Oleh : Arsyad
Indradi
( 1 ) Proses dan Penerbitan
Bermula dari mencoba untuk
menerbitkan sebuah kumpulan puisi yang di dalamnya terhimpun beberapa penyair di Nusantara.
Keinginan ini disampaikan melalui seluler berupa kontak langsung dan SMS secara
berantai. Setiap penyair mengirimkan sebanyak 3 – 5 puisi, biodata singkat dan
foto, dikirim melalui post ke alamat saya Jalan Pramuka no.16 RT 03 Kelurahan
Mentaos Banjarbaru Kalimantan Selatan.
Pengumuman ini lebih meluas
ketika Ahmadun Yosi Herfanda selaku redaktur budaya Harian Republika memuat
pengumuman penerbitan kumpulan puisi penyair nusantara di ruang agenda kegiatan
budaya Minggu,8 November 2005.
Pengumpulan puisi sejak bulan
November sampai Desember 2005 ada 186 penyair masing – masing 3 – 5 puisi.
Mengingat terlalu tebal jika dimuat semua maka saya hanya dapat memuat 142
penyair masing – masing 3 puisi. Ada pun penyair terhimpun dalam antologi
tersebut adalah : : Medan 2 penyair, Riau
2 penyair, Bandung 13 penyair, Solo 2 penyair, Yogyakarta 11 penyair, Banten 6
penyair, Jakarta/Depok 17 penyair, Sleman 2 penyair, Banjarbaru 7 penyair,
Banyumas 1 penyair, Samarinda 4 penyair, Ngawi 2 penyair, Malang 3 penyair,
Jambi 7 penyair, Makassar 3 penyair, Padang 1 penyair, Aceh 4 penyair,
Surakarta 1 penyair, Sumbawa 1 penyair, Semarang 2 penyair, Kotabaru 2 penyair,
Mataram 6 penyair, Banjarmasin 2 penyair, Pekanbaru 2 penyair, Medan 2 penyair,
Bekasi 1 penyair, Tangerang 3 penyair, Bali 2 penyair, Pangkal Pinang 2
penyair, Palembang 3 penyair, Martapura 1 penyair, Lampung 3 penyair, Kudus 4
penyair, Cirebon 1 penyair, Tenggarong 1 penyair, Ambon 2 penyair, Sukabumi 1
penyair, Bogor 1 penyair, Majalengka 1 penyair, Surabaya 2 penyair, Boyolali 1
penyair, Kebumen 2 penyair, Bangka Belitung 1 penyair, Tasikmalaya 1 penyair,
Balikpapan 1 penyair, Jember 1 penyair, Kendari 1 penyair, dan Lamongan 1
penyair.
Rencana penerbitan Antologi
Puisi Penyair Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan ini pada bulan April 2006 tetapi tertunda
sampai pada bulan Desember 2006 karena ada kendala yang dihadapi. Pertama, banyaknya
puisi yang diketik ulang terjadi kesalahan ketik. Kedua, biaya penerbitan
sangat besar. Kendala pertama ini seyogyanya pengiriman puisi melalui e-mail sehingga
tidak perlu lagi diketik ulang. Pada kendala yang kedua ini memberikan motivasi
dan semangat yang besar kepada saya untuk menemukan solusinya agar Antologi Puisi
Penyair Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan ini tetap terbit.
Menerbitkan kumpulan puisi
pada suatu penerbit, tentu saja memerlukan biaya yang cukup besar. Oleh karena
itu saya mencoba menerbitkan sendiri, mendesain cover, melayout, mencetak dan menjilid sendiri.
Walau pun dengan peralatan cetak yang sederhana dan swadana akhirnya Antologi
Puisi Penyair Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan, terbit sebanyak 200
eksemplar. Tebal buku 728 halaman memuat 142 penyair dan 426 puisi dengan kata
pengantar oleh Jarkasi dosen FKIP Unlam Banjarmasin, pemerhati Seni Budaya. Antologi
puisi Penyair Nusantara : 142 PMB ini dikirim ke penyair yang tergabung,
Perpustakaan Nagara RI, Pusat Dokumentasi HB.Yassin di Taman Ismail Marzuki dan
lain – lain.
( 2 ) “ Orang Gila “
Ada beberapa sastrawan
Indonesia berkomentar bahwa menerbitkan buku setebal ini merupakan pekerjaan “
orang gila “ antara lain : Ahmadun Yosi Herfanda, Kurnia Effendi, Dimas Arika
Mihardja dan Sainul Hermawan.
