Senin, 08 November 2010

KOMUNITAS SASTRA DI INDONESIA: TUMBUH BAK CENDAWAN, SIRNA LAKSANA ASAP


Iwan Gunadi

Seorang dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia heran ketika ber¬kunjung ke Universitas Leiden, Belanda, beberapa tahun lalu. Ia heran bukan lantaran koleksi kar¬ya-karya sastra lama Indonesia di sana jauh lebih lengkap ketimbang di negeri¬nya. Banyak kalangan, terutama para akademisi, sudah lama memaf¬humi¬nya. Kolonialisme, inilah yang kemudian sering muncul sebagai tumbal argumentasi.

Tentu, bukan hal itu yang membuatnya heran. Mereka pun lebih lengkap mengoleksi karya-karya sastra mutakhir terbitan pelbagai komunitas sastra di Indonesia. Rupanya, itulah biang keladi keheranannya. Maklum, di almamaternya sendiri, ia merasa tak mudah menemukan karya sastra semacam itu. Padahal, pelbagai karya sastra itu diterbitkan paling lama sekitar 1995. Ia sendiri kemudian betah di Universitas Leiden untuk memperdalam ilmu dan meneliti sampai sekarang.

Cendawan di Musim Hujan
Memang, sejak awal 1980-an, di Indonesia tumbuh ba¬nyak komunitas sastra. Kalau kita pakai perumpamaan klise, fenomena ter¬se¬but bak cendawan di musim hujan. Pemetaan yang dilakukan Komunitas Sas¬tra Indonesia (KSI) untuk Litbang Harian Kompas (Jakarta) pada 1997 saja berhasil me¬ngum¬pul¬kan informasi dari 54 komunitas sastra yang tumbuh dan atau masih aktif di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Dari jumlah tersebut, yang berhasil dipetakan ada 46 komunitas sastra. Jumlah tersebut saja melebihi jumlah 35 organisasi yang mengikuti Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) yang digelar di Jakarta pada awal Maret 1964. Artinya, selama 33 tahun, jumlah komunitas sastra di wilayah yang lebih sempit sudah melebihi jumlah komunitas di wilayah yang jauh lebih luas, walau mungkin di wilayah yang lebih luas tersebut masih banyak komunitas sastra yang tidak turut konferensi tersebut.

Kalau wilayahnya kita perluas sampai seluruh Indonesia dengan ren¬tang waktu sama (1997), jumlahnya bisa ratusan atau bahkan lebih. Apalagi jika rentang waktunya diperpanjang melebihi tahun tersebut. Melani Budianta, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia, misalnya, pada diskusi “Mencermati Sastra Subkultur Kita” yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia di Jakarta, 31 Mei 2001, memperkirakan bahwa pada saat itu jumlah komunitas sastra di Indonesia lebih dari 200 dan 75 di antaranya berada di Jakarta. Jumlah tersebut pun belum termasuk komunitas sastra yang dibentuk di kampus-kampus perguruan tinggi.

Kalau rentang waktu untuk taksiran Melani diperpanjang ke depan hingga 2010, misalnya, jumlahnya jauh di atas angka itu. Krisis moneter (krismon) pada 1997 yang berkembang menjadi krisis multidimensi, lalu berujung dengan mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) pada 21 Mei 1998, menyorongkan ruang yang luas untuk tumbuhnya kelompok-kelompok, termasuk kelompok kesusastraan. Krismon membangkrutkan banyak perusahaan dan menciptakan pengangguran di mana-mana. Mengamen menjadi salah satu cara bagi para pengangguran untuk bertahan hidup. Dari sana, muncullah aktivitas pementasan karya sastra, terutama puisi, di atas moda transportasi darat. Keguyuban di antara para pelakunya melahirkan sejumlah komunitas sastra. Tumbuhnya ratusan media massa sejak 1998 setelah Menteri Penerangan Kabinet Reformasi Pembangunan pimpinan Presiden Baharuddin Jusuf (B.J.) Habibie, M. Yunus Yosfiah, membuka keran kebebasan penerbitan media massa tentu turut merangsang ramainya komunitas sastra. Begitu juga pencabutan Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), terutama komunitas sastra yang berbasis warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.
Kalau kita sepakat dengan asumsi bahwa komunitas teater, komunitas seni secara umum, atau komunitas nonseni tak terlepas atau tak jarang juga melakukan ak¬tivitas sastra, jumlah “komunitas sastra” tentu lebih banyak lagi. Maklum, jumlah aktivitas sastra seolah tak pernah menyusut. Penyelenggaranya tentu tak hanya komunitas sastra, tapi juga komunitas seni yang lain atau bahkan komunitas nonseni yang punya perhatian atau minat terhadap sastra. Apalagi, tak sedikit pekerja sastra yang juga berteater, berseni rupa, dan ataupun menggeluti atau sekurangnya meminati cabang kesenian lain ataupun sebaliknya, tak sedikit orang di luar pekerja sastra menggeluti atau sekurangnya meminati sastra. Kenyataan tersebut juga kembali menambah deret panjang “komunitas sastra”. Kalau ingin bukti, tengok saja buku Direktori Seni dan Budaya Indonesia 2000, misalnya. Dari 3.869 komunitas seni budaya di Indonesia yang berhasil dicacat hingga 1999, komunitas yang melakukan aktivitas sastra melebihi angka taksiran Melani tadi. Mereka bukan hanya komunitas sastra, tapi komunitas cabang kesenian yang lain, komunitas seni secara umum, atau bahkan komunitas budaya.

Data yang mencengangkan dapat dilihat pada hasil Susenas Model 2003 yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS)—sekarang, namanya Badan Pusat Statistik (BPS). Selama 1993-2003, BPS mencatat keberadaan 89.658 organisasi kesenian dari 26 provinsi di Indonesia. Jumlah tersebut meliputi organsasi kesenian di bidang musik, seni tari, seni rupa, karawitan, pedalangan, teater, dan sastra. Organisasi kesenian di bidang sastra mencapai 4.699 atau 5,24% dari jumlah total organisasi kesenian itu.

Penyebaran berbagai komunitas sastra itu tak merata. Pulau Jawa menjadi wilayah yang paling banyak memiliki organisasi kesenian di bidang kesusastraan. Provinsi-provinsi di Maluku dan Papua diperkirakan sebagai wilayah yang paling sedikit memiliki komunitas sastra.

Perubahan Politik, Sosial, dan Ekonomi
Kesemarakan pertumbuhan komunitas sastra di Indonesia selama 30 tahun terakhir itu tentu tak lepas dari kondisi politik, sosial, dan ekonomi selama rentang waktu tersebut. Selama itu, masyarakat Indonesia mengenal dua tipe kehidupan politik, sosial, dan ekonomi yang berbeda. Selama 20 tahun hingga Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden RI, masyarakat Indonesia hidup dalam hegemoni negara, yang direpresentasikan oleh pemerintahan Soeharto dengan aktor tunggal Soeharto sendiri. Rentang waktu tersebut merupakan bagian utama dari 32 tahun masa kepemimpinan Soeharto yang berkuasa secara otoriter. Selama 32 tahun rezim Orde Baru tersebut, kekuatan negara lebih besar ketimbang pengaruh masyarakat. Bahkan, banyak analis politik dan sosial menilai masa tersebut sebagai periode ketertekanan masyarakat yang teramat sangat, terutama sejak 1980-an.

Dengan posisi yang lebih kuat itu, negara mampu mengambil sejumlah langkah kebijakan politik untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Akibatnya, pada awal 1980, Pemerintah Indonesia telah berhasil melemahkan semua potensi kritis masyarakat. Masyarakat tak lagi berani berseberangan atau berbeda paham dengan pemerintah. Sebab, kontrol pemerintah ditebar di mana-mana. Masyarakat seperti hidup dalam rumah kaca.

Kalau akhirnya masyarakat seperti menerima kondisi represif tersebut, hal itu lebih karena efektifnya pengaruh candu ekonomi yang ditiupkan rezim Soeharto. Tapi, di luar keterbiusan oleh candu ekonomi, masyarakat sesungguhnya tak sepenuhnya menerima represi negara dengan diam seribu bahasa. Kelompok masyarakat yang kritis membentuk kelompok-kelompok kecil yang bergerak secara informal di luar wilayah-wilayah yang mudah dikontrol penguasa. Begitu juga dengan kelompok-kelompok kesenian, termasuk kelompok kesusastraan. Mulanya mereka tumbuh di taman-taman budaya yang dibangun pemerintah, tapi kemudian menyebar ke luar setelah taman-taman budaya berubah menjadi pusat-pusat kesenian. Maraknya pertumbuhan komunitas sastra di luar pusat-pusat kesenian itu boleh jadi merupakan upaya berkelit dari represi negara terhadap para warganya serta tak lepas dari munculnya kesadaran kolektif yang lebih meluas pada 1980-an dan lebih-lebih pada 1990-an untuk tak lagi menempatkan Jakarta sebagai barometer standar estetika kesusastraan Indonesia.

Belum lagi perkembangan teknologi informasi (TI) memberikan kesempatan yang nyaris tanpa batas yang disediakan situs-situs web sastra, blog sastra, mailing list (milis), ataupun situs jaringan sosial seperti friendster (www.friendster.com) dan facebook (www.facebook.com) di dunia maya alias internet yang mulai tumbuh sebelum krisis moneter pada pertengahan 1997. Dunia maya kemudian tak hanya menjadi wadah untuk menyosialisasikan karya sastra, tapi juga menjadi wadah untuk saling berinteraksi: mulai dari berdiskusi, berdebat, bergunjing, tukar informasi, apresiasi interaktif, atau sekadar berkenalan di antara orang-orang yang menyenangi, meminati, dan atau memahami karya sastra. Sejak itulah, komunitas-komunitas sastra di dunia maya, yang kemudian ditengarai sebagai komunitas sibersastra, bermunculan memperkaya ragam komunitas sastra.

Jalan Pintas Legitimasi Kesastrawanan
Awalnya, kesemarakan pertumbuhan komunitas sastra di Indonesia itu dicurigai dilatari kecenderungan seperti ini: seseorang yang merasa belum menjadi sastrawan menjadikan komunitas sastra sebagai “kendaraan” yang akan menyulapnya sebagai sastrawan. Komunitas sastra berperan sebagai legitimator status “kesastrawanan”. Atau, seseorang yang sudah merasa menjadi sastrawan menjadikannya sebagai “kendaraan” yang akan menguatkannya sebagai sastrawan besar. Besar di sini dapat bermakna sastrawan yang menghasilkan karya-karya bermutu tinggi, yang berpotensi memopulerkan namanya. Atau, besar juga dapat berarti nama besar yang dihasilkan dari politik sastra yang ditempuhnya, bukan lantaran karya-karyanya. Bahkan, boleh jadi, karya-karyanya tak seberapa atau bahkan bermutu rendah. Tapi, karena aktivitas politik sastranya lebih heboh, namanya menjadi besar dan terkenal.

Fenomena semacam itu mengemuka lantaran tak sedikit komunitas sastra dibentuk dengan relasi yang tidak imbang antaranggotanya. Dalam bahasa politik, ia dikenal sebagai kekuasaan. Relasi yang tidak imbang tersebut mungkin lahir lantaran komunitas sastra itu sejak awal memang berfungsi sebagai sanggar atau wadah pembibitan atau pelatihan. Dalam kondisi demikian, potensi konflik antarkepentingan mungkin lebih kecil untuk terjadi atau bahkan tak ada celah. Sebab, komunitas semacam itu memang dibangun dengan kesadaran bahwa relasi antaranggotanya memang timpang alias tidak imbang. Tak heran bila pihak yang terdominasi atau terhegemoni kekuasaan itu tak merasa dirugikan. Kekuasaan dengan citra positif sebagaimana dipahami Michel Foucault tampaknya cocok untuk kondisi seperti itu.
Dalam relasi tak imbang seperti itu, biasanya, ada pemuka yang berperan sebagai pusat kekuasaan. Seluruh instrumen komunitas berputar dalam hegemoninya. Seluruh anggota komunitas biasanya berusaha mengidentifikasi diri sesuai dengan keinginan, pemikiran, dan sikap sang pemuka. Walaupun mungkin sang pemuka tak menghendaki hal-hal semacam itu terjadi, sikap feodalistik para anggota tak jarang membuat mereka sungkan atau “takut” mengidentifikasi diri menjadi sesuatu yang bertentangan dengan keinginan, pemikiran, dan sikap sang pemuka. “Takut” dinilai tak sopan, tak tahu diri, dan semacamnya seolah-olah telah menjadi senjata yang dibikin mereka sendiri untuk membunuh keakuannya. Padahal, di sisi lain, di antara mereka banyak yang menyadari bahwa keakuan merupakan salah satu senjata kesenimanan, termasuk kesastrawanan.

