Kamis, 04 November 2010

Menikmati Puisi Dunia Maya (bagian 9)




Oleh: Hamberan Syahbana

Pada waktu kita membaca judul essei ini pertanyaan-pertanyaan yang timbul di benak kita adalah: (1) Apakah puisi bisa dinikmati? (2) Bagaimana mungkin kita bisa menikmati sebuah puisi? (3) Bukankah puisi itu karya sastra yang tersulit dipahami? (4) Mungkinkah kita bisa menikmati puisi, sementara informasi yang disajikan teramat sedikit? Jawaban untuk semua pertanyaan tsb adalah: Bisa! Mengapa tidak! Kita pasti bisa menikmati puisi. Tentu ada caranya.
Kita bisa menikmati puisi dengan cara: (1) mendengar pembacaan sebuah puisi. (2) menghayati dan membaca sendiri sebuah puisi, (3) Menyaksikan pagelaran musikalisasi puisi, (4) menyaksikan dramtisasi puisi, (5) melalui analisis yang mengulas tentang kekuatan dan keindahan sebuah puisi. Untuk maksud no. 5 tsb itulah essei ini ditulis dengan maksud berbagi pengalaman dalam menikmati puisi dunia maya, khususnya puisi-puisi yang diposting melalui jejaring sosial facebook.
Essei Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 9 ini tampil beda dari biasanya. Karena di samping kita dapat nikmati pusi-puisi rekan-rekan fesbuker juga secara khusus kita dapat menikmati puisi karya Dimas Arika Mihardja. Tentu kita semua sudah sangat mengenal Dimas Arika Mihardja ilmuan, penyair dan akademisi yang banyak pengalaman malang melintang di dunia perpuisian Indonesia. Sejujurnya saya menyadari bahwa essay ini bukanlah forum yang tepat untuk mengulas puisi-puisinya. Bagaimana mungkin saya yang masih dalam pembelajaran menulis essei, kok berani-beraninya mengulas puisi Dimas Arika Mihardja? Tetapi atas permintaan beberapa teman fesbuker saya mencoba memberanikan diri mengulas puisinya Dimas Arika Mihardja. Essei ini semata-mata agar kita bisa berbagi menikmatinya lebih dalam lagi. Dan essei-essei yang akan datang kita juga akan berbagi dengan puisi-puisinya Hardho Sayoko Spb dan puisinya Kurnia Effendi dll. Sudah barang tentu essei ini juga belum bisa memuaskan berbagai pihak.
Menikmati sebuah puisi berarti kita menikmati sebuah karya hasil imajinansi penyair yang mengungkapkan pikiran dan perasaannya melalui sebuah puisi. Puisi yang bisa kita nikmati tentunya puisi yang dapat menimbulkan rasa suka di hati kita. Rasa suka setiap orang itu sifatnya relatif. Diantara kita sudah pasti ada yang suka dengan untaian kata-kata yang indah. Ada juga yang suka dengan pengulangan bunyi dan pengulangan larik-lariknya. Sementara yang lain barangkali lebih menyukai tema dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Cilakanya, jujur saja kalau kita tidak suka, maka puisi itu tidak akan kita baca lagi dan langsung kita tutup. Bagaimana kita bisa menikmatinya, kalau belum apa-apa sudah kita tutup puisinya?
Tentulah rasa suka itu adalah hal yang utama bagi kita sebagi pembaca. Di samping itu ada juga yang suka dengan puisi Romansa yang berisi luapan perasaan cinta kasih dan sayang. Atau puisi Elegi yang berisi ratapan duka jeritan nestapa bahkan tangisan kesedihan. Ada lagi yang suka puisi Satire yang berisi sindiran dan kritik social. Sedangkan yang lain barangkali ada yang suka dengan Balada kisah orang-orang perkasa, atau puisi Himne yang berisi pujian untuk Tuhan, tanah air dan para pahlawan. Tentu ada juga yang menyukai Ode puisi sanjungan untuk orang yang berjasa, atau Epigram puisi tuntunan ajaran hidup dan kehidupan.
Ulasan kita dalam Essei Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 9 ini menampilkan 4 buah puisi dari empat orang penyair, yaitu:

Aku Mencintai Mu puisi karya Abdul Majid Kamaludin dari kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Tang puisi Husni Hamisi dari kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan
Di Sebuah Dermaga Di kota Batam puisi karya Mudjahidin S dari kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan.
Pergumulan Semalam puisi karya Dimas Arika Mihardja dari Kotabaru Provisi Jambi.

(1)

Aku Mencintai Mu
Tuk : Dewi Yanti Wadu,
Puisi Abdul Majid Kamaludin

Aku mencintai mu
Disetiap desah nafas berpacu
Disetiap detik, menit melaju
Disetiap laju darah memacu
Disetiap hening waktu berlalu
Disetiap malam yang hanya ditemani dingin
Disetiap hari yang tak lagi ku hirau
Aku mencintai mu.

Momerial in sabu (NTT).

