Rabu, 30 Maret 2011

Rendahnya Apresiasi Akademik terhadap Karya Sastrawan Kalsel



Oleh Sainul Hermawan

Salah satu isu penting yang saya tawarkan dalam diskusi sastra yang diselenggarakan oleh Radar Banjarmasin pada 30 Desember 2010 di Minggu Raya Banjarbaru adalah apakah kemeriahan sastra di Kalsel yang ditandai dengan kegiatan aruh sastra, festival, tadarus, sayembara dan pelatihan penulisan, penerbitan buku dan peluncurannya, dan sebagainya berhasil menciptakan publik pembacanya? Asumsi saya bahwa satra Kalsel tidak terlalu banyak ditekuni dalam publik pembacaan yang meriah tampaknya memang perlu disikapi bersama sehingga pada pelaksanaan kegiatan bersastra di tahun ini dan tahun-tahun yang akan datang perlu menguatkan kegiatan yang berorientasi pada perayaan pembacaan dalam pengertian yang luas, yaitu bukan sekadar dibaca untuk pertunjukan, melainkan juga pembacaan dalam pengertian memasukkan dalam materi pembelajaran sastra dan bahasa di sekolah dan perguruan tinggi serta upaya pembacaan dalam pengertian transformatif-intertekstual antarmedia kesenian.

Membicarakan persoalan ini memerlukan keterlibatan banyak pihak dalam ranah yang sangat lintas disiplin. Sistem sastra memerlukan pemain yang lain: guru/dosen bahasa dan sastra, wartawan, apresiator, kritikus, dan seniman lain. Dalam esai ini saya hanya mengisahkan hasil survey tentang penelitian sastra di PBSI FKIP Unlam Banjarmasin. Saya berharap upaya survey yang sama dapat dilakukan di institusi lain yang menyelenggarakan pembelajaran sastra baik di perguruan tinggi, sekolah, maupun di tengah masyarakat umum. Kedua institusi yang berada di ibukota provinsi ini dapat dianggap sebagai lembaga yang relatif representatif untuk melihat bagaimana “perayaan akademik” terhadap produk para sastrawan di Kalsel. Data hasil survey bersumber dari buku wisuda sarjana kedua kampus itu yang mencantumkan judul-judul skripsi para wisudawannya.

Survey judul penelitian sastra di PBSID FKIP Unlam didasarkan pada buku wisuda tahun 1999, 2002 sampai 2006, dan 2008 sampai 2010 Kesimpulan tulisan ini tentu terikat pada katerbatasan data yang digunakan. Saya tak berhasil menemukan buku wisuda tahun 2000 sampai 2001 dan 2007. Dari sumber itu terkumpul seratus lebih judul penelitian sastra. Berapa banyak puisi, cerpen, novel, dan drama karya sastrawan Kalsel yang diteliti?

Dari 1999 sampai 2006
Dalam rentang itu penelitian tentang puisi karya sastra sastrawan Kalsel: (1) Tema dan Gaya Bahasa dalam Puisi M. Rifani Djamhari Penyair Banjarbaru (Maisyarah, 2003) dan (2) Religi Mantra dalam Puisi Bahasa Banjar Mangga Riau Naga Karya Noor Cahya Khairani (Mahrita, 2003); (3) Analisis Struktural dan Semiotik dalam Antologi Puisi Duri-Duri Tataba Karya Penyair Tabalong (Asni Farina, 2005).
Cerita pendek karya sastrawan Kalsel yang dibaca dalam penelitian akademik yaitu: Konflik Sosioreligius dalam Kumpulan Cerpen Karya Aliman Syahrani dan Karya Kidh Hidayat (Siti Nurdiniah K. 2004); Unsur dalam Cerpen Racun Karya YS Agus Suseno (Libermart C. S. 2004); Citra Perempuan dalam Cerpen Banjar Modern (Samsul Bahri 2005); Representasi Kehidupan Religi Masyarakat Dayak Loksado dalam Novel Palas Karya Aliman Syahrani (Gusti Y. Risman, 2005)
Dalam rentang waktu 6 tahun, karya sastrawan Kalsel yang dibaca adalah karya Aliman Syahrani, YS Agus Suseno, Noor Cahya Khairani, Rifani Dajmhari, dan lain-lain. Dalam perspektif pembaca, dibaca atau tidak merupakan dasar untuk menyatakan sastrawan itu ada atau tidak. Meskipun demikian, hasil sementara ini perlu dicocokkan dengan aktivitas pembacaan di ranah yang lain. Oleh karena itu, pencatatan tentang aktivitas sosial apa saja yang membaca karya sastrawan Kalsel, kapan, dan dimananya perlu terus dilakukan sebelum menyatakan bahwa sastrawan Kalsel telah ribuan jumlahnya.
Pencataan tentang bagaimana karya sastrawan Kalsel telah dibaca dalam penelitian, resensi buku, esai, diskusi buku, festival dan lomba-lomba, jauh lebih penting daripada catatan tentang jumlah sastrawan. Sebab, dalam perspektif sejarah sastra, hanya karya sastra yang dibacalah yang ada. Ada dan tiadanya karya sastra bukan ditentukan oleh kuantitas produksi, melainkan juga ditentukan oleh kuantitas konsumsi atau penerimaan pembaca (readers’ responses).

Dari 2008 sampai 2010
Pada wisuda ke-64, 14 Oktober 2008, ada 30 wisudawan PBSI. Dari wisudawan itu ada 8 penelitian sastra. Hanya ada 2 karya sastrawan Kalsel yang diapresiasi, yaitu karya Ajamuddin Tifani dan Arsyad Indradi. Karya Ajamuddin diteliti oleh Eva Wahyuni (2008) dengan judul Metafora Puisi Sosial Karya Ajamuddin Tifani dalam Tanah Perjanjian, dan karya Arsyad diteliti oleh Noorhana (2008) dengan judul Karakteristik Puisi dalam Antologi Kalalatu Karya Arsyad Indradi.
Pada wisuda Unlam ke-66, 29 September 2009, wisudawan PBSI sebanyak 25 orang. Penelitian sastranya sebanyak 11 skripsi. Karya sastrawan Kalsel yang diteliti saat itu cuma karya Jamal T. Suryanata, yang dilakukan oleh Taufik Akbar dengan judul Penggunaan Maksim Kerjasama dan Maksim Kesantunan dalam Kumpulan Cerpen Galuh Karya Jamal T. Suryanata.

Pada wisuda ke-67 dan 68, PBSI meluluskan 51 sarjana, dengan penelitian sastra sebanyak 18 skripsi. Karya sastrawan Kalsel yang dibaca secara akademik hanya ada dua, yaitu karya Arsyad Indradi dan Hajriansyah. Karya Arsyad diteliti oleh Nova Liyani (2010) dengan judul Kemampuan Siswa Kelas X SMA PGRI 2 Banjarmasin memahami Jenis Gaya Bahasa Puisi Romansa Setangkai Bunga Karya Arsyad Indradi, dan karya Hajriansyah diteliti oleh Annisa Fitrahmaniah (2010) dengan judul Penggunaan Gaya Bahasa pada Kumpulan Cerpen Angin Besar Menggerus Ladang-Ladang Kami Karya Hajriansyah.

