Dewan
Lomba Menulis Puisi Tingkat Nasional yangdiselenggarakan oleh Panitia Aruh
Sastra Kalsel IX Banjarmasin 2012 telah memeriksa dan memberikan penilaian terhadap
306 judul puisi untuk katagori peserta umum dan 26 judul puisi untuk katagori
peserta pelajar.
Jum’at, 23 Agustus 2012 bertempat di sebuah cafe di
lingkungan Taman Budaya Kalsel, Banjarmasin,
dewan juri bersidang. Sidang berlangsung dalam suasana akrab penuh kekeluargaan
pada pukul 14.00-16.30. Turut hadir 3 orang anggota panitia sebagai fasilitator
sekaligus saksi berlangsungnya sidang dewan juri dimaksud..
Sebelum
sidang digelar, para juri lebih dahulu bersepakat bahwa puisi yang diunggulkan
oleh 3 juri adalah puisi yang lebih unggul dibandingkan dengan puisi yang
diunggulkan oleh 2 juri. Puisi yang cuma diunggulkan oleh 1 juri tidak ikut
dinilai lebih lanjut dalam proses penetapan puisi pemenang lomba dan puisi
nominasi untuk ikut dimuat dalam antologi puisi bersama hasil lomba.
Perlu dijelaskan bahwa daftar puisi unggulan telah
dibuat oleh masing-masing juri sebagai hasil pemeriksaan dan penilaiannya
selama beberapa hari di rumahnya masing-masing. Dewan juri sama sekali tidak
saling berkomunikasi mengenai daftar puisi unggulan yang dibuatnya
masing-masing.
Berikut ini adalah daftar puisi unggulan katagori umum
yang dibuat oleh Micky Hidayat, Arsyad Indradi, dan Tajuddin Noor Ganie. Puisi
pemenang katagori umum dalam daftar di bawah ini diurut berdasarkan peringkat
kemenangannya, dan puisi nominasi diurut berdasarkan nomor undiannya..
Nomor Urut
|
Nomor Undian,
Judul Puisi,
dan Peringkat
Kemenangannya
dalam Lomba
|
MH
|
AI
|
TNG
|
1.
|
230, Aliansyah
Jumbawuya, Banjarbaru, Kisah tak Sudah tentang Juriat yang Setia Menimang
Adat,
Pemenang I
|
v
|
v
|
v
|
2.
|
232, Siti Aisyah, Banjarmasin, Menyisir Jejak Lelaki Belukar,
Pemenang II
|
v
|
v
|
v
|
3.
|
190, Rezqie
Muhammad Al Fajar, Banjarmasin,
Nyanyian Bumi Paikat
Pemenang III
|
v
|
v
|
v
|
4.
|
187, Khoiriyyah
Azzahro, Banjarmasin,
Rindu Batang Banyu, Pemenang Harapan 1
|
v
|
v
|
v
|
5.
|
202, M. Sayid
Wijaya, Bali
Elegi Gadis ke
Tujuh, Witri
Pemenang Harapan
2
|
v
|
v
|
x
|
6
|
159, Budi
Saputra, Padang
Penganut Musim,
Pemenang Harapan 3
|
v
|
v
|
x
|
7.
|
058, Kurnia Hadi, Pasaman, Sumbar, Malam
Pernikahan
Nominasi
|
v
|
x
|
v
|
8.
|
071, Ida Ayu
Adityarini, Bali, Kita Pernah Menjadi
Sepasang Layang-layang
Nominasi
|
v
|
x
|
v
|
9
|
110, Bram
Lesmana, Banjarbaru, Dan yang Seribu itu adalah Aku
Nominasi
|
v
|
v
|
x
|
10.
|
131, Wahyudi,
Banjarbaru,
Tanahku, Tanah
Kami, Tanah Siapa, Nominasi
|
v
|
v
|
x
|
11.
|
155, Erika Adriani, Barabai,
Senandung Orang Huma
Nominasi
|
v
|
v
|
x
|
12.
|
168, Apito
Lahire, Tegal, Jateng, Langkah
Nominasi
|
v
|
x
|
v
|
13.
|
205, Nurul
Khamsi HB, Barito Kuala, Pulang
Nominasi
|
v
|
v
|
x
|
14.
|
248, Muhammad
Irwan Aprialdi, Lapangan Batu
Nominasi
|
v
|
v
|
x
|
15
|
273, A Rahman el Hakim, Banjarmasin,
Padang Terasing,
Nominasi
|
v
|
v
|
x
|
16
|
310, Shinta Ardiatni, Bojonegoro, Jatim,
Mantra Bumi
Nominasi
|
v
|
x
|
v
|
Keterangan
MH = Micky Hidayat
AI = Arsyad Indradi
TNG = Tajuddin Noor Ganie
V = Tanda dukungan juri
yang bersangkutan
X = Tanda
bahwa juri yang bersangkutan tidak mendukung puisi dimaksud
Pemenang lomba tulis puisi katagori umum di atas
ditetapkan berdasarkan hasil diskusi intensif yang dilakukan dewan juri.
