Senin, 28 Mei 2012

Tentang Antologi Puisi : 142 Penyair Menuju Bulan


Oleh : Arsyad Indradi

( 1 ) Proses dan Penerbitan

Bermula dari mencoba untuk menerbitkan sebuah kumpulan puisi yang di dalamnya  terhimpun beberapa penyair di Nusantara. Keinginan ini disampaikan melalui seluler berupa kontak langsung dan SMS secara berantai. Setiap penyair mengirimkan sebanyak 3 – 5 puisi, biodata singkat dan foto, dikirim melalui post ke alamat saya Jalan Pramuka no.16 RT 03 Kelurahan Mentaos Banjarbaru Kalimantan Selatan.

Pengumuman ini lebih meluas ketika Ahmadun Yosi Herfanda selaku redaktur budaya Harian Republika memuat pengumuman penerbitan kumpulan puisi penyair nusantara di ruang agenda kegiatan budaya Minggu,8 November 2005.

Pengumpulan puisi sejak bulan November sampai Desember 2005 ada 186 penyair masing – masing 3 – 5 puisi. Mengingat terlalu tebal jika dimuat semua maka saya hanya dapat memuat 142 penyair masing – masing 3 puisi. Ada pun penyair terhimpun dalam antologi tersebut adalah : : Medan 2 penyair, Riau 2 penyair, Bandung 13 penyair, Solo 2 penyair, Yogyakarta 11 penyair, Banten 6 penyair, Jakarta/Depok 17 penyair, Sleman 2 penyair, Banjarbaru 7 penyair, Banyumas 1 penyair, Samarinda 4 penyair, Ngawi 2 penyair, Malang 3 penyair, Jambi 7 penyair, Makassar 3 penyair, Padang 1 penyair, Aceh 4 penyair, Surakarta 1 penyair, Sumbawa 1 penyair, Semarang 2 penyair, Kotabaru 2 penyair, Mataram 6 penyair, Banjarmasin 2 penyair, Pekanbaru 2 penyair, Medan 2 penyair, Bekasi 1 penyair, Tangerang 3 penyair, Bali 2 penyair, Pangkal Pinang 2 penyair, Palembang 3 penyair, Martapura 1 penyair, Lampung 3 penyair, Kudus 4 penyair, Cirebon 1 penyair, Tenggarong 1 penyair, Ambon 2 penyair, Sukabumi 1 penyair, Bogor 1 penyair, Majalengka 1 penyair, Surabaya 2 penyair, Boyolali 1 penyair, Kebumen 2 penyair, Bangka Belitung 1 penyair, Tasikmalaya 1 penyair, Balikpapan 1 penyair, Jember 1 penyair, Kendari 1 penyair, dan Lamongan 1 penyair. 

Rencana penerbitan Antologi Puisi Penyair Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan  ini pada bulan April 2006 tetapi tertunda sampai pada bulan Desember 2006 karena ada kendala yang dihadapi. Pertama, banyaknya puisi yang diketik ulang terjadi kesalahan ketik. Kedua, biaya penerbitan sangat besar. Kendala pertama ini seyogyanya pengiriman puisi melalui e-mail sehingga tidak perlu lagi diketik ulang. Pada kendala yang kedua ini memberikan motivasi dan semangat yang besar kepada saya untuk menemukan solusinya agar Antologi Puisi Penyair Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan ini tetap terbit.

Menerbitkan kumpulan puisi pada suatu penerbit, tentu saja memerlukan biaya yang cukup besar. Oleh karena itu saya mencoba menerbitkan sendiri, mendesain cover,  melayout, mencetak dan menjilid sendiri. Walau pun dengan peralatan cetak yang sederhana dan swadana akhirnya Antologi Puisi Penyair Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan, terbit sebanyak 200 eksemplar. Tebal buku 728 halaman memuat 142 penyair dan 426 puisi dengan kata pengantar oleh Jarkasi dosen FKIP Unlam Banjarmasin, pemerhati Seni Budaya. Antologi puisi Penyair Nusantara : 142 PMB ini dikirim ke penyair yang tergabung, Perpustakaan Nagara RI, Pusat Dokumentasi HB.Yassin di Taman Ismail Marzuki dan lain – lain.