Perhatian dunia ilmiah yang rendah terhadap karya sastrawan Kalsel menyiratkan beberapa kemungkinan: Pertama, karya sastra lokal tidak mudah diakses atau diperoleh oleh mahasiswa. Kedua, pengetahuan tentang signifikansi dan urgensi kajian sastra lokal rendah. Ketiga, lemahnya pengetahuan teoretis para dosen tentang kemungkinan penelitian sastra lokal yang menarik yang dapat ditawarkan kepada mahasiswa, dan keempat, ini hanya hanya semacam gunung es dari sikap umum yang memandang sastra sebagai produk budaya yang tak bermanfaat atau sebagai artefak artistik semata yang tak ada kaitannya dengan pendidikan, politik, sejarah, ilmu jiwa, serta ilmu dan karya seni lainnya, dan keempat, tiadanya nilai penting dalam karya itu karena tidak setiap karya sastra dapat diteliti jika peneliti tidak memiliki pertimbangan alasan rasional yang dapat dipertanggungjawabkan secara teoretis mengenai nilai penting karya sastra.

Kemungkinan pertama dapat diatasi dengan menggencarkan pemasaran produk sastra ke kampus dalam bentuk ceramah sastra bersama. Komunitas Sastra Indonesia cabang daerah (Banjarmasin, Banjarbaru, Barabai, atau Kotabaru) dalam hal ini bisa memerankan diri sebagai mediator yang dapat menjembatani kerjasama antara kampus dan sastrawan Kalsel. Kemungkinan kedua dan ketiga memerlukan keterlibatan para akademisi sastra untuk terus menyegarkan pengetahuan sastra. Ilmu
sastra terus berkembang. Kemandekan dan kemonotonan jenis penelitian sastra di kampus bukan hanya mencerminkan kualitas pembelajaran yang monoton dan stagnan, melainkan juga cerminan kualitas dosen dan mahasiswanya.
Kemungkinan keempat memerlukan peran sastrawan untuk mencipta karya yang lebih berkualitas secara artistik, historis, psikologis, dan filosofis. Faktor ini juga jadi acuan utama mereka dalam meneliti karya sastra. Karena itu, karya Andrea Hirata dan Habiburrahman el- Shirazy lebih banyak dibaca dalam rentang 2008-2010. Ini bukan pekerjaan sederhana. Sastrawan harus antikemapanan dan berusaha untuk terus inovatif. Selera pembaca, sejarah, dan budaya terus berubah dan sastrawan dan ilmuwan sastra serta pembaca sastra secara umum perlu sama-sama menghiasi diri dengan bacaan-bacaan baru. Kalau tidak, kita hanya akan jadi bagian riwayat pembacaan dan penulisan sastra yang jalan di tempat: stagnan!
Bjm., 16.01.2011

Harian Radar Banjarmasin
Berita Budaya dan Sastra
Minggu, 6 Februari 2011

Minggu, 20 Maret 2011

3 KOTA 1 ANTOLOGI 1001 MAKNA

Hary Soedarto Harjono*

Berkumpul bersama adalah permulaan, tetap bersama adalah kemajuan, dan bekerja bersama adalah keberhasilan. Pernyataan Henry Ford ini agaknya tepat mewakili kerja kolaborasi 3 dukun kata dari 3 kota yang menghasilkan antologi sajak 3 di Hati. Jika mengintip latar historis terciptanya antologi ini yang tidak dapat dilepaskan dari atmosfir ‘negeri gurindam” tempat masyhurnya nasihat-nasihat Raja Ali Haji yang bernafaskan Melayu dan Islam, maka aura sastra klasik itu — setidaknya atmosfir syair, pantun, atau gurindam dan nilai-nilai Islam — dapat diduga mewarnai sajak-sajak yang terhimpun di dalamnya. Meskipun sudah barang tentu penyair juga melakukan transformasi estetika dan nilai-nilai tersebut dalam proses penciptaan sehingga dihasilkan sajak-sajak universal yang ‘melesat’ meninggalkan lingkungan fisik, sosial, psikologi, dan budayanya.

Antologi 3 di Hati, tiga “djiwa” dalam satu hati, sejatinya mengguratkan tiga dimensi pewarnaan sajak yang berbeda intensitasnya: merah, kuning, dan hijau, warna pelangi (bukan warna PDI-P, Golkar, dan PPP). Sajak-sajak Dimas Arika Mihardja lebih memerah, penuh semangat ‘memanen senja/melukis bianglala di dada’, yang dengan elan vital menyala-nyala ‘menatah sajak emas di beranda’ menebar ‘mantra kamasutra’. Sementara sajak-sajak D. Kemalawati (Deknong) lebih menguning, menyuarakan ‘isyarat tentang berbagai alamat dunia dan akhirat’ dengan bahasa yang lebih lugas, yang menurut Dimas lebih ‘berpijak di bumi/melukis cakrawala saat laut dan langit bertaut’ (‘Tiga Dimensi’). Sedangkan sajak-sajak Diah Hadaning (Diha) lebih kontemplatif menghijau, sejuk, hening dan teduh, serupa ‘kearifan pelangi’. Tema-tema demikian ini secara eksplisit terimplisitkan dari sajak-sajak seperti dalam “Semak Bakau yang Menyapa dalam Diam”, “Perempuan-perempuan Pulau Sunyi”, “Hujan Oktober dan Gurindam Hati”, “Teratak Kecil di Pulau Sunyi”, dan “Intan dari Pulau Sunyi”.

Ketiga dimensi itu menghadirkan sajak-sajak yang ‘merah kuning hijau’ yang lengkap, tidak saja menggantung ‘di langit yang biru’, melainkan juga mendarat di bumi yang pekat. Dengan kata lain, komposisi warna pelangi ini dapat dikatakan merepresentasikan cita rasa artistik para penciptanya, yang membumi dan melangit. Di dalamnya ada nuansa lirik yang personal, nuansa kemanusiaan, nuansa sosial, dan juga religiusitas yang kesemuanya mengajak pembaca menikmati, merenung, dan memaknai sajak sesuai dengan latar pengetahuan, pengalaman, dan cakrawala harapan masing-masing. Dengan kata lain, 1001 makna dapat didedahkan dari antologi ini sesuai dengan perspektif pemaknaan pembacanya.