Diskusi berlangsung sangat alot dan sengit, karena para juri tanpa tedeng
aling-aling mengemukakan argumentasinya masing-masing tentang keunggulan dan
kelemahan yang terkandung di dalam 15 judul puisi di atas. Suhu diskusi tidak jarang
memanas akibat terjadinya perbedaan pendapat yang cukup tajam di antara mereka
Berikut ini adalah catatan ringkas untuk
puisi-puisi yang ditetapkan sebagai Pemenang I-III, dan Harapan Pemenang 1-3.
1.
Kisah tak Sudah tentang Juriat yang Setia Menimang Adat
Lapis bunyinya dijalin dengan formula yang
teratur, larik demi larik. Pengulangan bunyi vocal dan konsonannya sangat
ritmis dan melodis. Lapis artinya dijalin dengan kosa kata yang denotatis.
Pemakaian 5 kosa kata bahasa Banjar sama sekali tidak mengurangi kelancaran
para pembaca untuk memahami lapis satuan artinya. Pemakaian kosa-kata bahasa
Banjar dimaksud memang sulit dihindari, karena berkaitan dengan nama-nama
tempat, nama-nama kue, dan adat istiadat etnis Banjar di Kalsel. Lapis satuan
artinya membuat pembaca larut dalam suasana mistis upacara titual yang digelar
para seniman topeng Banjar di kampung Banyiur, Banjarmasin. Lapis dunia puisi
ini menggambarkan sikap pribadi penyairnya yang menaruh simpati kepada para
seniman topeng Banjar yang dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan
identitas kesenimanannya di tengah-tengah serbuan budaya asing yang datang
tanpa dapat dicegah sama sekali, seperti serbuan budaya pop Korea (K-Pop)
misalnya. Penyair berharap para pembaca puisinya juga mengambil sikap seperti
dirinya yang menaruh simpati kepada kegigihan para seniman topeng Banjar
melsetarikan salah satu kekayaan budaya lokal etnis Banjar di Kalsel. Lapis
metafisisnya merujuk kepada pengalaman imajiner penyair yang ingin ikut serta
merasakan aura mistis yang tidak kasat mata di balik upacara ritual yang
digelar seniman topeng Banjar di kampung Banyiur, Banjarmasin..
2. Menyisir Jejak Lelaki Belukar
Lapis bunyinya dijalin dengan formula yang
teratur, larik demi larik. Pengulangan bunyi vocal dan konsonannya sangat
ritmis dan melodis. Lapis artinya dijalin dengan kosa kata yang denotatis,
namun menyentuh kalbu. Selain itu juga ditemukan paduan kata yang relative
unik, yakni tabiat melati, berdarah pijar, dan bertameng rajah. Lapis satuan
artinya membuat pembaca yang berasal dari daerah Kalsel menjadi trenyuh dengan
nasib buruk seorang tokoh pejuang revolusi bernama Ibnu Hajat. Tokoh ini di
awal revolusi fisik merupakan ikon pejuang sejati yang gagah berani dalam
konflik bersenjata melawan pasukan KNIL yang mengabdi kepada kepentingan
pemerintah colonial Belanda. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,
yang meraih pangkat tinggi di institusi ketentaraan republic adalah para mantan
anggota militer KNIL yang dulu memihak pemerintah colonial Belanda. Dengan
dalih tak pernah sekolah dan tak punya ijazah, para tentara pejuang itu tak
diberi pangkat tinggi, sebaliknya malah digusur dengan sistematis dari
barak-barak tentara yang belum begitu lama mereka tempati. Ibnu Hajar yang
kecewa kemudian angkat senjata untuk melawan kezaliman itu, ia kobarkan
perlawanan di daerah Kalsel. Tapi, ia kemudian ditipu dengan bujuk rayu,
akhirnya bersedia menghentikan perlawanannya. Segera setelah itu ia dibawa ke
Jakarta, lalu menjalani sidang milter, dan akhirnya divonis hukuman mati.