Tipografi puisi Aku mencintaimu karya Abdul Majid Kamaludin ini ditujukan kepada Dewi Yanti Wadu. Puisi ini tampil dengan tipografi tanpa bait yang terdiri dari 8 baris larik. Seluruh lariknya dari larik 1 sampai dengan larik 8 mengumpul jadi satu dengan untaian kata-kata yang bernuansa cinta.
Puisi ini menyajikan kata disetiap di larik 2 sampai dengan larik 7. Menurut EYD kata depan [di] penulisannya harus dipisahkan dari kata [setiap]. Tetapi karena dalam penulisan puisi ada kebebasan tidak mengikuti aturan kebahasaan, maka penulisan kata disetiap ini sah-sah saja adanya.
Puisi ini juga dibangun dengan rima yang tertata rapi. Di sini ada rima awal yang sangat sempurna. Hal ini ditandai dengan pengulangan kata aku di awal larik 1 dan di awal dilarik 8. Berikutnya ada pengulangan kata disetiap pada larik 2, 3, 4, 5, 6 dan larik 7. Pengulangan kata tsb. membentuk rima awal dengan pola persajakan a,b,b,b,b.b.b,a. Di sini juga ada rima akhir yang diandai dengan pengulangan bunyi vocal [u] di akhir larik 1 sampai dengan larik 5 dan di akhir larik 8 pada kata: mencintai mu, berpacu, melaju, memacu, berlalu, dan kata mencintai mu. Pengulangan tsb membentuk rima akhir dengan pola persajakan a,a,a,a,a,b.c.a.
Puisi ini juga dibangun dengan imaji auditif di setiap lariknya. Seakan-akan kita mendengar ucapan yang bernuansa cinta. Di sini juga ada imaji taktil pada larik 2 dan di larik 6. Di mana kita seakan turut merasakan dengusan desah nafas dan dinginnya malam pada untaian larik: Disetiap desah nafas berpacu dan larik: Disetiap malam yang hanya ditemani dingin.
Selanjutnya dalam puisi ada majas personifikasi, anaphora, enumerasio dan majas perifrase. Untuk melihat adanya majas-majas tsb marilah kita cermati untaian larik-larik berikut: (1) Aku mencintai mu. (2) Disetiap desah nafas berpacu. (3) Disetiap detik, menit melaju. (4) Disetiap laju darah memacu. (5) Disetiap hening waktu berlalu. (6) Disetiap malam yang hanya ditemani dingin. (7) Disetiap hari yang tak lagi ku hirau (8) Aku mencintai mu.
Majas personifikasi dapat dilihat di larik 2 pada ungkapan desah nafas berpacu. Di larik 4 ada darah memacu. Di larik 6 ada ditemani dingin. Uniknya dalam puisi ini ada majas ganda dalam satu kesatuan untaian larik yang sama. Majas-majas ganda tsb terjadi karena kesatuan untaian larik tsb dapat ditinjau dari berbagai majas, tergantung dari arah mana cara meninjaunya. (1) Ditinjau dari adanya pengulangan kata disetiap dari larik 2 sampai larik 6 di sini ada majas anaphora. (2) Ditinjau dari adanya penegasan berupa uraian bagian demi bagian suatu keseluruhan, di sini ada majas enumerasio. (3) Ditinjau dari adanya ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang pendek, di sini ada majas perifrase.
Dalam penulisan puisi ini nampaknya Abdul Majid Kamaludin sangat memahami kekuatan ritme dalam sebuah puisi. Ini terlihat jelas pada pemanfaatan pengulangan bunyi. Baik pengulangan bunyi vokal, sengau dan bunyi konsonan, maupun pengulangan kata, frase, klausa bahkan pengulangan larik secara utuh.
Puisi ini berjudul Aku Mencintai Mu. Judul ini langsung mengingatkan kita pada kisah percintaan yang tak pernah usang. Hal ini diperkuat dengan tulisan di bawahnya yaitu: Tuk: Dewi Yanti Wadu. Artinya puisi ini ditujukan kepada Dewi Yanti Wadu. Jelas ini adalah ungkapan rasa cinta. Pertanyaannya adalah: Siapakah Dewi Yanti Wadu itu? Dilihat dari sisi makna denotatif Dewi Yanti Wadu adalah seorang kekasih, tetapi secara konotatif bisa bermakna Dewi Yanti yang lain. Karena tulisan Tuk : Dewi Yanti Wadu bisa dimaknai dari berbagai sisi.
Secara gamblang puisi ini berisi ungkapan pernyataan cinta yang sangat dalam untuk Dewi Yanti Wadu seorang. Tetapi barangkali puisi ini juga bisa bermakna ungkapan rasa cinta yabg teramat dalam kepada yang lain. Sedangkan tulisan Tuk: Dewi Yanti Wadu hanyalah untuk menyatakan bahwa penulis mempunyai perasaan dan visi misi yang sama dengan Dewi Yanti. Yaitu sama-sama mencintai sesuatu yang sangat dicintai. Sayangnya kata ganti [mu] di sini tidak ditulis dengan [Mu]. Sehingga kita hanya bisa meraba-raba, Apakah ada yang lain yang sangat dicintai itu dalam puisi ini.
Pada tataran pertama kata [mu] di dalam puisi ini dia adalah memang benar-benar Dewi Yanti Wadu sang Kekasih. Pada tataran berikutnya barangkali ada yang sangat dihormati yaitu Nabi Muhammad SAW, atau yang lebih tinggi lagi yaitu Tuhan Yang Maha Sempurna. Karena hanya Tuhan dan nabiNya sajalah yang selayaknya patut dicintai melebihi dari cinta-cinta kepada yang lain.