Sajak-sajak Diha dalam antologi ini amat kental dengan nuansa esoteris melalui penyelisikan hakikat yang diangkat dari alam kosmos dan tema-tema hidup keseharian yang direnung-renungkan, dihayati dengan sepenuh-penuh perasaan (dengan tidak begitu hirau pada logika), dan diungkapkan dengan bahasa yang padat. Yang menarik, penyair perempuan pemegang rekor MURI yang menerbitkan kumpulan sajak paling tebal (700 halaman) dalam usia paling senior (70 tahun) , yang juga dikenal dengan sajak-sajak kejawen ini seperti dirasuki roh Melayu, atau setidaknya terpanggil, terusik, ‘terganggu’ batin dan jiwanya untuk hanyut dalam ekstase di lautan estetika dan nilai-nilai Melayu Lama. Misalnya terlihat dalam ‘Semak Bakau yang Menyapa dalam Diam’:

semak bakau
semak pulau
menyapa sukma
dalam bahasa purba:
simak akarku
dengan mata batin, tuturnya.

Dalam kutipan sajak tersebut terdapat variasi permainan bunyi yang kuat dan khas syair Melayu, yang mengisyaratkan adanya keinginan yang kuat untuk menggali esensi sampai ke akar-akarnya. Begitu juga dalam ‘kisah reraja Batak/tak usai disibak-sibak’ (‘Memandang Pulau Penyengat dari Seberang’), ‘orang-orang dari seberang/ datang bertandang/ ada syair ada dendang/ diusung rasa senang’ (Perempuan-perempuan Jilbab Kuning), dan lebih jelas lagi modifikasi nuansa gurindam yang terintegrasikan dalam ‘Hujan Oktober dan Gurindam Hati:

hujan membisik pelan
gurindam pasal empat:
hati itu kerajaan di dalam tubuh
jikalau zolim segala anggota pun rubuh.

Begitulah, roh sebagian petuah Melayu yang Islami dari Raja Ali Haji dalam Gurindam 12 merasuki jasad dan jiwa sajak ini, yang selanjutnya dipertegas dengan gubahan pernyataan sikap penyair sendiri berdasarkan pengalaman hidup yang panjang bergumul dengan kata: ‘dalam kata adalah kekuatan/ dalam kata adalah perbuatan’. Tidak hanya itu, dalam ‘Membaca Angin Anjung Cahaya’ roh syair dan pantun Melayu juga merasuki jasad sajak ini, yang sekaligus mengisyaratkan kekaguman dan keinginan, serta keterbukaan dan kesadaran penyair pada daya magis alam pikir, rasa, dan estetika Melayu.

Kekaguman dan keinginan penyair itu tersirat dari ‘umbai-umbai menyimpan anggun/ aku semakin ngungun’. Untuk mengejar kesesuaian bunyi, secara kreatif digunakan diksi dari khazanah bahasa Jawa ngungun. Juga dalam ‘Membaca Wajah-wajah’: ‘aku ingin mencium wangi/ aroma syair kearifan’. Keterbukaan dan kesadaran untuk menerima dengan suka cita tercermin dari: segenap hati tengah bersuka/ membangun keajaiban dunia kata’ (‘Membaca Angin Anjung Cahaya’). Ini semakin memperlihatkan bahwa Sang Pencari berupaya menyelami khazanah pemikiran dan estetika Melayu dalam memperkaya pengalaman batin dan pengungkapan sajak-sajaknya. Dengan kata lain, ada upaya penyair dalam pencarian kali ini untuk melakukan transformasi dan revitalisasi nilai-nilai Melayu (lama) menjadi sajak-sajak kini yang lebih longgar secara fisik dengan metafor yang khas tetapi padat dalam penyampaian pesan. Penggunaan diksi Melayu seperti ‘tuan’, ‘puan’, ‘reraja’, ‘rebana’, ‘barzanji’, ‘pompong’, ‘tongkang’, dan juga pengungkapan ritmis seperti ‘zikirnya memantik hati/ lusa selalu bisa ditata kembali’, serta persajakan yang kaya dengan permainan bunyi khas syair dan pantun (meskipun tidak secara utuh), dan roh gurindam menjadi warna dominan sajak-sajak Diha yang hening tetapi menyimpan 1001 makna dalam antologi ini.

Berbeda warna dengan sajak-sajak Diha, sajak-sajak Dimas menampung berbagai tema kaya nuansa yang diungkapkan dengan bahasa yang lebih lentur, cair dan kadang sangat transparan layaknya prosa pendek. Misalnya terdapat dalam ‘Kisah Pagi Sehabis Hujan’, yang merupakan representasi konkret pergulatan psiko-religi-eksistensial penyair dalam dunia kepenyairannya. Dalam sajak ini penyair terlibat dalam monolog pergulatan batin yang berat dan berlarat-larat. Di satu pihak, interpretasi kalangan tertentu dari perspektif agama (Islam) secara tegas menyatakan bahwa penyair (tertentu) sangat dibenci dan dilaknat oleh Tuhan karena biasanya hanya ‘mengatakan sesuatu yang tak pernah dilakukannya/ ia melukis cinta, tetapi dengan pakaian dusta/ Ia menyatakan setia, namun seperti domba berbulu serigala’, bukan sebaliknya. Di pihak lain, dunia kepenyairan, ‘negeri kata-kata’ sudah menjadi pilihan hidup bagi Dimas, dan juga dua D lainnya, Diha dan Deknong. Penyair dalam hal ini dihadapkan pada situasi yang dilematis.

Pada akhirnya pergulatan batin itu dimenangkan oleh Dimas dengan penyikapan reflektif yang merunduk dan arif: ‘Ya, Allah ampunilah khilaf dan salahku/ Jadikan aku kupu-kupu di atas aroma bunga/ Jadikan aku sayap-sayap laron yang tanggal saat mengecup lampu/ Maafkan segala kata dan cintaku/ Sungguh di hadapan-Mu aku hanyalah serpihan debu’. Sebuah ungkapan kepasrahan yang mencerminkan sikap religiusitas penyair, yang mengisyaratkan juga pengakuan atas transendensi kekuasaan Allah yang demikian untouchable, tak tersentuh, tak terbatas — yang dipertegas lagi dengan ungkapan ‘aku lenyap saat Kauhapus jejak debu di Terompah-Mu’. Juga, ungkapan senada dalam ‘Esok Hari Saat Mentari Meninggi’: lalu kembali luruh sedalam simpuh, yang semakin mengekalkan ketidakberdayaan penyair di hadapan Sang Khalik.