Makamnya tak jelas di mana. Tema local puisi ini sangat menonjol, tema local
semacam ini masih jarang diangkat orang, tema local inilah yang membuat para
juri tertarik untuk mengunggulkannya. Namun, bagi para pembaca yang belum
mengenal sosok pribadi Ibnu Hajar akan mengalami kesulitan untuk memahami lapis
satuan artinya. Lapis dunianya merujuk kepada sikap pribadi penyairnya yang
menaruh simpati kepada nasib buruk yang dialami Ibnu Hajar. Penyair berharap
para pembaca puisinya juga mengam,bil sikap seperti dirinya. Lapis metafisis
puisi ini merujuk kepada pengalaman pengalaman imajiner penyairnya ketika
berusaha menyelami kehidupan Ibnu Hajar sebagai pejuang yang dicampakkan
penguasa yang tidak pandai berterima kasih. Nasib buruk Ibnu Hajar mengingatkan
kita kepada pepatah yang popular di kalangan para martir bahwa revolusi selalu
memakan anak-anaknya, dan Ibnu Hajar adalah salah seorang anak bangsa yang
dimakan oleh revolusi yang dulu dikobarkannya.
3. Nyanyian Bumi Paikat
Lapis bunyinya tidak dijalin dengan formula yang
teratur, larik demi larik. Pengulangan bunyi vocal dan konsonannya kurang
begitu menonjol. Lapis artinya dijalin dengan kosa kata yang denotatis, namun
para pembaca yang berasal dari luar daerah Kalsel akan mengalami ketersendatan (kekurang-lancaran)
untuk memahami lapis satuan artinya. Penyair memasukkan tidak kurang dari 10
kosa-kata bahasa Banjar. Namun, pemakaian kosa-kata bahasa Banjar yang demikian
itu memang sulit dihindari oleh penyairnya. Hal ini berkaitan dengan tema local
yang diusungnya, yakni puja-puji bagi tanah kelahirannya, yang disebutnya Bumi
Paikat. Penyair mencoba membangun warna local dalam puisinya ini dengan cara
menggunakan kosa-kata bahasa Banjar. Masih berkaitan dengan lapis arti dan
lapis satuan, dalam puisi ini ditemukan tidak kurang 14 paduan kata yang sangat
menarik, yakni (1) lampit masa lalu, (2) garis petuah sungai Martapura, (3)
jejak saka, (4) konser balian, (5) riwayat ladang, (6) penatah banua, (7)
nyanyian bumi paikat, (8) deretan duri, (9) hutan purba, (10) ombak yang diam,
(11) topeng imitasi, (12) kindai dunia, (13) pakucuran kedurhakaan, dan (14)
biduk rampa. Lapis dunia puisi ini menggambarkan sikap pribadi penyairnya yang
begitu memuja kepermaian alam tanah leluhurnya. Penyair berharap agar para
pembaca puisinya menjadi tergugah untuk mengambil sikap yang sama dengannya.
Lapis metafisis puisi ini merujuk kepada pengalaman imajiner penyairnya ketika
berada di tanah leluhurnya yang tetap terjaga keasrian alamnya dari masa ke
masa.
4. Rindu Batang Banyu
Tipografi puisi ini sangat menarik. Lapis bunyinya tidak
dijalin dengan formula yang teratur, larik demi larik. Pengulangan bunyi vocal
dan konsonannya kurang begitu menonjol. Lapis artinya dijalin dengan kosa kata
yang denotatis, namun tetap menarik hati. Didalamnya ditemukan paduan kata yang
unik, yakni (1) sungaiku kisut, (2) sungaiku muram, dan (3) sungaiku tersedu.
Semua juri berpendapat kelemahan puisi ini terletak pada pemakaian huruf K
kafital pada Kupulang dan Kukembali. Dewan juri berpendapat huruf k dimaksud
sebaiknya ditulis dengan huruf kecil saja. Mengenai hal ini penyair tentunya
mempunyai alasan tersendiri. Namun, lazimnya sebuah lomba tulis puisi, tidak
tersedia forum yang memungkinkan bagi penyair untuk menjelaskan argumentasinya.
