Senin, 27 Agustus 2012

Yang Kudapati Saat Menginap Di Tiga Kamar Arsyad Indradi



Oleh Usup Supriyadi

Beberapa sajak Arsyad Indradi yang saya akrabi selalu berembel-embelkan (pada bagian judul) kata "Kamar." Saya sendiri tidak begitu tahu asal-muasal mengapa senantiasa menggunakan kata tersebut, dan hampir selalu mirip, misalnya, "Dalam Kamar 010", atau "Dalam Kamar 111." Ini menurut saya sebuah bentuk keaslian ekspresi dari seorang Arsyad Indradi, saya baru lihat-sejauh yang saya tahu-sajak-sajak seperti itu dalam hal judul. Dan apa yang dilakukannya adalah bagus dan sangat khas.

Ada dua kemungkinan barangkali, pertama ialah itu menandakan sebuah sajak yang ditulis memang benar di dalam kamar bernomer sekian dan sekian. Atau kamar di situ identik dengan ruang-batin si penyair, hal itu terindikasi dalam salah satu baris puisinya dalam sajak "Dalam Kamar 230" katanya, Getar bibir:/ Tuhan/ jangan kau tinggalkan aku//. Bisa pula berarti bulan. Lepas dari uniknya judul-judul tersebut, saya akan mencoba menginap lalu lenyap dalam kamar-kamar Arsyad Indradi berikut;


Dalam Kamar 111

Kubakar tubuhmu
Dalam pedupaan malam
Agar angananganku mencair
Jika besok mentari terbit
Tak pernah lagi menjadikan pudar kehidupan

Nyalamukah yang bergoyang dalam tatapan
Wanginya harum bibir pijar
Aku mendaki puncak letupan dadamu
Berpacu pada bubus asap nafasmu

Gerai rambut lelatu
Menguntai bara liar
Pada kamar nyala damar
Berturai menyibak kelam

Tubuhmutubuh tak lagi lelaki
Apa yang kau harap dari sembunyi
Inilah semata dusta semesta

Pada tarikan gorden penghabisan
Kau lepas burungburung di alir cahya
Dengan kepak dan kicau :
Selamat pagi wahai insan yang merindu


Malang 2011


Betapa alunan kata-kata yang melagu dan indah lagi menyentuh kalbu. Permainan diksinya begitu tepat, dan rimanya tidak terkesan dipaksakan. Benar-benar, natural. Jelas sekali sajak tersebut berisikan kesah hati yang dirumahkan dalam "kamar" tersebut, sehingga saya bisa memasukinya dan tinggal di dalamnya, tidak hanya itu, saya pun terhibur dengan ucapan "selamat" di akhir. Adakah pesannya? Secara singkat singkat kita semua adalah perindu, yang merindu "menyibak kelam" di "semesta" yang "semata dusta" betapa hal tersebut sesuatu yang tak bisa dibilang sakral ataupun profan. Namun, siapa saja yang melepas "burung" dalam hal ini adalah hati, ke "alir cahya" maksudnya jalan maha kuasa, maka betapapun mengerihkannya "bara liar" kita akan mendapati "nyala damar" di "kamar" mengucapkan "selamat."


Dalam Kamar 230

Tubuhmukah di atas tubuhku
Persis seperti dulu
Seperti akan menjadikan aku kembali berdua

Getar bibir memetik katakata
Yang masih jelas kau untai
Di dinding kamar ingatan

Begitu tulus
Dalam dosa dan doa
Tubuhmu luka

Aku pelita
Kehilangan cahaya
Tubuh nestapa

Aku berlari apakah kau disana
ke loronglorong cuma kosong ke padangpadang cuma ilalang ke batubatu cuma batu
kupetik bintang cuma kunangkunang siapasiapa cuma dusta
Setelah itu tinggal bayang

Tubuhmu masih di atas tubuhku
Getar bibir : Tuhan jangan kau tinggalkan aku

Malang, 2011


Saya menyebut sajak di atas sajak manunggaling kawula gusti atau senggama sang hati dengan sang pemilik hati. Betapa jujur penyair membuka kita dengan ungkapannya, "begitu tulus/ dalam dosa dan doa/" tak peduli "tubuh(mu) tuhan luka" kita acapkali serius dalam dosa maupun doa. Tapi betapapun ironis dan paradoksisnya manusia, yakni kita, "getar bibir" dari dalam kamar jiwa, selalu berharap agar persenggamaan antara "aku" dan sang tuhan tidak kenal selesai. secara keseluruhan diksinya pun menawan, walaupun pada baris keempat belas terlalu panjang menurut saya.