( 2 ) “ Orang Gila “

Ada beberapa sastrawan Indonesia berkomentar bahwa menerbitkan buku setebal ini merupakan pekerjaan “ orang gila “ antara lain : Ahmadun Yosi Herfanda, Kurnia Effendi, Dimas Arika Mihardja dan Sainul Hermawan.

Saya cuplik komentar dari Ahmadun Yosi Herfanda yang dimuat di Harian Republika,minggu, 24 Februari 2008 dan http://www.republika.co.id dengan judul “ Buku Arsyad “. Dunia kepenyairan punya banyak “ orang gila ‘. Salah satunya Arsyad Indradi. Salah satu kegilaan penyair senior Banjarbaru ( Kalsel ) adalah rela menjual tanahnya untuk membiayai penerbitan buku antologi puisi. Di tengah tebaran ratusan buku antologi sajak di Tanah Air, kehadiran buku 142 PMB itu tentu menjadi sangat penting, karena merangkum hampir semua penyair Indonesia dari semua generasi. Buku tersebut tidak hanya telah mendokumentasikan karya – karya mereka untuk diabadikan, tapi juga untuk dapat menjadi rujukan penting penulisan sejarah perkembangan perpuisian di Nusantara. Karena itu, pengorbanan dan dedikasi Arsyad (semoga) tidaklah sia – sia.

“ Terenyuh Dan Kegilaannya “ komentar dari Kurnia Effendi dimuat di Tabloid Mingguan Parle, Jakarta No.100 Th.11 6 – 13 Agustus 2007,hal.16. ...cara berpikirnya sangat sederhana. Lelaki yang lahir 31 Desember 1949 ini cukup “gila” dengan menerbitkan antologi puisi 142 penyair Indonesia atas biaya sendiri. Dicetak 200 eksemplar dengan cara yang betul – betul indie: ketik sendiri, setting sendiri, cetak sendiri, desain cover sendiri, jilid sendiri ...Setelah jadi, 142 eksemplar dia kirimkan kepada masing – masing penyair, juga atas biaya sendiri. Selebihnya untuk sejumlah perpustakaan dan para sahabat.
Dr.Sudaryono,M.Pd  staf pengajar FKIP Universitas Jambi dengan tulisannya “ Narasi Penyair Gila Arsyad Indradi “  Pendokumentasiaan sajak yang “ Gila-Gilaan”
Dan juga Sainul Hermawan dengan tulisannya “Kegilaannya Arsyad Indradi “.. Penyair yang konon tak pernah dikenal di jagat sastra nasional (setidaknya demikianlah pengakuannya sendiri pada suatu ketika), tiba-tiba membuat publik penyair di tanah air bertanya tentang siapa dirinya, saat dia mengundang mereka untuk mengirimkan puisi yang akan dihimpunnya dalam antologi itu. Antologi setebal 728 halaman yang dicetaknya sendiri, dengan biaya sendiri, diedarkan sendiri, secara gratis. Dalam kesederhanaan hidupnya, tindakan itu jelas nekad. Karenanya sejumlah kawannya di daerah lain menjulukinya, sebagai penyair gila Bagaimana tidak gila, uang sedemikian banyak digunakan memproduksi artifak seni yang bukan kebutuhan pokok banyak orang. Gila karena dia, sebagai individu biasa,memainkan peran besar melebihi keinginan kota bahkan provinsi bahkan korporasi untuk mengapresiasi puisi.

( 3 ) Perbandingan dengan buku puisi lain

Banyak sekali buku puisi yang terbit sebagai khazanah kekayaan Kesastraan Indonesia. Syaifudin Gani penyair Kendari mengemukakan dalam tulisannya : Arsyad Indradi Menuju Bulan bahwa 142 Penyair Menuju Bulan, untuk kepentingan tertentu, memiliki nilai dan posisi yang sama dengan Tonggak (Linus Suryadi), Puisi dan Prosa Angkatan 66 dan Kesusastraan Zaman Jepang (HB. Jassin), Angkatan 2000 (Korrie Layun Rampan) maupun dokumentasi sastra lainnya.