(2)

Tang
Pusi Husni Hamisi

Orang itu datang dengan tang di tangannya
Mencongkel dua mataku, buat dipakai
Nikmati mentari di pagi hari

Semenjak itu aku hidup di matanya

Makassar, 2010

Puisi Tang karya Husni Hamisi ini tampil dengan puisi pendek yang judulnya juga pendek. Puisi ini hanya terdiri dari 4 larik, 3 larik diantaranya membentuk sebuah bait. Meskipun puisi ini sangat pendek tetapi maknanya tidak sependek puisinya bahkan terasa sangat dalam. Biasanya puisi pendek seperti ini selalu menyediakan banyak waktu untuk dihayati dan dinikmati melalui perenungan.
Dalam puisi Husni Hamisi ini kita hanya menemukan informasi yang sangat terbatas. Konsekwensinya, semakin sedikit informasi yang tersaji, semakin banyak informasi yang belum terungkap. Puisi pendek biasanya menyajikan ambiguitas berganda-ganda, dan maknanya pun bisa melebar ke mana-mana. Dengan kata lain puisi ini menimbulkan banyak makna, tergantung dari sisi mana kita memaknainya.
Puisi ini dibangun dan diperkuat dengan diksi yang pantastik dan sangat menarik untuk dibicarakan. Marilah kita cermati ungkapan yang pantastik ini. Orang itu datang dengan tang di tangannya, buat mencongkel dua mataku. Ditinjau dari makna denotatif, orang itu benar-benar datang mencungkil kedua mata. Sungguh ironis, kasihan. Di dalam untaian larik ini ada imaji visual sehingga membuat kita seolah-olah benar-benar melihat ada orang mencungkil kedua matanya dengan tang. Tentu bukan itu maknanya. Untaian ini hanyalah sebuah ungkapan perumpamaan.
Pada ungkapan mencongkel mataku di sini ada majas hoperbola, yang ditandai dengan ungkapan yang berlebih-lebihan. Disini juga ada penekanan penggunaan unsur bunyi. Dalam puisi ini Husni Hamisi sengaja menggunakankan kata mencongkel bukan mencungkil. Meskpun menurut bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah mencungkil, tetapi dalam puisi ada kebebasan menggunakan kata yang tidak baku. Berarti penggunaan kata ini dianggap sah-sah saja.
Kata mencongkel di samping memancing tanda tanya [?] juga kedengarannya lebih tegas dan lebih berat dibandingkan dengan kata mencungkil yang kedengaran lebih ringan dan lebih lembut. Kata mencongkel bisa diperhalus maknanya sama dengan mengambil. Untuk mengetahui makna secara konotatif dari mencongkel kedua mataku kita harus mencari ungkapan yang tepat. Tergantung dari arah mana kita memaknainya.
Sepintas lalu puisi ini hanya mengungkapkan perasaan cinta. Hal ini ditandai dengan makna konotatif mencongkel kedua mataku. Maknanya berada pada tataran yang sama dengan mencuri hatiku. Mencuri hatiku maknanya adalah orang itu sudah membuat aku jadi jatuh hati. Dengan kata lain hatiku selalu teringat padanya.
Mencuri hatiku adalah sebuah ungkapan yang maknanya sudah dipahami secara umum. Berbeda dengan mencongkel kedua mataku. Ungkapan ini asing kedengarannya, karena memang ungkapan ini adalah kreatifitas seorang penyair Husni Hamisi. Untuk memahami maknanya kita bisa memperhalusnya menjadi mengambil kedua mataku. Maknanya bisa mengacu pada ungkapan mencuri hatiku tsb di atas tadi. Karena kedua mataku sudah dambilnya, maka mataku selalu berada pada dirinya. Dengan kata lain mata itu selalu melihat dia. Akibatnya selalu terbayang-bayang wajahnya. Sehingga tepat seperti apa yang ada dalam lirik sebuah lagu yang berbunyi di mataku ada kamu.
Selanjutnya kedua mata itu dipakai untuk menikmati mentari pagi. Untuk memahami untain larik ini, kita harus kembali pada makna yang telah terungkap sebelumnya. Yaitu, karena kedua mata itu selalu bersamanya, maka di waktu pagi pun tetap bersamanya. Dan mataku kini selalu melihat dia dan ikut menikmati mentari pagi bersamanya. Secara sederhana maksudnya aku selalu membayangkan segala yang dilakukannya, termasuk menikmati mentari pagi.