Lapis satuan arti puisi ini membawa para pembacanya terhanyut ke suasana
romantic melankolis, yakni merindukan masa lalu aku lirik yang serba indah di
tengah-tengah alam yang masih asri. Ketika lanting masih ada dan ketika air
sungai masih terjaga kebeningannya. Lapis dunia puisi ini menggambarkan sikap
pribadi penyairnya yang ingin mengembalikan keasrian sungai di kampung
halamannya. begitu memuja kepermaian alam tanah leluhurnya. Penyair berharap
agar para pembaca puisinya menjadi tergugah untuk mengambil sikap yang sama
dengannya. Lapis metafisis puisi ini merujuk kepada pengalaman imajiner
penyairnya yang galau akibat terlalu banyak memikirkan lingkungan alam di
kampung halamannya yang rusak parah
5. Eligi Gadis ke Tujuh, Witri
Lapis bunyinya tidak dijalin dengan formula yang
teratur, larik demi larik. Pengulangan bunyi vocal dan konsonannya kurang
begitu menonjol. Lapis artinya dijalin dengan kosa kata yang denotatis. Selain
itu juga ditemukan paduan kata yang unik, yakni (1) ialalang tak pernah merapat
(2) kendi cinta, (3) enam tangkai peri berguguran, (4) jerami langit, (6)
sketsa yang terpatri, (7) etalase malam, (8) kebaya ke tujuh dibubuhkan pada
lesung, (9) isak yang menetes, (10) gersang mata, (11) anyir udara, (12)
mematri pilu, dan (12) selangkangan rumah. Tidak hanya itu, lapis arti puisi
ini juga dipenuhi dengan kosa-kata yang merujuk kepada konotasi tak
menyenangkan seperti rintih, isak, gersang mata, anyir udara, dan pilu. Lapis
satuan arti puisi ini membawa para pembacanya kepada suasana eligi, suasana
haru, atau suasana sedih. Lapis dunia puisi menggambarkan sikap pribadi
penyairnya yang bersimpati kepada nasib buruk yang dialami tokoh lirik Witri.
Penyair mengharapkan para pembaca puisinya juga bersikap seperti dirinya. Lapis
metafisis puisi ini merujuk kepada pengalaman imajiner yang dirasakan oleh
tokoh imajiner bernama Witri. Tokoh ini digambarkkan penyair sebagai korban
budak nafsu orang yang berkuasa (dengan symbol sebagai pemilik harem). Penyair
menyebutnya sebagai budak ke tujuh (simbol ketidak-berdayaan) dalam sebuah
harem (symbol di mana kaum wanita kehilangan kebebasan asasinya sebagai seorang
manusia). Kisah sedih (eligi) ini diperankan oleh Witri yang dipersonifikasikan
sebagai lesung berkebaya (symbol wanita) yang (harus merasakan kesakitan)
akibat ditumbuk dengan alu (symbol pria durjana) (perlukah aku merintih/ketika
pasak itu membelah keperawananku).
6. Penganut Musim
Lapis bunyinya dijalin dengan formula yang
teratur, larik demi larik. Pengulangan bunyi vocal dan konsonannya tidak ditata
secara horizontal, tetapi ditata secara vertical dengan jarak yang begitu dekat
dalam satu baris yang sama. Efek akustik yang ditimbulkannya adalah bunyi-bunyi
ritmis yang melodis. Lapis art puisi ini diperkaya dengan paduan kata yang
unik, antara lain (1) penganut musim, (2) sisa pembakaran yang kehilangan
kaki-kai petualang, (3) angin yang bertiup tajam, (4) kembali mematut diri di
dasar perulangan, (5) kedalaman usia, (6) daun-daun mekar tak berdosa, (7) akar
yang menjalar riang, (8) hari-hari yang berkhotbah, (9) matahari yang tegak
lurus, (10) menancapkan panas yang kodrati, (11) bangsa hujan (mungkin yang
dimaksudnya adalah sebangsa hujan), (12) tanah yang terserang demam
berkepanjangan, (13) taat keniscayaan, (14) mendiami diri, (15) kesedihan dan kebahagiaan
yang kerap berganti warna, dan (16) tabah menahan segala perih. Lapis satuan
arti puisi ini membuat para pembacanya masuk ke dalam khalwat suatu pengalaman
mistis, yakni ikhlas dan pasrah menerima nasib yang sudah menjadi putusan
kodrati baginya. Kisah seorang penganut yang ridha menerima kemauan musim
(takdir reguler) yang sudah terjadwal kedatangannya (kematian). Lapis dunia
puisi ini merujuk kepada sikap penyair yang merasa tak berdaya menolak takdir
kodrati yang sudah digariskan baginya. Penyair berharap para pembaca puisinya
juga mengambil sikap seperti dirinya. Tak peduli apakah takdir dimaksud berupa
nasib buruk atau sebaliknya berupa nasib baik. Lapis metafisi puisi ini merujuk
kepada pengalaman imajiner seorang penganut yang setia (orang yang beriman)
dalam menerima segala sesuatu yang sudah menjadi takdir kodratinya di dunia
fana ini.