Pada sajaknya yang lain Dimas mengurai dimensi mata, detak djiwa, dan hati, yang sejatinya mengisyaratkan visi penyair dalam pergumulannya dengan dunia kata dan kesesuaian pandangannya dengan penyair lain (khususnya Diha dan Deknong), meskipun disadari bahwa yang melandasi kesesuaian itu adalah adanya perbedaan yang diibaratkan seperti bumi, laut, dan langit atau simbol lain serupa pelangi (bianglala). Dalam simbolisme ini dimensi mata dapat dimaknai memberikan arah, petunjuk, penerang, yang menuntun dalam penciptaan. Dimensi detak djiwa melambangkan jejak langkah spiritual, puja puji dan kerinduan penyair pada Yang Maha Kasih: ‘tak lelah kulidahkan bahasa sajadah/ menautkan jemari rindu yang rindang/ lalu kuronce jadi qasidah yang indah/ mengabadikan percintaan’ yang dalam konsep mistis Jawa barangkali ungkapan ini sejiwa dengan upaya-upaya penyatuan diri dengan Tuhan (manunggaling kawulo lan Gusti). Selanjutnya, dalam dimensi hati semangat kebersamaan itu mengkristal menjadi sinergi: ‘aku perahu dan engkau kemudi/ maka berlayarlah kita/ bersama dalam badai dan damai’, yang diperkuat lagi dalam ungkapan bait berikutnya: ‘engkau orkestra simphoni di beranda hati/ kita bersama melangitkan jutaan merpati’. Dengan sinergi kolektif seperti inilah, maka dunia kata, dunia kepenyairan—meskipun berada ‘di dermaga paling sunyi’ dapat dihidupkan, diberi roh untuk tetap ‘abadi di hati’ sehingga sanggup menggerakkan mata dan tangan untuk ‘membaca bianglala dan melukis pelangi’.

Dimensi lain yang juga mengemuka dalam sajak-sajak Dimas dalam antologi ini adalah kesaksiannya pada kenestapaan orang lain, misalnya dalam ‘Sajak Mentawai’, ‘Meratapi Merapi’, ‘Air Mata Doa: untuk Mbah Maridjan’, ‘Kalkulasi Tragedi’, ‘Puisi Tragedi’, dan ‘Gempa 9,9 Skala Richter’. Kecuali dalam ‘Gempa 9,9 Skala Richter’ yang secara eksplisit menyarankan penyikapan untuk berserah diri kepada yang Maha Berkuasa: ‘sebelum benarbenar tiarap di kedalaman dekap-Mu’, dalam sajak-sajak tragedi yang lain Dimas lebih nyaman memposisikan sebagai narator, misalnya dalam ‘Sajak Mentawai’:

dengar teriak ombak yang bangkit menggulung pantai
muaro
malin kundang digulung gelombang
dan orangorang berteriak tsunami:
suami istri itu pun mati

Begitu juga dalam ‘Meratapi Merapi’: ‘di tengah sawah berarak wedhus gembel/ menyapu rumputan/ berlarian di lapak yang sesak isak’, dan juga dalam ‘Air Mata Doa’: ‘mbah Maridjan/ pengabdianmu sebagai abdi/ lunas di tangan juru kunci’, atau dalam ‘Puisi Tragedi’: ‘sebelah sayapku patah lagi, ayah/ hujan tumpah’. Pada sajak-sajak seperti ini Dimas cenderung menyerahkan sepenuhnya interpretasi dan tanggapan kepada pembaca secara netral tanpa mendampinginya dengan ungkapan-ungkapan lain yang memancing keterlibatan dan empati seperti yang dilakukan oleh D. Kemalawati dalam ‘Siapakah Kau Setelah Erupsi’: ‘lalu siapakah engkau kini/ yang sebelum erupsi/ mengirimkan aku cinta petani/ pada sajak padi merunduk hati’. Lebih jelas lagi perbedaan itu terlihat dari penyikapan D. Kemalawati dalam sajak tragedi pasca-Tsunami Aceh 2005 yang diekspresikan dalam ‘Dahaga Laut’: ‘biarkan kami mendekat/ memungut kayu-kayu yang berserakan/ untuk tiang gubuk kami yang baru’. Dengan perbandingan ini dapat diindikasikan bahwa terhadap persoalan yang sama (tragedi), intensitas penyikapan penyair bisa berbeda. Perbedaan ini justru memperkaya dan pada taraf tertentu saling melengkapi. Perbedaan itu mungkin disebabkan karena kepekaan psikologis, empati, gender, dan mungkin juga perbedaan keterlibatan dalam persoalan (langsung atau tidak).

Selebihnya, sajak-sajak D. Kemalawati dalam antologi ini lebih dominan diwarnai kegelisahan psikologis, relasi antarmanusia yang bisa mendatangkan duka, suka, dan penjelajahan spiritual yang salah satu manifestasi bentuknya adalah kerinduan pada Tuhan. Dalam ‘Sebelum Jejakmu Raib’, relasi antarmanusia yang mendatangkan disharmoni dan kekecewaan itu diekspresikan secara tegas oleh penyair. Segala yang dilakukan oleh aku lirik serba salah, tidak pernah dihargai: ‘setelah garasi dipenuhi cermin/ jejakmu raib entah kemana’. Warna serupa tercermin dari sajak ‘Setelah Kerelaan Kau Abaikan’: ‘apakah artinya kerelaanku terkurung dalam/ sangkarmu/ sedang pintu telah terbuka dan kau menjauh pergi’. Namun, dalam menghadapi situasi seperti itu Deknong menunjukkan ketegaran dan kedewasaannya, seperti tersirat dari ungkapan ‘kutahu dan sungguh aku tak mau/ kepergianmu/ menguburkan seluruh bait puisiku’. Lebih tegas lagi, kedewasaan penyikapan menghadapi persoalan itu terungkap dalam sajak ‘Keyakinanku’:

biar semua pintu terkunci
biar semua dentang tak berbunyi
biar semua kelam menuju pekat
tak kubiarkan hati ini mengubah arah
kau lah langitku
tempat asal seluruh cahaya menyatu

Terlepas dari tema yang diangkatnya, yang menarik dan menonjol dalam sajak-sajak D. Kemalawati dalam antologi ini adalah berkelebatnya imaji-imaji ‘liar’ yang telah dijinakkan sehingga menjadi metafor unik yang sanggup menghidupkan dan menguatkan ungkapan-ungkapannya. Misalnya, dalam ‘telah kugeraikan rambutku/ hingga pucuk-pucuk cemara merunduk malu’ atau ‘sekarang lidah laut sedang menjilati jejakku’ (Tarian Pelangi). Demikian juga dalam ungkapan ‘tapi akupun serupa gunung yang menjulang’ (Setelah Kerelaan Kau Abaikan), ‘berpacu binal riakku’ (Aku Rapuh Tanpa Karangku), dan dalam sajak ‘Izinkan Aku Ibu’ yang sarat kandungan metafor serupa, misalnya ‘Ibu, izinkan aku berteduh di rimbun daun hutanmu’, ‘…basahi parit jiwaku’, ‘..palung kalbuku’, ‘agar kristal keringat duniawi/ tak membeku di dada’, ‘menggigil bagai pucuk kuyup diterpa angin/ bentangkan selimut semestamu’.

Lebih eksplisit lagi, metafor liar itu berkeliaran dalam sajak ‘Kangen’: kalau kangenku makin membara/ tak cukup lautan kata/ meredamnya/ maka berikan aku sebilah rencong/ untuk kutikam di dada hampa’. Selain itu, dalam sajak-sajak yang bernafaskan penjelajahan spiritual pun dijalin dengan metafor-metafor seperti itu dengan menggunakan simbolisme persetubuhan, kerinduan (kangen) pada kekasih, atau makam, seperti yang secara eksplisit diungkapkan dalam ‘Kangenku’, ‘Kangen Menujumu’, ‘Ruang Diri’, atau ‘Pagi di Cengkareng’. Metafor seperti ini — meskipun telah secara intens dijelajahi juga oleh Amir Hamzah dalam kumpulan sajaknya Nyanyi Sunyi atau Rendra dalam Nyanyian Angsa-nya, namun tetap tidak menghilangkan kesan bahwa metafor yang digunakan D. Kemalawati pada konteks ini memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dari para pendahulunya itu.