Berikutnya pada skala yang lebih besar puisi ini berbicara tentang hilangnya kedua mataku yang dicongkel dengan tang secara paksa. Kata tang maknanya adalah suatu alat untuk memberangus sesuau secara paksa. Untuk memahami puisi ini kita harus mencermati beberapa kata kunci. Yaitu mata, tang, nikmati mentari pagi dan hidup di matanya.
Kata mata mengingatkan kita pada indra penglihatan, dan penglihatan bisa berarti pandangan. Kata pandangan menginatkan kita pada suatu wawasan. Sedangkan kata wawasan sendiri mengacu pada prospek ke depan yang berisi dasar-dasar pemikiran yang membuahkan suatu konsep. Konsep itu secara tekhnis dirinci menjadi proposal. Proposal itu secara sederhana berisi planning, organizing, actuating dan controlling (POAC).
Kaitannya dengan ungkapan mencongkel kedua mataku bisa bermakna mengambil alih secara paksa konsep dan proposal dengan prospek yang begitu cerah ke depannya. Hal ini ditandai dengan alat pemberangus yang bernama tang. Kita mengenal tang adalah alat pemaksa untuk mencabut paku besar, mencabut gigi dll.
Bisa kita bayangkan, sebuah proposal yang berisi rencana yang matang dan punya prospek baik. Tiba-tiba saja proposal itu diambil secara paksa. Hal ini ditandai dengan kata tang. Padahal rencana yang baik itu sudah terbayang akan terwujud. Tetapi tiba-tba saja diberangus. Dan sialnya proposal itu digunakan untuk menikmati mentari pagi. Makna konotatif dari mentari pagi adalah awal dari suatu kesuksesan. Semenjak itu aku hidup di matanya. Untaian penutup ini mengungkapkan bahwa sejak itu, si pemilik asli terpaksa hidup sebagai bawahan dari yang mengambil paksa proposal tsb.
Husni Hamisi sengaja menggunakan kata tang, yang kita tahu bahwa tang itu sifatnya keras dan kuat, karena memang terbuat dari besi. Tang di sini adalah symbol kekerasan yang banyak ditayangkan di media elektronik belakangan ini. Pelajaran yang bisa kita ambil dari pesan moral puisi ini adalah: hendaknya kita selalu waspada terhadap pihak-pihak pelaku tindak kekerasan yang sewenang-wenang mengambil alih paksa yang telah kita bina selama ini.

(3)

Di Sebuah Dermaga Di kota Batam
Puisi Mudjahidin S

Hikmah apa yang kudapati malam di dermaga ini
memandang bulan naik diatas gedung gedung singapore
laut cina selatan deras mengancam berkilau berkejaran
angin Tanjung Karimun, berbisik mencumbu
terlena lupa bersedih bunga mawar ungu
korban kata manis penuh tipu
dipaksa terpaksa digigit kumbang belang

tiba – tiba hujan menerjang
bulan malu buang badan di kabut malam
kabut menyesak dada
Tanjung Karimun tak bisa tidur
matanya lembam biru
karena beribu ribu tangisnya tumpah
diterpa debu
barangkali disitu saudara perempuanmu yang lama hilang
menanti melepas rantai kehidupan
ingin kembali ke kampung halaman

Mudjahidin engkau juga manusia
setanpun berbisik lembut menggoda
jangan panik
malaikatpun mencegatku menarik
antara bisik bisik dengan tarik menarik
kulihat wajah anak dan isteriku bertambah cantik