Syaifudin mengemukakan, perbedaannya adalah, Antologi Puisi 142 Penyair Menuju Bulan  lebih bersifat dokumentasi dan representasi penyair nusantara, sementara HB. Jassin dan Korrie memiliki landasan estetik yang kemudian melahirkan angkatan dalam sastra Indonesia. Perbedaan lain adalah, 142 Penyair Menuju Bulan luput dari pembicaraan dan perbincangan media massa, penyair, dan kritikus sastra. Apakah karena penerbitannya dilakukan di luar ‘pusat’ sastra? Atau karena penggagas sekaligus penyunting karyanya adalah seorang Arsyad Indradi yang tidak tercatat dalam kitab puisi dan ‘tokoh’ sastra Indonesia? Bukankah sebetulnya, sastra Indonesia memiliki tokohnya masing-masing yang berdiam di daerah dan menghidupi kesusastraannya sendiri?  Tetapi sesuatu yang pasti Antologi Puisi Penyair Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan adalah karya monumental dalam sejarah sastra Indonesia. Hasil karya nyatanya, berhasil mengukir namanya sebagai tokoh lain dalam pengembangan dan pendokumentasian perjalanan puisi kita.

Pada Tonggak tidak ada Sutardji Calzoum Bachri sedang 142 Penyair Menuju Bulan sejak yang baru muncul sampai yang paling senior. Termasuk, sajak – sajak presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri. Memang Sutardji hampir tidak pernah ikut serta dalam antologi puisi bersama, demikian kata Asrizal Nur.