Saya cuplik komentar dari
Ahmadun Yosi Herfanda yang dimuat di Harian Republika,minggu, 24 Februari 2008
dan http://www.republika.co.id dengan judul “ Buku Arsyad “. Dunia kepenyairan
punya banyak “ orang gila ‘. Salah satunya Arsyad Indradi. Salah satu kegilaan
penyair senior Banjarbaru ( Kalsel ) adalah rela menjual tanahnya untuk
membiayai penerbitan buku antologi puisi. Di tengah tebaran ratusan buku
antologi sajak di Tanah Air, kehadiran buku 142 PMB itu tentu menjadi sangat
penting, karena merangkum hampir semua penyair Indonesia dari semua generasi.
Buku tersebut tidak hanya telah mendokumentasikan karya – karya mereka untuk
diabadikan, tapi juga untuk dapat menjadi rujukan penting penulisan sejarah
perkembangan perpuisian di Nusantara. Karena itu, pengorbanan dan dedikasi
Arsyad (semoga) tidaklah sia – sia.
“ Terenyuh Dan Kegilaannya “
komentar dari Kurnia Effendi dimuat di Tabloid Mingguan Parle, Jakarta No.100
Th.11 6 – 13 Agustus 2007,hal.16. ...cara berpikirnya sangat sederhana. Lelaki
yang lahir 31 Desember 1949 ini cukup “gila” dengan menerbitkan antologi puisi
142 penyair Indonesia atas biaya sendiri. Dicetak 200 eksemplar dengan cara
yang betul – betul indie: ketik sendiri, setting sendiri, cetak sendiri, desain
cover sendiri, jilid sendiri ...Setelah jadi, 142 eksemplar dia kirimkan kepada
masing – masing penyair, juga atas biaya sendiri. Selebihnya untuk sejumlah perpustakaan
dan para sahabat.
Dr.Sudaryono,M.Pd staf pengajar FKIP Universitas Jambi dengan
tulisannya “ Narasi Penyair Gila Arsyad Indradi “ Pendokumentasiaan sajak yang “ Gila-Gilaan”
Dan juga Sainul Hermawan dengan tulisannya “Kegilaannya
Arsyad Indradi “.. Penyair yang konon tak pernah dikenal di jagat sastra
nasional (setidaknya demikianlah pengakuannya sendiri pada suatu ketika),
tiba-tiba membuat publik penyair di tanah air bertanya tentang siapa dirinya,
saat dia mengundang mereka untuk mengirimkan puisi yang akan dihimpunnya dalam
antologi itu. Antologi setebal 728 halaman yang dicetaknya sendiri, dengan
biaya sendiri, diedarkan sendiri, secara gratis. Dalam kesederhanaan hidupnya,
tindakan itu jelas nekad. Karenanya sejumlah kawannya di daerah lain
menjulukinya, sebagai penyair gila Bagaimana tidak gila, uang sedemikian banyak
digunakan memproduksi artifak seni yang bukan kebutuhan pokok banyak orang.
Gila karena dia, sebagai individu biasa,memainkan peran besar melebihi
keinginan kota bahkan provinsi bahkan korporasi untuk mengapresiasi puisi.
( 3 ) Perbandingan dengan buku puisi lain
Banyak sekali buku puisi yang
terbit sebagai khazanah kekayaan Kesastraan Indonesia. Syaifudin Gani penyair
Kendari mengemukakan dalam tulisannya : Arsyad
Indradi Menuju Bulan bahwa 142 Penyair Menuju Bulan, untuk
kepentingan tertentu, memiliki nilai dan posisi yang sama dengan Tonggak (Linus
Suryadi), Puisi dan Prosa Angkatan 66 dan Kesusastraan Zaman Jepang (HB.
Jassin), Angkatan 2000 (Korrie Layun Rampan) maupun dokumentasi sastra
lainnya.
Syaifudin mengemukakan, perbedaannya
adalah, Antologi Puisi 142 Penyair Menuju Bulan lebih bersifat dokumentasi dan representasi
penyair nusantara, sementara HB. Jassin dan Korrie memiliki landasan estetik yang kemudian melahirkan
angkatan dalam sastra Indonesia. Perbedaan lain adalah, 142 Penyair Menuju Bulan luput dari pembicaraan dan perbincangan
media massa, penyair, dan kritikus sastra. Apakah karena penerbitannya
dilakukan di luar ‘pusat’ sastra? Atau karena penggagas sekaligus penyunting
karyanya adalah seorang Arsyad Indradi yang tidak tercatat dalam kitab puisi
dan ‘tokoh’ sastra Indonesia? Bukankah sebetulnya, sastra Indonesia memiliki
tokohnya masing-masing yang berdiam di daerah dan menghidupi kesusastraannya
sendiri? Tetapi sesuatu yang pasti Antologi
Puisi Penyair Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan adalah karya monumental
dalam sejarah sastra Indonesia. Hasil karya nyatanya, berhasil mengukir namanya
sebagai tokoh lain dalam pengembangan dan pendokumentasian perjalanan puisi
kita.