Demikianlah, memungkasi tulisan ini perlu saya ingatkan bahwa yang tersaji di sini hanya serpihan-serpihan pemaknaan impulsif terhadap sepilihan sajak yang pertimbangan, cara kerja, dan pendekatannya sangat subjektif dan jauh dari ilmiah. Ini hanya salah satu kemungkinan pemaknaan yang sudah barang tentu menyisakan ribuan bahkan jutaan kemungkinan pemaknaan lain yang lebih menarik dan mencerahkan. Akhirnya, terpaksa harus saya sudahi tulisan ini karena tiba-tiba saya teringat ancaman dari gurindam Raja Ali Haji: apabila banyak berkata-kata/ di situlah jalan masuk dusta.***

*) Hary Soedarto Harjono (Hary S. Haryono) adalah staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di FKIP Universitas Jambi dan Program Magister Pendidikan Pascasarjana Universitas Jambi; kertas kerja ini disajikan dalam acara DIALOG SASTRA DAN TEMU PENYAIR 3 KOTA (Jakarta, Jambi, Aceh) di Aula Rektorat Lt. III Kampus Universitas Jambi, Mendalo Darat,Jambi 22 Maret 2011, pukul 08.30-selesai.

Sumber :
http://www.facebook.com/notes/dimas-arika-mihardja/3-kota-1-antologi-1001-makna/10150125648364368

Jumat, 18 Maret 2011

TARUNG PENYAIR PANGGUNG SEASIA TENGGARA


Asrizal Nur :

TARUNG PENYAIR PANGGUNG Se Asia Tenggara Piala Bergilir Hj. Suryatati A. Manan Tanjungpinang, 14-17 April 2011 Dalam rangka Hari Ulang Tahun Walikota Tanjungpinang, Hj. Suryatati A. Manan, akan diadakan Tarung Penyair Panggung di Kota Tanjungpinang, pada tanggal 14-17 April 2011. Acara ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan penghargaan atas dedikasi Hj. Suryatati A. Manan terhadap kesusastraan, khususnya puisi, serta menggairahkan tradisi pemanggungan puisi yang unggul, inovatif dan kreatif serta wahana silaturrahmi penyair se-Asia Tenggara.

A. Pedoman Umum
1. Tarung Penyair Panggung adalah semacam “lomba pemanggungan puisi” secara bebas, menarik, inovatif, dan kreatif.
2. Tarung Penyair Panggung ini terbuka bagi seluruh warga negara-negara di kawasan Asia Tenggara, yang berusia 17 tahun ke atas.
3. Peserta adalah penyair yang telah mempublikasikan puisinya, baik dalam bentuk buku, pemuatan di media massa cetak dan digital, maupun di panggung baca puisi.
4. Peserta yang telah mendaftar dan hadir mengikuti Tarung Penyair Panggung akan ditanggung penginapannya selama mengikuti acara.
5. Pemenang Tarung Penyair Panggung tidak dibedakan antara pria dan wanita.
6. Tarung Penyair Panggung dilaksanakan dalam dua babak, yaitu babak penyisihan dan babak final. Babak penyisihan dimaksudkan untuk memilih 15 peserta terbaik yang berhak tampil dalam babak final.
7. Pemenang lomba mendapat uang pembinaan, piala Hj. Suryatati A. Manan, gelar pemenang, dan piagam penghargaan, masing-masing sebagai berikut:
a. Juara I: Uang tunai Rp 15 juta, gelar pemenang, piala, dan piagam penghargaan.
b. Juara II: Uang tunai Rp 10 juta, piala, dan piagam penghargaan.
c. Juara III: Uang tunai Rp 8 juta, piala, dan piagam penghargaan.
d. Tiga Finalis Unggulan: Masing-masing akan mendapat uang tunai Rp 2 juta, piala, dan piagam penghargaan.

B. Syarat Pendaftaran
1. Peserta dapat mendaftarkan diri melalui email penyairpanggung@ http://www.facebook.com/l/c4257/gmail.com, CC ke asrizalnur_2005@ http://www.facebook.com/l/c4257/yahoo.co.id, dan ahmadun.yh@ http://www.facebook.com/l/c4257/gmail.com.
2. Peserta wajib melampirkan tanda bukti karya (puisi) yang telah dipublikasikan, berupa hasil scan sampul buku kumpulan puisi, scan kliping koran/majalah yang memuat karyanya, VCD, atau scan foto pementasan baca puisi, serta scan kartu identitas diri (SIM atau KTP), biodata kepenyairan dan photo diri.
3. Tanda bukti karya tersebut dilampirkan (di-attach) dan dikirimkan melalui email pada saat mendaftar ke alamat email tersebut di atas.
4. Selain tanda bukti tersebut, pada saat mendaftar, peserta juga wajib mengirimkan (melampirkan) 3 (tiga) puisi karya sendiri yang akan dipanggungkan melalui email tersebut di atas. Puisi-puisi karya peserta akan dibukukan oleh Panitia.
5. Pendaftaran beserta semua syarat tersebut di atas harus sudah diterima Panitia paling lambat tanggal 5 April 2011. 5. Setelah sampai di tempat Tarung Penyair Panggung, peserta wajib mendaftar ulang dengan mengisi formulir yang telah disediakan Panitia. 6. Pada saat mendaftar ulang, peserta wajib menyerahkan bukti karya dalam bentuk aslinya, baik berupa buku kumpulan puisi, kliping koran/majalah yang memuat karyanya, VCD, atau foto pementasan baca puisinya. 6. Pengambilan nomor undian dilaksanakan pada saat technical meeting.

C. Pedoman Peserta
1. Peserta Tarung Penyair Panggung ialah mereka yang telah mendaftarkan diri, mengikuti technical meeting, serta memenuhi semua ketentuan yang berlaku.
2. Peserta sudah berada di tempat acara selambat-lambatnya 30 menit sebelum acara Tarung Penyair Panggung dimulai.
3. Peserta yang tiba gilirannya akan dipanggil sesuai dengan nomor undiannya.
4. Apabila peserta yang nomor undiannya dipanggil tiga kali berturut-turut tidak tampil ke pentas yang telah disediakan, dianggap mengundurkan diri dan dinyatakan gugur haknya sebagai peserta.
5. Peserta diperkenankan menggunakan alat bantu ketika memanggungkan puisi.
6. Peserta membawakan 1 ( satu) puisi karya sendiri yang dipilih dari buku antologi puisi Tarung Penyair Panggung dan 1 (puisi) Walikota Tanjungpinang dipilih dikumpulan puisi Walikota Tanjungpinang, Ibu Hj.Suryatati A. Manan, yang telah disiapkan Panitia
7. Puisi yang telah dibawakan untuk babak penyisihan, tidak diperkenankan dibawakan kembali pada babak final.
8. Peserta yang tengah menunggu gilirannya, harus duduk di tempat masing-masing dengan tenang. 9. Peserta dilarang melakukan sesuatu yang bersifat mengganggu jalannya Tarung Penyair Panggung.