Kecenderungan seperti itu terjadi pada banyak komunitas besar. Ada seseorang yang menjadi as atau pusat. Semua orang yang ada di sekitar atau sekelilingnya mencoba mengidentifikasi diri seperti sang pusat. Tak heran kalau kemampuan kritis mereka terhadap sang pusat majal. Kalau hal ini terjadi, pertumbuhan dan perkembangan komunitas sastra selama 30 tahun terakhir terasa paradoks.

Di satu sisi, kehadiran pelbagai komunitas sastra itu seperti ingin menegasikan apa yang selama ini disebut pusat: Taman Ismail Marzuki di antara taman-taman kesenian lain, Jakarta di antara propinsi-provinsi lain, Majalah Horison di antara majalah-majalah lain atau Majalah Horison sebagai sebuah kesendirian, rubrik seni dan budaya Harian Kompas pada edisi Minggu di antara harian-harian lain yang memiliki rubrik yang sama, dan seterusnya.

Namun, di sisi lain, kehadiran pelbagai komunitas sastra seperti menciptakan pusat-pusat baru. Bedanya, pusat pertama bersifat institusional yang beragam. Karena itu, sifat acuannya pun samar. Karena acuannya samar, setiap proses kreatif yang mengacu kepadanya masih memiliki potensi keanekaan yang lebih luas. Sedangkan, pusat kedua bersifat personal individual. Karena itu, referennya tegas dan tunggal. Karenanya, setiap proses kreatif yang bertolak darinya memiliki peluang yang lebih sempit untuk menjadi penuh warna. Boleh jadi, hasil dari setiap proses kreatif itu hanyalah manifestasi dari isi kepala sang pusat atau varian-varian yang hanya sedikit berbeda dari karya-karya kreatif sang pusat. Kalau hal tersebut yang terjadi, pusat-pusat baru yang personal individual ini tentu “lebih berbahaya” untuk suatu kreativitas dan inovasitas.

Sementara, bila relasi yang tidak imbang itu lahir bukan karena konsekuensi bentuk komunitas sastra, ketimpangan itu muncul biasanya lantaran pihak pendominasi atau penghegemoni memiliki kemampuan menjalin hubungan antarpersonal dan jaringan yang lebih luas. Ada juga memang sejumlah komunitas dengan hubungan antaranggota yang timpang karena pihak pendominasi atau penghegemoni memang memiliki pengetahuan sastra dan kemampuan menghasilkan karya sastra yang lebih baik. Tapi, yang terakhir ini tampaknya jauh lebih sedikit dari yang pertama. Komunitas sastra model pertama itu sendiri biasanya dibentuk lebih karena inisiatif pihak pendominasi atau penghegemoni. Dalam kondisi seperti itu, konflik antarkepentingan lebih berpeluang terjadi. Kalau hal ini mencuat, komunitas sastra tersebut terancam bubar.
Ancaman yang sama juga dapat membayangi komunitas sastra yang bersandar pada satu figur tertentu sebagai pusat segalanya. Tapi, ancaman tersebut tak dilatarbelakangi konflik yang tajam antaranggota. Sebab, dalam komunitas dengan pusat satu tokoh tertentu, keberlangsungan hidup komunitas sastra cenderung tak dipengaruhi ada tidaknya konflik antaranggota. Apalagi bila konflik itu tak melibatkan sang pemuka atau sang pusat.

Akhirnya, ancaman bubar bagi komunitas sastra semacam itu biasanya hanya muncul dari sang pemuka sendiri. Keberadaan komunitas sastra tetap akan terjaga dan bergairah selama sang pemuka tetap bergairah pula. Kalau sang pemuka tak lagi bergairah atau bahkan meninggal dunia, komunitas sastra itu dapat lebih dipastikan akan terancam bubar.

Puisi Bergemuruh, Karya Melimpah
Nah, dalam deretan panjang komunitas sastra tadi, banyak sastrawan berkarya. Me¬reka begitu bergairah menghasilkan karya sastra, terutama puisi. Bah¬kan, akibat begitu banyaknya, ada yang mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia se¬dang mengalami inflasi penyair dan booming puisi. Karena banyak orang menciptakan puisi, predikat “penyair” pun disandang banyak orang. Boleh dikatakan, puisi, penyair, dan komunitas sastra mengalami booming serempak selama 1990-an. Booming yang muncul lantaran adanya keterkaitan kuat di antara ketiganya. Pemetaan yang dilakukan KSI tadi menyebutkan, 20 komunitas sastra di Jabotabek sa¬ja telah menerbitkan sekitar 140 buku sastra atau terbitan berkala sejak awal 1990-an hingga 1998. Jumlah itu belum termasuk penerbitan yang dilakukan secara pribadi. Padahal, penerbitan jenis terakhir ini lebih bergairah. Ia juga belum termasuk karya rekam audio dan audio-visual.

Sayangnya, semua itu hanya mampu diakses segelintir orang. Masya¬ra¬kat luas tak mampu mengaksesnya. Satu hal itu terjadi lantaran ma¬sya¬rakat Indonesia tentu bukan pemburu buku. Dua, ketakmampuan mengakses tersebut terjadi lantaran karya-karya itu umumnya dicetak sangat terbatas. Bahkan, ada yang difotokopi hanya puluhan eksemplar.
Tiga, penyebarannya sangat sempit. Biasanya karya-karya itu hanya beredar dalam sejumlah komunitas yang memiliki jaringan dengan penerbit atau penulisnya. Paling sial—dan ini tak jarang terjadi—karya-karya itu hanya dinikmati anggota komunitas penerbitnya. Empat, kesadaran mereka untuk mendaftarkan karya-karya cipta itu sangat tipis. Akhirnya, pelbagai karya sastra lahir di pelbagai komunitas sastra bak cendawan di musim hujan dan jejaknya hilang laksana asap.

Puisi Dibaca, Diskusi Digelar
Lebih banyak komunitas sastra dengan kegiatan utama berdiskusi ketimbang komunitas sastra dengan kegiatan utama pementasan karya sastra, terutama pembacaan puisi (baca: deklamasi), musikalisasi puisi, atau teaterisasi puisi. Tapi, hal itu bukan jaminan bahwa kegiatan berdiskusi lebih banyak dilakukan ketimbang pementasan karya sastra, khususnya pembacaan puisi.

Yang justru terjadi adalah sebaliknya: pementasan karya sastra, terutama pembacaan puisi, mendominasi pelbagai kegiatan yang dilakukan komunitas-komunitas sastra di seluruh Indonesia. Diskusi formal atau informal, seminar, saresehan, pelatihan, penerbitan buku, dan jenis kegiatan lain tentang sastra yang diselenggarakan komunitas-komunitas sastra hampir selalu diselingi dengan kegiatan pementasan karya sastra, khususnya pembacan puisi. Bahkan, diskusi, seminar, saresehan, dan pidato yang membahas bukan tentang sastra tak jarang diselingi dengan aktivitas pementasan karya sastra, khususnya pembacaan puisi. Banyak demonstrasi buruh dan mahasiswa diselingi pembacaan puisi, termasuk demonstrasi mahasiswa yang akhirnya memaksa Soeharto mundur sebagai Presiden RI.

Kegairahan membaca atau mementaskan karya sastra seperti didedahkan di atas tentu tak lepas dari relatif terjaminnya kebebasan berekspresi. Di sisi lain, sambil meminjam terminologi dari buku Walter J. Ong, Orality and Literacy: The Technologizing of the Word, A. Teew pernah menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia terimpit dilema di antara kelisanan dan keberaksaraan dengan kenyataan yang jauh lebih kompleks.

Kegiatan lain yang dominan dilakukan pelbagai komunitas sastra di Indonesia adalah berdiskusi. Ada sejumlah bentuk kegiatan yang dikategorikan sebagai berdiskusi dalam pembahasan ini. Mulai dari mengobrol, berdebat, seminar, saresehan, kongres, hingga bentuk-bentuk lain perbincangan yang memungkinkan peserta bertukar informasi, pikiran, dan perasaan; serta menyampaikan dan menerima pujian, tanggapan, saran, kritik, atau celaan dalam suatu topik tertentu.

Tak seperti kegiatan pembacaan atau pementasan karya sastra, kegiatan berdiskusi tak selalu hadir pada setiap kegiatan sastra. Selain sebagai kegiatan mandiri, kegiatan berdiskusi umumnya hadir pada kegiatan sastra dengan cakupan yang lebih luas. Pada pertemuan seperti itu, berdiskusi kerapkali menjadi kegiatan utama. Ada lumayan banyak nama yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan seperti itu. Misalnya, dialog sastra, forum sastra atau sastrawan, festival sastra, jambore sastra, kongres sastra atau sastrawan, pekan sastra, pertemuan sastra atau sastrawan, silaturahmi sastra atau sastrawan, dan temu sastra atau sastrawan. Yang paling banyak digunakan adalah temu sastra. Cakupan peserta atau wilayahnya bisa satu daerah tingkat dua (kabupaten atau kota madya), beberapa daerah tingkat dua, satu daerah tingkat satu (provinsi), beberapa daerah tingkat satu, satu pulau, beberapa pulau, nasional atau se-Indonesia, beberapa negara serumpun (Melayu), dan bahkan ada yang bercakupan lebih luas dari itu. Acara-acara itu ada yang digelar hanya sekali, tiap tahun, atau tiap dua tahun. Tak semua kegiatan seperti itu diselenggarakan secara penuh oleh komunitas sastra. Kegiatan dengan skala yang lebih besar dan cakupan yang lebih luas lebih sering digelar oleh lembaga pemerintah, dewan kesenian, atau komunitas sastra yang memiliki jaringan yang luas dan dukungan finansial yang kuat, termasuk memiliki jaringan atau dukungan di lembaga pemerintah, dunia usaha, atau lembaga donor dari luar negeri. Tak heran jika jaringan atau dukungan tersebut menyempit atau melemah, kegiatan yang semula diniatkan dapat diselenggarakan secara rutin terpaksa menjadi beberapa kali saja atau bahkan hanya satu kali.

Melimpahnya Karya Sastra, Melemahnya Mutu?
Menerbitkan buku merupakan “kegemaran” lain komunitas sastra di Indonesia selain membaca puisi dan berdiskusi. Pemetaan yang dilakukan KSI menyebutkan, 20 komunitas sastra di Jabotabek sa¬ja telah menerbitkan sekitar 140 buku sastra atau terbitan berkala sejak awal 1990-an hingga 1998. Angka tersebut belum memasukkan jumlah buku yang diterbitkan Forum Lingkar Pena (FLP) yang baru berdiri pada 1997 di Depok, Jawa Barat. Ketika berulang tahun yang kesepuluh pada 2007, FLP pernah mengklaim telah menerbitkan lebih dari 500 judul buku selama rentang eksistensinya. Jumlah itu belum termasuk penerbitan yang dilakukan secara pribadi. Padahal, penerbitan jenis terakhir ini lebih bergairah. Ia juga belum termasuk karya rekam audio dan audio-visual. Kalau cakupan wilayah diperluas hingga seluruh Indonesia dan rentang waktu diperpanjang hingga masa mutakhir, tentu, jumlahnya akan jauh lebih dari angka itu. Melimpahnya karya sastra, sementara ini, memang menjadi sumbangan terbesar komunitas sastra bagi khazanah sastra Indonesia. Sebab, sekali lagi, begitu banyak karya sastra lahir di sana.