Dalam Kamar 045

Kumasuki dirimu
Tenggelam ke dasar angan
Seperti seribu tahun
Musafir gila

Antara bumi dan langit
Hampa semata
Engkau semata entah

Dalam hampa aku merindu
Dalam entah aku menyeru
Semata hanyalah cuma

Dirimu ternyata jika
Saat kubuka jendela negri
Jendela hati sarat mimpi

Yogya, 2011


Sajak yang ketiga yang memikat saya ini, terlihat singkat dan padat tapi begitu banyak sekat-sekat sehingga bisa melihat berbagai sisi dimensi. namun, saya menangkap bahwa sajak tersebut adalah tentang generasi penerus bangsa, ini mungkin tidak tepat. tapi saya ingin membacanya dari arah tersebut. kita adalah generasi bangsa yang penuh dengan mimpi-mimpi dan harapan yang begitu "masa depan" semua pemuda-pemudi bahkan para tetua yang masih setia tidak mau mengalah-atau lebih tepatnya masih nyari untung, di gedung-gedung yang serupa gudang di sana, kebanyakan hanya wacana "hampa semata" jika kita atau generasi yang mewacana itu tidak melakukan laku "jika" apa maksudnya dari laku jika? adalah usaha untuk mewujudkan "jendela hati sarat mimpi" tersebut.


Saya bersyukur bisa membaca ketiga sajak Arsyad Indradi penyair yang lahir di Barabai yang menyajikan sajak-sajak yang bombai, dan begitu limbai. Mungkin itu juga karena Arsyad Indradi memang suka terhadap seni tari.

Ketiganya, bagi saya memuisi dan memuasi. lepas dari adanya kata-kata yang ejaannya tidak sesuai dengan KBBI. Saya harap Arsyad Indradi terus berkarya! dan sehat selalu. Amin. Berikut ini sajak yang bisa saya tulis dari hasil lenyap pada ketiga sajak di atas tersebut.



Umbai
: Kepada Penyair Dalam Kamar a.k.a Arsyad Indradi

umbi-umbian masihkah mudah
didapatkan di pelosok-pelosok hutan
yang menjerit-pekik anak-anak itik
di hamparan kalimantan?

aku melihat sebuah truk
mengangkut potongan-potongan
pohon berusia tua-lalu aku ingat
kamu berbadan pohon

o, banyak sungguh yang tak suka
kata bicara soal daun-daun,
embun-embun kita rabun
lalu membalurkan sabun pada tubuh
agar luruh semangat jatuh

tapi aku lihat kau masih setia
memanen rindu pada nyala tetabuhan
dan umbai dari penari di barabai
selalu kaupakai untuk mengajak
jejak agar ingat saat dijejakkan

rupanya benar
jangan tanya masih adakah
hingga nyata tak ada
tapi sebelum datang itu hilang
marilah kita menanam sekarang


Bogor, April 2012

Catatan : Usup Supriyadi, penyair, pengamat sastra, tinggal di Ciampea Jawa Barat.



Rangkaian Kehidupan Puisi Arsyad Indradi ( Bagian 1 )



Oleh : Tarman Effendi Tarsyad

Arsyad Indradi lahir di Barabai, 31 Desember 1949. Arsyad Indradi termasuk penyair generasi 1970-an. Menulis puisi baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Banjar. Kumpulan puisi tunggalnya dalam bahasa Indonesia yang sudah terbit, antara lain, Nyanyian Seribu Burung ( 2006a ), Romansa Setangkai Bunga ( 2006b ), Narasi Musafir Gila ( 2006c ),Anggur Duka (2009). Kumpulan puisi tunggalnya dalam bahasa Banjar dan terjemahan dalam bahasa Indonesia yang sudah terbit, antara lain Kalalatu ( 2006 ) dan Burinik (2009).

