan stb membentuk rima dengan pola persajakan a, a, a, a. Di larik 22 ada pengulangan konsonan [l] pada kata liang dan lahat. Pengulangan bunyi konsonan [t] pada kata Tak dan kata terlihat. Di larik 24 dan 25 ada pengulangan bunyi [ber] dan bunyi [yat] pada kata bermula dan kata berakhir, berikutnya pada kata riwayat dan kata hikayat. Semua pengulangan itu membentuk ritme yang turut memperindah puisi ini.
Di larik 22 ada untaian Liang lahat tak terlihat. Kata tak terlihat di sini maksudnya adalah Liang lahat tsb telah tertutup tanah kembali. Berikutnya ada Dari sana aku terbuat - Bermula riwayat - Berakhir hikayat. Larik ini mengingatkan kita pada riwayat penciptaan nabi Adam alaihis salam yang diciptakan dari tanah. Bermula riwayat dan berakhir hikayat maknanya adalah manusia berasal dari tanah dan kemudian kembali lagi ke tanah.
Puisi ini berjudul Riwayat Liang Lahat. Judul puisi ini mengingatkan kita pada hal-hal yang berkaitan dengan kematian dan pemakaman. Kematian itu adalah hal yang pasti terjadi pada setiap manusia. Bahkan kematian juga adalah hal yang sangat menakutkan. Lebih- lebih lagi jika dikaitkan dengan dosa-dosa.
Pesan moral yang amat berharga dalam puisi ini adalah: hendaknya kita selalu ingat akan mati. Karena mengingat mati adalah salah satu cara untuk meningkatkan iman dan keberimanan kita kepada yang memberi hidup.

2 komentar:

Alpagatani mengatakan...

Salam...
Wah, senangnya ketemu dg blog ini. Isinya bagus2..
Salam hormat untuk yg punya Blog..

cinta mengatakan...

FB nya kang arief itu apa kak