berpesan
bapak jika pulang
bawa bingkisan
yang baik – baik
tak bernoda

Tanjung Karimun/Batam 2002

Puisi Mudjahidin. S yang berjudul Di Sebuah Dermaga Di Kota Batam ini tampil dengan tata wajah yang panjang. Puisi ini terdiri dari 4 bait. Bait 1 terdiri dari 7 larik. Bait 2 terdiri dari 10 larik. Bait 3 terdiri dari 6 larik. Bait 4 terdiri dari 5 larik. Semuanya berjumlah 28 larik.
Marilah kita cermati bait 1. Bait 1 ini terdiri dari 7 larik. Bait 1 puisi ini dibangun dan diperkuat dengan majas dan imaji. Di sini ada majas erotesis, majas personifikasi. Di sini juga ada imaji visual, imaji audtif dan imaji taktil. Puisi ini diawali dengan majas erotesis yang ditandai dengan sebuah pertanyaan: Hikmah apa yang kudapati malam di dermaga ini. Berikutnya dilanjutkan dengan untaian majas persoifikasi di larik 2 sampai dengan larik 5 dalam untaian larik: memandang bulan naik diatas gedung gedung Singapore/ laut cina selatan deras mengancam berkilau berkejaran/ angin Tanjung Karimun, berbisik mencumbu/ terlena lupa bersedih bunga mawar ungu.
Berikutnya ada imaji auditif di larik 1, di mana kita seakan benar-benar mendengar pertanyaan Sang penyair kepada dirinya sendiri. Hikmah apa yang kudapati malam di dermaga ini. Berikutnya di larik 4 kita juga seakan mendengar bisikan angin Tanjung Kariman yang mencumbu bunga mawar ungu. Sehingga bunga mawar tsb tertipu dan dipaksa terpaksa digigit kumbang belang. Dalam larik-larik puisi ini juga ada imaji visual. Di mana kita seakan melihat bulan naik di atas gedung-gedung di Singapura. Laut Cina Selatan yang deras mengancam dengan ombaknya yang berkilau dan berkejaran. Ada juga kumbang belang memaksa gadis belia mawar ungu hingga terpaksa melayani si hidung belang. Sungguh sebuah ungkapan ironis.
Marilah kita cermati ungkapan-ungkapan yang tertuang dalam larik di bait 2. Larik-larik di bait 2 ini penuh dengan majas-majas. Di antaranya ada majas personifikasi yang ditandai dengan hujan menerjang di larik 8, bulan malu buang badan di larik 9, dan anjung Karimun tak bisa tidur di larik 11. Di larik 12 ada majas pleonasme yang ditandai dengan frasa lembam biru. Matanya lembam biru yang dimaksud di sini adalah di sekitar tepi mata yang bengkak berwarna kebiru-biruan karena lama menangis. Kalau bengkak ya sudah biasa warnanya itu biru. Berikutnya ada juga majas hiperbola di larik 13 yang ditandai dengan kata beribu-ribu pada untaian karena beribu-ribu tangisnya tumpah. Berikutnya di larik 16 dan 17 ada majas antropomorfisme yang ditandai dengan frase rantai kehidupan dan kampung halaman. Selanjutnya jika kita baca berurutan kesepuluh lariknya di sini terasa ada majas enomerasio yang dtandai dengan ungkapan penegasan dengan cara menguraikan bagian demi bagian dari suatu keseluruhan. Marilah kita nikmati majas enomerasio tsb berikut.
tiba – tiba hujan menerjang/ bulan malu buang badan di kabut malam/ kabut menyesak dada/ anjung Karimun tak bisa tidur/ matanya lembam biru/ karena beribu ribu tangisnya tumpah/ diterpa debu/ barangkali disitu saudara perempuanmu yang lama hilang/ menanti melepas rantai kehidupan/ ingin kembali ke kampung halaman//
Marilah kita cemati pula bait 3 pada larik-larik berikut. (18) Mudjahidin engkau juga manusia, (19) setanpun berbisik lembut menggoda, (20) jangan panik, (21) malaikatpun mencegatku, menarik, (22) antara bisik bisik dengan tarik menarik, (23) kulihat wajah anak dan istriku bertambah cantik.
Bait 3 ini berbeda dengan bait 1 dan 2 yang di sana tidak ada rima, baik di awal larik maupun di akhir larik. Di bait 3 ini kita menemukan ada rima di larik 18 pada kata manusia yang bersajak dengan kata menggoda di larik 19 yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a]. Berikutnya di larik 20 ada kata panik yang besajak dengan kata menarik di larik 21 dan 22 dan dengan kata cantik di larik 23.
Di bait 3 ini kita menemukan imaji visual dan imaji auditif secara surealis. Di sini kita seakan mendengar bisikan entah dari mana datangnya barangkali dari alam lain yang mengatakan bahwa Mudjahidin juga manusia. Lalu ada bisikan lain yang menggoda dengan lembut. Tiba-tiba ada lagi suara dari arah lain yang menyuruh agar dia jangan panik. Berikutnya secara surealis kita melihat ada peristiwa tarik menarik antara setan dan malaikat. Pada saat itu kita melihat bahwa Mudjahidin sadar dan dalam pandangan hatinya bahwa anak dan istrinya bertambah cantik. Kemudian puisi ini ditutup dengan pesan keluarga yang diwakili oleh sang anak buah hatinya. Dengarlah pesan tsb begitu sejuk meneduhkan hati yang hampir terjerumus ke bisikan negatif. -- bapak jika pulang, bawa bingkisan yang baik – baik tak bernoda – Larik-larik di bait terakhir ini merupakan penutup yang bermuatan pesan moral yang begitu berharga buat kita semua.
Puisi Di Sebuah Dermaga Di Kota Batam karya Mudjahidin. S ini di awali dengan sebuah pertanyaan Hikmah apa yang kudapati malam di dermaga ini. Sambil memandang bulan yang jauh di sana, sedang naik di atas gedung-gedung di Singapura. Diam-diam di dalam renungannya dia menemukan sebuah sketsa kota Batam yang mempesona. Di sana ada kisah duka sekuntum mawar ungu yang tetipu oleh manisnya bujukan. Yang katanya di sana ada pekerjaan yang menjanjikan, yang katanya di sana ada harapan kehidupan yang mapan. Ternyata, itu hanyalah sebuah impian. Sementara orang lain berhasil mencapai impian. Sedangkan si mawar ungu itu terpaksa hanya menjadi gigitan kumbang belang yang menghambur-hamburkan uang. Sayangnya uang itui hanya sebagian kecil yang menjadi bagiannya. Sampai-sampai Tanjung Karimun tak bisa tidur, karena banyak air mata tumpah diterpa debu. Barangkali Mawar Ungu itu adalah saudara perempuan kita sendiri yang tak mampu melepaskan diri dari belenggu rantai kehidupan. Yang malu pulang ke kampung halaman.
Mudjahidin. S melalui puisi ini ingin menyampaikan pesannya, agar hendaknya kita jangan tertipu oleh bujukan yang begitu menjanjikan, padahal itu hanyalah janji palsu. Dan hendaknya kita mengingat-ingat kembali, barangkali ada saudara perempuan kita yang lama hilang. Siapa tahu dia ada di sana menjadi mawar ungu yang terbelenggu.