( 4 ) Mazhab di 142 PMB

Puisi – puisi beragam tema dan mazhab bertebaran di 142 Penyair Menuju Bulan, salah satunya adalah puisi romantik.
Sapardi Djoko Damono dan Saini K.M. menguraikan munculnya romantisme Eropa sebagai suatu reaksi terhadap suatu aliran yang disebut sebagai Klasisisme, yang menitik beratkan pada keseimbangan, aturan dan konvensi dalam seni, mengedepankan intelektualitas dan rasio, objektivitas serta orientasi budaya yang mengacu pada tatanan sosial politik yang didominasi oleh kaum elit bangsawan dan agamawan.
Sementara di Amerika, munculnya romantisme menurut Melani Budiana, bertolak dari kejenuhan terhadap dominasi dogma aliran Kristen Puritan Kalvas, dan cara berpikir pencerahan yang rasional, dan cenderung steril dan emosi. Kembali melihat masa lampau, yang jauh dari hingar bingar peradaban masa kini merupakan salah satu ciri romantisme, seperti yang dipelopori oleh Sir Walter Scott dengan genre sastra sejarahnya. Kecenderungan yang sama juga mengarah pada eksotisme, suatu orientasi kepada yang asing, dan yang jauh, yang digambarkan sebagai dunia yang mempesona dan eksotik.
Seni romantik menggali inspirasi dari seni yang tumbuh dari kehidupan rakyat kecil sehari-hari seperti balada, folklor, dongeng, dan legenda. Dengan aspel-aspek yang diutamakan oleh gerakan romantisme, William Shakespeare, dramawan yang hidup tiga abad sebelumnya (1564-1616) menjadi populer kembali di masa romantik.
Bambang Widiatmoko salah satu penyair Indonesia menemukan kembali suasana romantik dalam Antologi Puisi Penyair Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan, diterbitkan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru Kalimantan Selatan, tahun 2007, dalam ulasannya ”Antologi Puisi Penyair Nusantara : Dari Negeri Bandung Menuju Bulan.
Dalam antologi ini, banyak puisi-puisi yang mengungkapkan erotik romantisme. Bambang membaca dalam puisi Aen Trisna Wati berjudul Mimpi Basah : //mengendapkan kerinduan/pada dinding kamar, pada detak hujan, pada dingin/yang menyeka malam menjadi malam/suara batuk tertancap di gemuruh/menjadi sunyi/menyimpan kerinduan/pada sebotol air putih/kemudian kuteguk/menjadi bayang-bayang/menjelma lingkar matamu/hingga masuk ke kantung kemihku/malam kian sunyi/kutitipkan puisi rindu/di atas bantal biru/lalu mengecup bayangmudan bergumam pelan/’selamat malam’/dan lelap resah hingga basah/ (hal.12).
Juga puisi Ahmad Syam’ani berjudul Syair Perempuan ://Lihat, salam hangat perempuan/Lentik matanya/Ketika sedikit kata-kata menari/Sampai jejak pintu pentas pun memanggil/Namanya, dengan tekun// (hal.33).
Puisi Ali Wardana berjudul Ronggeng://Menimbang lenggok senyum selendangmu/kembangkan lanskap dukuh kumuh/ di tingakah dayu kembang/disela suit serta tepuk tangan/di buai ketipak kendang (hal.63). Begitu pula dengan puisi Aminuddin Rifai berjudul Makrifat Sungai://amboi/aku kembali memastikan/bahwa syahwatku telah basah/oleh mengintipmu/di sungai// (hal.70). Bisa diperpanjang lagi dengan puisi Aslan Abidin berjudul Polispermigate ://tapi nawang wulang, aku juga suka/membayangkan kau membuka celana/untukku dan mungkin aku terkesiap/menatap kemaluanmu yang mangap//(hal.102).
Bambang mengatakan, masih banyak puisi yang berkisah tentang romantisme ditulis dengan baik oleh penyairnya. Begitu pula beberapa penyair berhasil menuliskan puisi tentang perempuan dengan cukup memikat. Ada satu puisi berhasil mengungkapkan tentang dunia waria ditulis Boufath Shahab berjudul Kau Tahu Sihir Waria : //jika sekali saja kau kerlingkanmata/akan kusihir dunia menjadi semesta canda dan tawa/pernahkah kau berpikir tentang ruh perempuan yang terjebak/di sekujur badan lelaki, karena kesalahan malaikat pengatur jasad ?/maka bermain-mainlah di kedalaman kelaminku/aku akan telanjang bersama kupu-kupu/atau jika kau mau, aku akan menjadi seekor kupu-kupu yang/telanjang bersamamu/mungkin akan kau temukan bekas-bekas air mata bahagia ibu/ketika pertama kali aku mampu mengeja namaku/dan ia menghadiahiku sebutir bola yang penuh warna/kudekap perut ibu : ibu, aku tak bahagia/aku merindukan sebuah boneka// (hal.121).
Seorang Penyair Indonesia yang berdomisili di Jambi Dimas Arika Mihardja mengulas puisi saya yang berjudul “ Darah “ ( 142 PMB,hal.88-89). Mengulas dalam tulisannya “ Balada atau Mantra ?”.
Sajak yang kental nuansa mantranya tampak pada sajak “Darah” seperti ini : Adalah langit darah berdarah/Tak habishabis jadi laut berabadabad telah/ tak berpaus di atasnya rajah perahu Nuhmu/tak singgahsinggah pada dermaga darahku/Hu Allah darahku hanyut dalam darahmu/kutubku tenggelam dalam kutubmu/menghempas napas darahku membatubara/dikunci rahasia Alifmu Alif Alif/ darah Adamku yang terdampar di bumi/ yang rapuh berabadabad mencari darah Hawaku/yang rapuh tersesat di belantaramu  meraung/darah laparku/mencakarcakar mencari darahku/ beri aku barang setetes Hu Allah/getar alir napas menyeru darahmu mengalir darah mataku/
mengalir darah musafir di sajadahmu/mengalir menuju rumahmu.
       Kekuatan magis dengan pola ungkap mantra, seperti pernah dilakukan oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri dengan “ O, Amuk, Kapak “nya, dapat kita rasakan dalam larik-larik sajak “Darah” berikut :
darah hidupku Hu Allah/darah matiku Hu Allah/darah hidupmatiku Hu Allah/darah raungku Hu Allah/darah cakarku Hu Allah/darah laparku Hu Allah/darah hausku Hu Allah/darah ngiluku Hu Allah/darah rinduku Hu Allah
                                                   .......................
semesta bergoncang Hu Allah/arasy pun bergoncang Hu Allah/darahku aujubillah/darahku astagfirullah/darahku subhanallah/Allah/
 Sajak “Darah” yang berdarah-darah ini niscaya memiliki kekuatan magis setara dengan sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri. Arsyad Indradi dalam sajak “Darah” ini berhasil menggali potensi budaya Melayu dengan tradisi mantranya. Ciri-ciri mantra yang memukau (lantaran permainan bunyi, pemanfaatan gaya bahasa, foreshadowing , dan penggunaan enjambemen ), sugestif (dapat merangsang secara asosiatif dan memeberikan daya ajuk), dan membius lantaran ketepatan ungkapan dengan kata-kata kongkret. Tak pelak lagi, sajak “Darah” mewakili keberhasilan Arsyad Indradi sebagai penyair yang pantas diperhitunghkan.  Demikian  Dimas Arika Mihardja dalam esainya : Kalaltu Balada atau Mantra ?