Setelah pemenang lomba tulis puisi katagori umum
berhasil dipilih dan ditetapkan, dewan juri melanjutkan sidangnya untuk memilih
dan menetapkan puisi pemenang lomba katagori pelajar.
Berikut ini adalah daftar puisi unggulan katagori
pelajar yang dibuat oleh Micky Hidayat, Arsyad Indradi, dan Tajuddin Noor
Ganie. Puisi pemenang katagori pelajar dalam daftar di bawah ini diurut
berdasarkan peringkat kemenangannya.
Nomor Urut
|
Nomor Undian,
Judul Puisi,
dan Peringkat
Kemenangannya
dalam Lomba
|
MH
|
AI
|
TNG
|
1.
|
246, Muhammad Irwan Aprialdy, Banjarmasin,
Tanah Banjar
Pemenang I
|
v
|
v
|
v
|
2.
|
091, Safira
Rizka Aulia, Banjarmasin,
Terpuruk
Pemenang II
|
v
|
v
|
v
|
3.
|
128, Norhalisah, Pelaihari
Curahan Hati
Pemenang III
|
v
|
v
|
v
|
4.
|
234, Irmayanti, Banjarmasin
Rintihan dalam Doa
Pemenang Harapan 1
|
v
|
v
|
v
|
5.
|
244, Ayu
Mardiyati Hasdia, Banjarmasin,
Jendela
Pemenag Harapan
2
|
v
|
v
|
x
|
6
|
260, Maria
Ulfah, Martapura
Anugerah Pagi
Pemenang Harapan
3
|
v
|
v
|
x
|
Keterangan
MH = Micky Hidayat
AI = Arsyad Indradi
TNG = Tajuddin Noor Ganie
V = Tanda dukungan juri
yang bersangkutan
X = Tanda
bahwa juri yang bersangkutan tidak mendukung puisi dimaksud
Secara umum kami selaku dewan juri mencatat bahwa
banyak diantara puisi yang tak kami loloskan ke jenjang nominasi 15 besar
(puisi katagori umum) dan 6 besar puisi katagori pelajar karena faktor-faktor
di bawah ini.
1.
Puisi dimaksud ditulis dengan menggunakan huruf kafital
secara keseluruhannya
2.
Ditulis tanpa mengindahkan tipografi pembagian bait sama
sekali. Puisi ditulis begitu saja dalam satu bait dengan jumlah baris lebih
dari 15 baris, untuk puisi pendek antara 4-8 baris, hal ini masih bisa
ditoleransi, namun untuk puisi panjang di atas 15 baris, aspek tipografi
pembagian bait merupakan suatu keharusan, supaya bentuk fisik puisi menjadi
lebih indah dipandang mata.
3. Bahasa ungkapnya cengeng,
bombas, dan vulgar, dan tidak kalah banyaknya puisi yang bahasa ungkapnya sangat
mempribadi, saking mempribadinya, maka makna muatan dan makna ikutan hanya
diketahui dan dimengerti oleh penyairnya sendiri. Sama sekali tidak ada peluang untuk berkomunikasi.
4. Temanya sangat local. Puisi bertema local
yang tidak ada hubungannya dengan daerah Kalsel mengalami nasib buruk dalam
lomba tulis puisi kali ini. Dalam
konteks lomba tulis puisi kali ini, kami selaku juri hanya memilih tema local
yang ada hubungannya dengan daerah Kalsel saja. Puisi genre ini relative banyak
dikirimkan oleh para peserta lomba, namun hanya 5 judul puisi saja yang mampu
menawan hati kami sebagai juri,
5. Lapis bunyinya tidak ditata secara apik
(formulaic), bahkan banyak peserta lomba yang mengabaikannya.
6. Paduan kata dalam metafora yang digunakan
para peserta lomba pada umumnya adalah metafora yang sudah klise, kering,
bahkan sudah mati.
7. Masih banyak factor lain yang membuat kami
selaku dewan juri tidak tertarik untuk menominasikan puisi-puisi yang lainnya
itu
Demikian yang dapat kami sampaikan sebagai kata-kata pertanggung-jawaban
kami selaku juri. Salah khilaf mohon maaf. Selamat beraruh sastra di kota kayuh baimbai seribu
sungai.
Banjarmasin, 24 Agustus 2012
Hormat kami dewan juri,
Arsyad Indradi, S. Pd (Ketua)
Micky Hidayat (Anggota)
Tajuddin Noor Ganie, M. Pd (Anggota).