Menerbitkan buku sastra memang menjadi obsesi setiap komunitas sastra. Bahkan, bagi komunitas sastra yang punya dana lebih dari cukup, boleh jadi, hal itu merupakan suatu “kegemaran”. Pada sedikit komunitas sastra, obsesi dan “kegemaran” tersebut dibarengi dengan selektivitas yang ketat, sehingga mampu menghadirkan karya sastra yang mutunya terjaga. Pada banyak komunitas sastra yang lain terjadi hal yang sebaliknya. Maklum, banyak sastrawan dalam komunitas sastra menerbitkan buku sastra hanya bermodalkan keberanian dan kenekatan. Mereka tidak menguasai kata. Padahal, kata jugalah yang mereka tekuni setiap hari. Sedikit dari mereka memang berbakat dan atau memiliki intelektualitas yang cukup. Selebihnya adalah tanpa bakat dan intelektualitas.

Sayangnya, pelbagai kegiatan sastra yang dilakukan komunitas-komunitas sastra itu bergerak dalam frekuensi yang berubah-ubah, turun-naik, dengan intensitas perubahan yang berbeda-beda antara satu jenis kegiatan dan kegiatan lain, sejak 1970-an hingga akhir 2000-an. Situasi politik dan ekonomi tentu dapat ditengarai sebagai penyebab utama.
Di sisi lain, kesemarakan pertumbuhan komunitas sastra di Indonesia selama 30 tahun terakhir belum memperoleh kajian yang menyeluruh dan mendalam dari para peneliti, baik peneliti Indonesia maupun luar Indonesia. Will Derks, peneliti dari Belanda, memang pernah mengulas komunitas sastra yang hadir sebagai gerakan pada pertengahan 1990-an, yakni Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP), melalui tulisan bertajuk “Sastra Pedalaman: Pusat-Pusat Sastra Lokal dan Regional di Indonesia”, tapi RSP hanyalah salah satu riak penting dari dinamika komunitas sastra di Indonesia. Beberapa tahun belakangan ini, peneliti dari Jepang, Shiho Sawai, mencoba mengkaji fenomena komunitas sastra di Indonesia, tapi kajiannya lebih ke sisi pembiayaan (finansial)-nya. Bahkan, belakangan, perhatiannya lebih fokus ke sejumlah buruh migran di Hong Kong yang bergiat menuis karya sastra. Meski begitu, bila upaya-upaya awal yang lebih spesifik itu terus dilanjutkan, kita tetap akan memiliki gambaran yang lebih menyeluruh dan komprehensif tentang dinamika perkembangan komunitas sastra di Indonesia.

Versi yang kurang lebih sama dimuat di Harian Riau Pos (Pekanbaru), 31 Oktober dan 7 November 2010.


Kamis, 04 November 2010

Menikmati Puisi Dunia Maya (bagian 9)




Oleh: Hamberan Syahbana

Pada waktu kita membaca judul essei ini pertanyaan-pertanyaan yang timbul di benak kita adalah: (1) Apakah puisi bisa dinikmati? (2) Bagaimana mungkin kita bisa menikmati sebuah puisi? (3) Bukankah puisi itu karya sastra yang tersulit dipahami? (4) Mungkinkah kita bisa menikmati puisi, sementara informasi yang disajikan teramat sedikit? Jawaban untuk semua pertanyaan tsb adalah: Bisa! Mengapa tidak! Kita pasti bisa menikmati puisi. Tentu ada caranya.
Kita bisa menikmati puisi dengan cara: (1) mendengar pembacaan sebuah puisi. (2) menghayati dan membaca sendiri sebuah puisi, (3) Menyaksikan pagelaran musikalisasi puisi, (4) menyaksikan dramtisasi puisi, (5) melalui analisis yang mengulas tentang kekuatan dan keindahan sebuah puisi. Untuk maksud no. 5 tsb itulah essei ini ditulis dengan maksud berbagi pengalaman dalam menikmati puisi dunia maya, khususnya puisi-puisi yang diposting melalui jejaring sosial facebook.
Essei Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 9 ini tampil beda dari biasanya. Karena di samping kita dapat nikmati pusi-puisi rekan-rekan fesbuker juga secara khusus kita dapat menikmati puisi karya Dimas Arika Mihardja. Tentu kita semua sudah sangat mengenal Dimas Arika Mihardja ilmuan, penyair dan akademisi yang banyak pengalaman malang melintang di dunia perpuisian Indonesia. Sejujurnya saya menyadari bahwa essay ini bukanlah forum yang tepat untuk mengulas puisi-puisinya. Bagaimana mungkin saya yang masih dalam pembelajaran menulis essei, kok berani-beraninya mengulas puisi Dimas Arika Mihardja? Tetapi atas permintaan beberapa teman fesbuker saya mencoba memberanikan diri mengulas puisinya Dimas Arika Mihardja. Essei ini semata-mata agar kita bisa berbagi menikmatinya lebih dalam lagi. Dan essei-essei yang akan datang kita juga akan berbagi dengan puisi-puisinya Hardho Sayoko Spb dan puisinya Kurnia Effendi dll. Sudah barang tentu essei ini juga belum bisa memuaskan berbagai pihak.
Menikmati sebuah puisi berarti kita menikmati sebuah karya hasil imajinansi penyair yang mengungkapkan pikiran dan perasaannya melalui sebuah puisi. Puisi yang bisa kita nikmati tentunya puisi yang dapat menimbulkan rasa suka di hati kita. Rasa suka setiap orang itu sifatnya relatif. Diantara kita sudah pasti ada yang suka dengan untaian kata-kata yang indah. Ada juga yang suka dengan pengulangan bunyi dan pengulangan larik-lariknya. Sementara yang lain barangkali lebih menyukai tema dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Cilakanya, jujur saja kalau kita tidak suka, maka puisi itu tidak akan kita baca lagi dan langsung kita tutup. Bagaimana kita bisa menikmatinya, kalau belum apa-apa sudah kita tutup puisinya?
Tentulah rasa suka itu adalah hal yang utama bagi kita sebagi pembaca. Di samping itu ada juga yang suka dengan puisi Romansa yang berisi luapan perasaan cinta kasih dan sayang. Atau puisi Elegi yang berisi ratapan duka jeritan nestapa bahkan tangisan kesedihan. Ada lagi yang suka puisi Satire yang berisi sindiran dan kritik social. Sedangkan yang lain barangkali ada yang suka dengan Balada kisah orang-orang perkasa, atau puisi Himne yang berisi pujian untuk Tuhan, tanah air dan para pahlawan. Tentu ada juga yang menyukai Ode puisi sanjungan untuk orang yang berjasa, atau Epigram puisi tuntunan ajaran hidup dan kehidupan.
Ulasan kita dalam Essei Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 9 ini menampilkan 4 buah puisi dari empat orang penyair, yaitu:

Aku Mencintai Mu puisi karya Abdul Majid Kamaludin dari kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Tang puisi Husni Hamisi dari kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan
Di Sebuah Dermaga Di kota Batam puisi karya Mudjahidin S dari kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan.
Pergumulan Semalam puisi karya Dimas Arika Mihardja dari Kotabaru Provisi Jambi.

(1)

Aku Mencintai Mu
Tuk : Dewi Yanti Wadu,
Puisi Abdul Majid Kamaludin

Aku mencintai mu
Disetiap desah nafas berpacu
Disetiap detik, menit melaju
Disetiap laju darah memacu
Disetiap hening waktu berlalu
Disetiap malam yang hanya ditemani dingin
Disetiap hari yang tak lagi ku hirau
Aku mencintai mu.

Momerial in sabu (NTT).

Tipografi puisi Aku mencintaimu karya Abdul Majid Kamaludin ini ditujukan kepada Dewi Yanti Wadu. Puisi ini tampil dengan tipografi tanpa bait yang terdiri dari 8 baris larik. Seluruh lariknya dari larik 1 sampai dengan larik 8 mengumpul jadi satu dengan untaian kata-kata yang bernuansa cinta.
Puisi ini menyajikan kata disetiap di larik 2 sampai dengan larik 7. Menurut EYD kata depan [di] penulisannya harus dipisahkan dari kata [setiap]. Tetapi karena dalam penulisan puisi ada kebebasan tidak mengikuti aturan kebahasaan, maka penulisan kata disetiap ini sah-sah saja adanya.
Puisi ini juga dibangun dengan rima yang tertata rapi. Di sini ada rima awal yang sangat sempurna. Hal ini ditandai dengan pengulangan kata aku di awal larik 1 dan di awal dilarik 8. Berikutnya ada pengulangan kata disetiap pada larik 2, 3, 4, 5, 6 dan larik 7. Pengulangan kata tsb. membentuk rima awal dengan pola persajakan a,b,b,b,b.b.b,a. Di sini juga ada rima akhir yang diandai dengan pengulangan bunyi vocal [u] di akhir larik 1 sampai dengan larik 5 dan di akhir larik 8 pada kata: mencintai mu, berpacu, melaju, memacu, berlalu, dan kata mencintai mu. Pengulangan tsb membentuk rima akhir dengan pola persajakan a,a,a,a,a,b.c.a.
Puisi ini juga dibangun dengan imaji auditif di setiap lariknya. Seakan-akan kita mendengar ucapan yang bernuansa cinta. Di sini juga ada imaji taktil pada larik 2 dan di larik 6. Di mana kita seakan turut merasakan dengusan desah nafas dan dinginnya malam pada untaian larik: Disetiap desah nafas berpacu dan larik: Disetiap malam yang hanya ditemani dingin.
Selanjutnya dalam puisi ada majas personifikasi, anaphora, enumerasio dan majas perifrase. Untuk melihat adanya majas-majas tsb marilah kita cermati untaian larik-larik berikut: (1) Aku mencintai mu. (2) Disetiap desah nafas berpacu. (3) Disetiap detik, menit melaju. (4) Disetiap laju darah memacu. (5) Disetiap hening waktu berlalu. (6) Disetiap malam yang hanya ditemani dingin. (7) Disetiap hari yang tak lagi ku hirau (8) Aku mencintai mu.
Majas personifikasi dapat dilihat di larik 2 pada ungkapan desah nafas berpacu. Di larik 4 ada darah memacu. Di larik 6 ada ditemani dingin. Uniknya dalam puisi ini ada majas ganda dalam satu kesatuan untaian larik yang sama. Majas-majas ganda tsb terjadi karena kesatuan untaian larik tsb dapat ditinjau dari berbagai majas, tergantung dari arah mana cara meninjaunya. (1) Ditinjau dari adanya pengulangan kata disetiap dari larik 2 sampai larik 6 di sini ada majas anaphora. (2) Ditinjau dari adanya penegasan berupa uraian bagian demi bagian suatu keseluruhan, di sini ada majas enumerasio. (3) Ditinjau dari adanya ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang pendek, di sini ada majas perifrase.
Dalam penulisan puisi ini nampaknya Abdul Majid Kamaludin sangat memahami kekuatan ritme dalam sebuah puisi. Ini terlihat jelas pada pemanfaatan pengulangan bunyi. Baik pengulangan bunyi vokal, sengau dan bunyi konsonan, maupun pengulangan kata, frase, klausa bahkan pengulangan larik secara utuh.
Puisi ini berjudul Aku Mencintai Mu. Judul ini langsung mengingatkan kita pada kisah percintaan yang tak pernah usang. Hal ini diperkuat dengan tulisan di bawahnya yaitu: Tuk: Dewi Yanti Wadu. Artinya puisi ini ditujukan kepada Dewi Yanti Wadu. Jelas ini adalah ungkapan rasa cinta. Pertanyaannya adalah: Siapakah Dewi Yanti Wadu itu? Dilihat dari sisi makna denotatif Dewi Yanti Wadu adalah seorang kekasih, tetapi secara konotatif bisa bermakna Dewi Yanti yang lain. Karena tulisan Tuk : Dewi Yanti Wadu bisa dimaknai dari berbagai sisi.
Secara gamblang puisi ini berisi ungkapan pernyataan cinta yang sangat dalam untuk Dewi Yanti Wadu seorang. Tetapi barangkali puisi ini juga bisa bermakna ungkapan rasa cinta yabg teramat dalam kepada yang lain. Sedangkan tulisan Tuk: Dewi Yanti Wadu hanyalah untuk menyatakan bahwa penulis mempunyai perasaan dan visi misi yang sama dengan Dewi Yanti. Yaitu sama-sama mencintai sesuatu yang sangat dicintai. Sayangnya kata ganti [mu] di sini tidak ditulis dengan [Mu]. Sehingga kita hanya bisa meraba-raba, Apakah ada yang lain yang sangat dicintai itu dalam puisi ini.
Pada tataran pertama kata [mu] di dalam puisi ini dia adalah memang benar-benar Dewi Yanti Wadu sang Kekasih. Pada tataran berikutnya barangkali ada yang sangat dihormati yaitu Nabi Muhammad SAW, atau yang lebih tinggi lagi yaitu Tuhan Yang Maha Sempurna. Karena hanya Tuhan dan nabiNya sajalah yang selayaknya patut dicintai melebihi dari cinta-cinta kepada yang lain.