Pada Tonggak tidak ada Sutardji Calzoum Bachri sedang 142 Penyair Menuju
Bulan sejak yang baru muncul sampai yang paling senior.
Termasuk, sajak – sajak presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri.
Memang Sutardji hampir tidak pernah ikut serta dalam antologi puisi bersama,
demikian kata Asrizal Nur.
( 4 ) Mazhab di 142 PMB
Puisi – puisi beragam tema dan
mazhab bertebaran di 142 Penyair Menuju Bulan, salah satunya adalah puisi
romantik.
Sapardi
Djoko Damono dan Saini K.M. menguraikan munculnya romantisme Eropa sebagai
suatu reaksi terhadap suatu aliran yang disebut sebagai Klasisisme, yang
menitik beratkan pada keseimbangan, aturan dan konvensi dalam seni,
mengedepankan intelektualitas dan rasio, objektivitas serta orientasi budaya
yang mengacu pada tatanan sosial politik yang didominasi oleh kaum elit
bangsawan dan agamawan.
Sementara di Amerika, munculnya romantisme menurut Melani Budiana, bertolak
dari kejenuhan terhadap dominasi dogma aliran Kristen Puritan Kalvas, dan cara
berpikir pencerahan yang rasional, dan cenderung steril dan emosi. Kembali
melihat masa lampau, yang jauh dari hingar bingar peradaban masa kini merupakan
salah satu ciri romantisme, seperti yang dipelopori oleh Sir Walter Scott
dengan genre sastra sejarahnya. Kecenderungan yang sama juga mengarah pada
eksotisme, suatu orientasi kepada yang asing, dan yang jauh, yang digambarkan
sebagai dunia yang mempesona dan eksotik.
Seni romantik menggali inspirasi dari seni yang tumbuh dari kehidupan
rakyat kecil sehari-hari seperti balada, folklor, dongeng, dan legenda. Dengan
aspel-aspek yang diutamakan oleh gerakan romantisme, William Shakespeare,
dramawan yang hidup tiga abad sebelumnya (1564-1616) menjadi populer kembali di
masa romantik.
Bambang Widiatmoko salah satu penyair Indonesia menemukan kembali suasana
romantik dalam Antologi Puisi Penyair Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan,
diterbitkan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru Kalimantan Selatan, tahun 2007,
dalam ulasannya ”Antologi Puisi Penyair Nusantara : Dari Negeri Bandung Menuju
Bulan.
Dalam antologi ini, banyak puisi-puisi yang mengungkapkan erotik
romantisme. Bambang membaca dalam puisi Aen Trisna Wati berjudul Mimpi
Basah : //mengendapkan kerinduan/pada dinding kamar, pada detak hujan, pada
dingin/yang menyeka malam menjadi malam/suara batuk tertancap di
gemuruh/menjadi sunyi/menyimpan kerinduan/pada sebotol air putih/kemudian
kuteguk/menjadi bayang-bayang/menjelma lingkar matamu/hingga masuk ke kantung
kemihku/malam kian sunyi/kutitipkan puisi rindu/di atas bantal biru/lalu
mengecup bayangmudan bergumam pelan/’selamat malam’/dan lelap resah hingga
basah/ (hal.12).
Juga puisi Ahmad Syam’ani berjudul Syair
Perempuan ://Lihat, salam hangat perempuan/Lentik matanya/Ketika sedikit
kata-kata menari/Sampai jejak pintu pentas pun memanggil/Namanya, dengan
tekun// (hal.33).
Puisi Ali Wardana berjudul Ronggeng://Menimbang
lenggok senyum selendangmu/kembangkan lanskap dukuh kumuh/ di tingakah dayu
kembang/disela suit serta tepuk tangan/di buai ketipak kendang (hal.63).
Begitu pula dengan puisi Aminuddin Rifai berjudul Makrifat Sungai://amboi/aku
kembali memastikan/bahwa syahwatku telah basah/oleh mengintipmu/di sungai//
(hal.70). Bisa diperpanjang lagi dengan puisi Aslan Abidin berjudul Polispermigate
://tapi nawang wulang, aku juga suka/membayangkan kau membuka celana/untukku
dan mungkin aku terkesiap/menatap kemaluanmu yang mangap//(hal.102).