D. Aspek Penilaian Dewan Juri akan menilai peserta dari aspek kualitas puisi dan pemanggungannya, dengan bobot nilai sbb. 1. Puisi: 30 2. Teknik pembacaan: 40 3. Inovasi pemanggungan: 30

E. Pedoman Dewan Juri
1. Juri sudah harus berada di tempat selambat-lambatnya 10 menit sebelum Tarung Penyair Panggung dimulai.
2. Selama Tarung Penyair Panggung berlangsung, juri tidak diperkenankan meninggalkan tempat duduk.
3. Selama Tarung Penyair Panggung berlangsung juri tidak diperkenankan mengadakan percakapan dengan siapapun.
4. Selama masa penilaian Dewan Juri diberikan waktu istirahat yang diatur oleh penyelenggara.
5. Apabila para juri merasa memerlukan waktu istirahat lagi, bisa mengusulkan lewat penyelenggara.
6. Juri berhak menghentikan atau mengulang peserta yang sedang pada gilirannya apabila terganggu, lewat penyelenggara.
7. Dewan Juri menentukan Pemenang I, II, III, dan Tiga Finalis Unggulan.
8. Dewan Juri bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada penyelenggara.

F. Pedoman Pelaksana
1. Pelaksana sudah harus berada di tempat, selambat-lambatnya satu jam sebelum acara Tarung Penyair Panggung dimulai.
2. Pelaksana berkewajiban memberikan keterangan sejelas-jelasnya mengenai Tarung Penyair Panggung tersebut.
3. Pelaksana berkewajiban melayani peserta dan Dewan Juri selama lomba berlangsung.
4. Pelaksana mengatur penyelenggaraan dan ketertiban selama lomba berlangsung.
5. Pelaksana berhak menghentikan jalannya acara lomba apabila terjadi sesuatu yang dapat merugikan peserta maupun konsentrasi Dewan Juri.
6. Pelaksana tidak berhak mencampuri masalah penilaian yang menjadi hak dan wewenang Dewan Juri.
7. Pelaksana adalah jembatan yang menghubungkan kepentingan peserta, Dewan Juri, dan Penyelenggaran sesuai dengan tata tertib yang berlaku.
8. Pelaksana bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada penyelenggara.

F. Jadwal Pelaksanaan
1. Pendaftaran dibuka tanggal 20 Februari – 5 April 2011.
2. Technical Meeting dilaksanakan 14 April 2011 pukul 10.00 WIB.
3. Tarung Penyair Panggung: a. Babak Penyisihan: 14-16 April 2011. b. Babak Final: 17 April 2011.
4. Keterangan selanjutnya akan disampaikan pada saat technical meeting.

G. Alamat Sekretariat dan Informasi Perpustakaan dan Arsip Kota Tanjungpinang Jl.Soekarno-Hatta No. 59-60 Kota Tanjungpinang Kepulauan Riau – Indonesia Telp. (0771)314812 Info Online 24 Jam : Haris Pustaka (+6285264581979), Ahmadun YH (+6281315382096), Tusiran Suseno (+6285264738000) Tanjungpinang, 15 Februari 2011 PANITIA PELAKSANA TARUNG PENYAIR PANGGUNG Se Asia Tenggara Tusiran Suseno Ahmadun Y Herfanda Ketua Koord.Lomba

Minggu, 13 Maret 2011

Puisi, Saling Menginspirasi



oleh : De Kemalawati

Sumber inspirasi menulis puisi bisa dari mana saja. Pernyataan itu tentu tak perlu kita bantah. Menonton telivisi yang menayangkan bagaimana dahsyatnya gempa bumi melanda sebuah pulau,bagaimana bangunan bertingkat seolah menari-nari saat gempa berskala tinggi menggoyangnya, akan menjadi inspirasi bagi seorang penulis puisi untuk menuliskan syairnya. Bagaimana banjir bandang menghanyutkan gelondongan kayu dengan airnya kuning dan berat meluncur dengan kekuatan dahsyat, menghantam semua penghalang dan menghancur leburkan seluruh infrasruktur yang ada hingga nyawa manusia direnggutnya. Melihat tubuh manusia yang tergulung, berputar diantara air yang memburu kemudian tergeletak dibalut lumpur, tak bergerak, naluri penyair akan berpendar-pendar mencari kata yang tepat menggumamkan rasa dukanya.

Penyair menyampaikan semua rasa yang bergejolak di jiwanya dengan menyusun kata yang kadang menusuk para pembacanya tepat pada sasarannya. Ada penyair yang berhasil mengumpulkan kekuatan kata-kata sehingga puisinya dimaknai seperti yang dikehendaki. Tetapi tidak sedikit penyair yang mencari cara lain agar puisi-puisinya mengajak pembaca berimajinasi lebih liar dari penulisnya sendiri.

Tak ada patokan yang harus dipatuhi seorang penyair kecuali menjaga rambu-rambu seadanya selebihnya adalah rasa yang ditawarkan kepada pembaca yang kemudian dicecap oleh pikiran perasaan pembaca bahwa puisi yang dihasilkan oleh penyair tersebut mempunyai cita rasa tinggi. Dan seperti juga makanan yang enak di lidah orang yang gemar memasak, dia akan selalu terinspirasi bila memakan makanan dengan cita rasa yang belum pernah dirasa untuk memasak dengan rasa yang sama. Tentu dengan mengetahui bumbu-bumbu apa yang ada dalam racikan makan yang baru pertama dinikmatinya.

Demikian juga penyair. Dalam hal ini, saya ingin berbagi bagaimana sebuah puisi yang saya tulis membalas SMS seorang sahabat hati (meminjam istilah penyair Dimas Arika Mihardja) bapak Arsyad Indradi yang mengabarkan kepada saya tentang kebahagiaannya karna baru saja mendapat anugerah dari Allah SWT seorang cucu laki-laki. Meski bukan cucu pertama, tapi bagi sang kakek yang sastrawan Indonesia yang sangat bergiat dalam dunia maya, lewat blog Penyair Nusantara dan beberapa blog lainnya yang beliau kelola, hal ini adalah kebahagiaan yang tak cukup kata untuk melukisnya. Dan saya membalas SMS beliau dengan puisi singkat yang saya beri judul Menimang Cucu.
SMS yang terkirim itu masih saya simpan, dan saya yakin bapak Arsyad Indradi pun masih menyimpannya. Berikut saya turunkan di sini SMS tersebut.