( 5 ) Penutup

Terbitnya Antologi Puisi Penyair Nusantara : 142 Menuju Bulan ini salah satu karya monumental dalam sejarah kesastraan bagi Indonesia dan sebuah referensi penting yang harus dimiliki oleh setiap lembaga, kelompok dan pribadi untuk pengajaran, penelitian, penggiat dan penikmat sastra se – Nusantara, demikian pengantar kecil di cover belakang oleh East Star From Asia.

Banjarbaru, 20 November 2011
          

"Yang Kudapati Saat Menginap Di Tiga Kamar Arsyad Indradi


Beberapa sajak Arsyad Indradi yang saya akrabi selalu berembel-embelkan (pada bagian judul) kata "Kamar." Saya sendiri tidak begitu tahu asal-muasal mengapa senantiasa menggunakan kata tersebut, dan hampir selalu mirip, misalnya, "Dalam Kamar 010", atau "Dalam Kamar 111." Ini menurut saya sebuah bentuk keaslian ekspresi dari seorang Arsyad Indradi, saya baru lihat-sejauh yang saya tahu-sajak-sajak seperti itu dalam hal judul. Dan apa yang dilakukannya adalah bagus dan sangat khas.

Ada dua kemungkinan barangkali, pertama ialah itu menandakan sebuah sajak yang ditulis memang benar di dalam kamar bernomer sekian dan sekian. Atau kamar di situ identik dengan ruang-batin si penyair, hal itu terindikasi dalam salah satu baris puisinya dalam sajak "Dalam Kamar 230" katanya, Getar bibir:/ Tuhan/ jangan kau tinggalkan aku//. Bisa pula berarti bulan. Lepas dari uniknya judul-judul tersebut, saya akan mencoba menginap lalu lenyap dalam kamar-kamar Arsyad Indradi berikut;


Dalam Kamar 111

Kubakar tubuhmu
Dalam pedupaan malam
Agar angananganku mencair
Jika besok mentari terbit
Tak pernah lagi menjadikan pudar kehidupan

Nyalamukah yang bergoyang dalam tatapan
Wanginya harum bibir pijar
Aku mendaki puncak letupan dadamu
Berpacu pada bubus asap nafasmu

Gerai rambut lelatu
Menguntai bara liar
Pada kamar nyala damar
Berturai menyibak kelam

Tubuhmutubuh tak lagi lelaki
Apa yang kau harap dari sembunyi
Inilah semata dusta semesta

Pada tarikan gorden penghabisan
Kau lepas burungburung di alir cahya
Dengan kepak dan kicau :
Selamat pagi wahai insan yang merindu


Malang 2011

Betapa alunan kata-kata yang melagu dan indah lagi menyentuh kalbu. Permainan diksinya begitu tepat, dan rimanya tidak terkesan dipaksakan. Benar-benar, natural. Jelas sekali sajak tersebut berisikan kesah hati yang dirumahkan dalam "kamar" tersebut, sehingga saya bisa memasukinya dan tinggal di dalamnya, tidak hanya itu, saya pun terhibur dengan ucapan "selamat" di akhir. Adakah pesannya? Secara singkat singkat kita semua adalah perindu, yang merindu "menyibak kelam" di "semesta" yang "semata dusta" betapa hal tersebut sesuatu yang tak bisa dibilang sakral ataupun profan. Namun, siapa saja yang melepas "burung" dalam hal ini adalah hati, ke "alir cahya" maksudnya jalan maha kuasa, maka betapapun mengerihkannya "bara liar" kita akan mendapati "nyala damar" di "kamar" mengucapkan "selamat."


