Senin, 28 Februari 2011

“Kalalatu” Ekpresi Arsyad Indradi Dalam Intrinsik Puisi



Oleh : Noor Hana

Bahasa lisan selalu dituntun oleh pengujar atau pembicaranya. Sedangkan sebuah teks tertulis memiliki maknanya sendiri setelah dipublikasikan. Artinya, kalau kita terlibat dalam suatu pembicaraan lisan maka maksud pembicara yang belum jelas dapat dipertegas dengan mengajukan pertanyaan kepada pembicara tersebut. Sebaliknya, sebuah teks, dalam hal ini puisi, tidak lagi sepenuhnya tergantung pada penjelasan yang diberikan oleh penyair tetapi tergantung pada tafsir pembaca atas puisi tersebut.

Antologi Puisi “Kalalatu” karya Arsyad Indradi yang kental dengan nuansa tanah Banjar ini mengajak saya untuk menjelajahinya baik dari situasi bahasa, tema, bahasa puisi mau pun bentuk puisi Situasi bahasa “ Kalalatu “, terlihat pada sajak “ Kai Adul “ mengungkapkan pikiran yang didasarkan oleh suatu pengamatan dan ingatan di masa lalu. Subjek lirik sajak ini sulit disifatkan, yang dapat dilakukan hanyalah membuat interpretasi tak langsung berdasarkan penggunaan kata-katanya. Sajak ini memasukkan persona ketiga, yakni Kai Adul yang digambarkan hanya dari sudut pandang pembicara, namun pandangannya sendiripun diungkapkan di dalamnya.

Setelah bacaan terakhir, penulis dapat menentukan secara umum, apa yang dibicarakan dalam sajak: pembicara dalam teks, yaitu subjek lirik terkenang kembali tentang sosok yang menjadi panutan dan sangat dikaguminya. Subjek lirikbercerita tentang masa dulu, ketika masih kecil ia bersama saudara dan anak-anak sebayanya begitu menikmati kebersamaan dengan tokoh yang bernama Kai Adul. Mereka memijat tangan dan kaki Kai Adul, mendengarkan nasehat dan petuah beliau mengenai kehidupan. Bayangan dari masa lalu ini muncul dan sampai pada hari itu ia masih tetap mengingat dan mengamalkan apa yang selalu diajarkan oleh Kai Adul.

Dalam sajak ini tidak dikatakan secara eksplisit apakah subjek lirik ini adalah wanita atau laki-laki, sehingga peneliti tidak dapat mengidentifikasi jenis kelamin dari subjek lirik, akan tetapi dalam teks tentu tetap ada petunjuk. Dalam sajak ini, disebut kata kami, akan tetapi tetap saja itu merupakan narasi dari satu orang saja. Pembicara adalah seorang anak yang telah menjadi dewasa kemudian berbicara mengenai masa kecil bersama anak-anak sebayanya dan Kai Adul, yang paling jelas adalah pada bait terakhir ......Mun kami takumpulan taganang aruah Kai/Sidin tahu nangapa nang handak kami pinta/Sampai wayahini kami pingkuti papadah sidin/Bismillah nitu anakkunci pambuka lawang surga

Hal lain yang mungkin menjadi petunjuk adalah penggambaran mengenai cara bertutur Kai Adul terhadap subjek lirik pada larik keduabelas /hidup ada aturannya tungai/ kata ’tungai’ lazim digunakan untuk anak-anak, meski tidak mutlak memiliki hubungan kekerabatan, namun kata-kata ini menunjukkan hubungan emosional yang kuat antara keduanya.Dalam sajak tersebut, perasaan subjek lirik menjadi himpunan perhatian, walaupun kadang-kadang menjadi rumit karena dimasukkan orang ketiga sehingga sajak bisa bersifat dialog. Jika subjek lirik tidak berbicara kepada seorang pendengar maka sajak dapat menjadi semacam pendapat yangbersifat umum, dapat dikatakan sajak ini memasukkan unsur kisahan.

Sajak yang memuat unsur kisahan, dimana subjek lirik bercerita, mengungkapkan pikiran dan pengamatannya tentang persona ketiga, juga terdapat pada sajak lain dalam antologi ini seperti sajak “ Nini Aluh “Mun taganang aruah nini barubuian banyumata/Sidin caramin mata wan wadah baungah /Nini landang umur jar urang sidin babustan....Handaklah nyaman mambuka lawang surga/Apikapik mamalihara muntung wan mamalihara rupa/Basuh batistangan wan adat pusaka ....Kemudian pada sajak “Bagandang Nyiru” ...Imbah itu inya kada tahu lagi wan dirinya/Nang tahu teja mambari sajumlah warna/Jalan nang kada tarasa asing dijalani/Hanyar babarapa hari badapat wan Ainun/Rasa saratus tahun bakawanan singrakatan//Kada kawa dikisah lagi bauma tiri/Juhri nang babatis panjang sabalah/Lamun harat bagimpar wan bagipang /Dikampung ngaran tapuji ......

Perkataan pembicara dalam sajak Kai Adul tidak ditujukan kepada seseorang pendengar khusus. Monolog subjek lirik ditujukan kepada dirinya sendiri. Ia mengenang masa lalu, karena situasi dan kondisinya pada saat itu sangat memungkinkan untuk membuka kembali ingatannya tentang tokoh Kai Adul. Dirinya merenungi betapa petuah-petuah yang dulu selalu Kai Adul berikan amat dipegang oleh subjek lirik (dan anak-anak lain yang kemudian disebutnya dengan ’kami’). Sudut pembicara yang tidak ditujukan pada pendengar khusus, atau hanya berupa monolog pada diri sendiri banyak dimunculkan dalam Antologi ini. Sajak “Sarai sarapun” berbicara mengenai subjek lirik yang mengingatkan dirinya sendiri untuk selalu mawas diri. Baik batuakal kugamati sakikihduakikih/matahari nang mantapuk kabumbunan/ maulah pananjak bahindang bahindala/ kaina kada sawat baulah jalan/ manyampati ari/ bursiah sanja bagasut bahantak/ ka sangkar bumi.

Dalam banyak sajak, pendengar/ yang diajak bicara tetap implisit. Tidak hanya untuk diri sendiri, terdapat pula sajak yang ditujukan untuk alam dalam sajak Bulik Balanting.. .....Baturai wan hujan garimis/Aku tajipah/Dalam rajut lunta rakun/Kukikih carucuk/Nang batabul. Ilungilung maumbakgalahani/Sanja sasain bagalusut sasain mamarah janar dimataku/Kada usah lagiah batakun kamana burung-burung /Maurak halar. Kamana hutan bakau mancari /Humbayang sampai ka muhara/ Mun angin manampur/Kadundangakan parimataku.............
Dengan mengajak bicara sesuatu yang tidak hadir, mati atau tak bernyawa, sesuatu itu dihadirkan, dihidupkan, dimanusiakan. ’langitai’ dan ’bumiai’ menjadi pemantul suara yang walaupun sendirinya diam, namun tanggap terhadap subjek lirik yang justru memerlukan pemantul semacam itu untuk mengungkapkan perasaannya. Kita lihat sajak “ Zikir Madihin “ ....Malam Ramadhan ini aku mambuang supan /Mambuang takutan aku musti badatang kahadapanmu/Galitiran kadua tanganku/Galitiran kadua tanganku/Galitiran manadah ka arasymu/Parau bakiau asmamu dalam sisiganku/Padih mataku dalam cahaya matamu/Ya Rabbi jangan engkau pajahakan /Lampu bashirah di tanganmu nyalaakan/Wan ma’rifatullah dalam batinku ....
Orang kedua diajak bicara, tetapi tidak menjawab. Harus dipahami dari teks siapa orangnya dan apa hubungannya dengan subjek lirik. Di sini hubungannya Khalik dan makhluk. Jelaslah bahwa tidak ada jawaban dari pihak kedua, dari potongan sajak itu terungkap kerinduannya akan Tuhan yang dia dekati dengan deskripsi yang angkuh, namun penuh harap.

Tema Kalaltu adalah subjek lirik serta perasaan dan pikirannya merupakan pusat sajak. Tidak ada perjalanan waktu seperti halnya dalam sebuah kisah. Meski begitu, sajak juga berisi sejumlah keterangan konkret mengenai dunia yang digambarkan. Seperti pada sajak WTC, Kuala Lumpur segala sesuatu terjadi pada saat sekarang (ketika berada di Kuala Lumpur) dan sebenarnya peristiwa yang paling penting adalah bahwa subjek lirik, karena pengaruh pengalaman ’kini’ yakni perjalanannya ke WTC, Kuala Lumpur membandingkan pada kondisi negerinya sendiri.

Dalam gambaran khayalan subjek lirik, ia juga membangkitkan situasi kontras antara Kuala Lumpur dengan segala fasilitas, kemegahan, dan perlindungan keamanan bagi warga sipilnya dengan kondisi yang jika dibandingkan maka tidak ada apa-apanya (bait kedua dan ketiga). Sajak dibangun berdasarkan perbandingan dua keadaaan. Situasi masa kini, atau situasi di Kuala Lumpur dapat dipandang sebagai penyebab timbulnya gambaran perbandingan. Sejak bait awal hal tersebut sudah digambarkan, kemudian dilukiskan lebih luas dalam bait ketiga.

Konstruksi ini menyebabkan terjadinya kisah perjalanan yang seakan-akan menjadi pokok pembicaraan sajak. Yang mencolok dalam ’kisah perjalanan’ ini adalah pada akhirnya subjek lirik menyadari bahwa kemajuan tekhnologi terkadang juga membawa dampak negatif terutama terhadap budaya masyarakat. Kesan ini tercipta pada kuplet terakhir........Mahancap aku turun kawal bakiaw/Kukiranangapa pina musti/Cis inya manyalaakan mancis/Jaharu manukar mancis nang ada gambar lightplaynya/Urang baanuan

Dalam pembacaan penulis, sajak-sajak Arsyad Indradi hadir sebagai perpaduan antara kemurungan dan pemberontakan. Suasana murung itu menjadi nada dasar yang sendu dari sebagian besar sajak dalam “Kalalatu”. Sementara pemberontakan dideklarasikan dalam bentuk perlawanan terhadap perwujudan yang banyak menghilangkan, bahkan menindas budaya lokal, terutama oleh budaya modern yang kontroversial dan membuat banyak manusia menjadi marjinal. Seperti Sajak “ Kahilangan Banua “....Sakilan kadada lagi tanah hagan bakubur/Mambalas kabaikan wayah dipukung/Banyu didih panyulam susu aruah mama/Diganali banyu laang//Tanah mana baganti rupa/Saalaman ragaibacampur cuka/Wayahini siapa aku siapa ikam/Banua tinggalam Dan pada sajak” Dundang Rista Saribhu Burung “...........Yulan ya lalalin/Hutan baratus tahun/Ditabang habis/Batubara dikikis/Hagan kasugihan tuantuan/Kami disipak/Ka padangpadang pangasingan/Tasingkir ka bukitbukit pamburuan

Penyair merasa miris melihat eksploitasi besar-besaran terhadap kekayaan alam secara tidak bertanggung jawab oleh pihak yang tidak bertanggung jawab demi kepentingan pribadi. Dan pada sajak “Tampulu “ ....Ayuha dahulu/Wayah dipawayah kada balalawasan bataring/Mambulangkir banua/Tatah dipatatah kada balawasan bakuasa/Mun sudah pajah dalam carita/Jangan bahiyau sanakkulawargaTidak selamanya yang miskin akan terus menderita dan yang kaya tak mesti selalu sejahtera. Begitu pula dengan kekuasaan yang menjadi kebanggaan seseorang atau kelompok, tidak selamanya akan bertahan. Dengan keyakinan bahwa roda kehidupan akan terus berputar, maka yang bisa dilakukan hanyalah pasrah. Segala daya upaya untuk menyatakan protes dan kekesalan terhadap keadaan itu hanya akan sia-sia karena hanya dianggap ’daun luruh’, atau sesuatu yang tidak diperdulikan keberadaannya. “ Daun Luruh “ Daun luruh/Di jalanan/Tajajak talincai urang lalulalang/Jaka hingkat bakuriaklawan siapa maminta tulung/Tapi inya daun/Sahibar daun/Daun

Bagaimana Kalalatu pada penggunaan Bahasa ? Bila dibandingkan dengan teks prosa atau drama, pada puisi cara pengungkapanlah yang jauh lebih penting. Kesepian dalam hening malam, rindu pada Tuhan, bunga yang cantik, semuanya itu pada sendirinya adalah pernyataan yang usang dan klise. Meskipun demikian, para penyair selalu berusaha menyajikan pernyataan yang usang itu dengan cara selalu baru, isi dan ungkapan terjalin erat.

Penggunaan bahasa ditandai oleh adanya kiasan dan berbagai gaya. Memang dapat disimpulkan bahwa pada umumnya dalam puisi, kiasan dan bentuk gaya terdapat jumlah yang lebih besar daripada dalam penggunaan bahasa yang lain. Namun demikian, tidak mutlak itu harus merupakan bagian dari bahasa; ada penyair yang berusaha menjauhkan cara pengungkapan bahasa yang rumit. Hal ini pula yang tergambar dari puisi dalam antologi “Kalalatu” karya Arsyad Indradi.

Pada tataran bahasa puisi, Arsyad Indradi menjadikan puisinya begitu melodius, punya kekuatan ekspresif pada sajak, karena pengaruh pengulangan bunyi. Kita lihat sajak Mambangkit Batan Tarandam : Tarandam batang tarandam/Timbul tinggalam diarus banyu/Hilang jua di mata/Hilang jua di hati/Ingat kada jua diingat//Tarandam lawas tarandam/Tarandam lawas diarus banyu/Bangkitakanlah jua batang tarandam lawas/Pusaka paninggalan urang bahari//Mambangkit batang tarandam lawas tarandam/Pusaka bahari nang lawar pang tarandam/Tabangkit jua batang tarandam tabangkit/Barakat kita gawi sabumi

Sajak ini menggunakan sederetan kata yang berawal dengan t, “Tarandam batang tarandam/ timbul tinggalam”. Banyak t dalam sajak ini memberi kesan berat yang menunjang makna kedua larik terakhir. Tabangkit jua batang tarandam tabangkit/ barakat kita gawi sabumi. Bukan tidak sengaja penyair memilih “Mambangkit Batang Tarandam” sebagai judul. Kata ’batang tarandam’ muncul berulang sebanyak sembilan kali pada keseluruhan sajak ini. Kenyataan bahwa “Batang Tarandam” ini memiliki makna simbolik serta sifat-sifat yang dihubungkan kepadanya. ’batang’ ini dimanfaatkan untuk mendukung kesan berat. Diperlukan usaha keras untuk bisa membangkit dan mengangkat ’batang’ yang disatukan dengan kata ’tarandam’ membuat eksplisit makna yang ingin disampaikan.

Dalam bahasa puisi selalu terjadi interaksi terus-menerus antara keterikatan dan kebebasan, antara ketentuan dan pembaharuan, antara tata bahasa dan praktik bahasa.
Akan kita lihat bahwa seorang penyair bisa saja membebaskan ikatan antara kata dan apa yang hendak ditandai oleh kata tersebut. Hal ini dilakukan untuk menerobos makna yang lama dan menciptakan makna yang baru. Cara yang ditempuh adalah melalui penggunaan metafor. Metafor tercipta karena sebuah kata yang secara konvensional tak dapatdihubungkan dengan perkataan lainnya, justru dihubungkan untuk melakukan penyimpangan yang disengaja. Sebagai contoh, kata ’pandir’ secara konvensional merupakan atribut untuk menunjukkan yang kita dengar berupa ucapan. Akan tetapi, Arsyad Indradi dalam sebuah sajaknya dengan kreatif menunjukkan bahwa kata ’pandir’ menjadi atribut yang tidak hanya dari apa yang bisa didengar tetapi juga apa yang kita makan/ masukkan. Seperti puisinya Miang : Miang kajijingah/Miang tahayut kulipak paring/Miang tapalit jalatang/Miang takana hulat bulu/Masih kada sabarapa
/Tapi mun miang/Tamakan pandir/Bakiruh tipang sabukuan awak

Penyair, berbeda dengan pemakai bahasa lainnya, menghadapi bahasa dan kata-kata tidak pertama-tama sebagai alat yang siap pakai, tetapi sebagai bahan atau material yang masih harus dikerjakan dan diolah.
Penyair membicarakan kegelisahan. Tema yang abstrak ini dikonkretkan dengan kata ’miang’. ’Miang’ yang secara harfiah berarti gatal, digunakan berulang-ulang. Citra yang digunakan untuk ’miang’ ini sangat cocok dalam sajak tersebut, terutama sehubungan dengan tema yang begitu penting bagi sajak, yaitu kondisi dan situasi yang tidak mengenakkan. Dampak pencitraan terutama diperoleh karena perincian keempat pembanding yang memiliki makna serupa (makna sebenarnya, seperti kajijingahan, tahayut kulipak paring, tapalit jalatang, takana hulat bulu). Dengan demikian warna motif yang negatif ditekankan. Akan tetapi, larik berikutnya berbunyi Masih kada sabarapa/Tapi mun miang /Tamakan pandir/Bakiruh tipang sabukuan awak
Larik tersebut memasukkan kata ’tetapi’ membangkitkan suatu penekanan lebih pada larik berikutnya, mun miang/ tamakan pandir/ bakiruh tipang sabukuan awak. Kata ’miang’ disandingkan dengan kata ’tamakan pandir’ (termakan omongan) dua acuan yang sama sekali tidak ada hubungannya secara logis. Akan tetapi kata ’miang’ (gatal) tepat untuk menggambarkan kondisi yang tidak mengenakkan yang jika seseorang mengalami maka akan menyebabkan gelisah dan tidak bisa tidur.
Terlihat di sini bagaimana metafor dipergunakan untuk memainkan pengertian pandir. ’Pandir’ yang berarti kata-kata atau lebih tepatnya omongan, disandingkan dengan kata ’termakan’. Tentu saja ini tidak bisa dimaknai secara harfiah, karena kata-kata bukan sesuatu yang bisa dimakan. Namun, berdasarkan konteksnya, ’tamakan pandir’ atau termakan omongan dapat diterjemahkan. ’Tamakan’ (termakan) menjadi kata singkat yang bisa mengungkap penjelasan panjang. Pemilihan kata ’tamakan’ terkait dengan pengertian bahwa makan memerlukan suatu proses. Menggigit, mengunyah, lalu menelan. Sedangkan kata ’tamakan’ menyatakan perbuatan yang tidak diinginkan, mengandung unsur ketidaksengajaan, tidak melalui proses, atau secara langsung dilakukan. Bahwa omongan atau kata-kata tidak hanya sekedar informasi yang lewat, didengarkan kemudian ditelan. Informasi itu harus diklarifikasi kebenarannya agar tidak hanya menjadi sekedar desas-desus ataupun gosip yang meresahkan.
Struktur kalimat juga mendukung oposisi makna keseluruhan sajak. Mula-mula kita baca pada larik pertama hingga larik keempat ’miang’ menjadi pembuka kalimat. Tekanan pada kata ’miang’ penyair mencoba menunjukkan tekanan perasaan gelisah dengan mengubah penempatan kata ’miang’ di akhir kalimat. Kemudian diakhiri dengan “bakiruh tipang sabukuan awak” . “Tamakan pandir” (termakan omongan) yang menyebabkan desas desus tanpa klarifikasi kebenaran dikatakan jauh lebih tidak mengenakkan.Kebebasan penyair atau licentia poetica adalah semacam lisensi khusus yang memberikan hak kepada para penyair untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam bahasa untuk memperbarui bahasa. Penyimpangan tersebut dapat dilakukan dalam bunyi bahasa untuk menciptakan efek fonetik bagi irama atau rima yang dikehendaki. Penyimpangan dapat pula dilakukan dalam makna bahasa, khususnya melalui teknik metafor, dimana dua kata dengan makna yang tidak bisa dipertautkan, digabungkan untuk menelurkan makna baru. Usaha pemaknaan baru ini dapat dilakukan juga dengan mengubah status sebuah kata sebagai kata benda menjadi kata kerja, atau kata sifat, dan sebaliknya. Selain itu, penyimpangan dapat dilakukan dengan mengubah bentuk kata, dengan menerapkan cara penulisan yang tidak sesuai dengan ejaan yang baku.

Penyimpangan bentuk kata berupa pemberontakan terhadap ejaan ini juga dilakukan dengan konsisten oleh Arsyad Indradi. Sekalipun secara semantik dan secara fonetik dia tetap konvensional, dalam arti tidak memasukkan bunyi-bunyi atau kata-kata yang tidak dikenal ke dalam sajak-sajaknya.

Ada beberapa penyimpangan yang dilakukannya. Diantaranya adalah menuliskan kata ulang tanpa tanda sambung. Dalam sajak “Di Pancung Lanting” peneliti menemukan bentuk-bentuk seperti: sahamahama, saricihricih, kilirkiliran, taruhuiruhui, ilungilung, dan baapikapik. Penyair juga menggabungkan dua kata yang seharusnya ditulis terpisah. Dalam sajak “Zikir Balarut” dapat ditemui bentuk-bentuk seperti: likatbaburih, manapungtawari, baraskuning, tanahbanyu, duitpacah, dan bauntungbatuah. Dalam sajak “Sarai Sarapun” penelitimenemukan bentuk seperti: sakikihduakikih, dan ampatpuluhsatu, yang semestinya ditulis: sakikih dua kikih, dan ampat puluh satu.Penyimpangan ejaan yang demikian, tentulah bukan ketidaksengajaan, atau kebetulan. Patut diingat bahwa huruf dan kata-kata tertulis adalah tanda untuk bunyi bahasa. Seorang penyair dapat memilih untuk melakukan manipulasi komponen tersebut.

Dalam sajak “Membangkit Batang Tarandam” tampak bentuknya yakni sajak terbagi menjadi menjadi tiga bait. Dapat dilihat bahwa pembagian ini ada kaitannya dengan kisah dan usaha untuk melestarikan Budaya Banjar atau yang diumpamakan sebagai “Mambangkit batang tarandam”. Prosesnya digambarkan sejak bait pertama hingga yang terakhir. Bait pertama memaparkan bahwa Budaya Banjar telah hampir dilupakan. Bait kedua, timbul semangat untuk menghimbau masyarakat untuk mempertahankan kekayaan peninggalan orang tua terdahulu. Bait terakhir, patut dirayakan karena berkat kerjasama seluruh elemen masyarakat budaya ini tentu bisa dibangkitkan kembali.
Bentuk sajak dalam antologi ini tidak terlalu menonjol. Akan tetapi dapat dikatakan penyair memastikan bahwa jumlah bait atau bentuk paragraf dalam sajak-sajaknya mendukung isi atau makna keseluruhan sajak. Seperti dalam sajak berikut ini
Marasa Maka Tahu : .... Asa ganting paparutan napangai panurihan sunyi/Gatah tiiskada bagatah paluh nang diparah/Napang marasa maka tahu/Batis kulipak tungkulan baambah di padanga banta/Marajah pahumaan lawas pang taung/Lawas marajah pagat janji basambung pagat pulang/Marajah di hati napang/Manunjul jukung, jukung tapahalang/Manajak kupiah, kupiah tapahalang/Marasa maka tahu/Kikicaktu wadai gayam mata picak dipatuk hayam//Ari kalayang ari/Cagat mata tunduktingadah/Balangsar mahalimpaur/Sakalinya tahadangi buah bungur

Sajak “Marasa Maka Tahu” hanya terdiri dari dua bait. Bait pertama sebanyak 32 larik yang secara visual lebih panjang jika dibandingkan dengan bait kedua yang hanya 4 baris. Pembagian bait ini juga ada kaitannya untuk mendukung makna atau apa yang diceritakan dalam sajak. Bait yang panjang bercerita tentang penantian panjang seseorang akan perubahan nasibnya yang boleh dikatakan tidak beruntung. Bahkan harapannya agar orang yang kondisinya lebih baik tidak menutup mata akan keadaan itupun sia-sia. Penantian panjangnya itu diakhiri singkat oleh bait kedua puisi terutama larik terakhir sakalinya tahadangi buah bungur merupakan ungkapan yang berarti sesuatu yang percuma saja ditunggu. Salam sastra *****

Banjarbaru, 17 Desember 2008

( Esai ini telah saya angkat dalam bentuk skripsi saya untuk menyelesaikan S 1 FKIP Bahasa Indonesia dan Sastra UNLAM, 2008 )

Menikmati Puisi Dunia Maya (Bagian 11 )


Oleh: Hamberan Syahbana

Essei Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 11 ini akan membahas 4 buah puisi: yakni
Pesan Singkat puisi karya Kang Arief Dari Ngawi jawa Timur
Riwayat Liang Lahat puisi karya Mif d’King dari Banjarmasin Kalimantan Selatan
raungan macan asia puisi Heru Yoga Pamungkas dari Jawa Timur
Langkah Ketiga Puluh puisi karya Kurnia Effendi dari DKI Jakarta

Seyogyanya essei bagian 11 ini seperti biasa akan membahas keempat puisi tsb sekali gus. Tetapi karena ada sedikit keluhan dari pembaca yang menyatakan bahwa essei ini tsb terlalu panjang dan membuat pusing kepala membacanya sehingga essei tsb kurang maksimal dinikmati. Untuk menanggapi hal tsb. essei ini dibagi menjadi essei bagian 11a dan bagian 11b.

Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 11a

I. MENIKMATI PUISI KANG ARIEF

Penyair yang satu yang nama lengkapnya adalah Oekusi Arifin Siswanto. lahir di Malang Jawa Timur pada tanggal 23 April 1979. Dalam dunia maya ia lebih dikenal dengan nama Kang Arief yang puisinya bertebaran di dunia maya, khususnya di jejaring sosial facebook.
Penyair ini juga pernah kuliah di Perguruan Tinggi di Akademi Komputer dan Manajemen, dan ISI Surakarta fakuktas senirupa. Kini dia menetap di RT 01 RW 09 Desa Gendingan Kecamatan Widodaren Kabupaten Ngawi sebagai pengabdi masyarakat di Kantor Desa Gendingan di samping kesibukannya kesehariannya sebagai petani sawah dia juga rajin menulis puisi.
Penyair yang satu ini mengaku sama sekali tidak memiliki background sastra. Belajar menulis sastra secara otodidak. aktif menulis puisi facebook, menulis untuk majalah mingguan berbahasa daerah (Jawa) JAYABAYA dalam bentuk Cerita Cekak ( cerpen berbahasa Jawa) dan geguritan [puisi berbahasa jawa], juga menulis Cerpen dan Puisi berbahasa Indonesia.

PESAN SINGKAT
Puisi Kang Arief

Kemanakah lari membawa kaki
Tengah mengejar bahterakah
Atau justru sedang menggarami luka
Sementara paluh telah jengah
Terlalu lama terapung di permukaan mata
Semalaman penuh kutunggui labuh
Di sudut palka yang tak jua segera menjadi
Hingga lumut menubuh malam
Dan cahaya pun menguap sudah
Datanglah datang pengusung pesan
Bawakan aku nyala pucuk api dari puncak batu
Atau segenggam sarang laba-laba dari lawang goa
Untuk mematik lentera cinta bersinar kembali
Jibril
Tiupkanlah kisah yang kau jaring siang tadi
Bukan bukan..!!
Bukan tentang tahta emas Biqis
Pun lantai Sulaiman yang melautkan bulan dan bintang bintang
Kupinta cerita
Tentang sebaik-baik cara untuk merogoh jantung
Serta bagaimana meletakkannya di cawan sujudku
Agar mata dan telingaku mengerti
Satunya lafal yang ada dalam dzikir sekepal daging
Dan selanjutnya tak perlu lagi ada dusta
Atau pun saling ingkar antar tubuh
Kelak, tepat saat janji menuai waktu

Ngawi 17 Nopember 2010.

Puisi Kang Arirf yang berjudul PESAN SINGKAT ini tampil dengan tipografi tanpa bait-bait. Puisi ini terdiri 26 untaian larik yang mengumpul jadi satu bait saja. Puisi ini dibangun dengan diksi yang setengahnya bernuansa perjalanan laut, dan setengahnya lagi bernuansa religi. Nuansa ini dapat dirasakan dalam pemilihan kata: bakhtera, terapung di permukaan, labuh, palka, pucuk api [maksudnya mercu suar yang terlihat di ketinggian] puncak batu. Kata-kata ini berkaitan erat dengan pelayaran di malam hari. Berikutnya ada kata pemilihan kata: pengusung pesan [maksudnya pembawa risalah], sarang kaba-laba dari lawang goa, Jibril, Biqis [Ratu Bulkis], Sulaiman [nabi Sulaiman Alaihi Salam], sujudku,dzikir. Semua kata-kata tsb berkaitan erat dengan religi. Untuk bisa menikmati puisi ini kita harus mencermatinya secara bertahap. Untuk itu marilah kita cermati mulai dari larik1 sampai dengan laik 9 berikut ini.

1. Kemanakah lari membawa kaki
2. Tengah mengejar bahterakah
3. Atau justru sedang menggarami luka
4. Sementara paluh telah jengah
5. Terlalu lama terapung di permukaan mata
6. Semalaman penuh kutunggui labuh
7. Di sudut palka yang tak jua segera menjadi
8. Hingga lumut menubuh malam
9. Dan cahaya pun menguap sudah

Membaca larik-larik di atas kita melihat bahwa larik-larik tsb dibangun dengan diksi dan untaian larik yang puitis dan memukau. Semua itu bukanlah untaian larik yang bisa langsung tertulis begitu saja. Tetapi semua kata-kata tab adalah hasil buah pemikirian dan pencarian yang dalam. Larik-lariknya penuh dengan ambiguitas ungkapan yang harus dimaknai secara konotatif. Larik-lariknya juga diperkuat dan diperindah dengan majas-majas. Komposisinya mampu membentuk rima dan ritme yang tertata rapi. Sehingga puisi ini menjadi nyaman untuk dinikmati, menjadi indah untuk dibaca dan direnungkan. Dan menjadi irama yang merdu ketika diperdengarkan.

Di larik 1 ada ungkapan lari membawa kaki. Secara denotatif maknanya memang benar-benar lari membawa kaki, tetapi secara konotatif bisa bermakna lain. kata lari maknanya adalah perjalanan hidup dan membawa kaki barangkali maknanya membawa nasib. Secara keseluruhan larik 1 ini membentuk majas erotesis yang ditandai dengan kalimat tanya Kemanakah lari membawa kaki[?]. Di sini juga ini ada majas pleonasme sekaligus juga majas zeugma pada ungkapan lari membawa kaki.
Di larik 2 ada ungkapan mengejar bahktera. Secara denotative bahtera adalah alat atau sarana transportasi di laut. Pada skala kecil ungkapan bahktera di sini bisa berarti cinta sebagai alat berupa dasar untuk mewujudkan sebuah rumah tangga, atau bisa juga bermakna rumah tangga yang mengarungi samudra kehidupan dalam menuju pantai bahagia. Tetapi pada skala yang lebih besar bisa bermakna suatu badan atau sebuah organisasi, bahkan pada skala nasional bsa berarti Negara dalam perjalanan sejarah mencapai tujuan Negara yang adil dan merata makmur sejahtera. Untaian larik 2 ini juga adalah majas erotesis yang ditandai dengan pertanyaan. Tengah mengejar bahterakah. Jika dikaitkan dengan larik sebelumnya yaitu larik 1 yang mengungkapkan lari membawa kaki dalam mengejar bakhtera di larik 2 ini adalah majas hiperbola yang menggunakan ungkapan yang berlebihan. Ini ditandai dengan ungkapan lari membawa kaki untuk mengejar bakhtera yang lebih dahulu melaju mengarungi lautan luas.
Di larik 3 ada ungkapan menggarami luka. Kata luka maknanya adalah duka. Dalam istilah puisinya adalah duka lara nestapa yang rasanya tentu pedih perih dan sangat menyakitkan. Di sini ada majas hiperbola dengan menggunakan ungkapan yang melebih-lebihkan keadaan. Bayangkan luka itu sudah pedih rasanya jika digarami tentu rasanya akan lebih pedih lagi. Menggarami luka maknanya adalah menambah duka yang sudah ada. Dengan kata lain adalah membuat duka semakin lara.
Di larik 4 ada ungkapan paluh tengah jengah atau dengan kata lain keringat sudah banyak bercucuran. Maknanya adalah tenaga sudah banyak terkuras, sebagai tanda bahwa sudah banyak usaha yang dilakukan. Dan tentu juga sudah banyak pengorbanan dalam mewujudkan keinginan atau cita-cita. Dengan kata lain larik ini mengungkapkan adanya perjuangan dan pengorbanan yang belum menampakkan hasilnya. Ternyata larik ini juga terasa sangat indah dan puitis. Lebih-lebih jika membacanya dengan penekanan pada bunyi vocal [e] ada pada kata. Sementara, telah dan kata jengah.
Di larik 5 ada ungkapan terapung di permukaan mata. Biasanya kata terapung itu menunjukkan ada sesuatu yang mengapung di permukaan air. Sedangkan dalam larik ini terapung di permukaan mata. Berarti mata di sini adalah hanyalah sebuah ungkapan yang sama sifatnya dengan permukaan air. Kalau dikaitkan demgan larik 4 di atas, maka berarti yang mengapungnya adalah paluh yang telah jengah itu. Ini berarti bahwa perjuangan dan pengorbanan selama ini telah lama mengapung di permukaan mata. Di mata ini juga ada air, yakni air mata. Sedangkan kata air mata sendiri kesannya adalah tangisan yang menandakan ada suka dan juga ada duka. Suka dan duka pada puncaknya sama-sama mengeluaran air mata. Untaian di larik 5 ini membentuk majas hiperbola yang ditandai terlalu lama terapung di permukaan mata.
Di larik 6 ada ungkapan Semalaman penuh kutungggui labuh. Kata semalaman maknanya adalah sepanjang malam atau selama 1 malam. Malam itu kesannya adalah gelap. Malam di sini maknanya masa-masa penantian yang gelap selama menanti labuh. Kata labuh ini mengingatkan kita pada kata pelabuhan tempat berlabuhnya kapal ketika tiba dari sebuah pelayaran yang jauh.
Di larik 8 ada ungkapan lumut menubuh malam. Kata lumut erat kaitannya dengan air. Kalau suatu barang di luar air jika terlalu lama bisa dikatakan berkarat dan berdebu. Maka dengan maksud yang barang di dalam air dikatakan berlumut sebagai tanda bahwa sesuatu itu sudah terlalu lama. Dalam konteks larik-larik di atas ini berarti sudah terlalu lama lari membawa kali, sudah terlalu lama terapung di permukaan mata, sudah terlalu lama perjalanan hidup ini sampai berlumut. Sedangkan kata menubuh adalah sebuah kata bentukan dari morfem tubuh dan me menjadi menubuh. Yang artinya adalah menjadi tubuh. Dan kata malam di sini kesannya adalah gelap. Dalam hal ini maknanya adalah hidup dalam keadaan gelap. Dalam konteks larik sehingga lumut menubuh malam maka maknanya lumut bagaikan menubuh malam, lumut menjadi satu dengan malam. Ungkapan ini menandakan malam semakin berlumut, berarti hidup yang gelap jadi semakin gelap. Dengan kata lain hidup semakin suram
Berikutnya di larik 9 ada ungkapan cahaya menguap. Kata cahaya maknanya adalah harapan. Dalam konteks ini berarti harapan itu sudah mulai sirna. Larik 9 ini juga merupakan majas hiperbola yang ditandai dengan uangkapan cahaya menguap.
Selanjutnya marilah kita cermati larik 10 sampai dengan larik 13 berikut ini.
10. Datanglah datang pengusung pesan
11. Bawakan aku nyala pucuk api dari puncak batu
12. Atau segenggam sarang laba-laba dari lawang goa
13. Untuk mematik lentera cinta bersinar kembali

Larik-larik di atas dibangun dengan diksi bernuansa doa dan harapan. Untuk lebih jelasnya marilah kita cermati larik-larik tsb satu persatu berikut ini. Di larik 10 di atas ada doa dan harapan Datanglah datang pengusung pesan. Karena terlalu lama terapung di permukaan mata, semalaman penuh menunggu labuh, hingga lumut menubuh malam, maka satu-satunya jalan adalah berharap agar datang pesan lewat pengusung pesan. Larik 10 ini diperindah dengan pengulangan bunyi [da] dan bunyi [pe] pada klausa datanglah datang pengusung pesan.
Di larik 11 ada ungkapan nyala pucuk api dan puncak batu. Kata api dengan sifatnya yang panas mampu membakar sesuatu, dalam konteks ini adalah mampu membakar semangat. Sedangkan kata batu yang sifatnya yang kuat dan keras mampu menghadapi berbagai masalah. Dalam hal ini penyair menginginkan agar pembawa pesan membawa sesuatu yang bisa membangkitkan semangat sehingga mampu menghadapi berbagai masalah.
Di larik 12 penyair mengharapkan agar pembawa pesan dapat membawakan alternatif lain berupa sarang laba-laba dari lawang goa. Buat apa? Membaca sarang laba-laba mengingatkan kita pada jaring laba-laba yang mampu menjaring lalat dan serangga lainnya. Sedangkan sarang laba-laba dari lawang goa mengingatkan kita pada riwayat hijrahnya Nabi Muhammad SAW bersama sahabatnya Abu Bakar r.a yang bersembunyi di dalam goa dari kejaran musuh. Tetapi selamat karena adanya laba-laba yang secara tak terduga membuat sarang di lawang goa. Ini adalah suatu keajaiban. Dalam konteks ini sang penyair nampaknya menginginkan adanya suatu keajaiban yang bisa menyelamatkannya.
Di larik 13 ada ungkapan mematik lantera cinta bersinar kembali. Maka jelaslah sudah bahwa doa dan harapan yang diungkapkan di larik 10 sampai dengan larik 12 adalah dalam rangka menyinarkan kembali lantera cinta yang mulai redup. Pada tataran pertama kata cinta di sini maknanya memang benar-benar cinta sepasang anak manusia. Tetapi mengingat puisi ini bernuansa religi maka kata cinta di sini adalah: [1] cinta hakiki antara Tuhan dengan kekasihnya Muhammad SAW. [2] Kecintaan kita kepada junjungan kita dan orang-orang yang terkasih lainnya. [3] Kecintaan murni kita kepada saudara-saudara kita. Yang selama ini lantera cinta tsb terasa sangat redup bahkan barangkali sudah padam.
Larik-larik ini terasa indah dan puitis karena larik-larik tsb juga dibangun sepenuhnya dengan imaji auditif sekaligus juga imaji visual. Kita seolah-olah mendengar sesorang bergumam mengucapkan harapannya. Sekaligus terbayang di benak kita suatu gambaran secara surealis ada yang datang dri puncak bukit batu membawakan nyala api. Juga terbayang sarag laba-laba di mulut goa.
Larik-larik ini juga menjadi indah karena di sini juga ada majas hiperbola di larik 11 yang ditandai dengan bawakan aku nyala pucuk api dari puncak batu. Di larik 12 majas litotes yang ditandai dengan segenggam sarang laba-laba. Dan di larik-larik ini juga ada majas antropomorfisme yang ditandai dengan pucuk api dan lantera cinta.
Berikutnya marilah kita cermti larik 14 sampai dengan larik 21 berikut ini.
14. Jibril
15. Tiupkanlah kisah yang kau jaring siang tadi
16. Bukan bukan..!!
17. Bukan tentang tahta emas Biqis
18. Pun lantai Sulaiman yang melautkan bulan dan bintang bintang
19. Kupinta cerita
20. Tentang sebaik-baik cara untuk merogoh jantung
21. Serta bagaimana meletakkannya di cawan sujudku

Larik-larik di atas dibangun dengan ungkapan-ungkapan religius fantastis. Lihatlah di larik 14 ada kata jibril yang mengingatkan kita pada malaikat Jibril ‘Alaihis Salam yang biasanya selalu menyampaikan risalahNya kepada para Rasul. Berikutnya di larik 15 ada ungkapan Tiupkanlah kisah yang kau jaring siang tadi. Maksudnya adalah kisah-kisah dan mutiara hikmah disampaikan melalui berbagai media ini. Baik berupa ceramah kultum, atau siaran rohani lainnya yang memaparkan kisah dan riwaaayat orang-orang yang diberkahi.
Di larik 16, 17 dan 18 ada serangkaian ungkapan penyangkalan yang ditandai dengan: Bukan bukan ..!! Bukan tentang tahta Biqis. Pun lantai Sulaiman yang melautkan bulan dam bintang-bintang. Larik-larik ini mengingatkan kita pada kisah Siti Bulkis dengan Nabi Sulaiman. Keduanya memang orang-orang terkasih yang diberkahi tetapi kesannya lebih pada kemegahan tahta dan dan kekayaan. Dalam konteks ini bukan cerita itu yag diinginkan sang penyair. Yang diinginkannya terungkap di dalam larik 19, 20 dan larik 21. Kupinta cerita. Tentang sebaik-baik cara untuk merogoh jantung. Serta bagaimana meletakkannya di cawan sujudku.
Kata cerita di sini maknanya adalah contoh-contoh riwayat orang-orang yang diberkahi. Kata jantung mengingatkan kita pada organ tubuh yang sangat penting. Bahkan kita tak bisa hidup tanpa jantung. Dalam konteks ini jantung bisa bermakna inti atau makna hakiki kehidupan. Manusia tidak dapat hidup tanpa jantung. Demikian juga hidup dan kehidupan menjadi sia-sia jika tanpa makna hakiki. Sedang makna hakiki kehidupan itu mengacu pada hakikat penciptaan manusia sebagaimana yang telah dinyatakanNya dalam firmanNya bahwa Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaku.
Dalam konteks ini sebaik-baik cara merogoh jantung maknanya adalah cara memaknai hidup secara baik dan benar. Kata cawan mengingatkan kita pada benda yang biasa digunakan buat mewadahi minuman dan makanan berkuah lainnya. Sedangkan kata sujud mengingatkan kita pada gerakan ibadah yang ada di dalam berbagai agama. Ungkapan meletakannya di cawan sujudku. Maknanya memaknainya dengan pengabdian yang benar.
Berikutnya marilah kita cermati untaian di larik 22 sampai dengan larik 26 berikut ini.
22. Agar mata dan telingaku mengerti
23. Satunya lafal yang ada dalam dzikir sekepal daging
24. Dan selanjutnya tak perlu lagi ada dusta
25. Atau pun saling ingkar antar tubuh
26. Kelak, tepat saat janji menuai waktu

Larik-larik di atas dibangun dengan diksi bernuansa religi sekaligus juga bermuatan peringatan dan prediksi yang bakal pasti terjadi di hari perhitungan yang akan datang. Hal ini jelas terungkap di dalam larik Dan selanjutnya tak perlu lagi ada dusta - Atau pun saling ingkar antar tubuh - Kelak, tepat saat janji menuai waktu. Larik-larik ini mengingatkan kita bahwa nanti tak akan ada lagi dusta, karena kita memang tidak bisa bohong. Bagian-bagian tubuh kita bicara sendiri tentang apa yang sudah kita perbuat. Mulut kita akan bicara tentang makanan halal-haram yang sudah kita makan. Mata, telinga dan hidung juga akan akan bicara. Tangan dan kaki juga akan bicara sendiri. Kita tidak bisa apa-apa, apalagi berbohong seperti di dunia ini.
Inilah inti pesan singkat yang di sampaikan Kang Arief melalui puisinya ini. Amanat dan pesan moral yang dapat kita petik dalam puisi ini adalah: Hendaknya kita harus mengingat kembali tentang hari pembalasan yang biasa kita sebut Yaumil Mahsyar. Hari pembalasan melalui pengadilan yang maha adil. Sekecil apapun kebaikan dan keburukan kita akan tertungkap. Semuanya kita akan mendapat ganjaran dan balasan yang seadil-adilnya.

II. MENIKMATI PUSI MIF D’KING

Mif d’King adalah nama pena dari Ahmad Miftah . Penyair kelahiran Kuala Trengganu Malaysia 22 September 1985 ini sekarang menetap di Jalan Ahmad Yani Km.3,5 Komplek Karang Paci Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan.
Putra pertama dari 4 bersaudara dari Drs.H.M.Musni Tabsier dan Norhamidah ini telah menyelesaikan pendidikan terakhirnya S1 (SH) pada Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dan masih berstatus lajang.
Dalam kesibukannya sehari-hari sebagai Public Relation dari sebuah CV yang bergerak di bidang jasa pengiriman, ternyata ia juga seorang penulis. Dia juga rajin menulis puisi melalui jejaring facebook dengan nama Mif d’King. Diantara puisinya itu adalah Riwayat Liang Lahat berikut ini.


Riwayat Liang Lahat
oleh Mif d'King

Sesudah ini nafas itu kemana
Sesudah ini tertinggal kafan saja
Sesudah ini sholat pun tak bisa
Sesudah ini tanah selimut raga
Sesudah ini tamparan pun tak berguna
Sesudah ini dunia tertawa
Sesudah ini keranda harus kemana
Sesudah ini apa yang tersisa
Sudah disini sesal berjumpa

Sebelum ini goreskan kencana
Sebelum ini sholat fardu terjaga
Sebelum ini sunnah terlaksana
Sebelum ini amal mulia
Sebelum ini terbijaksana
Sebelum ini bahagia
Sebelum ini bertakwa
Sebelum ini tentram di dada
Sebelum disini rindu berjumpa

Kemana anak istriku?
Kemana pula suami pelindungku?
Teriak pun tak mampu

Liang lahat tak terlihat
Dari sana aku terbuat
Bermula riwayat
Berakhir hikayat

Banjarmasin, 11122010

Puisi Riwayat Liang Lahat karya Mif d’King ini terdiri dari 4 bait. Bait 1 terdiri dari 9 larik. Bait 2 terdiri dari 9 larik. Bait 3 terdiri dari 3 larik. Baik 4 terdiri dari 4 larik. Seluruh lariknya berjumlah 25 larik. Sesuai dengan judulnya maka puisi ini banyak berbicara tentang hal ikhwal yang berkaitan dengan keadaan si mayyit setelah dan keadaan sebelum dimasukkan ke liang lahat.
Marilah kita cermati dengan saksama bait 1 berikut ini.
1. Sesudah ini nafas itu kemana.
2. Sesudah ini tertinggal kafan saja
3. Sesudah ini sholat pun tak bisa
4. Sesudah ini tanah selimut raga
5. Sesudah ini tamparan pun tak berguna
6. Sesudah ini dunia tertawa
7. Sesudah ini keranda harus kemana
8. Sesudah ini apa yang tersisa
9. Sudah disini sesal berjumpa

Bait 1 ini sepenuhnya dibangun dengan rima sekaligus ritme yang tertata rapi. Hal ini ditandai dengan pengulangan kata Sesudah ini di setiap awal larik. Dan pengulangan bunyi vokal [a] di setiap akhir lariknya. Pengulangan-pengulangan tsb membentuk rima awal sekaligus rima akhir dengan pola pesajakan a, a. a, a, a, a, a, a, a.
Bait ini jiga dibangun dengan diksi yang bernuansa sebuah pemakaman. Bait ini diawali dengan sebuah pertanyaan Sesudah ini nafas itu ke mana. Frasa nafas itu di sini mengingatkan kita pada roh yang kini telah keluar dari jasad. Jasad yang sejatinya berasal dari tanah kini kembali ke tanah.
Sesudah pemakaman ini yang tertinggal hanyalah kain kafan saja. Tinggal sendiri di dalam kubur berselimutkan tanah yang setia. Hidup di alam barzah tak mampu berbuat apa-apa lagi. Mau marah? Di sini tamparan sudah tak berguna lagi. Dunia di luar sana banyak yang masih bisa tertawa. Tapi di sini? Keranda adalah symbol kematian. Mau dibawa ke mana? Pasrah terpaksa harus menerima ganjaran apa yang akan didapat.Karena saat ini, bahkan sholat pun sudah tak bisa lagi. Yang ada tersisa hanyalah sesal semata.
Marilah kita cermati bait 2 berikut ini.
10. Sebelum ini goreskan kencana
11. Sebelum ini sholat fardu terjaga
12. Sebelum ini sunnah terlaksana
13. Sebelum ini amal mulia
14. Sebelum ini terbijaksana
15. Sebelum ini bahagia
16. Sebelum ini bertakwa
17. Sebelum ini tentram di dada
18. Sebelum disini rindu berjumpa
Bait 2 ini dibangun dengan diksi yang berkaitan erat dengan perbuatan manusia yang seygyanya diperbuat sebelum meninggal. Bait 2 ini diawali dengan larik Sebelum ini goreskan kencana. Klausa sebelum ini maknanya adalah semasa hidup sebelum roh berpisah denga jasad. Kata kencana berarti emas yang kita tahu bahwa emas itu adalah simbol kemuliaan. Sebelum ini goreskan kencana maksudnya adalah buatlah hidup kita selalu berakhlak mulia dan beramal yang baik. Hidup dalam koridor habum minallaah dan hablum minannasy. Puisi ini masuk dalam koridor puisi epigram yang ditandai dengan ungkapan-ungkapan yang berisi tuntunan agar selamat di alam kehidupan yang akan datang. Tuntunan tu jelas tersurat dalam untaian larik-larik di bait 2 di atas.
Agar kita bisa selamat berada di alam barzah dan alam akhirat nanti hendaklah kita selalu: menentramkan diri dengan cara meningkatkan iman dan takwa, menjaga jangan sampai melalaikan sholat fardhu, melaksanakan sunnah rasul, beramal mulia, berlaku adil dan bijaksana, membiasakan hidup bahagia sakinah mawaddah warrahmah. Jika semua rambu-rambu itu sudah ditaati dan dilaksanakan dengan benar, maka kerinduan berjumpa dengan kebahagiaan akhirat insya Allah akan terwjujud. Bukan di akhirat saja, bahkan di alam kubur pun kita sudah berjumpa dengan amal mulia yang menemani kita sebelum tiba di alam akhirat.
Berikitnya marilah kita cermati bait 3 berkut ini.
19. Kemana anak istriku?
20. Kemana pula suami pelindungku?
21. Teriak pun tak mampu

Bait 3 di atas dibangun dengan diksi yang bernuansa keresahan dan kegelisahan bagi mayyit yang selama hidupnya tak mengindahkn warning di bait 2 tsb di atas. Tinggal sendiri di dalam kubur. Tak ada lagi anak dan istri. Bagi mayyit wanita tinggal sendiri di dalam kubur, tak ada lagi suami yang biasa melindunginya. Semuanya sudah terjadi. Bahkan tak mampu berteriak. Kini hanya ada sesal yang sudah tak berarti lagi.
Berikutnya mari kita cermati bait 4 berikut ini.
22. Liang lahat tak terlihat
23. Dari sana aku terbuat
24. Bermula riwayat
25. Berakhir hikayat

Bait 4 ini dibangun dengan rima dan ritme yang tertata rapi yang ditandai dengan pengulangan bunyi [at] di akhir larik 22, 23, 24 dan 25. dalam kata terlihat, terbuat, riwayat dan di dalam kata hikayat. Semua pengulangan stb membentuk rima dengan pola persajakan a, a, a, a. Di larik 22 ada pengulangan konsonan [l] pada kata liang dan lahat. Pengulangan bunyi konsonan [t] pada kata Tak dan kata terlihat. Di larik 24 dan 25 ada pengulangan bunyi [ber] dan bunyi [yat] pada kata bermula dan kata berakhir, berikutnya pada kata riwayat dan kata hikayat. Semua pengulangan itu membentuk ritme yang turut memperindah puisi ini.
Di larik 22 ada untaian Liang lahat tak terlihat. Kata tak terlihat di sini maksudnya adalah Liang lahat tsb telah tertutup tanah kembali. Berikutnya ada Dari sana aku terbuat - Bermula riwayat - Berakhir hikayat. Larik ini mengingatkan kita pada riwayat penciptaan nabi Adam alaihis salam yang diciptakan dari tanah. Bermula riwayat dan berakhir hikayat maknanya adalah manusia berasal dari tanah dan kemudian kembali lagi ke tanah.
Puisi ini berjudul Riwayat Liang Lahat. Judul puisi ini mengingatkan kita pada hal-hal yang berkaitan dengan kematian dan pemakaman. Kematian itu adalah hal yang pasti terjadi pada setiap manusia. Bahkan kematian juga adalah hal yang sangat menakutkan. Lebih- lebih lagi jika dikaitkan dengan dosa-dosa.
Pesan moral yang amat berharga dalam puisi ini adalah: hendaknya kita selalu ingat akan mati. Karena mengingat mati adalah salah satu cara untuk meningkatkan iman dan keberimanan kita kepada yang memberi hidup.

Selasa, 15 Februari 2011

PUBLIKASI, DIALOG SASTRA DAN TEMU PENYAIR 3 KOTA



SAHDAN. Saat wisata budaya di Pulau Penyengat Kepulauan Riau dalam rangkaian Temu Sastrawan Indonesia III, usai kapal merapat di pelabuhan dan disambut wanita-wanita berkompangan memukul rebana, secara spontan saya (DAM) berseru "3 DIMENSI" (maksudnya 3 penyair berawalan huruf D--Diah Hadaning, DAM, dan D Kemalawati) sembari berjalan beriringan di antara batang-batang ilalang yang baru saja ditebang. Diah Hadaning mengerti maksud seruanku lalu berkata memaknai 3 D sebagai DETAK DALAM DJIWA, lalu D Kemalawati menyebutnya sebagai "sejarah" yang harus diabadikan. Kami bertiga di perjalanan wisata budaya itu lantas bersepakat untuk mengabadikan karya ke dalam sebuah buku, biar Lapena yang menerbitkannya. Nanti buku itu kita launching di Banda Aceh, Jambi,dan Jakarta.

Entah terpengaruh mantra, entah lantaran stamina saling mencinta, sesampai di Jambi dalam waktu 3 hari saya kirimkan email kepada D Kemalawati sebanyak 33 puisi sesuai kesepakatan dan kukasih pengantar singkat "telah kutunaskan dan kulunaskan: tunai". Kiriman puisi saya ini rupanya serupa "tantangan menarik" ketika D Kemalawati langsung merespon, "kalau 33 puisi telah tersedia, aku lagi menyeleksi dan membuat puisi baru", begitu katanya. Kepada Mbak Diah Hadaning kukirim SMS "Mbak telah kulunaskan kewajibanku setor 33 puisi, jika puisi-puisi mbak Diah sudah siap kirimkan ke emailku ya?". Tak berapa lama, mungkin selang 2 minggu, mbak Diah Hadaning secara mengejutkan mengirim 33 puisi yang semuanya baru. Puisi-puisi mbak Diah Hadaning terinspirasi peristiwa dan pengalaman saat melakukan wisata budaya di Pulau Penyengat dan tentu saja terkait dengan "silaturahmi hati" melalui puisi.

Silaturahmi hati memang dapat dijembatani melalui puisi. Setiap penyair yang berawalan huruf "D" masing-masing telah menuliskan segenap perasaan, pikirannya, pengalamannya, dan harapannya di dalam puisi. Puisi yang terkumpul berjumlah 99 puisi. Buku kumpulan puisi ini oleh D Kemalawati diberi judul 3 DI HATI ( Diah Hadaning, Dimas Arika Mihardja, D Kemalawati). Jakarta, Jambi, Banda Aceh lalu bertemu dan saling bertamu. Launcing buku ini telah dilaksakan di Banda Aceh dengan sukses.Tercatat ada 8 karangan bunga ukuran besar sebagai ucapaan selamat. Wakil Wali Kota Banda Aceh (Illiza Saaduddin Djamal) turut membaca puisi di acara ini, menyediakan konsumsi, dan bahkan meminjamkan mobil sebagai sarana melakukan ziarah tsunami. Mobil ini lalu dinahkodai oleh Helmi Hass (suami D Kemalawati) mengantarkan Djazlam Zainal (dari Malaysia yang bertindak sebagai pembedah buku) dan saya melakukan ziarah budaya ke segenap pelosok Aceh.

MARET, DI KOTA KARET. Rencananya, 22 Maret 2011 buku 3 DI HATI (Lapena, 2010) ini dilaunching di kota karet, Jambi. Di Negeri Seribu Seloka yang berpijak pada filosofi "Adat bersendi syara' syara'bersendikan Kitabullah" ini acara digelar di dua tempat. Tanggal 22 Maret 2011 pagi hingga siang/sore acara DIALOG SASTRA DAN TEMU PENYAIR 3 KOTA ini dihelat di Aula Rektorat Universitas Jambi. Acara ini akan diawali dengan launcing dua buku. Buku utama dan pertama berjudul 3 DI HATI yang memuat puisi Diah Hadaning (Jakarta), Dimas Arika Mihardja (Jambi), dan D Kemalawati (Banda Aceh) dan buku kedua sebagai pendamping berjudul KEPAK ANGSA PUTIH (karya mahasiswa peserta penulisan kreatif puisi dan DAM sebagai pengajarnya).Launching ini diselang-seling Pesta Puisi, menampilkan penyair Diah Hadaning, DAM, dan D Kemalawati serta beberapa perwakilan mahasiswa yang puisinya termuat dalam buku KEPAK ANGSA PUTIH.

Usai PESTA PUISI dilaksanakan talk show DIALOG SASTRA yang menghadirkan 3 penyair sebagai nara sumber dan 2 pembicara. Penyair Diah Hadaning, DAM, dan D Kemalawati diberi ruang untuk mengisahkan perjalanan kreatifnya selaku penyair. Sebagai pemicu pembicaraan dikemukakan 2 keras kerja yang membahas puisi-puisi yang terangkum dalam buku 3 DI HATI. Akan tampil Dr. Maizar Karim, M.Hum (Pakar sastra dan Pembantu Rektor III Universitas Jambi) dan Dr. Hary S. Harjono (Kritikus, penulis, peneliti) yang disertasinya terfokus pada kritik sastra. Acara dilanjutkan dengan silaturahmi dialogis terkait dengan dunia perpuisian. Acara di kampus ini rencananya juga mengundang sastrawan lain dan tentu saja sivitas akademika Universitas Jambi untuk turut menyemarakkan silaturahmi mata hati.

MALAM harinya, Taman Budaya Jambi siap menyambut kehadiran penyair tamu dengan menu lesehan penyair dan sambung rasa yang diwarnai atraksi seni. Apa saja yang akan ditampilkan dan susunan acara di Taman Budaya Jambi, saat ini sedang dipersiapkan. Tunggu tanggal mainnya, dan marilah bersama-sama menyukseskannya.

Salam
Dimas Arika Mihardja