MENIMANG CUCU
Kepada Arsyad Indradi

D Kemalawati

Setelah takbir kau perdengarkan
geliatnya kelihatan nyata
sembari mengucap syukur
kau raba detak jantungmu
menyamakan dengan denyut nadinya
sungguh waktu memberimu debar itu
sebagai jelmaan diri
kau simak tangis pertamanya
sebagai puisi berima muda
mendaratlah kasih dalam kecupan
entah telah berapa lama
kau simpan wanginya
sebelum ia dalam pelukan.

Banda Aceh, 10 Maret 2011

Setelah puisi itu terkirim ke bapak Arsyad, dan beliau membalas: “Trimakasih mba De bingkisan puisinya. Cucu pertama kedua orangtuanya teriak kaget campur kagum karena kukasih tongkat dan mahkota dewa di fotonya dan daku jadikan foto profilku di FB. Oya mba De kita berempat baca puisi di gunung wayang, nanti daku pasangkan di blog mba De.”
Demikian SMS balasan bapak Arsyad. Ya, rumoh sastra dkeumalawati tampil jauh lebih indah setelah campur tangan bapak Arsyad Indradi. Puisi- puisi yang ada di bawah rumah wayang adalah puisi SMS yang diabadikan bapak Arsyad sehingga ikatan kekerabatan dengan foto kami (Arsyad Indradi, Diah Hadaning, De kemalawati dan Dimas Arika Mihardja) tampil lebih simetris dan menarik.

Apa yang saya tuliskan sebagai prolog ini sebenarnya adalah suatu pembuka perbincangan yang biasanya kami lakukan di ruang diskusi Rabu sore di lembaga kami, Lapena. Karena berbagai kesibukan ruang diskusi rabu sore itu sudah vakum dalam waktu yang lama. Dan sebagai pelepas rasa kangen saya dengan teman-teman peserta diskusi yang biasa hadir nyata di lapena, maka lewat lembaran catatan ini saya berbagi dengan teman teman bagaimana puisi itu sebenarnya saling mengispirasikan bagi sesama penyair.

Puisi Menimang Cucu yang saya kirimkan spontan ke bapak Arsyad Indradi seperti yang saya tuliskan di atas, kemudian saya baca ulang lalu saya edit beberapa bagian sehingga saya yakin untuk menetap di Rumoh Sastra D Keumalawati dan Romoh Puisi Kemala. Setelah muncul di halaman depan blog, saya pikir tak salah kalau saya juga berbagi di FB. Dan ternyata setelah saya terbitkan dengan menandai beberapa teman yang bagi saya meski pun ruangnya berbeda, mereka tak lain adalah teman berbincang di diskusi Rabu sore Lapena, komentar teman-teman disana tak hanya komentar biasa tetapi juga puisi-puisi yang dilahirkan spontan oleh teman-teman penyair seperti yang saya kutip berikut ini. Saya mulai dengan puisi saya.

MENIMANG CUCU
Kepada Arsyad Indradi
D Kemalawati

Setelah takbir kau perdengarkan
geliatnya kelihatan nyata
sembari mengucap syukur
kau raba detak jantungmu
menyamakan dengan denyut nadinya
kau simak tangis pertamanya
sebagai puisi berima muda
mendaratlah kasih dalam kecupan
entah telah berapa lama menghidu wanginya
sebelum kau timang dia

Banda Aceh, 10 Maret 2010
Komen pertama yang menuliskan puisinya untuk Bapak Arsyad datang dari Dimas Arika Mihardja.


MENIMANG CINTA, MEMINANG KASIH
~ bait-bait buat abah arsyad indradi

Dimas Arika Mihardja

seusai kautancapkan gunungan lengkap dengan wajah ceria
angin lalu bercerita tentang desah kasih, ciuman putih
ingin jemari ini tak letih menguntai ruas doa buat abah
untuk pewaris riwayat cinta berbusana kasih

Puisi itu dituliskan beberapa saat setelah puisi saya Menimang Cucu itu saya berhasil diterbitkan di FB. Dan komentar kedua yang menuliskan puisinya juga untuk bapak Arsyad dengan nada yang sama muncul dari Yssika Susastra. Berikut ini aslinya.


DALAM BAYANG IMPIAN
Yessika Susastra

engkaukah cucuku? darah daging yang kuderaskan pada denyut
jantung yang bernama kekasih? ah, senyummu sepertinya aku hafal
sejak nenekmu dulu mencium punggung tangan saat ikrar
sebelum persandingan

engkaukah? ah, alangkah cantik mungil bibirmu
apakah yang kaubisikkan? abah?o, aku kakekmu
yang lucu, hayo tersenyumlah

duh, basah deh sarung kakek terkena pipismu
tapi enggak apa, pipislah lagi
basuh dada kakek dengan kehangatan

engkaulah? ah, kakek bahagia

Puisi itu juga tak berselang lama muncul di layar sama setelah beberapa komentar lainnya. Puisi berikutnya ditulis oleh penyair Moh Gufron Cholid yang di bawahnya dituliskan tanggal penulisannya yaitu 11 Maret, satu hari setelah puisi Menimang Cucu saya publikasikan.

ADA SURGA DALAM KECUPMU
: Arsyad Indradi

Moh Gufron Cholid

Ada surga dalam kecupmu
Saat kau timang cucu
...Dalam debar rindu

Ada surga dalam kecupmu
Kebahagian menjadi tugu
Dunia pun cemburu
Sebab karunia tak henti memburu
Ramai sunyi hidupmu

Kamar Hati, 11 Maret 2011

Terinspirasi dengan puisi Menimang Cucu, seorang teman guru yang handal dalam menulis cerpen dan pernah beberapa kali memenangkan Sayembara Menulis Cerpen Guru (LMCP) yang diadakan Diknas Herni fauziah, kini bermukim di Medan, Sumatra Utara juga menulis puisi dengan judul yang sama Menimang Cucu. Sambil tertawa-tawa di telpon Herni yang akrab kupanggil Tata itu mengatakan kalau dia terinspirasi dengan puisi saya dan sengaja memakai judul itu sebagai tandingan. Berikut puisi yang diterbitkan di note-nya Herni Fauziah.