Puisi Arsyad Indradi juga dimuat dalam beberapa antologi bersama, antara lain, Jejak Berlari (1970 ), Panorana (1972), Tamu Malam (1992), Jendela Tanah (1995,Rumah Hutan Pinus (1996), Gerbang Pemukiman (1997 ), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000 ), Bahana (2001 ), Tiga Kutub Senja (2001 ), Bulan Ditelan Kutu ( 2004 ), Bumi Menggerutu (2004 ), Baturai Sanja ( 2004 ), Anak Jaman ( 2004 ), Dimensi ( 2005 ), Puisi Penyair Nusantara : “ 142 Penyair Menuju Bulan (2006), Seribu Sungai Paris Barantai (2006),Penyair Kontemporer Indonesia dalam Bhs China (2007),Kenduri Puisi Buah Hati Untuk Diah Hadaning (2008),Tarian Cahaya Di Bumi Sanggam (2008),Bertahan Di Bukit Akhir (2008),Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009),Konser Kecemasan (2010), Akulah Musi (2011), Doa Pelangi di Tahun Emas (2010), Kambang Rampai Puisi Anak Banua (2010), Kalimantan dalam Puisi Indonesia (2011), dan Seloka Bisu Batu Benawa (2011).

Dari empat kumpulan puisi Arsyad Indradi yang ditulisnya dalam bahasa Indonesia sejak 1970 hingga 2010 Nyanyian Seribu Burung ( 2006a ), Romansa Setangkai Bunga ( 2006b ), Narasi Musafir Gila ( 2006c ),Anggur Duka (2009), suatu hal menarik, melalui puisinya dapat diketahui rangkaian kehidupan yang barangkali memang dekat dengan kehidupan penyair,. Pertama, melalui puisinya dapat diketahui mengenai kota yang dipilih penyair sebagai tempat tinggalnya. Melalui puisi “Aku Suka Kota Ini (2006a:61) penyair mengatakan bahwa kota yang dipilihnya sebagai tempat tinggal yaitu kota Banjarbaru. Mengapa penyair memilih Banjarbaru sebagai tempat tinggal ? Menurut penyair “ tidak seperti kota lain/kota ini mungil/hutan karamunting di sanasini/waktu pagi aku berada di surga burungburung/kala malam sejuta kunangkunang bertebaran/banjarbaru sebuah kota lahir dari rahim gunung apam/di ranahnya kutanam bungbunga cinta”.

AKU SUKA KOTA INI

tidak seperti kota lain
kota ini mungil
hutan karamunting di sanasini
tak ada untung rugi
kubangun rumah di sini
dengan keringat sendiri
waktu pagi aku berada di surga burungburung
kala malam sejuta kunangkunang bertebaran
di wajahmu mengantarkan s’luruh mimpimimpiku
kusenandungkan lagulagu rindu buat sang kekasih
lewat derai dedaunan pinus
banjarbaru sebuah kota lahir dari rahim gunung apam
di ranahnya kutanam bungabunga cinta

banjarbaru, 1978

Melalui puisi “Banjarbaru Kotaku Sayang” (2006a.62) penyair juga mengemukakan beberapa pernyataan mengapa ia memilih Banjarbaru sebagai kota tempat tinggalnya. Penyair mengatakan “jika kau beri aku seribu kota”,katanya “kupilih banjarbaru”. Bahkan penyair mengatakan “jika kau beri aku surga”,katanya “kupilih banjarbaru”. Kemudian penyair mengemukakan alasannya mengapa ia memilih Banjarbaru sebagai kota tempat tinggalnya. Menurut penyair “banjarbaru kota idaman” dan penyair mengatakan “kupersembahkan bungabunga cinta/buat kotaku sayang”.

BANJARBARU KOTAKU SAYANG

jika kau beri aku seribu kota
kupilih banjarbaru

jika kau beri aku surga
kupilih banjarbaru

banjarbaru kota idaman
kupersembahkan bungabunga cinta
buat kotaku sayang

banjarbaru,1978


Khusus mengenai pernyataan seorang penyair mengenai sebuah kota, jauh sebelum puisi di atas ditulis. sebenarnya pernah juga dikemukakan oleh penyair Kalimantan Selatan lainnya. Misalnya D.Zauhidhi melalui puisi “ Kandangan Kotaku Manis” (2004:i).