Bambang mengatakan, masih banyak puisi yang berkisah
tentang romantisme ditulis dengan baik oleh penyairnya. Begitu pula beberapa
penyair berhasil menuliskan puisi tentang perempuan dengan cukup memikat. Ada
satu puisi berhasil mengungkapkan tentang dunia waria ditulis Boufath Shahab
berjudul Kau Tahu Sihir Waria : //jika sekali saja kau kerlingkanmata/akan
kusihir dunia menjadi semesta canda dan tawa/pernahkah kau berpikir tentang ruh
perempuan yang terjebak/di sekujur badan lelaki, karena kesalahan malaikat
pengatur jasad ?/maka bermain-mainlah di kedalaman kelaminku/aku akan telanjang
bersama kupu-kupu/atau jika kau mau, aku akan menjadi seekor kupu-kupu
yang/telanjang bersamamu/mungkin akan kau temukan bekas-bekas air mata bahagia
ibu/ketika pertama kali aku mampu mengeja namaku/dan ia menghadiahiku sebutir
bola yang penuh warna/kudekap perut ibu : ibu, aku tak bahagia/aku merindukan
sebuah boneka// (hal.121).
Seorang Penyair Indonesia yang berdomisili di Jambi
Dimas Arika Mihardja mengulas puisi saya yang berjudul “ Darah “ ( 142
PMB,hal.88-89). Mengulas dalam tulisannya “ Balada atau Mantra ?”.
Sajak yang kental nuansa mantranya
tampak pada sajak “Darah” seperti ini : Adalah langit darah
berdarah/Tak habishabis jadi laut berabadabad telah/ tak berpaus di atasnya
rajah perahu Nuhmu/tak singgahsinggah pada dermaga darahku/Hu Allah darahku
hanyut dalam darahmu/kutubku tenggelam dalam kutubmu/menghempas napas darahku
membatubara/dikunci rahasia Alifmu Alif Alif/ darah Adamku yang terdampar di
bumi/ yang rapuh berabadabad mencari darah Hawaku/yang rapuh tersesat di
belantaramu meraung/darah laparku/mencakarcakar
mencari darahku/ beri aku barang setetes Hu Allah/getar alir napas menyeru
darahmu mengalir darah mataku/
mengalir darah
musafir di sajadahmu/mengalir menuju rumahmu.
Kekuatan magis dengan pola
ungkap mantra, seperti pernah dilakukan oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri
dengan “ O, Amuk, Kapak “nya, dapat kita rasakan dalam larik-larik sajak
“Darah” berikut :
darah hidupku Hu Allah/darah matiku Hu
Allah/darah hidupmatiku Hu Allah/darah raungku Hu Allah/darah cakarku Hu
Allah/darah laparku Hu Allah/darah hausku Hu Allah/darah ngiluku Hu Allah/darah
rinduku Hu Allah
.......................
semesta
bergoncang Hu Allah/arasy pun bergoncang Hu Allah/darahku aujubillah/darahku
astagfirullah/darahku subhanallah/Allah/
Sajak “Darah”
yang berdarah-darah ini niscaya memiliki kekuatan magis setara dengan
sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri. Arsyad Indradi dalam sajak “Darah” ini
berhasil menggali potensi budaya Melayu dengan tradisi mantranya. Ciri-ciri
mantra yang memukau (lantaran permainan bunyi, pemanfaatan gaya bahasa, foreshadowing
, dan penggunaan enjambemen ), sugestif (dapat merangsang secara asosiatif dan
memeberikan daya ajuk), dan membius lantaran ketepatan ungkapan dengan
kata-kata kongkret. Tak pelak lagi, sajak “Darah” mewakili keberhasilan Arsyad
Indradi sebagai penyair yang pantas diperhitunghkan. Demikian
Dimas Arika Mihardja dalam esainya : Kalaltu Balada atau Mantra ?
( 5 ) Penutup
Terbitnya Antologi Puisi
Penyair Nusantara : 142 Menuju Bulan ini salah satu karya monumental dalam
sejarah kesastraan bagi Indonesia dan sebuah referensi penting yang harus
dimiliki oleh setiap lembaga, kelompok dan pribadi untuk pengajaran,
penelitian, penggiat dan penikmat sastra se – Nusantara, demikian pengantar
kecil di cover belakang oleh East Star
From Asia.
Banjarbaru,
20 November 2011