MENIMANG CUCU
Herni Fauziah

Seorang perempuan renta
melantunkan senandung buaian
tak berirama

Ceracau-ceracau
bagai suara mantera di antara wangi dupa
Seorang bocah
bertelanjang dada
meringkuk
merengkuh tubuhnya berselimut kain kumal, pudar warnanya

Gigil-gigil sisa tangisan tadi malam
masih lekat di gurat-gurat wajahnya
senandung buaian masih terdengar
mengisahkan cerita yang tertunda

Ayah tiada
Bunda di Saudi Arabia
bersandar di bahu yang renta
rapuh pula
dengan buaian kehilangan irama
senandung terus terdengar
entah sampai ke lembaran berapa
mereka tak berani menerka

Medan, 11 Maret 2011

Dengan tidak bermaksud mengatakan siapa menginspirasi siapa, dan juga tidak bermaksud memberikan suatu kesimpulan yang mutlak, dari apa yang saya dapatkan dalam menulis catatan di FB berupa puisi yang sangat sederhana telah lahir beberapa puisi yang sangat menginspirasi dan layak untuk dibincangkan. Tentu bagi mereka yang menulis di komentar puisi saya masih terbuka peluang untuk mereka mengubahnya dan menuliskan kembali di catatan mereka. Demikian, salam sastra De Kemalawati

Banda Aceh, 13 Maret 2011

Sumber: di http://rumohsastradkeumalawati.blogspot.com/

Kamis, 10 Maret 2011

DIALOG SASTRA DAN REMU PENYAIR 3 KOTA DI JAMBI



oleh Dimas Arika Mihardja

Penyair dalam proses kreatif penciptaan sajak selalu menggumulii “tanah pilih” sebagai lahan garapan bagi sajak-sajaknya. Lewat observasi, penjelajahan, pengembangan, pengolahan, pendalaman, dan pergumulan terus-menerus penyair dalam proses kreatifnya senantiasa melakukan pilihan terbaik. Dalam melakukan pilihan itu, dengan intensitas masing-masing, penyair memilih lahan garapan bagi sajak-sajaknya. Bagi penyair, lahan garapan di “Tanah pilih” menyediakan aneka pengalaman fisik, spiritual, dan estetis. Aneka pengalaman fisik, spiritual, dan estetis itu kemudian diproses ke dalam sajak. Sajak, dengan demikian merupakan endapan pegalaman fisik, spiritual, dan estetis yang dieksplorasi melalui proses introspeksi, membaca diri, memahami minat, hasrat, dan arah tujuan masing-masing.

“Tanah Pilih” menyediakan keleluasaan bagi penyair untuk melakukan kinerja kreatif-inovatif-produktif.

Penyair dalam melakukan kinerja kreatifnya berpangkal tolak dari kreativitas. Dengan kreativitas, penyair memiliki keleluasaan melakukan penjelajahan, eksprolasi, dan menghasilkan sajak yang memiliki kadar “kebaruan” Dengan “kebaruan” penyair dapat memberikan tawaran-tawaran inovatif dan produktif. Dalam kinerja kreatif-inovatif-produktif, penyair selalu melakukan observasi, penjelajahan, pengembangan, pengolahan, pendalaman, dan pergumulan terus-menerus. Hasil kinerja kreatif-inovatif-produktif berupa sajak dapat diidentifikasi upaya setiap penyair dalam memformulasikan jati diri, identitas, atau warna sajak yang ditulis. Lewat sajak-sajak yang terdedah dalam buku ini dapat diidentifikasi bahwa hampir setiap penyair berusaha keras menawarkan pola ucap sajak yang menjadi ciri estetik masing-masing.

Secara personal, penyair memiliki kemerdekaan dalam memilih lahan garapannya. Penyair dapat leluasa menulis tentang diri sendiri, orang lain, atau konteks sosial-kemasyarakatan serta melakukan mimesis terhadap ciptaan Allah. Penyair dengan leluasa dapat menuliskan kepolosan dirinya, kurap dan penyakit masyarakat, merefleksikan apresiasi terhadap alam dan Sang Pencipta. Penyair dalam berkarya dituntut untuk jujur pada diri sendiri, orang lain, dan terhadap Sang Pencipta. Penyair menggubah sajak secara apa adanya, jauh dari sentimen pribadi, bertanggung jawab, dan tentu saja bercita rasa estetis tinggi merupakan manifestasi adanya sikap jujur. Kejujuran! Sebuah kata yang kini langka kita temukan di zaman yang carut-marut oleh berbagai kepentingan. Kejujuran tentu perlu dijadikan acuan bagi para pencinta kehidupan, penggubah kata, peengembang kebudayaan. Yang perlu dimiliki oleh seorang penyair adalah kejujuran. Dengan kejujuran akan lahir sajak-sajak yang menyentak lantaran lugas, cerdas, dan bernas. Kepolosan dan kelugasan di masa euforia penuh slogan, eufemisme, kepura-puraan, dusta, dan kesombongan terasa mendapatkan tempatnya tersendiri! Sajak yang menyentak adalah karya yang cerdas yang dikemas secara bernas.

Penyair memiliki banyak pemikiran dan tawaran kreatif dalam sajak-sajak yang digubahnya. Kinerja penyair lebih mengarah pada persoalan spiritual (tidak semata mendapatkan keuntungan finansial). Kinerja penyair lebih banyak memberi daripada menerima segala sesuatu yang bersifat kebendaan. Semangat, etos kerja, keikhlasan, dan meyakini bahwa segala yang dilakukan akan memberikan faedah bagi diri sendiri dan orang lain tentulah cukup membahagiakan. Sebab, urusan hidup tidak selalu dapat diukur dengan kelimpahan materi, melainkan ada hal-hal lain yang lebih mengarah ke hal yang rohaniah, spiritual, dan pengabdian terus-menerus. Namun, buru-buru perlu ditambahkan bahwa kinerja penyair semestinya masuk dalam kategori profesi yang profesional. Itulah sebabnya hasil karya dan kinerjanya perlu mendapatkan apresiasi yang memadai dan tempat yang terhormat.

Hal yang penting dikemukakan ialah bahwa sajak menyediakan diri dibicarakan dengan berbagai pendekatan. Bobot sajak terutama terletak pada cara penyajian dan pada adanya pendaran nilai-nilai sebagai hasil refleksi dan kontemplasi sastrawannya. Bobot sajak selain ditentukan oleh penampilan sajak di atas kertas, terutama ditentukan oleh khalayak pembaca. Kepada para pembaca budiman, silakan menikmati sajak-sajak dengan khidmat, sebab melalui pembacaan penuh penghayatan akan terbentuk silaturahmi batiniah yang pada gilirannya akan memperkaya khasanah dan cakrawala kita tentang hidup dan kehidupan.

BAGAIMANA PROSES KREATIF penyair Diah Hadaning (Jakarta), DAM (Jambi), dan D Kemalawati (Banda Aceh)? Bagaimana atraksi mereka saat tampil membaca puisi di hadapan audience? Bagaimana respon mereka menghadapi berbagai tanggapan, pertanyaan,kritik dan saran? Semua itu akan terjawab di dalam agenda DIALOG SASTRA DAN TEMU PENYAIR 3 KOTA (JAKARTA, JAMBI, ACEH) yang dihelat di aula Rektorat Lantai III Universitas Jambi Kampus Pinang Masak Mendalo 22 Maret 2011 mulai pukul 08.30 WIB. Jika forum ini belum memuaskan, malam harinya akan digelar LESEHAN SASTRA di Taman Budaya Jambi mulai pukul 19.30 WIB. Acara ini lalu akan digelar di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin Jakarta 25 Maret 2011 pukul 19.00 WIB. Sahabat dan peminat silakan hadir.
Salam sastra!