(4)

Pergumulan Semalam: ayatayat alam
Oleh Dimas Arika Mihardja

riak dan ombak laut ialah ranjang pergumulan
kau sampan yang bergoyang
dan aku tiang layar yang gemetar
kau lidah ombak yang menggulung mitos dan eros
dan aku camar yang ditampar rasa lapar

akulah ikan, menyelam di kedalaman pelukan
akulah garam, larut dalam denyut kehidupan
di puncak tengah malam aku karam di palung paling dalam
menggelinjang dalam pusaran arus berdesakan
mengejang dalam di akhir pergumulan

jelang subuh, sebelum segalanya lepuh dan luruh
kaulah rakit di tengah samodera
dan aku mendekap luka di dada cinta
merasakan nyeri yang menyileti hati

bengkel puisi swadaya mandiri, 2010

Puisi :pergumulan semalam karya Dimas Arika Mihardja ini adalah bagian dari puisi PERGUMULAN BELUM SELESAI. Puisi ini terdiri dari 3 bait. Bait 1 terdiri dari 5 larik. Bait 2 terdri dari 5 larik. Bait 3 terdiri dari 4 larik. Seluruhnya berjumlah 18 untaian larik, dan semuanya terasa begitu indah, syahdu dan mempesona sekaligus memukau.
Puisi ini dibangun dengan diksi atau pemilihan kata yang biasa digunakan sehari-hari. Kecuali di larik 4 ada kata mitos dan eros. Kedua kata tsb berasal dari bahasa Yunani. Kata mitos maksudnya adalah cerita tentang penciptaan para dewa. Di dalam bahasa Indonesia kata mitos ini berubah arti menjadi cerita yang dianggap benar, atau paling tidak mendekati benar. Sedangkan kata eros adalah nama dewa cinta. Kata ini tidak familiar dalam bahasa Indonesia. Kecuali kata eros yang masuk ke dalam bahasa Inggris yaitu erotic yang konotasinya me njurus kea rah gairah birahi. Selebihnya hanya kata-kata biasa sehari-hari. Hebatnya, kata-kata biasa tsb di tangan Dimas Arika Mihardja menjadi untaian larik yang luar biasa.
Marilah kita nikmati untaian larik-larik di bait 1 berikut: riak dan ombak laut ialah ranjang pergumulan/ kau sampan yang bergoyang/ dan aku tiang layar yang gemetar/ kau lidah ombak yang menggulung mitos dan eros/ dan aku camar yang ditampar rasa lapar
Untaian-untaian larik tsb. terasa begitu indah. Dimas Arika Mihardja membangun bait 1 ini dengan menggunakan majas metapora di seluruh untaian lariknya. Puisi ini diawali dengan majas tsb: riak dan ombak ialah ranjang pergumulan di larik 1. Hebatnya lagi untaian majas metapora di larik 2 yang berbunyi: kau sampan yang bergoyang berpasangan dengan untaian di larik 3: dan aku tiang layar yang gemetar. Berikutnya untaian di larik 4: kau lidah ombak yang menggulung mitos dan eros berpasangan dengan untaian di larik 5: dan aku camar yang ditampar rasa lapar.
Ternyata di bait ini juga ada majas depersonifikasi pada untaian larik yang sama, yaitu: kau sampan yang bergoyang di larik 2, dan aku tiang layar yang gemetar. di larik 3 dan kau lidah ombak yang menggulung mitos dan eros di larik 4. Bukan itu saja, di sini juga ada majas aliterasi di larik 1 yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata riak, ranjang dan pergumulan. Di larik 3 ada majas aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata layar dan gemetar. Di larik 4 ada majas aliterasi yang ditandai dengan bunyi konsonan [s] pada kata mitos dan eros dan juga ada majas asonansi pada pengulangan bunyi vocal [o] pada kata ombak, mitos dan eros. Berikutnya di larik 5 juga ada majas aliterasi pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata camar, ditampar dan rasa lapar. Semua pengulangan bunyi vocal dan konsonan tsb menimbulkan irama yang membuat puisi ini semakin indah untuk dinikmati.
Di dalam penciptaan puisi ini Dimas bukan hanya fokus pada penataan kata menjadi untaian larik yang menarik. Tetapi dia juga sangat memperhatikan kekuatan unsur bunyi dalam setiap lariknya. Hal dapat dilihat pada: sampan yang bergoyang - tiang layar yang gemetar - yang menggulung mitos dan eros - camar yang ditampar rasa lapar – lepuh dan luruh – menyileti hati.
Dalam puisi ini dia menggunakan kata samodra bukan samudra. Pertimbangannya adalah kata samodra saat diucapkan kedengarannya lebih gagah lebih bergelora dari pada kata samudra yang kedengarannya begitu lembut.