KANDANGAN KOTAKU MANIS

Roma atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis

Di Kandangan aku dilahirkan
Dibelai timang sang matahari
Dipeluk cium sang rembulan

Di Kandangan aku kenal diri dan cinta
Susah senang seluruh duka

Roma atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis

1960

Kembali kepada puisi Arsyad Indradi, sehubungan dengan kota yang dipilihnya sebagai tempat tingggalnya, pada puisi “Taman di Tengah Kota” (2006a:112) penyair menghendaki bahwa pada kota tempat tinggalnya tersebut (Banjarbaru) ada sebuah taman. Melalui taman tersebut, antara lain anak-anak dapat bermain dan bersuka ria. Taman tersebut juga diharapkan sebagai tempat bagi anak-anak untuk mengasah kreativitasnya dan mengembangkan bakat serta minatnya, misalnya melalui melukis.

TAMAN DI TENGAH KOTA

Ada taman di tengah kota
Sejuta impian siapa
Yang tumbuh di sana
Kota tak pernah diam
Dari pesona

Kota melahirkan
Bocahbocahnya dahaga
Taman adalah ranah
Sejuta bunga

Pesta hari anak se dunia
Bocahbocah melukis
Kota idamannya
Di dinding menara
Ada bocah melukis menara
Yang kehilangan madu lebah
Dari bungabunga
Yang susahpayah ditanamnya

Ada taman di tengah kota
Ada sejumlah impian
Yang tumbuh di sana

Banjarbaru,1997

Selain mengemukakan mengenai kota tempat tinggalnya, melalui puisinya Arsyad Indradi juga mengemukakan mengenai rumah yang dihuninya. Hal tersebut dapat dibaca melalui puisi “Rumah Kecilku” (2006a:17) berikut :

RUMAH KECILKU

rumah kecil pohon bergoyang berlagu duka
pintu dan jendela menghadap matahari terbit
lampu berkedip pada dunia berpaut sempit
bulan kecil tiga beranak di dalamnya

angin menyerahkan diri di gorden jendela
segala berderak bila dibuka
bapa terkapar di kaki malambuta
peluh mengucur sepanjang senyum kota

rumah kecil, rumah kecilku
bila kita cerita tentang esok pagi
betapa kejangnya urat nadi
serta kecilnya langit biru di lorong buntu

segala melaju, segala berlagu
pelabuhan siul pelaut
bapa, ibu kita berpacu
biar kita dirajuk mimpi enggan berpaut

banjarmasin, 1970

Membaca puisi di atas, mengenai rumah kecil yang dihuni oleh beberapa jiwa, barangkali mengingatkan pembaca pada puisi Chairil Anwar (1996:50). Meskipun melalui puisinya tersebut Chairil Anwar mengemukakan mengenai sebuah kamar yang sempit yang dihuni oleh beberapa jiwa.

SEBUAH KAMAR

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”

Ibuku tertidur dalam tersedu
Keramaian penjara sepi selalu
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan Bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan :Kamar begini
3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!

1946

Terlepas dari “Rumah Kecil”. di kota idamannya dan di rumah yang dihuninya, selain melalukan aktivitas, Arsyad Indradi juga melaksanakan ibadah sekaligus mendekatkan kepada Tuhan terutama pada malam hari. Salah satu puisinya yang mengemukakan mengenai pendekatan dirinya kepada Tuhan, dapat diketahui melalui puisi “Malam Hening” (2006a:71). Bahkan melalui puisi tersebut, dalam beribadah sekaligus mendekatkan diri kepada Tuhan, penyair mengatakan “setiap untai zikir/sukma sejatiku/tak letih menunggu-Mu”.