Dalam Kamar 230

Tubuhmukah di atas tubuhku
Persis seperti dulu
Seperti akan menjadikan aku kembali berdua

Getar bibir memetik katakata
Yang masih jelas kau untai
Di dinding kamar ingatan

Begitu tulus
Dalam dosa dan doa
Tubuhmu luka

Aku pelita
Kehilangan cahaya
Tubuh nestapa

Aku berlari apakah kau disana
ke loronglorong cuma kosong ke padangpadang cuma ilalang ke batubatu cuma batu
kupetik bintang cuma kunangkunang siapasiapa cuma dusta
Setelah itu tinggal bayang

Tubuhmu masih di atas tubuhku
Getar bibir : Tuhan jangan kau tinggalkan aku

Malang, 2011

Saya menyebut sajak di atas sajak manunggaling kawula gusti atau senggama sang hati dengan sang pemilik hati. Betapa jujur penyair membuka kita dengan ungkapannya, "begitu tulus/ dalam dosa dan doa/" tak peduli "tubuh(mu) tuhan luka" kita acapkali serius dalam dosa maupun doa. Tapi betapapun ironis dan paradoksisnya manusia, yakni kita, "getar bibir" dari dalam kamar jiwa, selalu berharap agar persenggamaan antara "aku" dan sang tuhan tidak kenal selesai. secara keseluruhan diksinya pun menawan, walaupun pada baris keempat belas terlalu panjang menurut saya.


Dalam Kamar 045

Kumasuki dirimu
Tenggelam ke dasar angan
Seperti seribu tahun
Musafir gila

Antara bumi dan langit
Hampa semata
Engkau semata entah

Dalam hampa aku merindu
Dalam entah aku menyeru
Semata hanyalah cuma

Dirimu ternyata jika
Saat kubuka jendela negri
Jendela hati sarat mimpi

Yogya, 2011

Sajak yang ketiga yang memikat saya ini, terlihat singkat dan padat tapi begitu banyak sekat-sekat sehingga bisa melihat berbagai sisi dimensi. namun, saya menangkap bahwa sajak tersebut adalah tentang generasi penerus bangsa, ini mungkin tidak tepat. tapi saya ingin membacanya dari arah tersebut. kita adalah generasi bangsa yang penuh dengan mimpi-mimpi dan harapan yang begitu "masa depan" semua pemuda-pemudi bahkan para tetua yang masih setia tidak mau mengalah-atau lebih tepatnya masih nyari untung, di gedung-gedung yang serupa gudang di sana, kebanyakan hanya wacana "hampa semata" jika kita atau generasi yang mewacana itu tidak melakukan laku "jika" apa maksudnya dari laku jika? adalah usaha untuk mewujudkan "jendela hati sarat mimpi" tersebut.

Saya bersyukur bisa membaca ketiga sajak Arsyad Indradi penyair yang lahir di Barabai yang menyajikan sajak-sajak yang bombai, dan begitu limbai. Mungkin itu juga karena Arsyad Indradi memang suka terhadap seni tari.

Ketiganya, bagi saya memuisi dan memuasi. lepas dari adanya kata-kata yang ejaannya tidak sesuai dengan KBBI. Saya harap Arsyad Indradi terus berkarya! dan sehat selalu. Amin. Berikut ini sajak yang bisa saya tulis dari hasil lenyap pada ketiga sajak di atas tersebut.



Umbai
: Kepada Penyair Dalam Kamar a.k.a Arsyad Indradi

umbi-umbian masihkah mudah
didapatkan di pelosok-pelosok hutan
yang menjerit-pekik anak-anak itik
di hamparan kalimantan?

aku melihat sebuah truk
mengangkut potongan-potongan
pohon berusia tua-lalu aku ingat
kamu berbadan pohon

o, banyak sungguh yang tak suka
kata bicara soal daun-daun,
embun-embun kita rabun
lalu membalurkan sabun pada tubuh
agar luruh semangat jatuh

tapi aku lihat kau masih setia
memanen rindu pada nyala tetabuhan
dan umbai dari penari di barabai
selalu kaupakai untuk mengajak
jejak agar ingat saat dijejakkan

rupanya benar
jangan tanya masih adakah
hingga nyata tak ada
tapi sebelum datang itu hilang
marilah kita menanam sekarang


Bogor, April 2012

Usup Supriyadi

Salam!"