Bait 1 ini juga dibangun dengan rima awal yang ditandai dengan pengulangan kata kau di awal larik 2 dan di awal di larik 4. Berikutnya ada pengulangan kata dan di awal larik 3 dan di awal larik 4. Di bait 1 ini juga ada pengulangan kata aku, dan, kau dan pengulangan kata yang. Pengulangan-pengulangan kata tsb membentuk ritme atau irama yang turut memperindah puisi ini.
Berikutnya marilah kita cermati bait 2. Bait ini juga dibangun dengan kata yang mampu membentuk untaian larik yang menarik, mempesona yang juga sekaligus memukau. Marilah kita nikmati untaian larik tsb: akulah ikan, menyelam di kedalaman pelukan/ akulah garam, larut dalam denyut kehidupan/ di puncak tengah malam aku karam di palung paling dalam/ [dan] menggelinjang dalam pusaran arus berdesakan/ [dan akhirnya aku] mengejang dalam di akhir pergumulan.
Di bait 2 ini juga ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi sengau [an] pada kata pelukan di akhir larik 6 yang bersajak dengan kehidupan di larik 7, dan kata berdesakan di larik 9 serta kata pergumulan di larik 10. Pengulangan-pengulangan tsb membentuk pola persajakan a.a.b,a,a. Di sini juga ada rima awal yang ditandai dengan pengulangan kata akulah di awal larik 6 dan 7. Ada juga pengulangan bunyi [me] pada kata menggelinjang di awal larik 9 dan kata mengejang di awal larik 10. Ternyata di dalam bait 1 ini juga ada rima tengah yang di tandai dengan mengulangan bunyi [lam] pada kata menyelam di tengah larik 6, kata dalam di larik 7, kata malam di larik 8, dan kata dalam di larik 9 dan larik 10.
Bait 2 ini juga dibangun dengan majas metapora dalam untaian larik: akulah ikan, menyelam di kedalaman pelukan (larik 6), akulah garam, larut dalam denyut kehidupan. (larik 7) dan: di puncak tengah malam aku karam di palung paling dalam (larik 8). Untaian larik 7 ini di samping majas metapora juga majas depersonifiksi. Berikutnya Dimas Arika Mihardja masih bermain-main dengan majas di larik 9 dan larik 10. Jika untaian ini berupa sebuah baris larik, maka ini membentuk majas elipsis yang ditandai dengan menghilangkan aku sebagai unsur subyeknya. Tetapi jika untaian ini bagian atau kelanjutan dari larik 8, maka larik 9 dan 10 membentuk majas asindeton yang ditandai dengan untaian larik yang panjang tanpa menggunakan tanda penghubung. Dan nampaknya masih ada lagi asonansi di larik 6 yang ditandai dengan pengulangan bunyi vocal [e] pada kata menyelam, kedalaman dan kata pelukan. Di larik 7 ada asonansi pengulangan bunyi vocal [u] pada kata akulah, larut, denyut dan kehidupan. Di larik 8 ada aliterasi pengulangan bunyi konsonan [l] pada kata malam. palung, paling dan dalam. Di larik 9 jug ada aliterasi pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata pusaran, arus dan kata berdesakan.
Selanjutnya marilah kita cermati bait 3. Bait ini juga sama seperti bait 1 dan bait 2 di atas, dibangun dengan kata yang mampu membentuk untaian larik yang menarik, mempesona yang juga sekaligus memukau. Marilah kita nikmati untaian larik tsb. jelang subuh, sebelum segalanya lepuh dan luruh/ kaulah rakit di tengah samodera/ dan aku mendekap luka di dada cinta/ merasakan nyeri yang menyileti hati.
Bait 3 ini juga dibangun dengan majas metapora dan skaligus juga majas depersonifikasi dalam untaian larik: kaulah rakit di tengah samodra. Berikutnya untaian di larik 11 sampai dengan larik 14 membentuk majas asindeton yang ditandai dengan untaian larik panjang tanpa menggunakan tanda penghubung. Selanjutnya di larik 11 ada asonansi pengulangan bunyi vocal [e] pada kata jelang], sebelum, segalanya, dan kata lepuh. Di sini juga ada aliterasi pengulangan bunyi konsonan [l] pada kata jelang, kata sebelum, kata segalanya, dan kata lepuh. Di larik 13 juga ada aliterasi pengulangan bunyi konsonan [k] pada kata aku. mendekap, dan luka. Berikutnya di larik 14 ada asonansi pengulangan bunyi vokal [e] pada kata merasakan, nyeri dan kata menyileti. Selain itu di sini juga ada majas asonansi pengulangan bunyi vokal [i] pada kata nyeri, menyileti dan hati