MALAM HENING

lilin merah berkalikali dipadamkan angin
entah apa setiap kunyalakan
aku ingin dekat denganMu

dedaunan pinus berdesir
kusembunyikan degup jantungku
dalam hamparan sajadahMu

setiap untai zikir
sukma sejatiku
tak letih menungguMu

banjarbaru,1979

Melalui puisi di atas dapat diketahui bahwa waktu yang dipilih penyair dalam beribadat sekaligus mendekatkan diri. Mengapa penyair memilih waktu malam hari ?
Melalui puisi “Pintu Doa” (2009:35) penyair memberikan alasannya. Kata penyair”Mengapa aku memilih malam menemuimu/Agar aku leluasa mencurahkan isihatiku”. Penyair juga mengatakan “ Di tengah malam yang sunyi yang maha gulita/ Tapi maha bercahya di mataku/ Kurebahkan rinduku di pangkuanmu/ menumpahkan airmataduka/Yang terperangkap dalam dusta dunia”.

PINTU DOA

Mengapa aku memilih malam menemuimu
Agar aku leluasa mencurahkan isihatiku
Begitu ramah membuka pintu setiap aku mengetuk

Di tengah malam yang sunyi yang maha gulita
Tapi maha bercahya di mataku
Kurebahkan rinduku di pangkuanmu
Menumpahkan airmataduka
Yang terperangkap dalam dustadunia

Berkalikali aku datang padamu
Agar aku kaulahirkan kembali
Merindukan tangisan bayi
Yang tak pernah dusta menyerumu

Bbaru, 2008

Melalui puisi di atas, Arsyad Indradi juga mengemukakan mengenai harapannya kepada Tuhan. Sebagaimana ditulisnya pada bait terakhir, ”Berkalikali aku datang padamu/ Agar aku kaulahirkan kembali/ Merindukan tangisan bayi/ Yang tak pernah dusta menyerumu”. Secara tersirat penyair berharap agar ia kembali suci seperti ”bayi yang baru dilahirkan”. Sementara melalui puisi ”

AKU LARON YANG MENCARIMU
DALAM CAHAYA ITU
JANGAN KAU PADAMKAN LAMPU

gerimis semakin menebarkan sepi
semakin jauh ke perut bumi dan
impian yang digantungkan pada diri
bergetar dalam lindap bayangbayang
di sudutsudut ruang yang gelisah
dan memaya ujudnya tapi terasa
menyentaknyentak tak henti
membiarkan rinduku menggelepar
pada sayapsayap luka dalam perjalanan
yang teramat panjang dan betapa letih
dan beribu bisik yang teramat asing
lalu seketika terbaring dengan
kerongkongan kering
dan sampaikah menggapai kendi itu :
aku laron yang mencariMu
dalam cahaya itu
jangan Kau padamkan lampu

banjarbaru, 1999

Mengenai harapan penyair melalui doanya kepada Tuhan, juga dikemukakan penyair melalui puisi “Tuhan Jangan Kau Sembunyikan Doaku” (2009:8). Lewat puisi tersebut penyair mengatakan “Duhai jagat, aku tak pernah mau terajal sedikitpun/Pada sekalian dusta semesta/ Sebab aku pada diri sendiri/ Selamat tinggal pada Fatamorgana”. Kemudian, puisi tersebut ditutup penyair dengan suatu harapan, sebagaimana judul puisi tersebut, “Tuhan jangan kau sembunyikan doaku”.

TUHAN JANGAN KAU SEMBUNYIKAN DOAKU


Darahku seperti alapalap bersayapangin
Begitu isak kecil membuka pintu yang lama terkunci
Jemputlah anganmu yang terbengkalai
Aku tumpah dari perjalananmu yang panjang

Tumpah dari lukalukarindumu
Setiap jalan bersimpang kau bergumul dengan bimbang
Di batubatu kehidupan kau tulis riwayat impian
Sebelum matahari keburu terbenam

Duhai jagat,aku tak pernah mau terajal sedikitpun
Pada sekalian dusta semesta
Sebab aku lahir pada diriku sendiri
Selamat tinggal pada fatamorgana

Kubaca isak dis’luruh tapaktapakkakiku
Dan tak letihletih menulis aksaranamamu
Tuhan jangan kau sembunyikan doaku

Serpong - Tangerang, 2007

Pada puisi di atas, penyair mengatakan “Selamat tinggal pada fatamorgana”. Membaca larik tersebut, timbul pertanyaan mengapa penyair menyatakan demikian ? Secara harfiah fatamorgana berarti “(1) gejala optis yang tampak pada permukaan yang panas, yang kelihatan seperti genangan air. (2) hal yang bersifat khayal dan tidak mungkin dicapai”. (KBBI 1990:240). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fatamorgana yang dimaksud pada puisi Arsyad Indradi berarti hanya suatu impian yang lebih bersifat negatif. Oleh karena itu bagi penyair perlu ditinggalkan. Hal itu juga dikemukakan penyair pada puisi “Jauhkan Fatamorgana di Mataku” (2009:13). Melalui puisi tersebut penyair mengatakan “Mengapa aku selalu berpaling darI tatapan/ Karena aku tak ingin lagi terperangkap”. ( BERSAMBUNG *)

Dimuat di : Media Kalimantan, Sabtu 25 Agustus 2012














Rangkaian Kehidupan Puisi Arsyad Indradi ( Bagian 2/Habis )




Oleh : Tarman Effendi Tarsyad

JAUHKAN FATAMORGANA DI MATAKU

Mengapa aku selalu berpaling dari tatapan
Karena aku tak ingin lagi terperangkap
Sebab aku telah membaca semesta
Aku tak pernah lagi percaya pada nasib
Maka meski terus berjalan
Larat yang paling penghabisan
Adalah efitap rampungan segala jejak
Mengembalikan nafas

Dan tak lagi mengenang
musafir mengarung dunia ini
kecuali membungkus tulangbelulang
dengan asmamu.

Bbaru, 2007

Secara tersirat puisi di atas juga mengemukakan bahwa dalam prosesnya kehidupan ini akan menemui kematian. Salah satu harapan penyair saat akhir kehidupan, menjelang kematian, yaitu senantiasa mengingat Tuhan. Sebagaimana dikatakannya pada bait terakhir, ”Dan tak lagi mengenang/musafir mengarung dunia ini/kecuali membungkus tulangbelulang/ dengan asmamu”. Begitu pula dengan puisi ” Di Atas Sajadah ” (2006:77)
penyair juga menyadari bahwa kehidupan ini akan berakhir dengan kematian. Sementara kematian bisa terjadi dimana saja. Kubur juga bisa dimana saja. ” laut dan lembah dan rimba dan gunung/ adalah kubur bila ajal tiba”. Untuk itu penyair berharap,”ya tuhan beri aku kesempatan/meraut namamu dan menerbangkankannya/jauh ke dalam diriku/ dan ajalkanlah bila sampai di arasymu”.

DI ATAS SAJADAH

hidup tak lebih meraut layanglayang dan
menerbangkannya ke angkasa
angin dan hujan dan panas dan awan
adalah rajah nasib di tangan
laut dan lembah dan rimba dan gunung
adalah kubur bila ajal tiba
tapi ya tuhan beri aku kesempatan
meraut namamu dan menerbangkannya
jauh ke dalam diriku
dan ajalkanlah bila sampai di arasymu

banjarbaru, 1980

Pada puisi di atas penyair memberikan perumpamaan bahwa “hidup tak lebih meraut layanglayang dan /menerbangkannya ke angkasa”. Akan tetapi pada suatu saat laying-layang itu akan jatuh Pada suatu saat manusia akan menemui kematian. Begitu pula dengan puisi ”Antara Kapal Berlabuh” (2006a:2). Melalui puisi tersebut penyair memperumpamakan kehidupan manusia seperti kapal yang berlayar mengarungi lautan. Banyak rintangan. Akan tetapi menurut penyair manusia harus terus berlayar,”sebab laut adalah sebuah jalan painjang/yang mesti kita tempuh/dan kita tak perlu lagi berpaling”. Meskipun demikian penyair menyadari bahwa pelayaran, perjalanan kehidupan, pasti akan berakhir. Kehidupan manusia akan berujung pada kematian.

ANTARA KAPAL BERLABUH

jangan ada sangsi ketika puput penghabisan
pertanda senja akan membawa kita
ke ombak yang paling jauh
muara tak lagi perbatasan bertolaknya
sebuah kapal yang sarat dengan riwayat
yang kita aksarakan pada sebuah perjalanan
dan burungburung laut melepaskan
kepaknya ke karangkarang ketika
kelam menyempurnakan malam
adalah masasilam yang kita sauhkan
pada alir usia kita sebab
langit tak lagi dapat menyimpan
pandangan mata bila kita akan
menghitung nasib antara kapal
berlabuh dengan pelabuhan
di mana kita menambatkan keyakinan
maka layar telah kita kembangkan
sebab laut adalah sebuah jalan panjang
yang mesti kita tempuh
dan kita tak perlu lagi berpaling

Banjarmasin, 1972

Kesadaran penyair bahwa kehidupan manusia ini akan berakhir pada kematian, juga dikemukakannya melalui puisi “Pulang” (2009:9). Melalui puisi tersebut, penyair juga mengemukakan proses kehidupan yang terus berlangsung. Akan tetapi, sebagaimana puisi sebelumnya, penyair juga menyadari bahwa perjalanan hidup manusia akhirnya menuju suatu kematian.

PULANG

Memandang burungburung melintas sawang
Ingin kudengar kepaknya kemana akan tetirah
Senja yang semakin kelam
Kasidah sunyi semakin dalam

Aku terus juga berjalan menyisir suratan alamat
Dan tak pernah lagi menghintung perhentian
Dimana aku datang dan pergi
Kemudian datang
Dan sampai waktunya tak pernah kembali lagi
Masuk rumah keabadian sunyi

Serpong, 2007

Kesadaran penyair akan kematian, juga dikemukakannya melalui puisi ”Kubaringkan Tubuhmu” (2006c:7). Suatu saat manusia akan menemui kematian. Suatu saat tbuh manusia akan dibaringkan untuk selamanya.

KUBARINGKAN TUBUHMU

Kubaringkan tubuhmu di sini
Sampai batas pertemuan kita
Tak usah kau hitung lagi
Harihari perjanjian dendam
Dari negeri jauh
Sebab berulangkali
Kubiarkan wajahmu cuma
Bayangbayang tak kumengerti
Melintasi setiap kutub
Dimana kita ingin membaca
Isyarat lengsernya senja
Maka jika kau cari
Gumam doadoaku
Jangan kau tanya lagi
Persinggahan ini

Banjarbaru,2000

Kematian sesuatu yang pasti sifatnya. Oleh karena itu pada puisi ”Pada Suatu Stanza” (2006c:42) penyair berharap bahwa kematian jangan diratapi.


PADA SUATU STANZA

Jangan ratapi kematian
Kau tak akan pernah mengenal airmata
Apakah ada cinta yang abadi
Jika ada yang hilang pada dirimu
Dan ratapan segenap putusnya ikatan
Ia adalah dusta cintamu
Dusta di balik gulita dalam terang
Yang tak habis membaca rahasia kehidupan

Tapi kuratapi hanya kau kekasih
Yang ingat belasungkawa dalam diam
Dan tak pernah rintih dalam kerinduan
S’tiap kuusik tidurku dalam diri
Kau berkata : Jauhkan cinta pada ajalku
Ia adalah altokumulus kehidupan
Yang tak lepas meracuni setiap orang
Maka aku berpihak kepadamu

Aku berpihak kepadamu kekasih
Mataku selalu jaga kala tidur
Aku berkata : Ekstase jiwa
pengungkap segala dusta semesta
Di mana sukma pikiran
Lahir tanpa ibubapa
Aku dalam renung
Yang berpihak kepadamu

Banjarbaru,2004

Bila penyair menyadari bahwa kehidupan akan berakhir pada kematian. Bila penyair berharap bahwa kematian jangan diratapi. Timbul pertanyaan, kematian yang seperti apa yang dikehendaki oleh penyair ? Puisi “Doa Selembar Daun” (2006:42) berikut barangkali memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

DOA SELEMBAR DAUN

bila aku luruh
luruhlah dari tangkaiMu
luruh atas kasihsayangMu
bumi adalah sajadah
terhampar dari firmanMu
beri aku bumi
agar sujud abadi di rabbMu
sesungguhnyalah aku adalah daun
dari sebatang pohon
yang kutanam sewaktu masih segumpal darah
tapi perkenankanlah
inilah doaku yang paling terakhir
bila aku luruh
berilah aku luruh
luruh dari tangkai kasihsayangMu

banjarmasin, 1974

Selain puisi di atas, puisi “Risalah Perjalanan” (2006b:42) barangkali juga memberikan jawaban atas pertanyaan kematian yang seperti apa yang dikehendaki penyair ?

RISALAH PERJALANAN

aku musafir dalam lubukhatimu
karena dalam diammu
seperti halnya menghitung bintang di langit
agar aku dapat melihat hakikat dahagaku
wahai berilah aku anggur duka
agar lunas s’luruh letihku
jika aku masuk dalam persembunyianmu
duhai begitu nikmatnya ajal tiba

banjarmasin, 1977

Dengan demikian jelas bahwa melalui beberapa puisi Arsyad Indradi dapat diketahui rangkaian kehidupan yang barangkali memang erat kaitannya dengan diri penyair. Seperti memilih kota sebagai tempat tinggal, aktivitas dalam beribadah sekaligus mendekatkan diri kepada Tuhan, beberapa harapan kepada Tuhan yang dikemukakan terutama melalui doa, kesadaran bahwa kehidupan ini akan berakhir pada kematian, dan gambaran kematian yang diinginkan penyair.

Terlepas dari gambaran di atas, suatu hal yang perlu dicatat pada puisi Arsyad Indradi, terutama berkenaan dengan bahasa puisinya sebagaimana juga puisi Hahami Adaby seperti terlihat dalam kumpulan Bunga Angin (2002) yaitu adanya penulisan kata ulang tanpa tanda penghubung (-) dan kelompok kata yang ditulis serangkai. Sebagai contoh pada puisi Arsyad Indradi dapat dilihat pada kumpulan pertama dan terakhir. Dalam kumpulan pertama Nyanyian Seribu Burung, penulisan kata ulang yang ditulis tanpa tanda penghubung misalnya buihbuih, burungburung, rumahrumah,bayibayi, tangantangan, dosadosa, tibatiba, kembangkembang, mejameja, kursikursi, suratsurat, batubatu, retakretak, katakata, tubuhtubuh, dan orangorang. Penulisan kelompok kata yang serangkai misalnya masasilam, malambuta, anaksianak, satudemisatu, zamankezaman, yatimpiatu, dan hingarbingar.

Dalam kumpulan terakhir, Anggur Duka, penulisan kata ulang yang ditulis tanpa tanda hubung misalnya tibatiba, lelehleleh, kuhempashempas, batubatu, wajahwajah, alapalap, letihletih, burungburung, pedagangpedagang, orangorang, masingmasing, lembahlembah, bukitbukit, batangbatang, anakanak, rumahrumah, ayatayat, dan kunangkunang. Penulisan kelompok kata yang ditulis serangkai misalnya kesumabangsa, satupersatu, hatinurani, aksaranamu, hirukpikuk, lembardemilembar, mengasihsayangi, berhatinurani, porakporanda, gerimismalam, katahati, airmataduka, mataharimerah, bersuntingbunga, mataombak, dan untaidemiuntai. Sehubungan dengan penulisan kata ulang yang ditulis tanpa tanda hubung dan menggabungkan kata yang seharusnya terpisah, sebenarnya juga dilakukan oleh Dorothea Rosa Herliany. Bahkan Dorothea Rosa Herliany juga menulis misalnya satu larik yang terdiri dari beberapa kata, tetapi ditulis serangkai. Hal itu dapat dilihat misalnya dalam kumpulan puisi Dorothea Rosa Herliany pada judul Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999), Kill TheRadio-Sebuah Radio,Kumatikan (2001), Para Pembunuh Waktu (2002), maupun dalam Nikah Ilalang (2003).*****

Tarman Effendi Tarsyad, lahir di Banjarmasin, 29 Oktober 1961. Puisinya dimuat dalam beberapa antologi bersama, antara lain, Siklus 5 Penyair Muda (1983), Puisi Indonesia 87 (1987), Jendela Tanah Air (1995), Perkawinan Batu (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Kambang Rampai Puisi Anak Banua (Banjarmasin Dalam Puisi,2010), Kalimantan Dalam Puisi Indonesia (2011), dan Seloka Bisu Batu Benawa (2011), Kumpulan puisi tunggalnya, Segalanya Tetap Memberi Makna (Tahura Media Banjarmasin,2012).*****

Terbit di : Media Kalimantan, Minggu 26 Agustus 2012.