(2)

Tang
Pusi Husni Hamisi

Orang itu datang dengan tang di tangannya
Mencongkel dua mataku, buat dipakai
Nikmati mentari di pagi hari

Semenjak itu aku hidup di matanya

Makassar, 2010

Puisi Tang karya Husni Hamisi ini tampil dengan puisi pendek yang judulnya juga pendek. Puisi ini hanya terdiri dari 4 larik, 3 larik diantaranya membentuk sebuah bait. Meskipun puisi ini sangat pendek tetapi maknanya tidak sependek puisinya bahkan terasa sangat dalam. Biasanya puisi pendek seperti ini selalu menyediakan banyak waktu untuk dihayati dan dinikmati melalui perenungan.
Dalam puisi Husni Hamisi ini kita hanya menemukan informasi yang sangat terbatas. Konsekwensinya, semakin sedikit informasi yang tersaji, semakin banyak informasi yang belum terungkap. Puisi pendek biasanya menyajikan ambiguitas berganda-ganda, dan maknanya pun bisa melebar ke mana-mana. Dengan kata lain puisi ini menimbulkan banyak makna, tergantung dari sisi mana kita memaknainya.
Puisi ini dibangun dan diperkuat dengan diksi yang pantastik dan sangat menarik untuk dibicarakan. Marilah kita cermati ungkapan yang pantastik ini. Orang itu datang dengan tang di tangannya, buat mencongkel dua mataku. Ditinjau dari makna denotatif, orang itu benar-benar datang mencungkil kedua mata. Sungguh ironis, kasihan. Di dalam untaian larik ini ada imaji visual sehingga membuat kita seolah-olah benar-benar melihat ada orang mencungkil kedua matanya dengan tang. Tentu bukan itu maknanya. Untaian ini hanyalah sebuah ungkapan perumpamaan.
Pada ungkapan mencongkel mataku di sini ada majas hoperbola, yang ditandai dengan ungkapan yang berlebih-lebihan. Disini juga ada penekanan penggunaan unsur bunyi. Dalam puisi ini Husni Hamisi sengaja menggunakankan kata mencongkel bukan mencungkil. Meskpun menurut bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah mencungkil, tetapi dalam puisi ada kebebasan menggunakan kata yang tidak baku. Berarti penggunaan kata ini dianggap sah-sah saja.
Kata mencongkel di samping memancing tanda tanya [?] juga kedengarannya lebih tegas dan lebih berat dibandingkan dengan kata mencungkil yang kedengaran lebih ringan dan lebih lembut. Kata mencongkel bisa diperhalus maknanya sama dengan mengambil. Untuk mengetahui makna secara konotatif dari mencongkel kedua mataku kita harus mencari ungkapan yang tepat. Tergantung dari arah mana kita memaknainya.
Sepintas lalu puisi ini hanya mengungkapkan perasaan cinta. Hal ini ditandai dengan makna konotatif mencongkel kedua mataku. Maknanya berada pada tataran yang sama dengan mencuri hatiku. Mencuri hatiku maknanya adalah orang itu sudah membuat aku jadi jatuh hati. Dengan kata lain hatiku selalu teringat padanya.
Mencuri hatiku adalah sebuah ungkapan yang maknanya sudah dipahami secara umum. Berbeda dengan mencongkel kedua mataku. Ungkapan ini asing kedengarannya, karena memang ungkapan ini adalah kreatifitas seorang penyair Husni Hamisi. Untuk memahami maknanya kita bisa memperhalusnya menjadi mengambil kedua mataku. Maknanya bisa mengacu pada ungkapan mencuri hatiku tsb di atas tadi. Karena kedua mataku sudah dambilnya, maka mataku selalu berada pada dirinya. Dengan kata lain mata itu selalu melihat dia. Akibatnya selalu terbayang-bayang wajahnya. Sehingga tepat seperti apa yang ada dalam lirik sebuah lagu yang berbunyi di mataku ada kamu.
Selanjutnya kedua mata itu dipakai untuk menikmati mentari pagi. Untuk memahami untain larik ini, kita harus kembali pada makna yang telah terungkap sebelumnya. Yaitu, karena kedua mata itu selalu bersamanya, maka di waktu pagi pun tetap bersamanya. Dan mataku kini selalu melihat dia dan ikut menikmati mentari pagi bersamanya. Secara sederhana maksudnya aku selalu membayangkan segala yang dilakukannya, termasuk menikmati mentari pagi.

Berikutnya pada skala yang lebih besar puisi ini berbicara tentang hilangnya kedua mataku yang dicongkel dengan tang secara paksa. Kata tang maknanya adalah suatu alat untuk memberangus sesuau secara paksa. Untuk memahami puisi ini kita harus mencermati beberapa kata kunci. Yaitu mata, tang, nikmati mentari pagi dan hidup di matanya.
Kata mata mengingatkan kita pada indra penglihatan, dan penglihatan bisa berarti pandangan. Kata pandangan menginatkan kita pada suatu wawasan. Sedangkan kata wawasan sendiri mengacu pada prospek ke depan yang berisi dasar-dasar pemikiran yang membuahkan suatu konsep. Konsep itu secara tekhnis dirinci menjadi proposal. Proposal itu secara sederhana berisi planning, organizing, actuating dan controlling (POAC).
Kaitannya dengan ungkapan mencongkel kedua mataku bisa bermakna mengambil alih secara paksa konsep dan proposal dengan prospek yang begitu cerah ke depannya. Hal ini ditandai dengan alat pemberangus yang bernama tang. Kita mengenal tang adalah alat pemaksa untuk mencabut paku besar, mencabut gigi dll.
Bisa kita bayangkan, sebuah proposal yang berisi rencana yang matang dan punya prospek baik. Tiba-tiba saja proposal itu diambil secara paksa. Hal ini ditandai dengan kata tang. Padahal rencana yang baik itu sudah terbayang akan terwujud. Tetapi tiba-tba saja diberangus. Dan sialnya proposal itu digunakan untuk menikmati mentari pagi. Makna konotatif dari mentari pagi adalah awal dari suatu kesuksesan. Semenjak itu aku hidup di matanya. Untaian penutup ini mengungkapkan bahwa sejak itu, si pemilik asli terpaksa hidup sebagai bawahan dari yang mengambil paksa proposal tsb.
Husni Hamisi sengaja menggunakan kata tang, yang kita tahu bahwa tang itu sifatnya keras dan kuat, karena memang terbuat dari besi. Tang di sini adalah symbol kekerasan yang banyak ditayangkan di media elektronik belakangan ini. Pelajaran yang bisa kita ambil dari pesan moral puisi ini adalah: hendaknya kita selalu waspada terhadap pihak-pihak pelaku tindak kekerasan yang sewenang-wenang mengambil alih paksa yang telah kita bina selama ini.

(3)

Di Sebuah Dermaga Di kota Batam
Puisi Mudjahidin S

Hikmah apa yang kudapati malam di dermaga ini
memandang bulan naik diatas gedung gedung singapore
laut cina selatan deras mengancam berkilau berkejaran
angin Tanjung Karimun, berbisik mencumbu
terlena lupa bersedih bunga mawar ungu
korban kata manis penuh tipu
dipaksa terpaksa digigit kumbang belang

tiba – tiba hujan menerjang
bulan malu buang badan di kabut malam
kabut menyesak dada
Tanjung Karimun tak bisa tidur
matanya lembam biru
karena beribu ribu tangisnya tumpah
diterpa debu
barangkali disitu saudara perempuanmu yang lama hilang
menanti melepas rantai kehidupan
ingin kembali ke kampung halaman

Mudjahidin engkau juga manusia
setanpun berbisik lembut menggoda
jangan panik
malaikatpun mencegatku menarik
antara bisik bisik dengan tarik menarik
kulihat wajah anak dan isteriku bertambah cantik

berpesan
bapak jika pulang
bawa bingkisan
yang baik – baik
tak bernoda

Tanjung Karimun/Batam 2002

Puisi Mudjahidin. S yang berjudul Di Sebuah Dermaga Di Kota Batam ini tampil dengan tata wajah yang panjang. Puisi ini terdiri dari 4 bait. Bait 1 terdiri dari 7 larik. Bait 2 terdiri dari 10 larik. Bait 3 terdiri dari 6 larik. Bait 4 terdiri dari 5 larik. Semuanya berjumlah 28 larik.
Marilah kita cermati bait 1. Bait 1 ini terdiri dari 7 larik. Bait 1 puisi ini dibangun dan diperkuat dengan majas dan imaji. Di sini ada majas erotesis, majas personifikasi. Di sini juga ada imaji visual, imaji audtif dan imaji taktil. Puisi ini diawali dengan majas erotesis yang ditandai dengan sebuah pertanyaan: Hikmah apa yang kudapati malam di dermaga ini. Berikutnya dilanjutkan dengan untaian majas persoifikasi di larik 2 sampai dengan larik 5 dalam untaian larik: memandang bulan naik diatas gedung gedung Singapore/ laut cina selatan deras mengancam berkilau berkejaran/ angin Tanjung Karimun, berbisik mencumbu/ terlena lupa bersedih bunga mawar ungu.
Berikutnya ada imaji auditif di larik 1, di mana kita seakan benar-benar mendengar pertanyaan Sang penyair kepada dirinya sendiri. Hikmah apa yang kudapati malam di dermaga ini. Berikutnya di larik 4 kita juga seakan mendengar bisikan angin Tanjung Kariman yang mencumbu bunga mawar ungu. Sehingga bunga mawar tsb tertipu dan dipaksa terpaksa digigit kumbang belang. Dalam larik-larik puisi ini juga ada imaji visual. Di mana kita seakan melihat bulan naik di atas gedung-gedung di Singapura. Laut Cina Selatan yang deras mengancam dengan ombaknya yang berkilau dan berkejaran. Ada juga kumbang belang memaksa gadis belia mawar ungu hingga terpaksa melayani si hidung belang. Sungguh sebuah ungkapan ironis.
Marilah kita cermati ungkapan-ungkapan yang tertuang dalam larik di bait 2. Larik-larik di bait 2 ini penuh dengan majas-majas. Di antaranya ada majas personifikasi yang ditandai dengan hujan menerjang di larik 8, bulan malu buang badan di larik 9, dan anjung Karimun tak bisa tidur di larik 11. Di larik 12 ada majas pleonasme yang ditandai dengan frasa lembam biru. Matanya lembam biru yang dimaksud di sini adalah di sekitar tepi mata yang bengkak berwarna kebiru-biruan karena lama menangis. Kalau bengkak ya sudah biasa warnanya itu biru. Berikutnya ada juga majas hiperbola di larik 13 yang ditandai dengan kata beribu-ribu pada untaian karena beribu-ribu tangisnya tumpah. Berikutnya di larik 16 dan 17 ada majas antropomorfisme yang ditandai dengan frase rantai kehidupan dan kampung halaman. Selanjutnya jika kita baca berurutan kesepuluh lariknya di sini terasa ada majas enomerasio yang dtandai dengan ungkapan penegasan dengan cara menguraikan bagian demi bagian dari suatu keseluruhan. Marilah kita nikmati majas enomerasio tsb berikut.
tiba – tiba hujan menerjang/ bulan malu buang badan di kabut malam/ kabut menyesak dada/ anjung Karimun tak bisa tidur/ matanya lembam biru/ karena beribu ribu tangisnya tumpah/ diterpa debu/ barangkali disitu saudara perempuanmu yang lama hilang/ menanti melepas rantai kehidupan/ ingin kembali ke kampung halaman//
Marilah kita cemati pula bait 3 pada larik-larik berikut. (18) Mudjahidin engkau juga manusia, (19) setanpun berbisik lembut menggoda, (20) jangan panik, (21) malaikatpun mencegatku, menarik, (22) antara bisik bisik dengan tarik menarik, (23) kulihat wajah anak dan istriku bertambah cantik.
Bait 3 ini berbeda dengan bait 1 dan 2 yang di sana tidak ada rima, baik di awal larik maupun di akhir larik. Di bait 3 ini kita menemukan ada rima di larik 18 pada kata manusia yang bersajak dengan kata menggoda di larik 19 yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a]. Berikutnya di larik 20 ada kata panik yang besajak dengan kata menarik di larik 21 dan 22 dan dengan kata cantik di larik 23.
Di bait 3 ini kita menemukan imaji visual dan imaji auditif secara surealis. Di sini kita seakan mendengar bisikan entah dari mana datangnya barangkali dari alam lain yang mengatakan bahwa Mudjahidin juga manusia. Lalu ada bisikan lain yang menggoda dengan lembut. Tiba-tiba ada lagi suara dari arah lain yang menyuruh agar dia jangan panik. Berikutnya secara surealis kita melihat ada peristiwa tarik menarik antara setan dan malaikat. Pada saat itu kita melihat bahwa Mudjahidin sadar dan dalam pandangan hatinya bahwa anak dan istrinya bertambah cantik. Kemudian puisi ini ditutup dengan pesan keluarga yang diwakili oleh sang anak buah hatinya. Dengarlah pesan tsb begitu sejuk meneduhkan hati yang hampir terjerumus ke bisikan negatif. -- bapak jika pulang, bawa bingkisan yang baik – baik tak bernoda – Larik-larik di bait terakhir ini merupakan penutup yang bermuatan pesan moral yang begitu berharga buat kita semua.
Puisi Di Sebuah Dermaga Di Kota Batam karya Mudjahidin. S ini di awali dengan sebuah pertanyaan Hikmah apa yang kudapati malam di dermaga ini. Sambil memandang bulan yang jauh di sana, sedang naik di atas gedung-gedung di Singapura. Diam-diam di dalam renungannya dia menemukan sebuah sketsa kota Batam yang mempesona. Di sana ada kisah duka sekuntum mawar ungu yang tetipu oleh manisnya bujukan. Yang katanya di sana ada pekerjaan yang menjanjikan, yang katanya di sana ada harapan kehidupan yang mapan. Ternyata, itu hanyalah sebuah impian. Sementara orang lain berhasil mencapai impian. Sedangkan si mawar ungu itu terpaksa hanya menjadi gigitan kumbang belang yang menghambur-hamburkan uang. Sayangnya uang itui hanya sebagian kecil yang menjadi bagiannya. Sampai-sampai Tanjung Karimun tak bisa tidur, karena banyak air mata tumpah diterpa debu. Barangkali Mawar Ungu itu adalah saudara perempuan kita sendiri yang tak mampu melepaskan diri dari belenggu rantai kehidupan. Yang malu pulang ke kampung halaman.
Mudjahidin. S melalui puisi ini ingin menyampaikan pesannya, agar hendaknya kita jangan tertipu oleh bujukan yang begitu menjanjikan, padahal itu hanyalah janji palsu. Dan hendaknya kita mengingat-ingat kembali, barangkali ada saudara perempuan kita yang lama hilang. Siapa tahu dia ada di sana menjadi mawar ungu yang terbelenggu.

(4)

Pergumulan Semalam: ayatayat alam
Oleh Dimas Arika Mihardja

riak dan ombak laut ialah ranjang pergumulan
kau sampan yang bergoyang
dan aku tiang layar yang gemetar
kau lidah ombak yang menggulung mitos dan eros
dan aku camar yang ditampar rasa lapar

akulah ikan, menyelam di kedalaman pelukan
akulah garam, larut dalam denyut kehidupan
di puncak tengah malam aku karam di palung paling dalam
menggelinjang dalam pusaran arus berdesakan
mengejang dalam di akhir pergumulan

jelang subuh, sebelum segalanya lepuh dan luruh
kaulah rakit di tengah samodera
dan aku mendekap luka di dada cinta
merasakan nyeri yang menyileti hati

bengkel puisi swadaya mandiri, 2010

Puisi :pergumulan semalam karya Dimas Arika Mihardja ini adalah bagian dari puisi PERGUMULAN BELUM SELESAI. Puisi ini terdiri dari 3 bait. Bait 1 terdiri dari 5 larik. Bait 2 terdri dari 5 larik. Bait 3 terdiri dari 4 larik. Seluruhnya berjumlah 18 untaian larik, dan semuanya terasa begitu indah, syahdu dan mempesona sekaligus memukau.
Puisi ini dibangun dengan diksi atau pemilihan kata yang biasa digunakan sehari-hari. Kecuali di larik 4 ada kata mitos dan eros. Kedua kata tsb berasal dari bahasa Yunani. Kata mitos maksudnya adalah cerita tentang penciptaan para dewa. Di dalam bahasa Indonesia kata mitos ini berubah arti menjadi cerita yang dianggap benar, atau paling tidak mendekati benar. Sedangkan kata eros adalah nama dewa cinta. Kata ini tidak familiar dalam bahasa Indonesia. Kecuali kata eros yang masuk ke dalam bahasa Inggris yaitu erotic yang konotasinya me njurus kea rah gairah birahi. Selebihnya hanya kata-kata biasa sehari-hari. Hebatnya, kata-kata biasa tsb di tangan Dimas Arika Mihardja menjadi untaian larik yang luar biasa.
Marilah kita nikmati untaian larik-larik di bait 1 berikut: riak dan ombak laut ialah ranjang pergumulan/ kau sampan yang bergoyang/ dan aku tiang layar yang gemetar/ kau lidah ombak yang menggulung mitos dan eros/ dan aku camar yang ditampar rasa lapar
Untaian-untaian larik tsb. terasa begitu indah. Dimas Arika Mihardja membangun bait 1 ini dengan menggunakan majas metapora di seluruh untaian lariknya. Puisi ini diawali dengan majas tsb: riak dan ombak ialah ranjang pergumulan di larik 1. Hebatnya lagi untaian majas metapora di larik 2 yang berbunyi: kau sampan yang bergoyang berpasangan dengan untaian di larik 3: dan aku tiang layar yang gemetar. Berikutnya untaian di larik 4: kau lidah ombak yang menggulung mitos dan eros berpasangan dengan untaian di larik 5: dan aku camar yang ditampar rasa lapar.
Ternyata di bait ini juga ada majas depersonifikasi pada untaian larik yang sama, yaitu: kau sampan yang bergoyang di larik 2, dan aku tiang layar yang gemetar. di larik 3 dan kau lidah ombak yang menggulung mitos dan eros di larik 4. Bukan itu saja, di sini juga ada majas aliterasi di larik 1 yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata riak, ranjang dan pergumulan. Di larik 3 ada majas aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata layar dan gemetar. Di larik 4 ada majas aliterasi yang ditandai dengan bunyi konsonan [s] pada kata mitos dan eros dan juga ada majas asonansi pada pengulangan bunyi vocal [o] pada kata ombak, mitos dan eros. Berikutnya di larik 5 juga ada majas aliterasi pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata camar, ditampar dan rasa lapar. Semua pengulangan bunyi vocal dan konsonan tsb menimbulkan irama yang membuat puisi ini semakin indah untuk dinikmati.
Di dalam penciptaan puisi ini Dimas bukan hanya fokus pada penataan kata menjadi untaian larik yang menarik. Tetapi dia juga sangat memperhatikan kekuatan unsur bunyi dalam setiap lariknya. Hal dapat dilihat pada: sampan yang bergoyang - tiang layar yang gemetar - yang menggulung mitos dan eros - camar yang ditampar rasa lapar – lepuh dan luruh – menyileti hati.
Dalam puisi ini dia menggunakan kata samodra bukan samudra. Pertimbangannya adalah kata samodra saat diucapkan kedengarannya lebih gagah lebih bergelora dari pada kata samudra yang kedengarannya begitu lembut.
Bait 1 ini juga dibangun dengan rima awal yang ditandai dengan pengulangan kata kau di awal larik 2 dan di awal di larik 4. Berikutnya ada pengulangan kata dan di awal larik 3 dan di awal larik 4. Di bait 1 ini juga ada pengulangan kata aku, dan, kau dan pengulangan kata yang. Pengulangan-pengulangan kata tsb membentuk ritme atau irama yang turut memperindah puisi ini.
Berikutnya marilah kita cermati bait 2. Bait ini juga dibangun dengan kata yang mampu membentuk untaian larik yang menarik, mempesona yang juga sekaligus memukau. Marilah kita nikmati untaian larik tsb: akulah ikan, menyelam di kedalaman pelukan/ akulah garam, larut dalam denyut kehidupan/ di puncak tengah malam aku karam di palung paling dalam/ [dan] menggelinjang dalam pusaran arus berdesakan/ [dan akhirnya aku] mengejang dalam di akhir pergumulan.
Di bait 2 ini juga ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi sengau [an] pada kata pelukan di akhir larik 6 yang bersajak dengan kehidupan di larik 7, dan kata berdesakan di larik 9 serta kata pergumulan di larik 10. Pengulangan-pengulangan tsb membentuk pola persajakan a.a.b,a,a. Di sini juga ada rima awal yang ditandai dengan pengulangan kata akulah di awal larik 6 dan 7. Ada juga pengulangan bunyi [me] pada kata menggelinjang di awal larik 9 dan kata mengejang di awal larik 10. Ternyata di dalam bait 1 ini juga ada rima tengah yang di tandai dengan mengulangan bunyi [lam] pada kata menyelam di tengah larik 6, kata dalam di larik 7, kata malam di larik 8, dan kata dalam di larik 9 dan larik 10.
Bait 2 ini juga dibangun dengan majas metapora dalam untaian larik: akulah ikan, menyelam di kedalaman pelukan (larik 6), akulah garam, larut dalam denyut kehidupan. (larik 7) dan: di puncak tengah malam aku karam di palung paling dalam (larik 8). Untaian larik 7 ini di samping majas metapora juga majas depersonifiksi. Berikutnya Dimas Arika Mihardja masih bermain-main dengan majas di larik 9 dan larik 10. Jika untaian ini berupa sebuah baris larik, maka ini membentuk majas elipsis yang ditandai dengan menghilangkan aku sebagai unsur subyeknya. Tetapi jika untaian ini bagian atau kelanjutan dari larik 8, maka larik 9 dan 10 membentuk majas asindeton yang ditandai dengan untaian larik yang panjang tanpa menggunakan tanda penghubung. Dan nampaknya masih ada lagi asonansi di larik 6 yang ditandai dengan pengulangan bunyi vocal [e] pada kata menyelam, kedalaman dan kata pelukan. Di larik 7 ada asonansi pengulangan bunyi vocal [u] pada kata akulah, larut, denyut dan kehidupan. Di larik 8 ada aliterasi pengulangan bunyi konsonan [l] pada kata malam. palung, paling dan dalam. Di larik 9 jug ada aliterasi pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata pusaran, arus dan kata berdesakan.
Selanjutnya marilah kita cermati bait 3. Bait ini juga sama seperti bait 1 dan bait 2 di atas, dibangun dengan kata yang mampu membentuk untaian larik yang menarik, mempesona yang juga sekaligus memukau. Marilah kita nikmati untaian larik tsb. jelang subuh, sebelum segalanya lepuh dan luruh/ kaulah rakit di tengah samodera/ dan aku mendekap luka di dada cinta/ merasakan nyeri yang menyileti hati.
Bait 3 ini juga dibangun dengan majas metapora dan skaligus juga majas depersonifikasi dalam untaian larik: kaulah rakit di tengah samodra. Berikutnya untaian di larik 11 sampai dengan larik 14 membentuk majas asindeton yang ditandai dengan untaian larik panjang tanpa menggunakan tanda penghubung. Selanjutnya di larik 11 ada asonansi pengulangan bunyi vocal [e] pada kata jelang], sebelum, segalanya, dan kata lepuh. Di sini juga ada aliterasi pengulangan bunyi konsonan [l] pada kata jelang, kata sebelum, kata segalanya, dan kata lepuh. Di larik 13 juga ada aliterasi pengulangan bunyi konsonan [k] pada kata aku. mendekap, dan luka. Berikutnya di larik 14 ada asonansi pengulangan bunyi vokal [e] pada kata merasakan, nyeri dan kata menyileti. Selain itu di sini juga ada majas asonansi pengulangan bunyi vokal [i] pada kata nyeri, menyileti dan hati

Dalam puisi ini Dimas Arika Mihardja lebih memilih ungkapan ranjang pergumulan dari pada menggunakan kata tempat peraduan, untuk maksud yang sama. Meskipun kata peraduan berasal dari kata dasar adu yang mendapat imbuhan [per] dan [an] yang maknanya tempat beradu. Tetapi istilah tempat peraduan secara khusus mengacu pada tempat untuk beritirahat. Sedangkan kata ranjang pergumulan secara khusus mengacu pada tempat bergumul.
Puisi :pergumulan semalam: ayatayat alam karya Dimas Arika Mihardja ini ditinjau dari sisi manapun tetap menarik. Di samping diksinya yang syahdu dan mempesona juga ungkapan-ungkapannya memiliki ambiguitas yang luas, dan maknanya pun bisa membias lebih luas lagi. Puisi ini bisa di hayati, dinikmati dan dimaknai dari berbagai arah, tergantung dari sisi mana kita memaknainya. Akibatnya maknanaya pun bisa berganda-ganda.
Pada makna pertama puisi ini mengungkapkan sebuah pergumulan cinta sepasang kekasih, atau pasangan suami istri, yang ditandai dengan kata ranjang, plus ungkapan atau perumpamaannya. Klausa sampan yang bergoyang barangkali ungkapan lain dari seorang wanita dan tiang layar yang gemetar bisa dimaknai perumpaan bagi sang pria. Sedangkan kata eros maknanya identik dengan erotic yang menggariahkan. Sebenarnya dalam puisi ini sedikitpun tak ada kesan fornografi. Kecuali bagi mereka yang memang memaknainya dari sisi itu. Hal ini dkaitkannya dengan untaian menyelam di kedalaman pelukan, menggelinjang dan mengejang. Kata-kata ini bisa dimaknai ungkapan tingkah laku pasangan di tempat peraduan.
Tetapi jika dikaitkan dengan ayatayat alam yang tertulis di bawah judul puisi tentu barangkali maknanya bukan itu. Untaian larik-lariknya mengungkapkan adanya sebuah pergumulan. Kata pergumulan itu bisa dimaknai sebagai sebuah perjuangan. Sampan dan tiang layar adalah pasangan yang saling menunjang dalam perjuangan menentang ganasnya ombak besar dan amukan badai di tengah luatan. Lidah ombak dan burung camar juga adalah pasangan yang bisa kita saksikan di permukaan laut. Berikutnya ada ikan, garam, palung, dan pusaran arus. Semua kata-kata itu berkaitan erat dengan pergumulan di laut.
Secara denotatif laut adalah benar-benar laut yang terkenal dengan riak, ombak dan badainya. Tetapi secara konotatif laut dalam puisi ini bisa berarti wilayah kehidupan yang penuh dengan permasalahan. Konsekwensinya masalah itu harus dihadapi dan diatasi. Kata pergumulan dalam puisi ini bisa bermakna perjuangan.
Puisi ini menceritakan perjuangan dua orang atau dua kelompok sebagai mitra yang sedang bergumul menghadapi dahsyatnya gelombang dan badai di tengah samodra. Dua orang tsb bisa siapa saja. Dan dua kelompok tsb juga bisa kelompok apa saja. Yang jelas keduanya berjuangan bersama menghadapi segala tantangan, hambatan dan rongrongan yang mengganggu tercapainya tujuan bersama.
Puisi ini barangkali berbicara tentang sepasang kekasih yang tengah dilanda masalah dalam jalinan percintaan mereka. Atau bahtera pasangan suami istri yang sedang berjuang menghadapi ombak besar, taufan dan badai di lautan kehidupan. Atau bisa juga dua pengusaha mitra kerja dunia usaha yang sedang berjuangan mengatasi krisis ekonomi global. Dua organisasi masa yang bekerja sama atau orgnaisasi politik yang berkoalisi memuluskan jalannya pergerakan organisasi. Pokoknya puisi ini berbicara tentang siapa saja, dan tentang apa saja.
Disadari atau tidak membaca puisi ini kita berhadapan imajinasi ganda. Ternyata Dimas Arika Mihardja dalam puisi ini bukan hanya bermain-main dengan majas, tetapi ia juga menyajikan berlapis-lapis imaji. Akibatnya akan menimbulkan imaji yang berganda pula. Imaji yang muncul tentu tergantung dari sisi mana kita memaknainya. Yang jelas Dimas Arika Mihardja sudah menyajikan puisinya lengkap dengan unsur intrinsik dan ekstrinsik. Dan tentunya dengan menu yang memikat pembaca untuk menikmatinya.

MEMASUKI "LABIRIN SAJAK-SAJAK" TENGSOE TJAHJONO


Catatan Dimas Arika Mihardja

Salam Mempelai: dari Labirin keLabirin
Penyair TengsoeTjahjono (Surabaya) menjelang malam 17 Agustus 2010 mengirimkan draft kumpulan sajak "Salam Mempelai" melalui email. Draft buku ini dibagi ke dalam tiga subjudul, yakni Labirin Mataangin, Labirin Perjalanan, dan Labirin Kabut. Masing-masing subjudul, merangkum sejumlah sajak yang jumlahnya mencapai puluhan sajak. Kesan dan komentar pertama yang muncul dari pembacaan awal ialah ungkapan keakraban khas antarsahabat: "uedan tenan", "diancuk". Ungkapan keakraban ini menunjukkan keterperangahan saya saat mengetahui bahwa sebagian besar sajak yang ada, pertama-tama dipublikasikan melalui situs jejaring social facebook. Hal kedua yang membuat saya terperangah ialah Tengsoe Tjahjono menulis dan mempublikasikan sajak-sajaknya setiap hari! Hal yang lebih gila lagi, dengan cengegesan ia bilang melalui inbox saya, "Selamat memasuki labirin puisi-puisi saya."
Ya, malam itu, saya kembali memasuki labirin sajak-sajak karya Tengsoe Tjahjono. Labirin yang diciptakan oleh TengsoeTjahjono melalui sajak-sajaknya ternyata sering membuat saya tersesat dan sekaligus terpikat oleh kepiawaian jemari penyair ini dalam mengolak sebuahsajak. Ya, sajak-sajak Tengsoe Tjahjono menunjukkan hasil olah kreativitas yangtak terbatas, menawarkan estetika yang terjaga dan terpelihara, sertamenawarkan lanskap makna yang sungguh tak terkira lantaran setiap sajak yang iagubah memang menyediakan labirin yang penuh dengan kelokan, godaan keindahan melalui misteri dan pesona kata, serta terus mengajak bertualang menyusuri setiap celah-celah sajaknya.
Tengsoe Tjahjono berhasil menggodaku melalui sajak-sajak yang selain enak dibaca, menawarkan aneka lanskap kontemplasi. Perhatikan cara Tengsoe Tjahjono memberikan label:"Salam Mempelai", "Labirin Mataangin", "Labirin Perjalanan", dan "Labirin Kabut". Semua titel dan tajuk yang diberikan menampilkan simbolisasi atau setidaknya isyarat tentang berbaga iikhwal pemikiran penyairnya. Judul utama, "Salam Mempelai" mengindikasikanisyarat ada pewartaan tentang sepasang "mempelai" pada sebuah pesta pernikahanyang agung,sacral,dan monumental. Mempelai itu, jika dipersempit perspektifnya, terkait dengan diri dan kedirian sang penyair yang bersanding di pelaminan"kata-kata". Yang duduk sebagai pengantin ialah diri sang penyair yang bersanding dengan berbagai rangsang kreatif yang kemudian diabadikan dalam dunia kata. Sebagai sepasang mempelai,saat bersanding, mereka berdua lantas memandang sebuah perjalanan yang terentang sebagai labirin yang harus ditapaki untuk sampai kepada istana makna.
Subjudul "Labirin Mataangin" mengungkap banyak hal seperti: surat putih, senja, pengembara, kwatrin ibunda, serentang awan, setandan nafas, dan aneka sajak yangmengungkapkan pencerapan penyairnya terkait dengan arah mata angin terkaitdengan cuaca, aneka pertanyaan,dan seruan pernyataan. Kita cicipi beberapa sajakdalam "Labirin Mataangin". Pada sajak "Surat Putih 2", misalnya, penyairTengsoe Tjahjono mampu mengabadikan tragika sebuah kehidupan yang terpapardengan hanya dua bait sajak. Dua bait sajak yang membuat pembaca turut terisakdan sesak oleh penderitaan seseorang, seperti kutipan ini:
SURAT PUTIH 2
selembar kertas
tanpa kata-kataterus dibaca
selembar kertas setetes air mata
gugur di putihnya!

15/06/2009-13:44

Kita selaku pembacaoleh penyair diajak memasuki labirin kesedihan seseorang, entah kenapa, dankita turut terdiam bungkam kehilangan kata-kata serta turut puls meneteskan airmata keharuan. Perasaan "turut bersedih", haru, dan tersentak juga tersaji dengan baik pada sajak ini:

SENJA 1
ketika senja, kemana burung kembali pulang sarang
embikar menghanguskan daunan
cericitnya hanyalah sejarah yang terbuang
Dengan dua sajak itu, kiranya cukup dijadikan acuan dan sebagai ilustrasi betapa penyair Tengsoe Tjahjono—sebagai dosen puisi yang sekaligus penyair mengamalkan teori dan pengalamannya dalam mengkreasi sajak-sajaknya. Teori-teori perpuisian dengan baik diaplikasikan oleh penyair ini. Misalnya terkait dengan konvensi puisi liris yang meliputi (1) jarak dan deiksis, (2) keseluruhan yang organik, dan (3) tema dan perwujudan. Pertama, jarak dan deiksis. Puisi atau sajak itu tergolong karya rekaan, maka kata-kata yang bersifat deiksis tidak menunjuk orang tertentu, tempat dan waktu tertentu, melainkan referensinya berganti-ganti berdasarkan situasinya. Jadi, ada "jarak" antara situasi si aku penyair dengan situasi aku dalam puisinya. Kata-kata deiktik yang memberi jarak itu berupa deiktik keruangan (di sini, di situ, di sana, dan sebagainya), deiktik kewaktuan (sekarang, besok,nanti, dan sebagainya), dan deiktik keorangan (saya, engkau, kami, dansebagainya). Oleh karena itu, pembaca membina dunia sendiri berdasarkan jarakdan deiktik itu.

Kedua, keseluruhan yang organik. Puisi merupakan keseluruhan atau kesaatuan yang organik, antara bagian-bagian dan keseluruhan ada pertautan yang erat.Oleh karena itu, dalam membaca puisi (memberi makna puisi), dicari hubungan antarbagian-bagian itu hingga merupakan jalinan kesatuan yang utuh. Dalam puisi-puisi modern hubungan antara bagiannya seringkali sangat implisit. Namun,karena anggapan bahwa bagian-bagian itu koheren, maka dicari pertautannya sehingga kelihatan bagian-bagian itu tidak terpisahkan, melainkan sangat padu.
Ketiga, tema dan perwujudan. Tema dan perwujudan itu merupakan konvensi makna (significance), konvensi makna yang berhubungan. Puisi diandaikan memiliki kekayaan implisit yang menjadikan pembaca berusaha untuk memahami ataupun mencari hubungan-hubungannya. Peristiwa yang insidental atau individualmau tak mau diberi makna universal dan manusiawi. Sesuatu yang sederhana mendapat nilai yang mulia. Konvensi ketiga ini tak terpisahkan dengan konvensi kedua.
Corak Sajak-sajak Tengsoe Tjahjono
Corak sajak-sajak Tengsoe Tjahjono selain konvensi yang telah dikemukakan, ada juga konvensi puisi yang lain, seperti dikemukakan oleh Riffaterre bahwa puisi itu dari dulu hingga sekarang meskipun selalu berubah oleh konsep estetik dan evolusinya, ada satu hal yang tinggal tetap, yaitu puisi yang menyatakan satu hal dan berarti yang lain atau puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Menurut Riffaterre ketaklangsungan itu disebabkan olehtiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya metafora dan metonimi; (2) penyimpangan arti (distorsing of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjambemen,dan persejajaran baris. Cermati kembali sajak "Surat Putih" dan "Senja 1". Kedua sajak ini memenuhi persyaratan ketidaklangsungan ekspresi. Baik berupa penggantian arti, penyimpangan arti,maupun penciptaan arti.
Teks puisi memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap berbagai ma¬salah kehidupan. Berbagai ma¬salah kehidupan, baik berupa peris¬tiwa yang terjadi dalam kehidupan se¬hari-hari, se¬suatu yang dialami oleh sastrawan, masalah sejarah-so¬sial-politik-ekonomi-bu¬daya, maupun berbagai fenomena kehidupan yang menjadi bahan renungan, ha¬yatan, pe¬mikiran sastrawan diekspresikan secara unik dan menarik. Keunikan dan daya tarik wacana puisi tersebut realisa¬sinya berhubungan dengan misi, visi, dan konsepsi sas¬trawan selaku kreator. Sastrawan yang kreatif akan dapat menghasilkan wacana puisi yang khas, dan dengan demikian memiliki daya tarik tersendiri.
Teks puisi di¬bentuk dan dicipta¬kan oleh penyairberdasarkan de¬sakan emosional dan rasional. Puisi menu¬rut wawasan Luxemburg, merupakan se¬buah ciptaan, se¬buah kreasi, dan bukan sebuah imi¬tasi. Oleh karena itu, wajar apa¬bila un¬sur-unsur pribadi penyair seperti pengetahuan, peristiwa penting yang dialami, visi, misi, dankonsepsinya meronai puisi yang dicipta¬kannya. Secara fisik, teks puisi terungkap melalui pemaparan bahasa yang pe¬nuh dengan simbol, bahasakias, dan gaya bahasa lainnya. Peng¬gunaan simbol, bahasa kias, metafora, dangaya bahasa oleh seorang sas¬trawan dimaksudkan untuk me¬madatkan pengungkapan dan mengefektifkan pengung¬kapan. Dengan pemakaian simbol, bahasa kias, metafora,dan gaya bahasa penyair dapat mencipta¬kan puisi yang mengutamakan intensifikasi, korespondensi, dan musikalitas.
Intensi¬fi¬kasi, korespondensi, dan musikalitas inilah yang tampil dominan dalam karya sastra berbentuk puisi. Intensifikasi merupakan upaya sastrawan memperdalam intensitas penuturan dengan berbagai cara pemaparan bahasa. Korespon¬densi merupakan upaya sastrawan menjalin gagasan menjadi satu ke¬satuan. Musikalitas meru¬pakan upaya penyair mempermanis, mem¬perkuat, dan menonjolkan efek puitik kepada hasil kreasinya.Dengan intensifikasi, korespondensi, dan mu¬sikalitas yang baik penyair mampumen¬ciptakan puisi yang secara fisik berbeda dengan prosa. Jika prosa lebihbersifat menerangjelaskan, maka puisi bersi¬fat memusat dalam perenungan. Sajak-sajak Tengsoe Tjahjono menunjukkan corak puisi yang menampilkan intensifikasi, korespondensi,dan musikalitas yang baik. Perhatikan kutipan berikut ini dan cermati bagaimana intensifikasi, korspondensi, danmusikalitasnya.
DATANGLAH, MAKA AKU KAN PERGI
datanglah, maka aku kan pergi
begitu kata kuncup kepada mekar
saat kelopak bunga menggelar gelombang
kuncup pun memenjarakan diri dalam kelam abadi
tak seorang pun tahu di mana epitaf itu diukir sebab abjad senantiasa tak terbac
apara peziarah
hanya kisah selalu diperbincangkan
di warung-warung kopi saat wajah mengelabu
di halte-halte perjalanan
serbuk-serbuk bunga ditaburkan ke udara
angin menebarkan jadi taman

datanglah, maka ku akan pergi
begitu kata awan kepada hujan
saat bumi basah oleh guyuran
tak tahu di mana mendung berada
hanya hari mencatat banjir dari sungai
sungai dari air, air dari hujan, hujan dari awan
narasi kekal
terbenam dalam jiwa
datanglah
maka ku akan pergi!
29/06/09-12:33
Penggunaan diksi dalam teks puisi "Datanglah, maka Aku Kan Pergi" se¬cara umum memberikan gambaran berikut. Diksi dapat berupa kata dasar mau¬pun kata yang telah mengalami proses morfologis, dapat berupa kata yang berciri autosemantis maupun sinsemantis.Dalam diksi terdapat kesesuaian hubungan kata-kata yang satu dengan yang lain,baik dalam rangka pencip¬taan keseimbangan paduan bunyi maupun dalam penciptaan hubungan se¬mantisnya. Ditinjau dari aspek semantisnya, kata-kata yang digunakan oleh penyair selain merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat de¬notatif, juga merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat konotatif. Se¬cara aso¬si¬atif, kata-kata yang digunakan dapat menggambarkan kata-kata yang me¬milik ihubungan secara indeksial, kolokasional, sinonimi, hiponimi, an¬tonimi. Aspek referensial yang digunakan ber¬sifat transparan, kabur, ikonis, hipokonis,hanya diacu¬kan pada gambaran ciri semantis dasar maupun telah mengalam ipemindahan dari ciri acuan semantis dasarnya. Kata-kata yang digunakan dapat memberi kesan kedaerahan, merujuk pada kata yang biasa diguna¬kan dalam komunikasi sehari-hari, dan dapat pula memberi kesan vulgar.
Kedua, imaji. Imaji merupakan hasil pengolahan imajinasi atau pengimajian (imagery). Imaji dapat berupa kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau ka¬limat. Imaji meru¬pakan un¬sur dasar yang khas dalam karya ber¬ben¬tuk puisi. Menurut Preminger imaji adalah re¬produksi dalam pikiran mengenai perasaan yang dihasilkan oleh per¬sepsi yang bersifat fisik, mistis, dan psikis. Fungsi imaji di dalam puisi ialah menggugah perasaan, pikiran, dan kesan mental pembaca puisi. Jenis imaji di dalam puisi bermacam-macam. Ada imaji yang berhubungan dengan indera penglihatan disebut dengan imaji lihatan (visual image).Jenis imaji yang berhubungan dengan indera pendengaran disebut imaji dengaran (auditory image). Imaji yang ber¬hubungandengan indera peraba disebut imaji rabaan (tactile image). Imaji yang berhubungan dengan indera penciuman disebut dengan imaji bauan (nosey image). Sajak "Datanglah, maka Aku Kan Pergi" memancarkan aneka imaji melalui diksi yang terseleksi.
Riffaterre dengan tepat mengungkapkan karakteristik teks puisi dalam ungkapan "Saysone thing, means another" atau dalam ungkapan penyair Sapardi Djoko Damono "bilang begini, maksudnya begitu". Kedua ungkapan yang dikemukakan oleh pakar sastra itu memiliki maksud bahwa puisi sebagai teks mengungkapkan sesuatu hal dan berarti hal lain secara tida langsung. Menurut Riffaterre ketidaklangsungan itu disebabkan oleh tiga hal,yaitu penggantian arti (displacing ofmeaning) yakni pemakaian kias seperti metafora danmetonimi; penyimpangan arti (distortingof meaning) yakni digunakannya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; danpenciptaan arti (creating of meaning)yakni oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaranbaris. Ketiga karakteristik ketidaklangsungan wacana puisi tersebut diterangjelaskan dalam paparan berikut ini.
Pertama, penggantian arti. Di dalam teks puisi, pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi. Dalam penggantian arti ini suatu kata (kias) memilikiacuan makna sesuatu yang lain. Misalnya dalam puisi "Surat Putih"dan "Datanglah, maka Aku Kan Pergi". Kedua sajak ini selain memiliki unsur intensifikasi, korespondensi, musikalitas, juga menggambarkan ekspresi yang tidak langsung.
Penyimpangan arti di dalam teks puisi juga dilakukan dengan nonsense. Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosa kata,misalnya penggabungan dua kata atau lebih seperti sepisaupa, sepisaupi,terkekehkekeh-kekehkekehkekehkeh. Nonsense ini menimbulkanasosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, menimbulkan suasana aneh, suasana gaib, ataupun suasana lucu. Dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul "Pot": potata potitu potkaukah potaku?; dalam puisi berjudul"Herman": kakekkekkakakek. Sutardji menggabungkan kata 'sepi', 'pisau',dan 'sapa' menjadi sepisaupa, sepisaupi, sepisapanya sehingga sapanya dalam sepi itu menusuk seperti pisau. Di situ arti sepi dan pisau digabungkan hingga menjadi makna sepi seperti pisau menusuk. Ketika Sutardji menggabungkan kata 'sepi' dan 'pikul', menjadi 'sepikul dosa', maka dosa itu betapa berat dansepi mencekam—dosa itu menimbulkan derita seperti tusukan duri dan pisau.
Ketiga, penciptaan arti, menurut Riffaterre penciptaan arti terjadi bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya.Misalnya, simetri, rima, enjambemen atau ekuivalensi-ekuivalensi makna diantara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Di dalam teks puisi sering terdapat keseimbangan berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antarabaris-baris dalam bait. Persamaan posisi (homologues) misalnya tampak dalam pantun atau yang sejenisnya. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme.
Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan puisi yang penuh persejajaran bentuk dan arti oleh ulangan yang berturut-turut terjadilah orkestrasi dan irama. Orkestrasi ini menyebabkan liris dan konsentrasi. Hal ini adalah makna di luar kebahasaan. Perhatikan kutipan ini:
datanglah,maka aku kan pergibegitu kata kuncup kepada mekarsaat kelopak bunga menggelar gelombangkuncup pun memenjarakan diri dalam kelam abadi...datanglah, maka ku akan pergibegitu kata awan kepada hujansaat bumi basah oleh guyurantak tahu di mana mendung berada

Teks puisi termasuk ke dalam jenis wacana transaksional, karena hal yang dipandang penting ialah "isi" komunikasi. Teks puisi yang telah dipublikasikan bersifat umum, karena wacana puisi diciptakan oleh penyair tidak untuk dinikmati sendiri saja, melainkan untuk dibaca oleh masyarakat umum. Meskipun teks puisi diperuntukkan bagi masyarakat umum, tekspuisi merupakan bentuk komunikasi yang khas. Dikatakan demikian karena "pesapa"dapat hadir, dapat juga tidak hadir, dan dapat berupa seorang atau lebih. Cirikhas yang lain adalah bahwa wacana puisi dapat dibaca pada waktu dan tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan tempat penciptaannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara penyair dan pembaca karya sastra bersifat khaspula. Selain itu, teks puisi merupakan wacana khas yang di dalam ekspresinya menggunakan bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia.
Teks puisi berisi monolog, artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu di dalamnya. Dalam teks puisi instansi yang mengucapkan sesuatu itu disebut subjek lirik (aku lirik). Aku lirik ini didalam teks puisi tidak selalu dapat ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti "aku" atau "-ku". Kata-kata ini dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi.
Gambaran aku lirik dapat disimpulkan dari teks itu sendiri. Gambaran tersebut dapat terjadi dengan berbagai cara.Gambaran mengenai aku lirik itu tampak dari kata-kata yang diucapkan dan cara bercerita. Aku lirik itu berupa pengemban pikiran dan perasaan, bukannya selaku seorang manusia yang memiliki pola jiwa tertentu. Aku lirik di dalam teks puisi menyapa seseorang. Tidak hanya orang perorangan yang disapa oleh aku lirik, tetapi juga ide-ide tertentu, ataupun gejala-gejala.
Sajak-sajak Tengsoe Tjahjono juga banyak memanfaatkan simbol. Simbol (symbol) adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Simbol berbeda dengan lambang, simbol merupakan kata atau sesuatu yang dapat dianalogikan sebagai kata yang terkait dengan penafsiran pemakai, kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya, dan kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya. Hubungan antara simbol dan yang disimbolkan bersifatsatu arah. Kata "bunga", misalnya, tidak hanya memiliki hubungan timbal balik antara gambaran yang disebut "bunga", melainkan secara asosiatif juga dapat dihubungkan dengan 'keindahan', 'kelembutan', dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kesadaran simbolis selain dapat menampilkan gambaran objek yang diacu jugadapat menggambarkan idea, citraan, maupun konfigurasi gagasan yang mengatasi bentuk simbolik maupun gambaran objeknya sendiri. Dengan demikian pembuahan makna dari suatu simbol pada dasarnya merupakan perepresentasian ciri semantis yang secara abstrak juga dapat membentuk satuan pengertian tertentu.
Dapat dinyatakan bahwa simbol merupakan gejala khusus dari lambang. Sebagai bagian dari lambang, meskipun tidak semua lambang adalah simbol, simbol itu sendiri dapat disebut sebagai lambang. Simbol sebagai gejala khusus dari lambang karena keberadaan simbol terkait dengan lambang dan interpretasi, penggunaan dan penikmatan, keikutsertaan dan pemasukan ciri, seni dan mitologi, serta gejala lain menyangkut pengkreasian lambang. Sedangkan lambang merupakan 'fakta' yang dapat didudukkan secara isolatif terlepas dari hubungannya dengan penafsiran. Dapat dinyatakan bahwa lambang mengacu pada gejala yang lebih luas daripada simbol dan simbol hanya mengacu pada simbol verbal.
Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Eco bahwa "The symbolic is the activity by whichexperience is not only coordinate but also communicated". Kreasi simbolik bukan hanya menyangkut kegiatan kreasi simbolik tetapi juga terkait dengan penyampaian lambang itu dalam komunikasi. Penyusunan dan penyampaian lambang itu selain berhubungan dengan untaian isi juga berhubungan dengan bentuk yang mewujudkan untaian isi sebagai bentuk ekspresi. Oleh sebab itu, sebagai sistem,sistem simbolik selain terkait dengan dunia pengalaman, pengetahuan, danintensi penuturnya juga terkait dengan konteks sosial budaya pemakainya.
Bentuk simbolik merupakan bentuk kebahasaan yang sudah terkait dengan dunia penafsiran pemakai bahasa dan secara asosiatif memiliki hubungan dengan berbagai aspek di luar bentuk simbolik itu sendiri. Unsur hubungan dengan berbagai aspek di luar bentuksimbolik itu antara lain ciri acuan simbolik, ciri acuan simbolik denganpengertian lain yang diasosiasikan, hubungan antarsimbol dalam satuan teksnya,dan implikasi penggarapan bentuk simbolik itu pada wujud tuturannya. Jika bentuk simbolik terkait dengan bentuk, makna, dan perwujudannya sebagai teks maka pembicaraan tentang bentuk simbolik ditinjau dari objeknya akan merujukpada bentuk kebahasaan dalam suatu teks, dalam hal ini adalah teks puisi.
Lambang ialah suatu pola arti, sehingga apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan terjadi suatu hubungan asosiasi. Lambang itu sendiri tidak langsung menunjukkan sesuatu.Kitalah yang menghubungkan lambang dengan apa yang dilambangkan. Dalam dunia puisi lambang-lambang yang dipergunakan seorang penyair seringkali sangatpribadi dan sukar dimengerti. Seperti halnya personifikasi, makalambang-lambang yang dipergunakan oleh penyair Tengsoe Tjahjono pun pada umumnya bersifat metaforik.
Lambang dalam wacana puisi, menurut Bachtiar(1982), se¬cara kate¬goris dapat dibedakan (1) lambang konstitutif, yakni lam¬bang yang membentuk keper¬cayaan-kepercayaan,(2) lambang kogni¬tif, yaknilambang yang mem¬bentuk pengeta¬huan, (3) lambang etis, yakni lambang yang membentuk nilai-nilai moral,dan (4) lambang ekspresif,yakni lambang yang mengungkapkan perasaan. Lambang estetik, menurut Suryawinata dapat ditambahkan untuk melengkapi pendapat Bachtiar tersebut. Dengan lam¬bang estetik, penyair dapat mengkomunikasikan dan mengkong-kretkan ima¬jinasi,intuisi, dan ide-idenya.
Wujud lambang budaya dalam teks puisi dibedakan dalamlima kode bahasa. Kelima kode tersebut adalah (1) kode hermeneu¬tika (the hermeneutic code), yakni kode yang mengandung unit-unit tanda yang secara bersama-sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan berbagai cara dialektik pertanyaan-respon; (2) kode semantik (the code of semantic or signi¬fier),yakni kode yang berada pada kawasan penanda—penanda khusus yang memiliki konotasi, atau tanda yang materialnya sendiri menawarkan makna konotasi; (3)kode simbolik (the symbolic code),yakni kode yang mengatur kawasan antitesis dari tanda-tanda, di mana satu ungkapan mele¬burkan diri ke dalam berbagai substitusi, keanekaragaman penandadan referensi sehingga menggiring ke¬mungkinan makna ke kemungkinan yang lainnyadalam indetermi¬nasi; (4) kode pro¬raetik(the proraitic code), adalahkode yang mengatur satu alur cerita atau narasi—ia disebut juga kode aksi; dan (5) kode budaya (the cultural code),yakni kode yang mengatur dan mem¬bentuk 'suara-suara kolektif' dan anonim dari pertandaan, yang berasal dari pengalaman manusia dan tradisi yang beranekaragam.
Pembahasan bentuk simbolik dapat dihubungkan dengan figure. Todorov mengemukakan, "Figure, this word come from fingere, in thesense of efformare, componere, to form, to dispose, to arrange". Figure menyangkut perihal pembentukan, penempatan, penataan, pengurutan unsur kebahasaan dalam penyampaian gagasan. Penataan, pembentukan, dan pengurutan tersebut memiliki kekhasan, karena sebagaimana halnya dengan gaya, penataan,pembentukan, dan pengurutan unsur kebahasaan tersebut merupakan upaya mencapaiefek tertentu sejalan dengan intensi penyairnya. Meskipun memiliki kekhasan,penggunaan figure bukan merupakan penyimpangan kaidah karena pengga-rapannya terkait dengan pengolahan kaidah kebahasaan guna menghasilkan paparan yang khas sehingga memiliki kekayaan nilai bagi pembacanya. Karakteristiknya selain ditentukan oleh ciri sistemik kaidahnya juga ditentukan oleh inovasi yang dilakukan oleh penyairnya.
Sajak atau puisi sebagai bentuk komunikasi tidak dapat meninggalkan kata sebagai wahana ekspresi. Bertumpu pada anggapan bahwa pemaparan teks beretolak dari konfigurasi gagasan maupun bentu kekspresi tertentu, pemilihan kata dalam kreasi penciptaan selalu memperhatikan satuan hubungannya dengan kata lain dalam satuan bentuk ekspresinya. Dalampuisi upaya menciptakan efek keindahan antara lain dilandasi oleh prinsip penggunaan kata sehemat mungkin untuk menyampaikan gambaran makna sebanyak mungkin.
Kata adalah satuan bentuk kebahasaan yang telah mengandung satuan makna tertentu. Kata sebagai lambang kebahasaan yang ada dalam dunia penafsiran pemakai bahasa pada dasarnya adalah simbol. Berbeda dengan gambaran pengertian simbol sebagaimana dikemukakan di atas, Pierce (1992) mengemukakan bahwa:
"A symbol is a sign which refers to the objectthat is donotes by virtue of a law, usually an association of general ideas,which operates to cause the symbol to be interpreted as referring to thatobject".
Simbol diartikan sebagai lambang yang mengacu pada objek tertentu di luar lambang itu sendiri.Hubungan antara simbol sebagai lambang dengan sesuatu yang dilambangkan sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya menafsirkan maknanya. Dalam artian demikian, kata merupakan salah satu bentuksimbol karena hubungan kata dengan dunia acuannya ditentukan berdasarkan kaidahkebahasaannya. Kaidah kebahasaan itu secara artifisial dinyatakan berdasarkankonvensi masyarakat pemakainya.
Selain symbol, sajak-sajak TengsoeTjahjono juga banyak memanfaatkan kata kias. Berbeda dengan penggunaan bahasa kias dalam komunikasi sehari-hari yang sudah menjadi milik umum, bahasa kias dalam wacana puisi merupakan bahasa kias yang bersifat personal. Meskipun bersifat personal, penelusuran pemahaman bahasa kias dalam wacana puisi pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan penelusuran pemahaman bahasa kias yang umum. Hal itu disebabkan oleh karena bahasa kias dalam wacana puisi tentu merupakan kreasi batiniah penyair yang berhubungan dengan penuansaan gagasan, pencitraan, pengalaman kultural, dan konteks kewacanaannya.
Bahasa kias dapat dibedakan menjadi tiga, yakni (1) metaforik, (2) metonimik, dan (3) ironik. Pertama, kiasan metaforik, yakni kiasan yang bertumpu pada adanya kesejajaran ciri citraan antara analogon dengan sesuatu yang dianalogikan. Kedua kiasan yang metonimik, yakni kiasan yang didasarkan pada hubungan eksternal antarakata yang digantikan dengan yang menggantikan secara tetap. Kesejajaran padap erbandingan yang metaforik merujuk pada kesejajaran persepsi suatu realitas.Sedangkan hubungan eksternal yang bersifat tetap merujuk pada hubungan antaradua kata yang ditinjau dari ciri semantisnya secara asosiatif memiliki hubungansemantis secara tetap.
Pemahaman bahasakias dalam wacana puisi merupakan kegiatan 'pemberian makna' pada bentuk,citraan yang ditampil-kan, gagasan yang dinuansakan, karakteristik hubungannyadengan unsur lain dalam satuan teksnya, dan kemungkinan efeknya bagi pembaca.Guna memperoleh gambaran mengenai bentuk bahasa kias, pembaca perlu membaca puisi secara keseluruhan. Melalui kegiatan membaca, pembaca selain memperoleh gambaran untaian isi puisi diharapkan juga dapat memperoleh gambaran kemungkinan segmentasi bahasa kias sesuai dengan satuan konstruksinya, hubungan antara satuan bahasa kias itu dengan unsur lain dalam satuan teksnya, hubungan makna kata-kata yang satu dengan yang lain secara asosiatif, sebaran penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi, dan karakteristik penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi.
Bahasa kias secara esensial berhubungan dengan (1) perbandingan maupun penghubungan ciri dunia acuan berdasarkan tanggapan terhadap hasil maupun penghubungan ciri realitas natural; (2) kesejajaran,hubungan secara tetap maupun percampuran ciri dunia acuan secara tetap; (3 )penggarapan medan ciri semantis kata-kata yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari persepsi terhadap objek yang diacu oleh kata-kata; (4) dunia pengalaman maupun konteks sosial budaya pembentuknya. Sebagai fakta penggunaan bahasa, bahasa kias tidak terwujud dalam bentuk siap pakai melainkan secara esensial terkait dengan kreasi pembentuknya.
Epilog: Jejak Sajakharus Dilacak
Selain "Labirin Mataangin", para pembaca dipersilakan melacak jejaksaja-sajak Tengsoe Tjahjono dengan memasuki "Labirin Perjalanan" dan "Labirin Kabut". Saat pembaca melacak jejak perjalanan penyair ke berbagai ranah da nwilayah, pembaca akan dapat memperoleh aneka panorama dan pencerapan penyairTengsoe Tjahjono dalam pengembaraan fisik, mental, maupun spiritualnya. Selain itu, sesuai dengan subjudul "Labirin Kabut", pembaca dapat memasuki dunia yang samar, dunia yang tidak jelas, dunia maya, sampai ke dunia pemikiran reflektif penyairnya. Dapat dikemukakan di sini bahwa buku "Salam Mempelai" menyediakan aneka perenungan mengenai hidup dan kehidupan. Sebagai penyair Tengsoe Tjahjono telah menyampaikan salam, dan kita selaku pembaca selayaknya menyambut uluk salam itu. Demikianlah catatan sederhana ini dikemukakan dengan satu harapan, semoga catatan ini tidak menambah "runyam" sebuah kenikmatan pembacaan. Kita berharap, kelak, terbitnya buku ini dapat merekam jejak kreativitas dan wawasan esstetik perpuisian Indonesia. Puisi-puisi Tengsoe Tjahjono tentu saja layak dijadikan referensi bagaimana menulis sajak yang mengaplikasikan wawasan keilmuan dan dipadu dengan pengalaman sebagai kreator.

Salam kreatif.
Jambi, 17 Agustus 2010