Dalam puisi ini Dimas Arika Mihardja lebih memilih ungkapan ranjang pergumulan dari pada menggunakan kata tempat peraduan, untuk maksud yang sama. Meskipun kata peraduan berasal dari kata dasar adu yang mendapat imbuhan [per] dan [an] yang maknanya tempat beradu. Tetapi istilah tempat peraduan secara khusus mengacu pada tempat untuk beritirahat. Sedangkan kata ranjang pergumulan secara khusus mengacu pada tempat bergumul.
Puisi :pergumulan semalam: ayatayat alam karya Dimas Arika Mihardja ini ditinjau dari sisi manapun tetap menarik. Di samping diksinya yang syahdu dan mempesona juga ungkapan-ungkapannya memiliki ambiguitas yang luas, dan maknanya pun bisa membias lebih luas lagi. Puisi ini bisa di hayati, dinikmati dan dimaknai dari berbagai arah, tergantung dari sisi mana kita memaknainya. Akibatnya maknanaya pun bisa berganda-ganda.
Pada makna pertama puisi ini mengungkapkan sebuah pergumulan cinta sepasang kekasih, atau pasangan suami istri, yang ditandai dengan kata ranjang, plus ungkapan atau perumpamaannya. Klausa sampan yang bergoyang barangkali ungkapan lain dari seorang wanita dan tiang layar yang gemetar bisa dimaknai perumpaan bagi sang pria. Sedangkan kata eros maknanya identik dengan erotic yang menggariahkan. Sebenarnya dalam puisi ini sedikitpun tak ada kesan fornografi. Kecuali bagi mereka yang memang memaknainya dari sisi itu. Hal ini dkaitkannya dengan untaian menyelam di kedalaman pelukan, menggelinjang dan mengejang. Kata-kata ini bisa dimaknai ungkapan tingkah laku pasangan di tempat peraduan.
Tetapi jika dikaitkan dengan ayatayat alam yang tertulis di bawah judul puisi tentu barangkali maknanya bukan itu. Untaian larik-lariknya mengungkapkan adanya sebuah pergumulan. Kata pergumulan itu bisa dimaknai sebagai sebuah perjuangan. Sampan dan tiang layar adalah pasangan yang saling menunjang dalam perjuangan menentang ganasnya ombak besar dan amukan badai di tengah luatan. Lidah ombak dan burung camar juga adalah pasangan yang bisa kita saksikan di permukaan laut. Berikutnya ada ikan, garam, palung, dan pusaran arus. Semua kata-kata itu berkaitan erat dengan pergumulan di laut.
Secara denotatif laut adalah benar-benar laut yang terkenal dengan riak, ombak dan badainya. Tetapi secara konotatif laut dalam puisi ini bisa berarti wilayah kehidupan yang penuh dengan permasalahan. Konsekwensinya masalah itu harus dihadapi dan diatasi. Kata pergumulan dalam puisi ini bisa bermakna perjuangan.
Puisi ini menceritakan perjuangan dua orang atau dua kelompok sebagai mitra yang sedang bergumul menghadapi dahsyatnya gelombang dan badai di tengah samodra. Dua orang tsb bisa siapa saja. Dan dua kelompok tsb juga bisa kelompok apa saja. Yang jelas keduanya berjuangan bersama menghadapi segala tantangan, hambatan dan rongrongan yang mengganggu tercapainya tujuan bersama.
Puisi ini barangkali berbicara tentang sepasang kekasih yang tengah dilanda masalah dalam jalinan percintaan mereka. Atau bahtera pasangan suami istri yang sedang berjuang menghadapi ombak besar, taufan dan badai di lautan kehidupan. Atau bisa juga dua pengusaha mitra kerja dunia usaha yang sedang berjuangan mengatasi krisis ekonomi global. Dua organisasi masa yang bekerja sama atau orgnaisasi politik yang berkoalisi memuluskan jalannya pergerakan organisasi. Pokoknya puisi ini berbicara tentang siapa saja, dan tentang apa saja.
Disadari atau tidak membaca puisi ini kita berhadapan imajinasi ganda. Ternyata Dimas Arika Mihardja dalam puisi ini bukan hanya bermain-main dengan majas, tetapi ia juga menyajikan berlapis-lapis imaji. Akibatnya akan menimbulkan imaji yang berganda pula. Imaji yang muncul tentu tergantung dari sisi mana kita memaknainya. Yang jelas Dimas Arika Mihardja sudah menyajikan puisinya lengkap dengan unsur intrinsik dan ekstrinsik. Dan tentunya dengan menu yang memikat pembaca untuk menikmatinya.

Tidak ada komentar: