Minggu, 31 Oktober 2010

BELAJAR DARI KOMUNITAS SASTRA DUNIA


oleh Iwan Gunadi

JANGAN pernah memastikan bahwa kehadiran komunitas sastra di Indonesia yang marak sejak 1980-an merupakan suatu fenomena yang khas di dunia. Di belahan dunia lain, hal yang sama juga terjadi.
Meski aktivitas kreatif dalam kesenian, termasuk kesusastraan, umumnya masih dilakukan secara individual alias soliter, sebagai makhluk sosial, pelakunya, yakni seniman atau pekerja seni, termasuk sastrawan atau pekerja sastra; tetap butuh bersosialisasi dalam kelompok yang memiliki kesamaan cita-cita.
Malah, di Prancis, pada abad ke-16, sekelompok penyair dari Abad Pertengahan tekah bersekutu di bawah nama The Pluiade. Sebelumnya, pada 1323, masih di Prancis, tepatnya di Toulouse, nama yang sama pernah digunakan oleh sebuah kelompok yang beranggota 14 penyair (tujuh lelaki dan tujuh perempuan). Artinya, ketika komunitas sastra atau budaya di Indonesia masih anonim, komunitas sastra di Prancis mulai mengarah ke bentuk organisasi. Komunitas sastra yang seperti itu di Indonesia baru muncul pada akhir abad ke-19, yakni Rusdiyah Klab di Sumatera dan Paheman Radyapoestaka di Jawa.
Di pelbagai belahan dunia, sejarah komunitas sastra juga tidak hadir sebagai kerumunan yang asosial. Ia selalu terikat dengan lingkungannya, sekurangnya lingkungan kesusastraannya. Tengok, misalnya, Tachtigers di Belanda, Harlem Renaissance dan The Nashville di Amerika Serikat, Bloomsbury di Inggris, dan tentu Gruppe 47 di Jerman.
Sekitar akhir abad ke-19, di Belanda, Tachtigers (Angkatan 1880) muncul sebagai kelompok penulis yang kemudian turut memengaruhi satu paruh dalam sejarah kesusastraan modern Indonesia. Angkatan tersebut merupakan satu kumpulan penyair dan penulis muda yang memperbarui kesusastraan Belanda secara radikal pada 1880-an. Para penyokongnya, antara lain, Albert Verwey, Frank der Goes, Frans Eren, Frederik van Eeden, Herman Gorter, Jaques Perk, L. van Deysell, Willem Kloos, dan Wouter Paap.
Sebelum kemunculannya, kesusastraan Belanda pada pertengahan abad ke-19 memang perlahan-lahan mundur menjadi semacam kesusastraan “khotbah” lantaran inspirasi puitisnya diganti dengan pengajaran moral dan berkembang terus dengan sendirinya tanpa hubungan apa pun dengan kesusastraan Eropa pada masa itu. Tak lama setelah 1880, sekelompok orang muda mulai memberontak dan pada 1885 mereka bersatu dalam Majalah De Nieuwe Gids (Pandu Baru).
Dari namanya, kelompok anak muda tersebut jelas ingin bereaksi terhadap majalah terpenting pada masa itu, yaitu De Gids (Pandu), yang dibentuk pada 1837 dan mewakili pandangan golongan tradisional. Umur kelompok tersebut memang tak lama, tapi kegiatan gerakan tersebut yang tampak amat tiba-tiba dan revolusioner menjadikannya sangat menarik perhatian.
Abad berikutnya, tepatnya pada 1920-an, di Amerika Serikat, di sebuah distrik di New York yang disebut Harlem, muncul kebangkitan sastra yang disebut Harlem Renaissance ketika sejumlah sastrawan kulit hitam, seperti James Baldwin, Ralph Ellison, dan Zora Neale Hurston, memproduksi karya sastra yang diakui para kritisi sastra Amerika pada zamannya. Nama kelompok tersebut mengarah pada upaya kebangkitan kelompok sastrawan kulit hitam sekaligus upaya mengikis diskriminasi berdasarkan warna kulit.
Di Vanderbilt, masih di sekitar dasawarsa yang sama, ada kelompok The Nashville. Komunitas sastra ini merupakan kelompok “pembangkang” dalam pengertian yang lebih baik. Mereka mencoba mencari untuk menemukan kembali nilai-nilai tertentu dari masa lalu, seperti nilai-nilai dari tradisi budaya Selatan dan sudut pandang yang religius. Hasilnya, karya-karya sastra kelompok ini telah memberi pengaruh yang luas terhadap kritik sastra pada 1970-an di Amerika Serikat. Komunitas sastra yang dipimpin penyair John Crowe Ransom tersebut pernah mencatat penyair dan esais Allen Tate sebagai anggota kehormatannya.
Di Paris, Prancis, pada dasawarsa yang sama, 1920-an itu, tercatatlah "Generasi yang Hilang" atau The Lost Generation. Nama tersebut bermula dari selorohan Gertrude Stein—di Indonesia, dia dapat disejajarkan dengan H.B. Jassin—ketika suatu hari mendapati sekelompok anak muda kesulitan memperbaiki sebuah mobil yang mogok, "Oh, you are the lost generation." Anak-anak muda tersebut merupakan bagian dari anak-anak muda yang makmur setelah meraup banyak uang akibat Perang Dunia I, tapi spiritualitas mereka kosong. Karena karisma Stein, banyak sastrawan muda asing, terutama dari Amerika Serikat—termasuk Ernest Hemingway, yang menetap di Paris sebagai koresponden Toronto Star untuk meliput perang Yunani-Turki—sering berkumpul bersamanya di sebuah kafe di Paris. Sejumlah sastrawan Amerika Serikat bernostalgia tentang keterlibatan mereka di Perang Dunia I di Eropa. Dari sanalah, kita kemudian mengenal komunitas The Lost Generation. Tokoh sentralnya memang Stein.
Di Jerman, pada 1947, muncul Gruppe 47. Kehadiran Gruppe 47 dilatari imbas Perang Dunia II yang memorak-porandakan Jerman. Sebanyak 10-16 juta serdadu mati bersama warga sipil. Enam juta orang Yahudi dibantai Nazi. Sebelas juta orang Jerman dibui karena kalah perang, dua juta cacat seumur hidup, dan sepuluh juta orang Jerman harus pergi meninggalkan tanah air mereka.
Pada masa sesudahnya, buku menjadi barang mewah, sangat langka, dan dicari banyak orang. Harganya di pasar gelap setara dengan kebutuhan hidup sekeluarga selama seminggu. Padahal, sastra sudah seperti menjadi kebutuhan pokok. Sayangnya, karya-karya sastra yang dihasilkan penulis muda tak mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan zamannya.
Padahal, masyarakat membutuhkan sebuah bentuk sastra baru. Sastra yang menampilkan pergulatan hidup untuk mencari jawaban atas setiap kesalahan yang telah dilakukan. Orang butuh "bahasa baru" untuk menyusun kenyataan secara lugas, sebuah bahasa yang jelas, tegas, dan tepat. Kondisi seperti itulah yang memicu kelahiran komunitas sastra yang kemudian melegenda di Jerman ini. Günter Grass, Alfred Andersch, dan Heinrich Boll pernah menjadi anggota Gruppe 47.
Di luar komunitas-komunitas itu, tentu masih banyak komunitas lain yang dapat disebut sebagai contoh. Dalam sejarah kesusastraan Amerika Serikat, misalnya, kita mengenal komunitas Brook Farm pada pertengahan abad ke-19. Di desa utopia yang dipimpin George Ripley tersebut pernah bergabung sastrawan Nathaniel Hawthorne selama beberapa bulan pada 1841. Pada akhir abad ke-19, Greenwich Village, sebuah distrik di New York, Amerika Serikat, terkenal sebagai kantong budaya yang didukung berbagai majalah sastra bertiras kecil. Di sana bermukim para sastrawan terkenal Negeri Paman Sam tersebut, mulai dari Edgar Allan Poe sampai dengan Edward Estlin Cummings (e.e. cummings). Di Vanderbilt, pada awal abad ke-20, John Crowe Ransom dan Allen Tate juga tergabung dalam kelompok para penyair yang dikenal dengan sebutan Fugitives bersama Donald Davidson, Robert Penn Warren, dan para penyair lain.
Masih di sekitar awal abad ke-20 tersebut, komunitas sastra juga sudah dikenal di Argentina, Amerika Selatan. Pada 1916, penyair terkenal Argentina, Alfonsina Storni, disebut-sebut mulai tampil di depan umum untuk membacakan puisi-puisinya dan bergabung dalam komunitas sastra di Argentina. Bahkan, penyair kelahiran Swiss, 29 Mei 1892, yang meninggal dunia pada 1938 itu menjadi salah seorang pendiri Asosiasi Penulis Argentina.
Di Inggris, pada 1920-an, sejumlah sastrawan, seperti T.S. Elliot, Joseph Conrad, dan beberapa sastrawan dari Amerika Serikat, seperti Herold Frederick dan Stephen Crane, sering berkumpul. Bahkan, mereka mengarang drama dan membacakannya bersama serta menyusun sejumlah rencana kreatif, walaupun tidak jarang hanya tinggal rencana. Tak jauh dari dasawarsa tersebut, masih di Inggris, tepatnya di London, novelis Virginia Woolf menjadi bagian dari grup Bloomsbury. Bahkan, di kota yang sama, pada 1909, The Poetry Society sudah berdiri.
Tentu tak lengkap menderetkan contoh komunitas sastra di dunia tanpa menyebut organisasi Poets, Playwrights, Editors, Essayists, and Novelist (PEN). Sebelum ada Gruppe 47, PEN sudah hadir, yakni sekitar 1930-an. Banyak sastrawan terkenal di dunia, termasuk Gunter Grass, menjadi anggotanya. PEN kemudian memang menjadi organisasi yang mengglobal dengan pusat di London, Inggris. Cabang PEN hadir di puluhan negara di berbagai benua di dunia ini, termasuk di Indonesia.
Kalau beberapa dasawarsa terakhir, tak sedikit kampus di Indonesia ditengarai sebagai basis pertumbuhan komunitas sastra, hal yang sama sudah terjadi di Amerika Serikat sejak beberapa abad yang lalu. Misalnya, di Columbia University, ada The Philolexian Society, salah satu komunitas sastra kampus yang tertua di sana yang didirikan pada 1802. Contoh lain adalah The Philomathean Society di University of Pennsylvania yang didirikan pada 1813.
Ketika raja-raja di Nusantara pada masa silam memiliki sejumlah pujangga untuk mengagungkan masing-masing raja, di Inggris, King George IV telah mendirikan The Royal Society of Literature pada 1820. Organisasi sastra tersebut didirikan untuk memberikan penghargaan atau beasiswa sekaligus membangkitkan bakat-bakat sastra tak hanya di kalangan masyarakat Inggris, tapi kemudian juga di kalangan masyarakat di luar Inggris. Karena itu, selain Yeats, Kipling, Thomas Hardy, dan George Bernard Shaw, kemudian Chinua Achebe dan V.S. Naipaul, misalnya, juga menerima beasiswa dari organisasi sastra itu.
Sebagaimana di Indonesia kemudian, pelbagai komunitas sastra di sejumlah negara tersebut hadir tanpa atau dengan ikatan, baik sebagai paguyuban informal maupun organisasi formal. Ada yang bermotif melawan kemapanan, ada yang hanya untuk bernostalgia. Ada yang punya tokoh sentral, ada yang tidak. Ada yang bertahan lama lebih dari tiga perempat abad dan lebih banyak yang hidup hanya untuk rentang masa yang pendek. Di Indonesia, belum ada yang aktif terus-menerus hingga seperempat abad pun. Yang lebih banyak adalah yang aktif hanya untuk beberapa bulan atau bahkan beberapa pekan. (APRESIASI, Lampung Post, Minggu, 24 Oktober 2010)

Jumat, 29 Oktober 2010

PUISI: SAKSI YANG SEKSI


Oleh : Dimas Arika Mihardja

PUISI: SAKSI YANG SEKSI
ESAI RINGAN ini bukanlah merupakan kredo penyair, melainkan saya pandang sebagai refleksi perjalanan 25-an tahun karir saya menceburkan diri dalam penulisan kreatif puisi. Esai ini saya maksudkan sebagai pengantar sebuah buku yang insya-Allah diterbitkan untuk menandai ulang tahun saya yang ke-52. Seperti ulang tahun sebelumnya, selalu saya siapkan bingkisan kecil untuk diri pribadi. Kali ini saya menyiapkan paket khusus yang saya beri tajuk “SAJAK EMAS: 200 puisi seksi Dimas Arika Mihardja” Saya juga sedang menyiapkan terbitnya buku khusus “SENJA DI BATAS KATA” (Antologi sajak dari sahabat penyair Indonesia yang telah dikirimkan kepada saya sebagai penanda ultah ke-51 tahun).
Buku “SAJAK EMAS: 200 puisi seksi Dimas Arika Mihardja” ini saya maksudkan sebagai penanda bahwa saya masih terus bersetia di dunia penulisan kreatif puisi. Itu saja. Tak lebih dan tak kurang. Buku ini, tidak pula dimaksudkan untuk memproklamirkan diri sebagai buku puisi yang fenomenal, spektakuler, atau best seller. Saya amat tahu diri bahwa dunia perbukuan di bidang puisi lebih bersifat “proyek rugi” secara finansial, tetapi “proyek besar” bagi kemanusiaan. Kenapa?
Selama kurang lebih 25 tahun karir di bidang pnulisan kreatif puisi, saya menemu sebuah konsepsi estetis bahwa puisi itu merupakan saksi yang seksi.Bagi saya, puisi semata-mata berfungsi sebagai saksi. Saksi yang seksi. Seksi? Ya, keseksian menurut pertimbangan nalar saya bukan semata-mata tampil dalam bentuk atau sosok fisikal semata, dan yang terutama ialah keseksian secara batiniah. Nah, “apa pula keseksian yang bersifat batiniah ini?”, mungkin Anda bertanya dan tidak menaruh rasa percaya. Baiklah, saya akan berusaha memperkenalkan konsep ini: puisi sebagai saksi yang seksi.
Menurut pertimbangan saya, berdasarkan sedikit pengalaman selama ini, puisi hadir sebagai saksi. Melalui puisi yang diciptakan oleh penyair, siapa pun penyair itu, puisi yang dihadirkannya pertama-tama merupakan pengalaman pribadi, sosial, atau relegius terhadap apa yang terjadi di sekeliling yang bersifat kontekstual. Puisi yang hakikatnya merupakan pengalaman yang paling berkesan bagi penyairnya itu, langsung atau tidak langsung memberikan kesaksian atas berbagai fenomena yang secara kontekstual terjadi pada masanya.
Sebagai kesaksian, puisi mengabadikan peristiwa (suasana, fenomena, berita batin, sikap, visi dan misi) yang paling berkesan, yang realisasinya dapat berupa potret hitam putih, gambar beraneka warna, atau lukisan yang terpapar menurut berbagai aliran melalui pilihan kata yang mewakili aneka pencerapan dan perenungan penyairnya. Puisi dengan demikian berfungsi sebagai saksi mata batin penyairnya. Dalam konteks ini, puisi yang seksi ialah puisi yang mampu mengusung spiritualitas, rohaniah, dan batiniah.
Selain sebagai saksi puisi ternyata dalam menjalankan fungsinya berpenampilan seksi. Seksi di sini hendaklah diperluas perspektifnya. Keseksian puisi tidak semata-mata tampil melalui tipografi (tata wajah), diksi (pilihan kata) yang diperindah, melangit, di awang-awang, abstrak, dan seterusnya. Puisi tampil seksi bukan semata-mata pada keindahan bahasanya, meskipun keindahan bahasa menjadi ciri pribadi puisi yang seksi, keseksian puisi juga tampil melalui keindahan makna (perenungan, refleksi, nilai, guna, dan manfaatnya). Pemakaian bentuk bahasa yang indah memang sebagai wadah penyampaian makna yang juga indah. Keseksian puisi hadir melalui keindahan bahasa dan keelokan makna bagi kehidupan manusia. Puisi yang seksi, dengan demikian, puisi yang memiliki harmonisasi, intensifikasi, dan korespondensi antara bahasa dan pendaran maknanya.
Puisi yang seksi mempersyaratkan adanya media ekspresi (bahasa) yang indah dan substansi isi (makna) yang juga indah. Keelokan bahasa yang membungkus makna yang bernilai tentu akan mempercantik sosok puisi. Namun, demikian harus buru-buru ditambahkan bahwa fenomena keindahan bahasa dan makna sebagai penanda keseksian puisi ini realisasinya dapat beraneka ragam. Keseksian puisi, sesuai dengan evolusi selera pembaca, terentang antara sosok puisi yang diafan (mudah dipahami) hingga sosok puisi yang prismatis (banyak memendarkan makna seperti prisma). Memang ada sosok puisi yang tergolong hermetis (gelap) yang susah dipahami oleh pembaca. Puisi yang gelap, yang susah dipahami oleh pembaca menurut saya tidaklah termasuk pada puisi yang seksi sebab di sana terdapaat kebuntuan komunikasi. Puisi yang seksi adalah puisi yang “komunikatif” (komunikatif dalam tanda petik).
Puisi hakikatnya merupakan kesaksian penyairnya. Puisi protes, puisi kamar, atau puisi auditorium semuanya merupakan kesaksian penyairnya. Puisi demo, yakni puisi yang memuat protes berupa unjuk rasa secara jelas memberikan kesaksian terhadapfenomena zaman. Puisi kamar, yakni puisi yang cocok dibaca seorang diri di dalam kamar, yang biasanya berisi perenungan penyairnya, hakikatnya juga memberikan kesaksian atas berbagai hal baik secara personal, sosial, atau dalam konteks religiusitas penyairnya. Demikian pula puisi yang bersorak auditorium, yakni puisi yang cocok dibacakan di hadapan audiens di auditorium (panggung) juga berisi kesaksian penyairnya terhadap gejolak zaman.
Pembaca, saya telah memilah dan memilih puisi-puisi yang semoga selain memberi saksi juga tampil seksi. Dalam buku ini hanya tersaji 200 puisi. Harapan saya, melalui 200 puisi ini akan terjadi komunikasi batiniah yang mengungkap spiritualitas dan lanskap kerohanian. Tentu saja 200 puisi dalam buku ini siap dicumbu dan digauli secara hangat. Semoga ada sedikit manfaat. Demikian, salam budaya.
Bagaimana menurut sampeyan?

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri Jambi
Direktur Eksekutif,
Dimas Arika Mihardja

Kamis, 28 Oktober 2010

FENOMENA SASTRA INDONESIA MUTAKHIR: KOMUNITAS DAN MEDIA

Oleh: Nanang Suryadi

Komunitas Sastra
Meneropong sastra Indonesia mutakhir, tidak cukup hanya berbicara perkembangan satu dua tahun terakhir. Walaupun mungkin selama setahun dua tahun terakhir ada suatu perkembangan hebat yang terjadi. Fenomena komunitas sastra, misalnya, sebenarnya bukan merupakan hal yang baru di jagad sastra Indonesia. Lebih dari sepuluh tahun lalu Komunitas Sastra Indonesia sudah mengidentifikasi berbagai komunitas sastra (seni dan budaya) yang ada di tanah air. Komunitas Sastra Indonesia memberikan definisi komunitas sastra sebagai:
“kelompok-kelompok yang secara sukarela didirikan oleh penggiat dan pengayom sastra atas inisiatif sendiri, yang ditujukan bukan terutama untuk mencari untung (nirlaba), melainkan untuk tujuan-tujuan lain yang sesuai dengan minat dan perhatian kelompok atau untuk kepentingan umum.” (Iwan Gunadi, 2006)
Dengan melihat definisi tersebut, jika kita tengok dari perjalanan sastra Indonesia baik yang tercatat maupun yang tidak sebenarnya komunitas-komunitas sastra ini sudah berkembang sejak dahulu, walupun mungkin tidak secara resmi menggunakan kata-kata “komunitas.” Menurut saya Pujangga Baru merupakan sebuah komunitas, walaupun nama Pujangga Baru adalah nama sebuah majalah sastra. Namun di situ antara redaksi, penulis dan pembacanya ada suatu keterikatan emosional, sehingga muncullah sebuttan angkatan “Pujangga Baru”. Pada tahun 1940-an Chairil Anwar dkk berinteraksi dalam Gelanggang Seniman Merdeka, yang melahirkan Surat Kepercayaan Gelanggang. Pada 1950-1960-an, kita juga bisa menemui Lekra, Lesbumi, yang walaupun berpatron pada partai atau ormas, bisa kita sebut sebagai komunitas juga. Kelompok diskusi Wiratmo Soekito yang diikuti oleh Goenawan Mohamad dkk merupakan sebuah komunitas, yang pada akhirnya melahirkan Manifesto Kebudayaan. Dari beberapa contoh yang kebetulan tercatat dalam sejarah sastra Indonesia itu, dapat dikatakan bahwa komunitas sastra apapun namanya sudah berkembang sejak dahulu.
Sebuah komunitas sastra, menurut saya, tidak harus memiliki struktur organisasi yang jelas. Saya memandang bahwa jika ada lebih dari satu orang melakukan aktivitas rutin bersama dengan minat yang sama yaitu “sastra” maka dapat dikatakan itulah komunitas sastra. Walaupun Afrizal Malna pernah juga mendirikan komunitas yang anggotanya dia sendiri, yaitu “Komunitas Sepatu Biru.”
Aktivitas menulis karya sastra merupakan hal yang sangat individual. Pengakuan atas karya sastra pada umumnya merupakan pengakuan terhadap karya individu penulis. Sebuah cerpen, puisi atau novel jarang sekali dibuat oleh lebih dari satu orang (jarang, bukan berarti tidak ada). Maka dimana peran atau pengaruh komunitas dalam penulisan karya sastra, jika menulis adalah aktivitas individu?
Pergesekan pemikiran dalam komunitas memberikan wawasan bagi para penulis yang terlibat di dalamnya. Kecakapan-kecakapan menulis dapat ditularkan dengan saling belajar pada rekan satu komunitas. Inilah peran dari adanya sebuah komunitas, saling belajar dan saling berbagi.
Komunitas-komunitas sastra yang ada memiliki ciri yang hampir sama, yaitu: komunitas itu akan terus hidup jika ada individu yang sukarela menggerakkan komunitasnya. Paling tidak ada satu sampai tiga orang yang memiliki semangat untuk menjalankan aktivitas komunitas, maka komunitas itu akan berjalan.
Sekarang kita lihat fenomena apa yang membedakan komunitas sastra pada beberapa tahun terakhir dengan komunitas-komunitas sastra di tahun 90-an dan sebelumnya. Teknologi informasi membawa dampak perubahan terhadap pola interaksi di masyarakat. Pada akhir 90-an teknologi informasi berupa internet memberikan peluang kepada masayarakat luas untuk dapat berkumpul dalam suatu komunitas tanpa harus hadir secara fisik. Melalui jaringan internet, para peminat sastra membentuk komunitas yang melintasi batas geografis. Komunitas komunitas sastra di dunia maya mulai muncul sejak akhir tahun 90an melalui mailing list. Contoh komunitas sastra melalui mailing list yang berdiri di akhir 90an adalah: penyair@yahoogroups.com, puisikita@yahoogroups.com, gedongpuisi@yahoogroups.com, bungamatahari@yahoogroups.com, bumimanusia@yahoogroups.com musyawarah_burung@yahoogroups.com, dan banyak mailing list lain yang menyusul di tahun 2000an, seperti sastra_pembebasan@yahoogroups.com dan apresiasi_sastra@yahoogroups.com.
Media Sastra Mutakhir
Gerakan Sastra Internet yang diusung pada akhir 90-an oleh cybersastra.net (Yayasan Multimedia Sastra) merupakan tonggak sejarah yang turut mewarnai perkembangan sastra di Indonesia. Banyak penulis sastra Indonesia saat ini merupakan penggiat sastra di internet, khususnya penulis-penulis yang pernah berinteraksi dengan cybersastra.net dan beberapa mailing list komuntas maya di atas.
Perkembangan sastra di internet saaat sangat luar biasa. Setelah cybersastra.net tidak aktif pada tahun 2005, banyak situs-situs sastra baru bermunculan seperti: fordisastra.com, kemudian.com, duniasastra.com, sastra-indonesia.com, mediasastra.com, jendelasastra.com,dan masih banyak lagi yang lain. Selain itu fasilitas gratis yang disediakan provider Twitter.com, Facebook.com, Multiply.com, Blogspot.com, Wordpress.com menjadi media yang diminati beberapa tahun terakhir. Penulis sastra, baik yang terkenal maupun tidak, banyak menggunakan media-media tersebut.
Dari sekian banyak situs jaringan sosial, yang saya amati dan sekaligus menjalani adalah situs Facebook.com dan Twitter.com. Sepanjang pengamatan dan pengalaman saya dengan adanya kedua situs tersebut mendorong seseorang untuk kembali menulis, sebebas-bebasnya semau penulis. Saya akan berikan gambaran keduanya. Facebook memberikan ruang untuk membuat catatan yang lebih besar, selain sekedar membuat status yang 240 karakter. Twitter hanya memberikan ruang 140 karakter. Terlalu sering mengupdate status di facebook bisa dimarahi para friends. Sedangkan di twitter semakin sering update semakin disuka. Menulis karya di Facebook bisa panjang lebar. Jika di twitter harus dipotong-potong kalau karya puisi atau cerpennya panjang. Friends di facebook terbatas, sedangkan di Twitter bisa sebanyak-banyaknya. Di twitter ada mentions, di facebook ada tag. Sama-sama menarik perhatian rekan untuk membacanya. Mana yang lebih disukai? Bagi yang suka online terus menerus Twitter mungkin lebih disuka. Berkicau sepuasnya. Membaca Time line terus menerus. Bagi yang suka memajang foto, membuat catatan panjang, facebook mungkin lebih disukainya. Mengomentari catatan rekan dan tentu saja chat.Bagi seorang penulis yang akan memasarkan bukunya, mana yang lebih cocok? Twitter atau Facebook? Selama ini saya belum pernah menemukan iklan di twitter seperti di facebook. Kecuali dari teman yang kita follow, sesekali. Di facebook, seseorang bisa memasang foto produk yang akan dia jual. Kadang-kadang memaksa friends untuk melihatnya dengan men-tag. Di twitter tidak bisa memasang foto dan tulisan panjang. Maka follower diarahkan ke url di situs lain
Karya-karya yang muncul di Twitter, Facebook, blog, milist sangat mungkin muncul kembali di Koran, majalah dan buku. Kecenderungan itu sudah banyak. Misalnya:12 tahun lalu, milist bumimanusia yang diasuh Eka Kurniawan dan Linda Christanti telah menerbitkan beberapa buku. Pada masa yang sama, rekan-rekan di milist penyair, puisikita, gedongpuisi yang tergabung dalam cybersastra -YMS membuat antologi puisi. Buku serial antologi puisi "Dian Sastro for Presiden" (3 jilid) juga merupakan hasil interaksi dari berbagai mailing list. Buku untuk munir, peringatan gempa di Yogyakarta dan Padang, tsunami Aceh merupakan hasil interaksi dari para penulis di internet. Buku-buku yang lain, sangat mungkin merupakan hasil dari karya-karya yang muncul di fesbuk, twitter, milist dan blog.
Draft awal tulisan ini dibuat langsung di facebook.com dan twitter.com. Mungkin hal yang sama pernah dilakukan oleh banyak penggiat facebook dan twitter. Mereka langsung menulis dan pada beberapa menit berikutnya dipublish. Kecenderungan yang sama dapat dilihat pada sekitar sepuluh tahun lalu pada saat mailing-mailing list marak dan ramai digunakan, para anggota mailing list langsung menulis di emailnya masing-masing untuk saling menanggapi tulisan rekan-rekannya, bisa berupa opini atau karya puisi. Berbalas puisi di mailing list sudah terjadi sepuluh tahun lalu. Berbalas puisi dan menuangkan opini di kolom komentar facebook dan blog merupakan kecenderungan terbaru. Contoh komentar dari seorang penggiat sastra di facebook (yang saya amati sangat produktif menulis di facebook.com), yaitu Dimas Arika Miharadja:
"Komunitas semacam facebook, jika tak berhati-hati bisa bikin mabuk. Kenapa? Setiap mempublish puisi, esai, atau apapun juga terkesan dihadapi (diresepsi, diapresiasi) secara meriah denga...n aneka puja-puji, minimal mengacungkan jempol tanpa kata-kata. Komunitas facebook harus dicermati antara ada dan tiada. Adanya komunitas itu baru berguna bila ada keseriusan dalam melakoni hidup dan kehidupan berkarya. Tiadanya komunitas di ruang maya ini bisa jadi disebabkan lantaran orang-orang yang berkerumun di situ tidak ada tali pengikatnya yang jelas (suka datang dan pergi tak kembali, suka-suka hati).
Apakah ruang maya ini menambah produktivitas, intensitas, dan kualitas karya? Sabar, nanti dulu mas, masak terburu-buru. Soal produktivitas, intensitas, dan kualitas karya tentu saja bergantung siapa personilnya. Ada lumayan banyak yang serius berkarya, menjaga produktivitas, memupuk intensitasnya, serta meningkatkan karyanya. Tetapi jika dikaitkan dengan ketersediaan data, mungkin sebatas 10% saja. Selebihnya, lebih banyak bermain-main keriangan penuh keisengan di ruang maya ini.
Melalui media maya ini juga mulai dapat diidentifikasi beberapa person yang bisaa memanfaatkan media ini sebagai sosialisasi-komunikasi-interaksi karya yang digubahnya. Lantaran karya sastra itu peronal atau individual sifatnya, aneka respon terhadap karya yang dipublish haruslah diiringi sikap berhati-hati. Puja-puji bisa memandegkan kreativitas, mabuk pujian, dn lepas kontrol. Sebaliknya, penyampaian kecaman atau asal kritik tanpa argumentasi yang jelas bisa jadi akan menghentikan produktivitas bagi yang tidk siap dan tidak tahan banting.
Intinya, Komunitas dan Media maya, keduanya sama-sama semu. Semua bergantung pada individu pelakunya"
Inilah salah satu contoh, bagaimana interaksi di dunia maya dapat berlangsung cepat. Opini bisa dibalas opini dalam waktu singkat. Sedangkan media konvensional seperti koran cetak, majalah cetak, jurnal cetak (segala yanmg harus dicetak) membutuhkan waktu yang cukup lama, paling tidak sehari. Komentar dari Dimas Arika Mihardja ini hanya sekitar 5-10 menit sejak artikel saya publikasikan di facebook.
Usulan Pengembangan Komunitas dan Media
Sebagai penutup tulisan ini, saya mengusulkan beberapa hal untuk pengembangan komunitas dan media saat ini dan di masa mendatang. Tanpa menafikan keberadaan koran, majalah dan buku sebagai media sastra, saya mencoba mengusulkan pengembangan sastra melalui komunitas sastra di internet. Teknologi internet yang semakin terjangkau oleh semua kalangan memberikan peluang yang besar untuk semakin menggairahkan para penulis sastra untuk menulis. Penulis sastra dari generasi yang lahir tahun 70-an dan 90-an merupakan generasi-generasi yang sangat melek internet. Mereka bisa online internet sepanjang hari menggunakan handphonenya.
Berdasar pengalaman berinteraksi di berbagai jaringan komunitas sastra di internet selama ini saya menemukan banyak penulis pemula yang ingin belajar menulis di internet. Para pemula ini mencari guru yang mau mengajari mereka menulis. Tapi para penulis "mapan" di dunia nyata susah untuk diminta ilmunya (pengalaman 10 tahun lalu, dan mungkin sekarang). Mungkin kesibukan para penulis "mapan" yang menyebabkan mereka susah untuk ditanya ini itu hal hal teknis tentang penulisan. Pengalaman waktu di cybersastra, ada suatu forum akhirnya para pemula ini saling membantai karya teman-temannya (tanpa guru!). Saya melihat pembantaian karya antar teman itu bisa menjadi gesekan kreatif yang mendorong menjadi lebih baik. Beberapa alumni forum cybersastra karya-karyanya sudah banyak tampil di pentas sastra Indonesia. Mungkin kalau saling membantai karya menjadi suatu yang mengerikan, bisa dicari format lain.
Tuntutan para sastrawan "mapan" 12 tahun lalu terhadap sastra di internet menurut saya terlalu cerewet. Mereka meminta karya sastra yang berbeda dengan karya sastra media koran, majalah dan buku. Mereka meminta untuk karya-karya yang selektif yang hadir di internet. Seperti karya yang muncul di koran dan majalah. Tapi tantangan itu harus diterima! Ada upaya rekan-rekan penggiat sastra di internet untuk memaksimalkan media yang ada, misalnya dengan mengotak atik HTML, script dll. tapi masih belum menemukan sesuatu yang benar-benar baru. Perkawinan berbagai media seperti video, audio, teks bisa menjadi arah pengembangan ke depan. Selain itu satu hal yang penting, yang mungkin jarang kita perhatikan, ketersediaan bahan bacaan dalam teks digital dari beberapa terbitan cetak sastra Indonesia masih sedikit ditemui. Saya mengimpikan suatu ketika kita memiliki perpustakaan maya (semacam PDS HB Jassin di dunia nyata) , juga database biografi dan karya-karya para penulis sastra di Indonesia, yang dapat diakses hanya menggunakan jaringan internet melalui handphone. Saya percaya, itu akan terjadi!
Malang, 2010

Jumat, 22 Oktober 2010

Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 8

oleh Hamberan Syahbana

Menikmati sebuah puisi sama saja dengan menikmati hidangan santapan 4 sehat 5 sempurna. Tentu sesuai dengan selera masing-masing. Ada yang suka masakan berkuah, ada yang suka dengan lalapan plus sambal pedasnya. Seleranya pun macam-macam. Ada yang suka rasa asin, suka rasa manis, ada yang suka rasa asam, bahkan ada yang suka rasa pahit. Demikian pula dengan puisi. Ada beberapa jenis puisi [1] Romansa yang berisi luapan perasaan cinta kasih dan sayang, [2] Elegi yang berisi ratapan duka jeritan nestapa bahkan tangisan kesedihan, [3] Satire yang berisi sindiran dan kritik sosial, [4] Balada yang berisi kisah orang-orang perkasa, [5] Himne yang berisi pujian untuk Tuhan, tanah air dan para pahlawan, [6] Ode yang berisi sanjungan untuk orang yang berjasa, [6] Epigram yang berisi tuntunan ajaran hidup dan kehidupan.
Motif dasar orang menyantap makanan di samping supaya kenyang juga ingin menikmati lezatnya masakan. Perasaan lezat setiap orang itu relative. Sama hal nya dengan membaca sebuah puisi. Sesorang membaca puisi adalah untuk mendapatkan rasa senang. Sesuatu yang bisa membuat rasa senang seseorang itu relatif. Ada yang merasa senang membaca untaian kata-kata yang indah, memukau dan mempesona, atau kata-kata lirih merintih dan menjerit, atau kata-kata yang meledak dan menggebu-gebu. Di samping itu ada juga yang suka pada persajakan atau persamaan bunyi di akhir-akhir kalimat, atau menemukan majas-majas di dalam sebuah puisi. Ada juga yang senang dengan imaji visual atau gambaran seakan-akan benar-benar melihat, imaji auditif sekan merasa benar-benar mendengar dan imaji taktil seakan merasa apa yang tertulis dalam puisi. Dan ada juga yang senang dengan pesan moral yang terkandung dalam puisi tsb.
Bilamana seorang pembaca menemukan rasa senang di dalam sebuah puisi, maka ia akan membacanya dari awal hingga akhir. Dan itu bisa dibaca ulang hingga berkali-kali. Bahkan ada yang mengutipnya sebagai penyedap dalam sebuah surat cinta, atau sebagai pelengkap dalam sebuah pidato. Dengan demikian maka sudah dapat dipastikan bahwa amanat atau pesan moral yang ada pada puisi itu akan sampai kepada pembacanya. Sebaliknya jika tidak, maka puisi itu pasti tidak akan dibaca lagi. Dan tentunya apa yang ingin diungkapkan penulisnya tidak akan sampai kepada pembacanya.
Pada Essei Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 8 ini kita akan mencermati 3 buah puisi yang berjudul:
1. KAU DAN POHON BERINGIN DI BOULEVARD KAMPUS BIRU karya SriKanti Kupu Hitam dari Kudus Provinsi Jawa Tengah
2. Istri Seorang Koruptor Menunggu Hadiah Ulang Tahun karya Holy Adibz dari kota Padang Provinsi Sumatera Barat
3. GUMAM DARI ISTANA DAUN RETAK Karya Ali Arsyi dari kota Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan
Marilah kita nikmati puisi yang pertama berikut ini.
[1]
KAU DAN POHON BERINGIN DI BOULEVARD KAMPUS BIRU
Puisi SriKanti Kupu Hitam
Aku melihat pohon itu tumbuh rindang, di depan boulevard kampus biru tahun itu seperti aku melihat matamu yang teduh sementara mulutmu berteriak meminta keadilan untuk rakyat waktu harga sembako murah mulai minggat bau keringatmu seanyir nafas katamu yang berhembus di ruang dewan senat seketika itu, cintaku padamu segera lekat erat menjerat
aku temukan di semilir angin yang berhembus dari pohon beringin depan boulevard kampus biru tahun itu sama saat aku menemukan kelembutan auramu, kekasih anggun angkuh tegak atas tirani tak bernurani suaramu sekeras derak ranting sementara daun-daun luruh jatuh di atas kepalamu
dalam semusim kau bertahan di bawah naungan pohon kampus kita yang melindungimu dari terik mentari sambil mengelupas kulit para serigala Negara hingga topeng mereka lepas menampakan muka merah marah menujah tubuh, suara dan semangatmu dengan kaprah sampai akhirnya pohon itu tumbang dan kau berdarah menyisakan boulevard kampus sepi tinggal sejarah
musim ini aku masih mengenangmu dan pohon itu di depan boulevard kampus biru
Kudus, 29 Juni 2010
Puisi SriKanti Kupu Putih yang berjudul KAU DAN POHON BERINGIN DI BOULEVARD KAMPUS BIRU di atas tampil dengan judul yang panjang dengan beberapa untaian lariknya yang panjang, Puisi ini terdiri dari 4 bait. Bait [1] terdiri dari 7 larik. Bait [2] terdiri dari 5 larik. Bait [3] terdiri dari 7 larik, dan bait [4] terdiri dari 3 bait. Semua lariknya berjumlah 22 untaian larik.
Puisi SriKanti ini dibangun dengan pemilihan kata yang bernuansa kenangan, cinta dan perjuangan mahasiswa menentang ketidak-adilan tirani yang tidak bernurani. Marilah kita cermati untaian larik [1] sampai larik [3]: Aku melihat pohon itu tumbuh rindang, di depan boulevard kampus biru tahun itu, seperti aku melihat matamu yang teduh. Dalam untaian larik ini ada imaji visual. Betapa piawainya SriKanti Kupu Hitam mengungkapkannya. Perasaan kita larut terbawa dalam kenangan itu. Kita merasa seakan benar-benar melihat pohon yang tumbuh rindang di depan boulevard kampus. Kita juga merasa betapa teduhnya pandangan mata sang kekasih. Di sini juga ada majas simile. Hal ini ditandai dengan ungkapan aku melihat pohon itu tumbuh rindang di depan boulevard kampus tahun itu yang dihubungkan dengan kata [seperti] yang ada di larik: seperti aku melihat matamu yang teduh. Majas simile itu terdapat pula di larik [6] pada untaian larik: bau keringatmu seanyir nafas katamu yang berhembus di ruang dewan senat.
Berikutnya mari kita cermati untaian larik [4] sampai dengan larik [7]: sementara mulutmu berteriak meminta keadilan untuk rakyat, waktu harga sembako murah mulai minggat, bau keringatmu seanyir nafas katamu yang berhembus di ruang dewan senat, seketika itu, cintaku padamu segera lekat erat menjerat.
Di dalam untaian larik-larik ini ada imaji visual sekaligus imaji auditif. Di mana kita seakan benar-benar melihat sang kekasih berteriak lantang. Kita juga seakan mendengar suara lantang sang kekasih. Perjuangan khas mahasiswa yang berjuang meminta keadilan untuk rakyat ketika waktu itu, harga sembako yang murah mulai menanjak naik. Di sini juga ada imaji taktil di mana kita seakan mencium bau anyir keringat dan nafas sang kekasih yang berhembus di ruang sidang. Ungkapan bau anyir di sini adalah bau yang tidak enak bagi mereka yang tidak suka dengan perjuangan mahasiswa. Tetapi sebaliknya bagi Si Penyair justru bau anyir itulah yang membuat cintanya segera lekat erat menjerat. Di dalam klausa [segera lekat erat menjerat ] ini ada majas aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [t] dan sekaligus asonansi yang dtandai dengan pengulangan bunyi vocal [e] pada kata [lekat], [erat] dan kata [menjerat]
Nampaknya di larik [1] sampai larik [3] tak ada rima, kecuali di larik [4] sampai degan larik [7]. Di larik-larik ini terdapat rima akhir yang tertata rapi. Hal ini ditandai dengan adanya pengulangan bunyi [at] pada kata [rakyat] di akhir larik [4] yang bersajak dengan kata [minggat] di ujung larik [5] kata [senat] di larik [6] dan kata [menjerat] di larik [7]. Dengan demikian persajakan di bait [1] ini berbentuk pola persajakan [a,b,c,d,d,d].
Secara keseluruhan untaian larik [1] sampai dengan larik [7] membentuk majas perifrase yang ditandai dengan ungkapan yang panjang. Marilah kita nikmati majas tsb. berikut ini.
Aku melihat pohon itu tumbuh rindang di depan boulevard kampus biru tahun itu seperti aku melihat matamu yang teduh sementara mulutmu berteriak meminta keadilan untuk rakyat waktu harga sembako murah mulai minggat [sementara] bau keringatmu seanyir nafas katamu yang berhembus di ruang dewan senat [dan] seketika itu cintaku padamu segera lekat erat menjerat
Berikutnya marilah pula kita cermati bait [2]. Di bait [2] kita menemukan pemilihan kata yang begitu indah mempesona. Kata-kata tsb masih bernuansa kenangan, cinta dan perjuangan mahasiswa. Hal ini ditandai dengan [kampus biru] dan [tahun itu] di larik [9]. Kata [boulevard] dan [kampus biru] sengaja dipilih penulisnya karena kata [boulevard] itu terdengar begitu indah ketimbang menggunakan kata [taman] dengan maksud yang sama.
Secara denotatif [kampus biru] maknanya memang benar-benar sebuah kampus yang tembok dan dinding-dindngnya semuanya berwarna biru. Tetapi jika ditinjau dari makna konotatif [kampus biru] bisa bermakna lain. Frase [kampus biru] ini mengingatkan kita pada sebuah film yang berjudul Cintaku di Kampus Biru yang sangat popular di tahun 70an. Film yang menceritakan sebuah percintaan sesaat antara Anton (Roy Marten) dengan dosennya yang dibintangi oleh Rae Sita. Berkaitan dengan ini, maka (kampus biru) di sini bisa bermakna sebuah kampus yang penuh kenangan cinta di masa yang lalu. Sebuah kenangan yang tak mudah dilupakan.
Sebelumnya ada semilir angin yang berhembus bernuansa romantis. Berikutnya ada nuansa kekaguman atas perjuangan sang kekasih. Ini dapat dilihat pada frase [kelembutan auaramu] di larik [10] dan kata [anggun] [angkuh] dan [tegak] atas [tirani tak bernurani] di larik [11]. Selanjutnya ada klausa [suaramu sekeras derak ranting]. Selama ini kita tahu bahwa bunyi derak ranting itu tidak begitu keras, tetapi bagi seseorang yang sedang dilanda cinta plus kekaguman maka bunyi apapun terasa indah kedengarannya. Demikian pula dengan bunyi derak ranting. Keadaan itu semakin romantis dengan adanya [daun-daun luruh] yang [jatuh di atas kepalamu]. Sedangkan kata [anggun] dan [angkuh] sebenarnya adalah dua kata yang kurang bersahabat. Tetapi lain lagi nuansanya bagi penulis yang sedang kasmaran. Sosok sang pejuang ini begitu anggun dalam keangkuhannya. Begitu berani tegak membusungkan dada menghadapi tirani yang tak berani.
Bait [2] ini juga dibangun dengan rima dan ritme yang indah. Hanya saja tidak dibangun dengan rima di akhir larik, tetapi menggunakan rima asonansi dan rima aliterasi. Di larik [8] ada rima asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi sengau [ng] dan [n] pada kata [angin] dan [beringin]. Demikian juga di larik [9] ada pengulangan bunyi vocal [u] pada kata [kampus], [biru], [tahun] dan kata [itu]. Di larik [10] ada pengulangan bunyi konsonan [s] pada kata [sama], [saat] dan kata [kekasih]. Di larik ini juga ada pengulangan bunyi sengau [m] pada kata [sama], [menemukan], [kelembutan] dan kata [auramu]. Berikutnya ada pengulangan bunyi konsonan [k] pada kata [aku], [menemukan], [kelembutan] dan kata [kekasih]. Di larik [11] ada pengulangan bunyi sengau [ang] pada kata [anggun] dan [angkuh], dan pengulangan bunyi konsonan [k] pada kata [angkuh], [tegak] dan kata [tak]. Di larik ini juga ada pengulangan bunyi [nurani] pada kata [nurani] dan [bernurani]. Terakhir di larik [12] ada pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata [suaramu], [sekeras], [derak], [ranting], [sementara] dan [luruh]. Semua pengulangan bunyi itu membentuk irama yang indah kedengarannya.
Bait [2] ini juga dibangun dengan imaji taktil, imaji visual dan imaji audtitif. Di larik [8] ada imaji taktil pada untaian: aku temukan di semilir angin yang berhembus dari pohon beringin. Membaca untaian larik ini kita turut merasakan hembusan semilir angin dari pohon beringin. Berikutnya ada juga imaji taktil di larik [10] pada untaian: sama saat aku menemukan kelembutan auramu, kekasih. Di sini kita turut merasakan ada kelembutan aura sang kasih. Sedangkan di larik [9] dan larik [11) ada imaji visual. Pada untaian larik: depan boulevard kampus biru tahun itu. Kita merasa seakan melihat pohon beringin yang rindang di depan boulevard kampus. Berikutnya ada untaian: anggun angkuh tegak atas tirani tak bernurani. Terbayang dalam benak kita sang pejuang rakyat bagaikan pohon beringin berdiri anggun dalam keangkuhannya tegak menantang tirani tak bernurani. Terakhir di larik [12] ada imaji auditif pada untaian: suaramu sekeras derak ranting dan ada imaji visual pada untaian larik: sementara daun-daun luruh jatuh di atas kepalamu. Di sini kita seakan mendengar bunyi suara sang pejuang sekeras suara derak ranting. Selanjutnya kita seakan melihat daun-daun yang luruh berjatuhan di atas kepala sang pejuang.
Secara keseluruhan untaian di bait [2] ini membentuk majas perifrase yang ditandai dengan adanya ungkapan yang panjang. Marilah kita nikmati majas tsb berikut ini.
aku temukan di semilir angin yang berhembus dari pohon beringin [di] depan boulevard kampus biru tahun itu sama [seperti] saat aku menemukan kelembutan auramu, kekasih. anggun angkuh tegak atas tirani tak bernurani [kudengar] suaramu sekeras derak ranting sementara [ketika itu kulihat] daun-daun luruh jatuh di atas kepalamu.
Di bait [2] ini juga ada majas perbandingan di larik [11] yang membandingkan sang kekasih dengan pohon beringin yang anggun angkuh tegak atas tirani tak bernurani. Dan dilarik [12] ada majas simile yang ditandai dengan klausa suaramu sekeras derak ranting. Kata [sekeras] adalah bentuk lain dari kata [seperti kerasnya]
Berikutnya marilah kita cermati untaian larik-larik di bait [3]. Bait [3] ini juga dibangun dengan diksi yang masih bernuansa kenangan ketika gigih-gigihnya para mahasiswa berjuang menantang tirani yang tak bernurani. Hal ini ditandai dengan untaian: dalam semusim di larik [13], kau bertahan di bawah naungan pohon kampus kita yang melindungimu dari terik mentari larik [14]. Di sini juga ada diksi [mengelupas kulit], [serigala Negara] larik [15], Ungkapan [mengelupas kulit] bisa bermakna membuka rahasia, sedangkan [serigala Nergara] maksudnya adalah sekelompok orang liar yang sama dengan serigala yang mengejar dan memangsa tangkapannya dengan lahapnya. Sayang serigala liar ini adalah serigala yang masih berstatus aparat Negara. Berikutnya di larik [16] ada kata [topeng], [menampakan muka], dan [merah marah]. Kata [topeng] maksudnya adalah perbuatan baik yang selama ini menutupi kebusukannya, sedangkan [menampakan muka] maksudntya memperlihatkan wajah asli, memperlihatkan kebusukan aslinya sehingga mikanya menjadi [merah marah] maksudnya malu dan marah.
Selanjutnya di larik [16] ada ungkapan: hingga topeng mereka lepas menampakan muka merah marah. Kata [topeng] maksudnya adalah penutup pengaman dalam bertugas. Sedangkan kata [lepas] maksudnya terbuka, tidak ada lagi yang tertutupi. Di larik [17] ada ungkapan: menujah tubuh, suara dan semangatmu dengan kaprah. Maksudnya gerakan perjuangan yang disuarakan dengan semangat yang menyala-nyala di dada selama ini sudah tepat maksudnya tidak salah kaprah.
Meskipun gerakan mahasiswa ini awal-awalnya hanyalah berkaitan dengan harga sembako yang menanjak naik. Tapi biasanya perjuangan mahasiswa melebar menjadi perjuangan melawan serigala Negara yang lain. Biasanya mereka meneriakan yel-yel dan menyanyikan lagu-lagu yang menyindir dan membuka rahasia para koruptor. Sampai akhirnya pohon itu tumbang dan kau berdarah [larik 18]. Dan di larik [19] ada untaian: menyisakan boulevard kampus sepi tinggal sejarah. Maksudnya kini semua tinggal kenangan sejarah yang sangat berkesan.
Bait [3] ini juga dibangun dengan imaji visual, imaji taktil dan imaji auditif. Di mana kita seakan melihat seseorang sedang bertahan dari terik matahari bernaung di bawah pohon beringin yang rindang. Sekaligus kita juga merasakan betapa teduhnya bernaung di bawah pohon rindang, sementara di sekitar pohon terasa teriknya matahari [larik 13 dan 14].
Berikutnya di larik [15] ada imaji visual non realis tapi lebih pada imaji surealis yang lebih bersifat ungkapan. Kita seakan melihat para pejuang mahasiswa itu mengelupas kulit para serigala Negara. Membuka rahasia seseorang yang selama ini kelihatannya baik. Padahal ia adalah [serigala Negara] musuh-musuh Negara yang terdiri dari para koruptor yang menggerogoti harta negara. Mereka membongkar kebusukan koruptor itu dengan data dan fakta. Selanjutnya di larik [16] kita seakan melihat dengan jelas bahwa perjuangan itu telah berhasil hingga topeng mereka lepas menampakan muka merah marah. Kebaikan yang selama ini melindungi kebusukan musuh Negara itu telah terbuka dan tidak ada lagi rahasia yang tertutupi. Di larik [17] kita turut merasakan bahwa gerakan perjuangan yang disuarakan mahasiswa dengan semangat yang menyala-nyala di dada selama ini sudah tepat, tidak salah kaprah. Di larik [18] kita seakan merasa benar-benar melihat dan mendengar perjuangan mahasiswa yang turun ke jalan. Mereka meneriakan yel-yel dan menyanyikan lagu-lagu yang menyindir dan membuka rahasia para koruptor. Sampai akhirnya pohon itu tumbang dan kau berdarah. Dan di larik [19] kita turuit merasakan semua itu tinggal kenangan sejarah yang sangat berkesan.
Berikutnya marilah kita cermati bait terakhir yaitu bait [4]. Puisi SriKanti ini ditutup dengan: musim ini aku masih mengenangmu dan pohon itu di depan boulevard kampus biru. Seperti juga bait terdahulu, bait ini dibangun dengan diksi yang berkaitan dengan kenangan indah yang tak akan terlupalan. Meskipun bait [3] hanya terdiri dari 3 larik yang sederhana, tetapi bait ini tetap dapat dinikmati melalui diksi dan rima yang melekat dalam bait ini.
Di larik [20] meskipun hanya terdiri dari 2 kata saja yaitu [musim] dan [ini]. Tetapi di sini ada pengulangan bunyi sengau [m] bunyi vocal [i]. Demikian pula di larik [21]. Di sini ada pengulangan bunyi sengau [m] pada kata [masih] dan kata [mengenangmu], Selanjutnya di larik [22] ada pengulagan bunyi komnsonan [d] pada kata [di], [depan] dan kata [boulevard]. Pengulangan bunyi-bunyi tsb jika dibacakan atau diperdengarkan akan menimbulkan irama yang indah.
Berikutnya di akhir larik [21] ada kata [itu] yang bersajak dengan kata [biru] di larik [22] pengulangan bunyi ini membentuk rima akhir. Dengan demikian persajakan di bait [3] ini membentuk pola persajakan [a,b,b]
Puisi in berjudul KAU DAN POHON BERINGIN DI BOULEVARD KAMPUS BIRU. Semuanya ditulis dengan menggunakan hurup kapital. Ini menunjukan bahwa semua yang diungkapkan oleh SriKanti dalam puisi ini tentu sangat penting. Paling tidak sangat penting bagi dirinya sendiri. Puisi ini nampaknya menunjukkan adanya kesan yang tak mudah dilupakan.
Sepintas lalu puisi ini hanyalah sebuah kenangan tentang cinta dan perjuangan mahasiswa yang dikarenakan harga sembako mulai minggat. Tetapi jika dikaitkan dengan mengelupas kulit para serigala Negara. Ini bukan sekedar memperjuangkan harga sembako murah. Serigala tidak sama dengan anjing. Sebab anjing termasuk binatang peliharaan yang amat setia dengan tuannya, sedangkan serigala adalah binatang liar yang hidup bergerombol di hutan-hutan. Hal ini tidak bisa dikaitkan dengan aparat yang selalu bersinggungan dengan perjuangan mahasiswa. Sebab aparat bertindak sesuai dengan prosedur melaksanakan tugas Negara. Sedangkan serigala betindak atas keinginan dan kepentingan sendiri. Setidaknya untuk kepentingan sesama kelompoknya. Apalagi jika dikaitkan dengan sampai akhirnya pohon yang dikelupas kulitnya itu tumbang. Ini menunjukkan bahwa pohon yang tumbang itu bukan benar-benar pohon. Pohon tu adalah ungkapan suatu kekuatan yang selalu menggerogoti Negara. Menguras harta Negara demi kepentingan pribadi dan golongannya.
Dalam puisi ini ada pesan moral yang disampaikan penulisnya melalui untaian larik-lariknya. Secara tersurat dia mengungkapkan bahwa hendaknya mahasiswa yang ada sekarang bercermin dengan perjuangan mahasiswa dari zaman ke zaman. Secara tersirat penulisnya mengatakan bahwa tugas mahasiswa itu di samping belajar menuntut ilmu, juga adalah pejuang keadilan rakyat.
***
Berikutnya marilah kita nikmati puisi yang kedua berikut ini
[2]
Istri Seorang Koruptor Menunggu Hadiah Ulang Tahun
Puisi Holy Adibz
suamiku
hari ini aku ulang tahun
sudahkah kau siapkan hadiah untukku
dari uang pajak yang telah mereka bayar

suamiku
kau harus membelikan kalung emas untukku
dari amplop yang mereka selipkan ke sakumu
agar engkau tutup mulut

suamiku
istri temanmu baru membeli sebuah mobil mewah
teruslah mengalirkan dana bank itu ke halaman rumah kita
aku ingin punya mobil yang lebih mewah

suamiku
aku bosan tinggal di rumah ini
sebab ini hari ulang tahunku
aku ingin kau membelikan rumah baru
segeralah kau tulis surat pengadaan barang dan jasa
atas nama belanja Negara

suamiku
aku tahu kau tak ‘kan mengecewakanku
cepat jual kayu-kayu di hutan itu
pada mereka yang sudi membayar tanpa tanda tangan
dan ajaklah aku berlibur keliling dunia
sebagai hadiah ulangtahunku kali ini


Padang, 30 September 2010
Lewat Tengah Malam

Puisi Istri Seorang Koruptor Menunggu Hadiah Ulang Tahun karya Holy Adibz ini terdiri dari 5 bait. Bait [1] terdiri dari 4 larik. Bait [2] tediri dari 4 larik. Bait [3] terdiri dari 4 larik. Bait [4] terdiri dari 6 larik. Bait [5] terdiri dari 6 larik. Seliuruhnya berjumlah 24 larik.
Puisi ini dibangun dengan diksi yang sederhana dan mudah dicerna. Dan puisi ini termasuk puisi imajis demghan kesederhanaan diksinya membuat puisi mudah dipahami dan mudah dinikmati pembaca. Walaupun demikian puisi ini bukan berarti tanpa makna. Malah sebaliknya Holy Adibz menyajikan menu yang lain dari yang lain. Semua diksinya bernuansa sindiran halus yang menggelitik dikemas dalam bujukan dan rengekan seorang istri kepada suaminya. Sungguh ini sangat menarik. Marilah kita cermati untaian di bait [1] ini: suamiku, hari ini aku ulang tahun. sudahkah kau siapkan hadiah untukku dari uang pajak yang telah mereka bayar.[?].
Di bait [1] ini ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi [ku] di akhir kata [suamiku] di larik [1] dan kata [untukku] di larik [3]. Meskipun tidak ada pengulangan bunyi di larik [2] dan [4], tetapi ini sudah membentuk persajakan dengan pola [a,b,a.c]. Di bait [1] ini juga ada rima awal yang ditandai dengan pengulangan bunyi [su] di awal kata [suamiku] di larik [1] yang bersajak dengan kata [sudahkah] di larik [3]. Di larik [2] ada pengulagan bunyi [ri] di akhir kata [hari] yang bersajak dengan [dari] di larik [4]. Pengulangan bunyi ini mmbentuk rima awal dengan pola [a,b,a,b]
Di bait [1] ini ada untaian: dari uang pajak yang mereka bayar di larik [4]. Hal ini mengingatkan kita pada kasus Gayus Tambunan yang mengalihkan uang pembayaran pajak ke rekening pribadi. Kalimat ini adalah sindiran halus yang amat terang benderang bagi petugas pajak yang nakal. Di bait [1] ini juga ada majas erotesis yang ditandai dengan kalimat tanya: sudahkah kau siapkan hadiat untukku [?]. Ucapan ini tentu hanya didengar oleh sang suami si koruptor itu.
Berikutnya akan semakin jelas bila kita mencermati bait [2] dari puisi ini. Dengarlah lanjutannya: suamiku, kau harus membelikan kalung emas untukku dari amplop yang mereka selipkan ke sakumu agar engkau tutup mulut. Semua untaian larik ini begitu indah kedengarannya. Karena di samping kata-katanya yang begitu familiar, juga karena ada rima yang tertata rapi. Di sini ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u]. Bunyi vocal itu ada dalam suku kedua yang berbunyi [ku] dan [mu] pada kata [suamiku] di larik [5] yang bersajak dengan kata [untukku] di larik [6] dan kata [sakumu] di larik [7]. Pengulangan bunyi vocal [u] membentuk pola persajakan [a,a,a,b]. Sedangkan di larik [8] secara khusus ada rima asonansi dan aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vocal [u] dan bunyi konsonan [t] dalam kata [tutup] dan [mulut].
Di bait [2] ini Holy Adibz mencoba menggambarkan permintaan istri koruptor kelas rendahan. Ini dapat dilihat pada untaian: suamiku, kau harus membelikan kalung emas untukku. Dia hanya minta dibelikan kalung emas atas jasa tutup mulut suaminya. Memang itu kemampauan koruptor kelas bawah. Berbeda dengan istri koruptor kelas atas, yang diminta dibelikan kalung berlian tentunya dengan harganya yang wah.
Untuk melihat keinginan istri sang koruptor kelas tinggi dapat kita cermati pada bait [3] berikut. Dengarlah: suamiku, istri temanmu baru membeli sebuah mobil mewah, teruslah mengalirkan dana bank itu ke halaman rumah kita aku ingin punya mobil yang lebih mewah. Sangat jelas kan? Dia tidak minta dibelikan kalung emas, bahkan berlian pun tidak. Karena kedua kalung itu hanya dapat dilihat pada pertemuan arisan dsb. Beda dengan mobil yang lebih mewah dari yang mewah, di samping bisa di lihat pada waktu pertemuan arisan juga bisa pamer setiap hari.
Untaian larik di bait [3] ini terasa indah karena di sini juga ada rima yang memukau antara frase [mobil mewah] dan [mobil yang lebih mewah]. Persajaan ini membentuk rima akhir dengan pola [a,b,c,b].
Selanjutnya marilah kita cermati bait [4]. Di bait ini ada untaian yang lebih seru. Mari kita nikmati untaian larik-larik tsb. suamiku, aku bosan tinggal di rumah ini sebab ini hari ulang tahunku aku ingin kau membelikan rumah baru segeralah kau tulis surat pengadaan barang dan jasa atas nama belanja Negara. Di sini yang diminta sebagai hadiah ulang tahun adalah sebuah rumah baru. Hebatnya lagi pembelian rumah ini atas biaya belanja Negara.
Untaian larik-larik ini terasa indah, karena di sini ada rima yang tertata rapi. Yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] pada kata [suamiku] di larik [13] yang bersajak dengan [ulang tahunku] di larik [15], dan [rumah baru] di larik [16]. Berikutnya ada pengulangan bunyi vocal [a] pada kata [jasa] di larik [17] yang bersajak dengan kata [Negara] di larik [18]. Pengulangan tsb membntuk rima dengan pola persajakan [a,b,a,a,c,c].
Marilah kita cermati bait [5].Di bait ini juga ada untaian yang lebih heboh. Mari kta cermati larik-larik tsb. suamiku aku tahu kau tak ‘kan mengecewakanku cepat jual kayu-kayu di hutan itu pada mereka yang sudi membayar tanpa tanda tangan dan ajaklah aku berlibur keliling dunia sebagai hadiah ulangtahunku kali ini. Di bait [5] yang diminta sebaga hadiah ulangan tahun adalah berlibur keliling dunia.
Di bait ini juga ada rima akhir dengan pengulangan bunyi vocal [u] pada kata [suamiku] di lark [19] yang bersajak dengan kata [mengecewakanku] di larik [20] dan kata [itu] di larik [21]. Pengulangan bunyi tsb embentuk rima dengan pola persajakan [a,a,a,b,c,d].
Puisi Holy Adibz juga dibangun dengan imaji visual sekaligus imaji auditif. Membaca puisi ini kita sekan meliat seorang istri yang cantik bermanja-manja dengan suaminya yang koruptor itu. Kita juga seakan mendengar suara sang istri yang menanyakan hadiah ulang tahun kepada suaminya yang duitnya dari penggelapan uang pajak. Begitu jelasnya Holy Adibz memaparkan ucapan manja yang biasanya hanya berupa bisikan di tempat tidur. Ada beberapa hadiah ulang tahun yang diminta. Diantaranya minta dibelikan kalung emas, lalu menceritakan bahwa istri teman suaminya baru membeli mobil mewah. Dan ia minta dibelikan mobil yang lebih mewah. Berikutnya minta sebagai hadiah ulang tahun adalah sebuah rumah baru. Hebatnya lagi pembelian rumah ini atas biaya belanja Negara. Selanjutnya minta dibawa berlibur keliling dunia, dengan biaya hasil penjualan hutan kayu tanpa tanda tangan sebagai bukti transaksi.
Sepintas lalu semua hadiah ulang tahun itu hanya untuk satu orang istri koruptor saja. Tetapi jika kita cermati ada permintaan hadiah ulang tahun berupa kalung emas, maka nampaknya ini bukan satu orang saja. Biasanya kalung emas bukanlah impian seorang istrimpejabnat kelas kakap. Berarti di dalam puisi ini ada beberapa orang istri dari beberapa kelas koruptor. Dari kelas rendahan yang hanya minta kalung emas, sampai koruptot kekas kakap yang minta dibawa berlibur keliling dunia.
Di sini Holy Adibz juga secara terang benderang mengungkapkan praktek korupsi dengan cara: [1] menggelapkan dan memanipulasikan pembayaran pajak, [2] uang suap tutup mulut, [3] penyimpangan dana bank, [4] manipulasi biaya pengadaan barang milik negara, [5] uang transaksi jual beli hutan kayu tanpa tanda bukti.
Puisi Holy Adibz ini termasuk puisi imajis yang bermuatan sindiran dan kritik. Di dalam puisi ini nampaknya Holy Adibz ingin menyampaikan pesannya kepada: [1] sesama mahasiswa sebagai calon pemimpin di masa yad, [2] pejabat pemegang amanah yang belum pernah korupsi, [3] siapa saja berpeluang menjadi koruptor. Agar jangan sampai terpengaruh dengan rengekan istri yang menjurus ke arah praktek korupsi.
Disamping Holy Adibz juga ingin menyampaikan pesan moralnya kepada: [1] para istri pejabat pemegang amanah, [2] para wanita yang akan bersuami pemegang amanah, [3] para wanita siapa saja yang berpeluang mendorong suami kea rah korupsi: agar jangan meminta sesuatu dengan biaya hasil korupsi. Karena hal itu akan berakibat merugikan Negara dan membahayakan posisi sang suami sendiri.
[3]
GUMAM DARI ISTANA DAUN RETAK
Puisi Ali Syamsuddin Arsy
telunjuk mengarah pada satu titik, istana daun retak bertahun sudah mencoba membangun lembar-lembar daun, dari yang berserak kepada menghimpun telunjuk itu membuka garis-garis di telapak
lihat, ini pasukan cicak di belantara rimbun daun dan jejak-jejak dengar, suara-suara gemeretak dari helai-helai daun yang mulai retak kering, lusuh-lapuk menuju lenyap
sebagaimana hikayat dari bangunan sebuah istana pasir-pasir menjadi perih di tempias ujung kelopak buih-buih dari berjuta akan selesai bila telah berucap ternyata tidak segampang itu ternyata tidak semudah itu ternyata tanah tempat bangunan istana itu terbuat dari serak-serak rerimbun daun-daun retak runtuh pun mengancam di puncak mahkota mahkota, ya mahkota dari cuaca terkuak tak jua tak tak memperjelas gerak tak
lihat, ini pasukan manusia kelas paling miskin] berduyun berjejal terinjak-injak dengar, gemuruh di dapur-dapur lusuh dan sakit pasukan perut yang selalu melilit
setelah ini, siapa lagi tampil mendaftar istana daun retak
Banjarbaru, 19 januari 2010 (gerimis tipis di luar mengepung sepi)
Puisi GUMAM DARI ISTANA DAUN RETAK karya Ali Arsyi ini tampil dengan tipografi 5 bait. Bait [1] terdiri dari 5 larik, bait [2] terdiri dari 5 larik, bait [3] terdiri dari 9 larik, bait [4] terdiri dari 4 larik dan bait [5] terdiri dari 2 larik. Jadi seluruhnya berjumlah 25 larik.
Bait [1] puisi ini dibangun dengan kata-kata yang biasa digunakan sehari-hari. Tetapi di tangan Ali Arsyi kata-kata biasa itu menjelma menjadi untaian kata yang pantastis. Kata-kata tsb mampu membentuk rima yang tertata rapi. Lihatlah di larik [1] ada [istana daun retak] yang bersajak dengan [yang berserak] di larik [3] dan [garis-garis di tekapak] di larik [5]. Yang sama-sama diakhiri dengan bunyi [ak]. Berikutnya di larik [2] ada kata [membangun] yang bersajak dengan kata [menghimpun] di larik [5], yang sama-sama diakhiri dengan bunyi [un]. Pengulangan bunyi tsb membentuk persajakan dengan pola [a.b.a,b.a].
Di bait [1] ini juga kita temukan untaian larik yang menarik, mempesona sekaligus memukau. Bait [1] ini diawali dengan gerakan telunjuk yang menunjuk ke istana daun retak. Lihatlah betapa menariknya: [istana daun retak] yang dibangun dari [lembar-lembar daun] yang [berserak]. Di sini Ali Arsyi telah berhasil membuat kita bertanya-tanya. Bagaimana mungkin? Daun-daun retak yang berserakan itu digunakan untuk membangun sebuah istana? Selanjutnya bait [1] ini ditutup dengan telunjuk itu membuka garis-garis di telapak.
Di sini ada imaji visual. Kita seakan melihat telunjuk tangan yang kelima jemarinya mengarah pada satu titik. Selanjutnya kita seakan melihat sebuah istana. Kita melihat ada usaha membangun istana selama bertahun-tahun. nampak bagi kita pengumpulan lembaran daun yang berserakan, lalu di jadikan sebagai bahan bangunan sebuah istana. yaitu istana daun retak, Terakhir kita seakan melihat telunjuk itu membuka garis-garis di telapak tangan. Di sini juga ada imaji auditif, kita serasa mendengar bunyi gemeretak dari helai-helai daun yang mulai retak. Untaian larik-ini memeperlihatkan betapa piawainya Ali Arsyi membangun sebuah imaji. Dan imaji ini harus dimaknai secara khusus, karena citraan yang digambarkan masih berupa ungkapan yang mengandung misteri.
Berikutnya di bait [2], puisi ini dibangun dengan diksi atau pemilihan kata yang unik memukau. Lihatlah! Di larik [6] ada [pasukan cicak] di [belantara]. Di larik [7] ada [rimbun daun] dan [jejak-jejak]. Di larik [8] ada suara-suara [gemeretak]. Di larik [9] ada [helai-helai daun yang mulai retak]. Di larik [10] ada kata [kering], [lusuh] dan [menuju lenyap]. Bait ini memperlihatkan imaji visual dan imaji auditif yang ramai dan heboh. Kita seakan melihat pasukan cicak di hutan belantara. Diantara rerimbunan daun dan jejak-jejak. Kita juga seakan mendengar suara-suara gemeretak dari helai daun yang mulai retak, kering, lusuh dan melapuk, akhirnya lenyap menghilang. Bayangkan! Bukankah ini suatu gambaran yang pantastis memukau?
Secara denotatif [pasukan cecak] ini maknanya benar-benar kumpulan beratus-ratus. cecak di hutan belantara. Tetapi secara konotatif [pasukan cecak] ini bisa bermakna lain. Untaian-untaian ini penuh dengan misteri yang belum terungkap. Apalagi jika dikaitklan dengan [istana daun retak]. Frase [istana daun retak] sendiri tidak mungkin bermakna benar-benar istana yang dibuat dari daun retak. Tetapi frase ini adalah sebuah ungkapan. Kata [istana] erat kaitannya dengan kukasaan. Kekuasaan berkaitan dengan jabatan. Mungkinkah [istana daun retak] ungkapan sebuah jabatan yang dibangun dari [daun retak]? Mengapa dinamakan istana daun retak? Karena dibangun dari daun retak. Frase [daun retak] adalah istilah lain dari sesuatu yang biasa dibagi-bagikan kepada khalayak dalam tanda petik[“—“].
Bait [2] ini juga dibangun dengan rima yang tertata rapi. Lihatlah kata [jejak-jejak] di larik [7] bersajak dengan kata [gemeretak] di larik [8], dan [mulai retak] di bait [9]. Sedangkan kata [belantara] di larik [6] membentuk rima tidak sempurna dengan kata [lenyap] di larik [10]. Dengan demikian persamaan atau penghulangan bumnyi di bait [2] ini membentuk persajakan dengan pola [a.b.b.b,a]
Mari kita cermati bait [3] dengan ungkapan-ungkapannya yang semakin heboh dan semakin dahsyat. Di larik [11] ada [Sebagaimana], [hikayat] dan [sebuah istana]. Di larik [12] ada [pasir-pasir menjadi perih] dan [tempias ujung kelopak]. Di larik [13] ada [buih-buih] dan [dari berjuta akan selesai bila telah berucap]. Di larik [14] ada [ternyata tidak segampang itu ternyata tidak semudah itu] Di larik [15] ada [tanah tempat bangunan istana itu]. Di larik [16] ada [serak-serak] dan [rerimbun daun-daun retak]. Di larik [17] - [runtuh pun mengancam di puncak]. Di larik [18] ada [mahkota mahkota] dan [cuaca terkuak]. Di larik [19] ada [tak jua tak] dan [tak memperjelas gerak tak]
Semua untaian larik di bait [3] ini, disadari atau tidak. Ternyata ini adalah sebuah sindiran atau kritik. Hal ini ditandai dengan adanya kekhawatiran. Bagaikan sebuah hikayat membangun sebuah istana yang pasir-pasirnya beterbangan masuk ke mata. Tentu perih rasanya. Di sini ada kekhawatiran bahwa istana itu akan runtuh, karena tanah dasar bangunan itu ternyata terbuat dari serakan daun-daun yang retak. Dan tentu akan menggoyahkan mahkota pemilik istana itu.
Misteri di dalam bait-bait terdahulu kini mulai terungkap. Kalau sebelumnya ada unmgkapan pasukan cecak. Tetapi di di bait [4] Ali Arsyi sudah secara terang benderang menggunakan [pasukan manusia kelas paling miskin] dalam untaian pembukanya. Mari kita cermati untaian berikut ini.
lihat, ini pasukan manusia kelas paling miskin, berduyun berjejal terinjak-injak. Mereka itu barangkali yang ikut menyerbu pendaftaran untuk mendapatkan pembagian jatah daun retak. Atau barangkali juga ikut mendaftar untuk memasuki istana daun retak. Yang jelas, mereka adalah orang-orang yang selama ini hidup dalam gemuruh di dapur-dapur lusuh dan sakit. Mereka adalah pasukan perut yang selalu melilit.
Mencermati untaian larik-larik di bait [4] ini, kita teringat akan antrian panjang yang ditayangkan di dalam berita TV. Diantaranya, beberapa tahun yang lalu ada pembagian zakat langsung kepada fakir miskin, yang menelan korban jiwa. Ada juga antrian pembnagian jatahb sembako. Lalu ada antrian pembagian BLT/SLT BBM. Ada juga antrian tutup mulut serangan fajar menjelang pemilu dan pilkada. Dan banyak lagi yang lainnya. Akhirnya Ali Arsyi menutup puisinya dengan untaian larik setelah ini, siapa lagi tampil mendaftar [ke] istana daun retak [?]
Puisi Ali Arsyi ini berjudul GUMAM DARI ISTANA DAUN RETAK. Kata [gumam] maksudnya ucapan yang hanya bisa dimengerti olah orang yang bergumam itu sendiri. Karena bagi orang lain [guman] hanyalah berupa bunyi-buyi yang tak jelas. Bergumam itu boleh dikata berdekatan maknanya dengan menggerutu. Menggerutu itu adalah bentuk lain dari kekhawatiran. Berkaitan dengan [istana daun retak] tentu ada yang mengganjal di hati penulisnya.
Puisi ini adalah puisi sindiran manis yang dikemas dengan manis dan pantastis. Dalam puisi ini Ali Arsyi nampaknya ingin menyampaikan pesan moral kepada kita, bahwa janganlah kita bersikap tutup mata tutup telinga. Karena barangkali ada pasukan cicak di sekitar kita, yang secara terang benderang menghimpun daun-daun retak yang berserakan buat membangun sebuah istana. Karena sebuah istana yang dibangun dengan kumpulan daun-daun retak tentu tidak akan berdiri kuat. Dan pada saatnya akan luluh lantak berantakan yang merugikan kita semua.

Salam dari Banjarmasin, 19 Oktober 2010

Kamis, 21 Oktober 2010

TADARUS PUISI 2010: PENYAIR ARSYAD INDRADI BERBAGI MAKNA



Oleh: HE. Benyamine

Arsyad Indradi (Status Facebook, 10/7/10): Terserahlah Banjarbaru ini mau jadi apa. Tapi yang kusesalkan adalah burung-burung bebas yang berkicau di samping rumahku telah lama sunyi dan bunga karamunting yang tumbuh alami yang kucium setiap pagi dan sore telah berganti rupa. Sesungguhnya sejak puluhan tahun telah kutanam cinta di jantung Banjarbaru, kini aku menatap langit, cemas akan cintaku.
Kota Banjarbaru terbayang gemerlap kata pada malam Minggu (21/8/2010), saat taburan kata (kapita selekta) yang diambil dari Si Penyair Gila bertaburan bersanding bintang menghiasi langit malam yang juga dilengkapi para penyair lainnya dengan galuh-galuh (intan) kata mereka yang juga memancarkan sinar terangnya. Pada penyelenggaraan Tadarus Puisi dan Silaturahmi Sastra VII Tahun 2010 yang digagas Dewan Kesenian Kota Banjarbaru yang pada tahun ini memilih tema Selecta Kapita Kepanyairan Arsyad Indradi (Si Penyair Gila) yang sekaligus Penganugerahan Penghargaan kepada beliau (Radar Banjarmasin, 8 Agustus 2010: 5).
Tadarus puisi yang diupayakan Dewan Kesenian Kota Banjarbaru untuk diselenggarakan setiap tahun ini merupakan bagian suatu bentuk pengakuan bahwa ada kebutuhan yang penting dan bermakna terhadap kehadiran dunia sastra untuk mengiringi detak hidup dan kehidupan kota ini. Jauh lebih dari hanya sekedar berdenyut di kota Banjarbaru, tetapi dengan silaturahmi sastra yang diundang dari berbagai daerah lainnya, menunjukkan bahwa dunia sastra sudah seharusnya dipandang mempunyai makna dan kontribusi sebagai bagian dari bernafasnya banua ini.
Penganugerahan kepada (Arsyad Indradi) Si Penyair Gila tentu berdasarkan pertimbangan yang tidak sulit ataupun mengada-ngada, karena beliau termasuk merupakan penyair senior yang hingga usianya jelang 61 tahun masih konsisten berkarya dan aktif berkreasi serta terus berbuat untuk perkembangan dunia sastra khususnya dan kebudayaan pada dasarnya. Kecintaannya pada dunia sastra begitu jelas terlihat saat tekad yang luar biasa dan pancaran murni kesahajaan dalam diri beliau untuk menerbitkan buku Antologi Puisi Penyair Nusantara, 142 Penyair Menuju Bulan (2006) -- dapat dilihat pada http://menubul.blogspot.com/, bahkan beliau bersedia merelakan sebidang tanah untuk membiayai sendiri penerbitan buku tersebut. Begitu juga dengan buku-buku beliau lainnya, yang memberikan suatu inspirasi dan semangat dalam berkarya dan berbuat, yang percaya pada kesungguhan dan ketulusan tidak ada yang sia-sia. Beliau benar-benar mewujudkan ide besar tersebut, yang bagi orang lain dianggap muluk tidak sebanding dengan kemampuan (kagubihan).
Pada saat membaca undangan Tadarus Puisi 2010 di koran Radar Banjarmasin, teringat pada status Facebook (10/7/10) beliau sebagaimana tertulis di atas, yang merupakan suatu kepedulian dan kecintaan beliau pada kota Banjarbaru yang terus mengalami perubahan dan perkembangan yang begitu pesat, yang juga secara bersamaan ada yang hilang seakan tinggal kenangan bagaimana kicau burung dan bau karamunting, suatu kecemasan atas cinta terhadap keadaan kota Banjarbaru yang patut menjadi perhatian pemerintah kota dan elit kekuasaan sebagai suatu yang dirasakan banyak warga.
Kepedulian, keberpihakan pada nurani, kesederhanaan, ketulusan, dan kesungguhan berkarya begitu nampak dalam rekam jejak karya-karya Si Penyair Gila. Selain itu, kemauan untuk terus belajar meskipun pada yang jauh lebih muda, memperlihatkan suatu semangat yang terus muda dan terbuka, sehingga dengan mengalir beliau mengelola beberapa website (blog) yang berkenaan dengan dunia sastra dan kesusastraan serta kebudayaan, terutama tentang budaya Banjar yang dapat dijadikan referensi dan sebagai media belajar bagi guru-guru Muatan Lokal (Mulok). Beberapa karya beliau dibuat dalam bahasa Banjar, seperti cerita pendek Kai Adul (2009) yang dapat dijadikan bahan pembelajaran bahasa Banjar, yang ada tuntutan yang patut bagi para pelajar sebagaimana yang tertulis di akhir cerita pendek tersebut, "Sampai wayahini nang kami pingkuti papadah sidin. Bismillah nitu anak kunci pambuka lawang surga."
Sikap Si Penyair Gila yang tidak tergantung pada pengakuan pusat (kekuasaan) dalam menentukan suatu karya, seperti apakah karya pernah dimuat media nasional atau tidak sebagai ukuran pengakuan, merupakan suatu pandangan yang sadar kebudayaan, sadar perbedaan pengungkapan makna dalam suatu budaya tentang suatu hal dalam suatu karya. Hal ini memberikan suatu pengakuan pada cara pandang berdasarkan budaya di mana seorang penyair berdiri, dengan pemaknaan dan pamahaman terhadap denyut kehidupan dengan budaya tersebut. Sehingga, menjadi tidak mengherankan jika berkarya seperti mengalirnya sungai-sungai kenangan hingga sungai-sungai yang tersisa, meski dengan kedangkalan dan kekeruhannya tidak sanggup mengeringkan inspirasi sang penyair dalam menuliskan karyanya. Dalam hal ini, kepedulian dan kesadaran pemerintah daerah (juga elit kekuasaan dan elit ekonominya) untuk menghargai karya warganya dalam bidang sastra (dan bidang lainnya) sangat penting, karena berhubungan dengan pemaknaan pada kemajuan dan perkembangan daerah yang telah diraih.
Penganugerahan penghargaan kepada Si Penyair Gila merupakan kebanggaan bagi dunia sastra kota Banjarbaru juga Kalimantan Selatan, kebahagiaan atas kesungguhan dan ketulusan dalam menapaki jalan semangat berkarya yang memberikan keteladanan kepada urang banua atas kebudayaan sendiri dengan tetap menghargai kebudayaan lainnya.
Sebagaimana status facebook di atas yang mengunduh kegundahan cintanya pada kota Banjarbaru, begitu juga dengan kegelisahannya pada keadaan banua yang tercermin dari beberapa puisi-puisinya, sebenarnya Si Penyair Gila sedang berbagi makna dan mencoba mengetuk pintu kebaikan yang ada pada setiap orang untuk menjadi terbuka dan melakukan tidakan yang bermakna dan sadar. Dalam puisi Cermin Akhir Tahun yang ada dalam buku Antologi Puisi Anggur Duka (KSSB, 2009) karya beliau berikut: Hanya itu yang mampu terucapkan, semuanya luluh di matamu/bulan yang tinggal seiris diamdiam bergegas ke rerumpun ilalang menumpahkan/anggurdukanya, nampak harapan tumbuhnya berbagi makna dalam kebahagiaan dan kedukaan.

(Radar Banjarmasin, 19 Agustus 2010: 3)

JELANG IKUT TEMU SASTRAWAN INDONESIA III DI TANJUNGPINANG



Oleh: Dimas Arika Mihardja

JELANG perhelatan Temu Sastrawan III di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, saya ingin sedikit memberikan gambaran sebagai referensi bagi peserta dan sekadar informasi bagi masyarakat facebookers. Sekadar catatan kecil, ide awal pelaksanaan Temu Sastrawan Indonesia (TSI I) bertolak dan dilaksanakan di Jambi 7-10 Juli 2008. Lalu TSI II dihelat di Bangka Belitung (2009), dan TSI III akan dilaksanakan di Tanjungpinang 28-31 Oktober 2010. Berikut ini saya kemukakan lagi Dasar Pemikiran TSI I di Jambi yang sukses dilaksanakan 7-10 Juli 2008.
Rumah tangga sastra Indonesia yang dihuni oleh sastrawan (penyair, cerpenis, novelis, penulis skenario), kritisi, dan masyarakat pembaca memberikan gambaran adanya keberagaman. Keberagaman itu terwujud baik pada tataran capaian estetis, kreativitas, persepsi, visi, dan misi. Keberagaman itu merupakan aset yang tiada terkira nilainya jika dihubungkan dengan “Bhinneka Tunggal Ika”. Keberagaman itu dalam konteks keindonesiaan perlu mendapatkan ruang ekspresi seluas-luasnya untuk capaian estetis sastra Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang.
Pada satu masa, sejumlah besar sastrawan menampilkan karya-karya yang sarat dengan subkultur, dengan akar budaya, warna budaya daerah masing-masing. Berbagai kultur lokal dan tradisi digali, diolah dan dijadikan dasar untuk pengucapan karya-karya mereka. Karya sastra yang dihasilkan sastrawan yang mengedepankan warna-warni budaya lokal ini memberi kontribusi positif dalam sejarah perkembangan otonomi daerah di Indonesia. Atas dasar keberagaman budaya daerah, dalam perspektif sejarah sastra Indonesia pernah dihasilkan karya-karya masterpiece seperti “Ronggeng Dukuh Paruk” (Novel Ahmad Tohari), “Pengakuan Pariyem” (Prosa Lirik Linus Suryadi AG), “Celurit Emas” (D. Zawawi Imron), “Bawuk” (Umar Kayam), “O, Amuk, Kapak” (antologi puisi Sutardji Calzoum Bachri), “Godlob”, “Adam Makrifat”, dan “Berhala” (Kumpulan cerpen Danarto), “Robohnya Surau Kami” dan “Bertanya Kerbau pada Pedati” (Kumpulan cerpen A.A. Navis), “Bako” (novel Darman Moenir), dan seterusnya . Karya-karya yang digali dari kekayaan budaya lokal seperti itu akhir-akhir ini mengalami pasang surut.
Keberagaman corak budaya daerah perlu diberikan ruang yang leluasa untuk dieksplorasi dalam penciptaan sastra. Karya sastra yang digali dari tradisi subkultur yang ada di Indonesia akan memberikan rona keberagaman yang manunggal dalam keindonesiaan (“Bhinneka Tunggal Ika”). Keberagaman warna lokal saat globalisasi sekarang ini menjadi penting sebab dengan keberagaman itu pula identitas lokal terwadahi.
Dalam perkembangan sastra pernah muncul humanisme universal, sastra kontekstual, sastra (dominasi) pusat (Jakarta), sastra pedalaman, sastra dekaden, sastra independen, sastra arus bawah dan seterusnya dan seterusnya. Hal ini wajar lantaran sastrawan memiliki progres, visi dan misi dalam berkarya. Hal yang tidak wajar apabila perbedaan pandangan/aliran/isme dll memunculkan konflik berkepanjangan. Humanissme universal seperti diteriakkan oleh Chairil Anwar berakibat hilangnya identitas kebangsaan. Setelah humanisme universal mulai memudar pamornya, tahun 1960-an meruak hubungan mesra antara sastra dan politik. Fungsi sastra dan fungsi politik acap dicampuradukkan sehingga terjadi kekacauan. Lalu muncul tawaran sastra kontekstual (sastra terlibat) yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Kemunculan sastra kontekstual ini menomorduakan aspek keindahan dalam ciptaan sehingga pada akhirnya kehilangan gaungnya. Tahun 1990-an muncul tawaran sastra pedalaman dalam denyut kehidupan sastra. Tawaran ini kurang mendapatkan respon dan lenyap begitu saja. Setelah itu muncul dekadensi dan independensi sastra, tetapi belum jelas benar seperti apa sosoknya.
Muncul pemikiran bahwa ekologi sastra yang dihuni oleh sastrawan, kritikus, media, perpustakaan, penerbit, dan lain-lain bersatu dalam suatu wadah seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Aliansi Jurnalistik Independent (AJI), Ikatan Keluarga Pengarang Indonesia (IKAPI) yang memiliki kemandirian, kebersamaan, dan keharmonisan. Dengan kemandirian, kebersamaan, dan keharmonisan dimungkinkan sastrawan Indonesia bersama ekologi sastra Indonesia memiliki bargaining power dan bargaining position yang lebih baik. Para sastrawan perlu melakukan Dialog untuk membicarakan “wadah” dan sekaligus menemukan solusi mengenai tidak sehatnya ekologi sastra Indonesia. Ekologi sastra Indonesia (sastrawan, kritikus, penerbit, media, dan masyarakat, perpustakaan, penerbit) perlu memiliki kemandirian. Kemandirian ini memiliki arti penting ketika, misalnya, ada sebagian sastrawan yang ‘ditelikung’, diintimidasi, dipecat kepegawaiannya, dikekang kebebasan kreatifnya, dipinggirkan oleh pihak-pihak lain (pemerintah, pimpinan redaktur koran, organisasi tertentu, pemilik media).
Perkembangan karya sastra Indonesia, sepeninggal paus sastra H.B. Jassin, tidak diiringi oleh kinerja kritik sastra. Kritik sastra seperti kerakap di atas batu, hidup enggan mati tak mau. Langkanya kritikus yang peduli terhadap perkembangan sastra dan minimnya apresiasi masyarakat terhadap perkembangan sastra membuat ekologi sastra tidak harmonis. Idealnya, kehidupan sastra menunjukkan ekologi sastra yang sehat, beragam, harmonis, dan dinamis. Karya sastra yang diterbitkan menjadi “yatim piatu” lantaran tidak tersentuh oleh kinerja kritik sastra. Akibatnya, karya sastra semakin jauh dari jangkauan masyarakat apresian. Kemampuan masyarakat dalam mengapresiasi karya sastra juga rendah. Dalam hubungannya dengan minimnya kritikus sastra, dipandang perlu dilaksanakan workshop penulisan esai/kritik sastra yang diikuti penulis muda berbakat, guru, mahasiswa yang telah biasa menulis di media massa.
Dalam hubungannya dengan minimnya apresiasi masyarakat terhadap seni sastra, maka perlu digelar Panggung Apresiasi yang menampilkan atraksi keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan dalam paket performance yang dipersiapkan secara matang. Selain itu, kiranya aneka hasil karya sastra perlu diperkenalkan kepada masyarakat sastra melalui pameran dan bazar. Pameran dan bazar ini menampilkan aneka corak dan bentuk karya sastra sebagai manifestasi adanya keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan.
Agenda kegiatan Temu Sastrawan Indonesia 1 2008 di Jambi dalam garis besarnya mencakup hal-hal berikut:
(1) Dialog Sastra dan Musyawarah Sastrawan Indonesia : Dialog Sastra membicarakan capaian estetik sastra Indonesia, keberagaman, dan kedinamisan sastra Indonesia. Peserta dialog adalah sastrawan, kritikus, dan undangan dari kalangan media, penerbit, dll. Dialog dirancang dua hari menampilkan pembicara dari kalangan kritikus, media, penerbit, dll. Musyawarah Sastrawan Indonesia membicarakan kemungkinan dibentuknya wadah atau forum bersama yang melibatkan ekologi sastra (sastrawan, kritikus, media, penerbit, dll). Musyawarah ini diharapkan melahirkan kesepakatan bersama tentang perlu/tidaknya kelanjutan Temu Sastrawan Indonesia (Periksa Lampiran).
(2) Workshop Penulisan Esai / Kritik Sastra: kegiatan ini memfasilitasi para penulis muda berbakat, guru sastra, dan mahasiswa untuk mampu menulis kritik/esai sastra. Peserta yang diundang mengikuti workshop 30 orang. Workshop dilaksanakan tanggal 09 Juli 2008 di Kantor Bahasa Provinsi Jambi (Periksa Lampiran).
(3) Panggung Apresiasi: menampilkan atraksi sastrawan (Sastrawan Indonesia terpilih), pertunjukan keberagaman seni di setiap kota/kabupaten dalam Provinsi Jambi, dan sanggar-sanggar seni di Kota Jambi. Panggung Apresiasi ini digelar selama tiga hari di tempat yang representatif (Periksa Lampiran).
(4) Wisata Budaya: wisata budaya ini dimaksudkan untuk memberikan sajian keberagaman yang dimiliki Provinsi Jambi kepada peserta Temu Sastrawan Indonesia. Peserta diajak ke Situs Candi Muaro Jambi melalui jalan air dengan menyusuri Sungai Batanghari. Wisata Budaya dilaksanakan tanggal 10 juli 2008.
(5) Penerbitan Buku Antologi: ada tiga buku antologi yang diterbitkan, yakni antologi puisi (Tanah Pilih), antologi cerpen (Senarai Batanghari) dan buku kompilasi puisi, cerpen, dan esai karya sastrawan Indonesia.
(6) Pameran dan Bazar: memamerkan aneka corak dan bentuk karya sastra sebagai manifestasi adanya keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan. Pameran dan bazar dilaksanakan tanggal 07-10 Juli 2008 di gedung proscenium Taman Budaya Jambi.
Kegiatan Temu Sastrawan Indonesia ke-II yang dilaksanakan di Bangka Belitung, dengan amat menyesal tidak dapat saya ikuti, sehingga konsep penyelenggaraannya dan hasil-hasil yang dicapai juga tidak dapat saya sampaikan. Namun demikian, secara garis besar, "ruh" Temu Sastrawan Indonesia I juga terasa kental dalam penyelenggaraannya.
Lalu dalam pelaksanaan Temu Sastrawan Indonesia III yang dilaksanakan di Tanjungpinang 28-31 Oktober 2010 memiliki "benang merah" dengan konsep dan penyelenggaraan di Jambi. Temu Sastrawan III ini mengusung tema "Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman". Subtema yang diagendakan pun memiliki benang merah dengan TSI I di Jambi, yakni Stadium General sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman (definisi sastra Indonesia mutakhir, persoalan yang terjadi, pertumbuhan komunitas dan kepenulisan hari ini); lalu Fenomena Sastra Indonesia Mutakhir (perihaal ideologi dan ekspresi sastrawan); Kajian Teks: penjelajahan dan pendalaman karya dengan keragaman mata kritik; Kemelayuan dan Keindonesiaan: keragaman antarsastrawan.
Agenda kegiatan TSI III Tanjungpinang, sesuai dengan edaran, dalam garis besarnya, seperti juga agenda TSI I Jambi, terbagi dalam 6 kegiatan berikut:
1. Stadium General (ceramah umum) dan seminar;
2. Malam apresiasi sastra;
3. Forum dan bazaar buku;
4. Penerbitan buku antologi antologi sastra
5. Bengkel sastra; dan
6. Wisata budaya
Sastrawan yang diundang dalam TSI III, seperti juga TSI I Jambi, berkisar antara 200-250 sastrawan. Setiap sastrawan yang hadir akan diberi sagu hati Rp. 200.000,00 dan setiap sastrawan yang karyanya dimuat dalam buku antologi sastra akan mendapatkan honorarium sebesar Rp. 500.000,00. SETIAP SASTRAWAN YANG DIUNDANG DI TEMPATKAN DI HOTEL YANG REPRESENTATIF, DISEDIAKAN KONSUMSI, DAN TRANSPORTASI LOKAL. Demikian sekilas catatan tentang histori konsep dan pelaksanaan Temu Sastrawan Indonesia. Selamat mengikuti perhelatan kegiatan yang bergengsi ini. Hiduplah sastra Indonesia, hiduplah sastrawan Indonesia, majulah kiritik sastra Indonesia, sehat dan sentosalah komunitas sastra Indonesia.

Selasa, 19 Oktober 2010

DUNIA KITA, DUNIA KATA, PANGGUNG WACANA: MENYELAMATKAN EKOLOGI SASTRA



Oleh: Dimas Arika Mihardja

EKOLOGI sastra adalah lingkungan (situasi dan kondisi) yang turut terlibat di panggung wacana. Di dunia kita, dunia kata (sastra) dihuni oleh sastrawan selaku kreator, pembaca selaku konsumen, dan pihak-pihak lain yang turut menentukan keberadaan sastra. Dalam gejolak ekonomi, politik, sosial dan budaya seburuk apapun tidak menghalangi pelahiran dan kelahiran sastra. Tidak ada pihak mana pun yang kuasa menghalangi pelahiran dan kelahiran sastra. Sastra bisa lahir di manapun dan dalam kondisi apapun sebab sejatinya sastrawan selalu bergumul dengan daya kreativitasnya untuk berkarya.
Sastra selalu dilahirkan oleh sastrawan. Kelahiran dan pelahiran sastra dari rahim sastrawan bersifat personal dan individual. Namun, ada kalanya kelahiran sastra perlu ditolong dan dibantu oleh bidan (baca: penerbit berwibawa) dan dirawat oleh seorang Bapak Bijak (baca: pengamat/kritisi). Masalahnya adalah kehadiran bidan yang siaga (penerbit yang siap melayani) dan Bapak Bijak (pengamat/kritisi) yang penuh perasaan cinta untuk merawat dan memelihara sastra semakin langka. Ini wacana yang telah lama mengemuka di panggung sastra kita. Sastra terkadang lahir sebagai yatim piatu, kurang gizi, dan kurang ASI.
Memang sastra dapat lahir, tumbuh, dan kemudian berkembang sesuai dengan dinamikanya sendiri. Sastrawan dapat ”berdarah-darah” dalam melahirkan karya sastra. Ia menyerahkan hidup dan matinya demi kemajuan sastra (karya sastra yang bernilai tinggi). Ia tak mengenal cuaca. Tak mengenal musim. Tak mengenal perubahan panca roba. Sastrawan ialah ibu kandung sastra yang selalu memelihara anak-anaknya dengan penuh perasaan bertanggung jawab, penuh cinta kasih, penuh pengabdian, dan selalu menjunjung kebenaran dan keadilan di atas segala-galanya. Itulah sebabnya, dalam perspektif historis, kemudian kita bisa memiliki khasanah sastra Indonesia klasik, sastra Indonesia baru, dan sastra Indonesia mutakhir. Sastrawan yang baik selalu mengawal karya yang dilahirkannya hingga tumbuh menembus perjalanan waktu. Tugas utama sastrawan ialah bagaimana ia melahirkan karya sastra yang bernilai literer, best seller, dan menawarkan sesuatu yang bermakna bagi dirinya sendiri, karyanya, dan terutama demi kebaikan orang lain.
Perkembangan sastra akan tidak sehat (kurang gizi dan ASI) jika berbagai pihak terkait bersikap masa bodoh, menjauh dari entitas bernama sastra, dan tidak peduli. Pada titik inilah akar masalahnya: penyelamat sastra Indonesia mulai langka! Lantas siapakah yang bertanggung jawab jika kondisi sastra memprihatinkan dan kurang sehat hingga perlu diselamatkan? Pertama dan utama pihak yang bertanggung jawab atas keselamatan sastra ialah sastrawan. Sastrawan mestilah memiliki tanggung jawab ”moral” dalam berkarya. Sastrawan yang baik selalu berkehendak melahirkan karya sastra yang bernilai, baik lisan maupun tulisan. Pendeknya, sastrawan selalu berusaha melahirkan karya bernilai, baik bernilai bagi karyanya, pembacanya, maupun masa depan sastra. Tugas sastrawan ialah menemukan medium ungkap yang paling tepat bagi karya-karya yang dilahirkannya.
Pihak yang juga bertanggung jawab ialah pengamat, kritisi, akademisi, penerbit, dokumentator, pustakawan, institusi kesenian dan kebudayaan. Jika ternyata ada pengamat atau kritisi terlebih dari kalangan akademisi (entah sadar atau tidak sadar) melarang mahasiswa untuk meneliti karya sastra yang dihasilkan oleh putra daerah tentulah merupakan musibah. Jika karya-karya terbaik putra daerah ini tidak pernah berkesempatan diterbitkan oleh penerbit besar (dan berwibawa), apakah serta serta kualitasnya bisa diremehkan? Jika karya-karya sastra hasil kreativitas putra-putri terbaik negeri ini ditelantarkan oleh dokumentator (seperti HB Jassin, misalnya), tidak tersusun dalam katalog pengarang di perpustakaan, dan tidak pernah dihargai oleh institusi kesenian dan kebudayaan, yang nota bene bertanggung jawab turut membina dan mengembangkan sastra, tentulah menggambarkan iklim yang tidak sehat bagi dunia sastra.
Pihak-pihak seperti penerbit, pengamat, kritisi, akademisi, perpustakaan, institusi kesenian dan kebudayaan semuanya turut bertanggung jawab menciptakan ekologi sastra yang sehat. Mereka terkait dan bertanggung jawab langsung atau tidak langsung terhadap nasib sastra. Partisipasi, pengertian, dan pengorbanan berbagai pihak terkait atas nasib sastra kita akan menjadi penyelamat kehidupan sastra di masa-masa yang akan datang. Tentu saja sesuai dengan bidang garapan masing-masing, sesuai dengan kemampuan, sesuai dengan perasaan ”tanggung jawab” masing-masing.
Selain sastrawan, yang secara otomatis selalu memperjuangkan hasil karya-karya terbaiknya, seyogyanya pihak-pihak lain yang terkait terutama dari kalangan terdidik memiliki kesadaran dan kemaauan yang baik untuk menjaga, membina, dan mengembangkan kehidupan sastra yang dinamik, demokratis, fleksibel, dan dapat dipertanggung jawabkan menurut metode berfikir ilmiah. Wacana kita saat ini ialah persoalan menyelamatkan (dan menyehatkan) ekologi sastra. Demikian,salam budaya.

Jambi, 11 September 2010

Selasa, 12 Oktober 2010

Menikmati Puisi Dunia Maya (bagian 4)


Oleh : Hamberan Syahbana

Puisi adalah karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan emotif, melalui proses perenungan imajinasi dengan menggunakan bahasa estetik, hemat, padat dan berisi, melalui penataan unsur bunyi, irama, dan makna khusus.
Aspek yang paling menonjol dalam sebuah puisi adalah pemilihan kata atau diksi. Kata yang dipilih biasanya padat, berisi, indah, memukau, penuh pesona dan ungkapan berkias. Diksi atau pemilihan kata tsb mampu meningkatkan rasa dan nilai sebuah puisi, karena biasanya kata-kata yang digunakan:
1. menimbulkan dan membentuk pengulangan atau persamaan bunyi yang biasa disebut rima, baik rima awal, rima tengah, ataupun rima di akhir baris.
2. membentuk ritme/irama berupa pengulangan bunyi vokal, bunyi konsonan, kata, frase, klausa, bahkan pengulangan kalimat/baris secara utuh.
3. mnejadi sebuah majas, apakah itu majas perbandingan, majas sindiran, majas penegasan, atau majas pertentangan.
4. mampu memberikan gambaran pengalaman imaji atau citraan yang mampu membuat pikiran dan perasaan membaca larut dalam sebuah puisi, seakan-akan benar-benar merasakan pengalaman apa yang digambarkan penulisnya. Bagaikan benar-benar melihat [imaji visual], mendengar [imaji audiif], dan merasa seperti rasa enaknya makanan, rasa manisnya teh, asam, asin, atau merasa panasnya atau segarnya udara, merasa dingin menggigil [imaji taktil/ cecap]
5. mempunyai atau memberikan makna khusus pada kata-kata dan kiasan-kiasan, baik makna tersurat maupun tersirat. Makna denotatif [makna kamus], maupun makna konotatif [makna ungkapan].

***

Pada essei sastra Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 4 ini, kita akan mencermati sekaligus menikmati 3 buah puisi yang masing-masing berjudul:
1. ”Bidadari” - puisi karya Reski Handani dari kota Padang Provinsi Sumara Barat
2. ”Kabar” - puisi karya Wahyu Agustiono Catur Sasono dari kota Jember Provinsi Jawa Timur
3. ”Topeng sang penyair” - puisi Jack Slawi dari DKI Jakarta

Marilah kita cermati bersama puisi yang pertama buah karya Reski Handani dari kota Padang Provinsi Sumatra Barat, yang berjudul ”Bidadari” berikut ini.

[1]

Bidadari
Puisi Reski Handani

Di sini, dahulu engkau berjuntai kaki
menganyam jemari sembari menunggu sirah bulan
tajam mata tergenang
mengintai usai hujan mencekak malam
melalau jaga pada kelam

diam-diam aku jadi pengembara di dadamu
tak tunai setiang usia kujelajah
engkau menyimpan sejuta nisan
kutemukan di sepanjang badan

di sini, dahulu aku melambai
engkau temukan bulan sirahmu
sehelai kepak bulu kau titip

aku kini senantiasa berjuntai kaki
menenun jemari sepuluh membilang waktu

aku menjadi ibu bagi sepi menunggu


Padang; 26/05/2010

Sirah: merah

Tipografi puisi “Bidadari” karya Reski Handani [Reski] ini terdiri dari 5 bait, masing-masing terdiri atas 5 baris, 4 baris, 3 baris, 2 baris, dan terakhir hanya 1 baris. Dalam puisi ini nampaknya Reski tidak terpengaruh dengan adanya kekuatan rima dalam sebuah puisi. Padahal rima termasuk salah satu unsur pembangun intrinsik yang mampu meningkatkan keindahan sebuah puisi. Reski hanya fokus pada diksi atau pemilihan kata. Ini dapat dilihat hampir tidak ada rima baik di akhir baris, maupun di awal baris. Kecuali pada bait [1] di akhir baris [4] ada kata [malam] dan di akhir baris [5] ada kata [kelam]. Keduanya membentuk rima akhir yang sama-sama diakhiri dengan bunyi [lam]. Dan istimewanya di bait ini juga ada pengulangan bunyi di awal baris yaitu di baris [2] ada kata [menganyam], di baris [4] ada kata [mengintai] dan di baris [5] ada kata [melalau], Ketiga kata tsb membentuk rima awal yang sama-sama diawali dengan bunyi [me]. Dengan demikian diksi di bait [1] ini membentuk rima akhir dengan pola persajakan [a,b,c,d,d] dan sekaligus juga membentuk rima awal dengan pola persajakan [a,b,c.b,b]
Pada bait [2] hampir tidak ada rima sama sekali, kecuali di baris [8] ada kata [nisan] yang diakhiri dengan bunyi [san] dan di baris [9] ada kata [badan] yang diakhir dengan bunyi [dan]. Kedua kata [nisan] dan [badan] ini membentuk rima tak sempurna. Bait [2] ini juga diperkuat dengan majas metapora di baris [6] dalam larik: “aku jadi pengembara di dadamu”, dan di baris [7] juga ada majas litotes pada larik: “tak tunai setiang usia ku jelajah”, yg ditandai dengan kata [setiang] varian dari kata [satu tiang]. Selanjutnya di baris [8] juga ada majas hiperbola pada larik: “engkau menyimpan sejuta nisan”, yang ditandai dengan kata [sejuta].
Pada bait [3] dan bait [4] tidak terdapat rima baik di akhir baris, maupun di awal baris. Kecuali rima tengah di baris [10] yang ditandai dengan adanya pengulangan bunyi [u] pada kata [dahulu] dan kata [aku]. Di baris [11] ada kata [temukan] dan kata [bulan] dan di baris [12] ada kata [bulu]. Dan ada juga pengulangan bunyi vocal rangkap [au] di baris [11] pada kata [engkau] dan di baris [12] pada kata [kau]. Selanjutnya ada pengulangan bunyi vocal [i] di baris [10] pada kata [di sini] dan vocal rangkap [ai] pada kata [melambai] di baris [10] dan kata [sehelai] di baris [12].
Selanjutnya di baris [13] ada pengulangan bunyi vokal [i] dalam larik: “aku kini senantiasa berjuntai kaki”, yaitu pada kata [kini], [senantiasa], dan kata [kaki] beserta vocal rangkap [ai] pada kata [berjuntai]. Pada larik ini juga ada pengulangan bunyi konsonan [k] pada kata [aku], kata [kini], dan kata [kaki]. Selanjutnya di baris [14] pada larik: “menenun jemari sepuluh membilang waktu” terdapat pengulangan bunyi vokal [e] pada kata [menenun], kata [jemari], kata [sepuluh], dan kata [membilang]. Pada larik ini juga ada pengulangan bunyi vocal [u] pada kata [menenun], [sepuluh], dan kata [waktu]. Demikian pula di baris terakhir baris [15] pada larik: “aku menjadi ibu bagi sepi menunggu”, terdapat pengulangan bunyi vokal [u] pada kata [aku], [ibu], dan kata [menunggu]. Juga ada pengulangan bunyi vocal [i] pada kata [menjadi], kata [ibu], kata [bagi], dan kata [sepi].
Jika kita membaca puisi ini dengan penghayatan dan intonasi yang tepat, ternyata pengulangan bunyi-bunyi tsb mampu membentuk irama yang mengalun sendu. Sehingga puisi ini menjadi semakin berasa untuk dinikmati.

***
Sebagaian besar diksi yang digunakan dalam puisi ini adalah kata-kata yang biasa digunakan sehari-hari. Kecuali di bait [1] ada frase [menganyam jemari], kata [sembari], frase [sirah bulan], rase [mencekak malam] dan kata [melalau]. Di bait [2] ada frase [pengembara di dadamu], frase [setiang usia], frase [sejuta nisan], dan frase [di sepanjang badan]. Di bait [3] ada frase [bulan sirahmu], frase [sehelai kepak]. Selanjutnya di baris [14] ada frase [menenun jemari], dan terakhirdi baris [15] ada frase [ibu bagi sepi].
Meskipun sebagian besar puisi ini dibangun dengan diksi atau kata-kata yang biasa digunakan sehari-hari, tetapi aku merasakan ada sesuatu yang dahsyat dalam puisi ini. Ternyata, Reski telah berhasil merangkai kata-kata tsb membentuk larik-larik yang indah, memukau dan mempesona. Tidak hanya satu dua atau tiga larik saja, tetapi semua larik-larik tsb indah, memukau dan memepsona.
Puisi ini berjudul “Bidadari”. Pertanyaan pertama yang timbul adalah: Siapakah bidadari itu? Untuk menjawabnya kita harus mencermati untaian kata-kata yang terjalin dalam larik-lariknya. Puisi ini dibuka dengan larik: “Di sini, dahulu engkau berjuntai kaki”, larik ini mengingatkan kita pada suatu tempat yang nyaman untuk berjuntai kaki. Hal ini ada erat hubungannya dengan kata [Bidadari]. Terbayang dalam pikiran kita kisah Jaka Tarub dan Nawang Wulan di tanah Jawa. Atau kisah Awang Sukma dan Putri Bungsu Telaga Bidadari di daerah Kandangan Kalimantan Selatan. Apakah juga ada kisah serupa versi Sumatra Barat? Maka tempat berjuntai itu pastilah berada di air terjun, telaga, atau setidaknya suatu tempat pemandian bidadari yang indah, sejuk segar dan menyenangkan. Sedangkan kata [dahulu] menyatakan bahwa peritiswa itu merupakan kenangan di masa lalu. Selanjutnya pada baris [2] ada larik: “menganyam jemari sembari menunggu sirah bulan”. [menganyam jemari] bermakna memainkan jari-jarinya, [sembari] artinya [sambil], sedangkan [sirah bulan] bisa berarti merahnya bulan yang bermakna bulan yang dinanti-nanti. Reski dalam hal ini lebih memilih sirah bulan ketimbang sinar bulan, sinar rembulan, atau bulan purnama. Tentu Reski punya alasan tersendiri.
Berikutnya baris [3] ada larik: “tajam mata tergenang”. Kata [tergenang] kita ingat pada air telaga yang tergenang, tenang. Kata [tergenang] bisa juga bermakna terkenang-kenang Baris ini membuat imaji kita langsung membayangkan seakan mata kita benar-benar memandang pada genangan air telaga pemandian yang penuh kenangan. Disinilah dahulu bidadari cantik mempermainkan jari-jarinya yang lentik sambil menjuntaikan kakinya yang indah menarik membuat siapapun pasti akan tertarik melirik. Ternyata ada risau di tenunan jemarinya. Karena hingga hujan itu usai di malam hari, ia tetap [melalau] mengegerutu bicara pada diri sendiri di malam kelam yang sunyi sepi..
Berikutnya marilah kita cermati bait [2] berikut ini: Pada bait [2] ini sama seperti Jaka Tarub yang telah memperistri bidadari Nawang Wulan. Ini digambarkannya dalam larik di baris [6] [diam-diam aku jadi pengembara di dadamu]. Berikutnya larik di baris [7]: [tak tunai setiang usia kujelajah]. Kata [tak tunai] berarti [belum sampai]. Kata [setiang usia] bisa bermakna belum begitu lama. Ini berkaitan erat dengan larik di baris [8]: [engkau menyimpan sejuta nisan]. Majas hiperbola ini menegaskan kesedihan sang bidadari yang amat dalam. Selanjutnya di baris [9] ada larik: [kutemukan di sepanjang badan], maksudnya kesedihan itu terlihat di sekujur tubuhnya. Misalnya rambut kusut masai tak terurus, wajah sayu, badan layu, mata redup, semangat hidup hilang.
Bait [3] dari puisi ini menggambarkan suatu perpisahan. Ini dapat dilihat di baris [10] pada larik: “di sini, dahulu aku melambai”. Maksudnya pada waktu itu ia melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Karena: “engkau temukan bulan sirahmu”, maksudnya dia telah menemukan kembali sesuatu yang diperlukannya untuk kembali. Berikuthya pada baris [12] ada larik: “sehelai kepak bulu kau titip”, Maksudnya pada waktu perpisahan itu ia sempat menitipkan sehelai bulu sayapnya. Untuk memanggilnya bila saat diperlukan. .
Di baris [13] dan [14] ada larik: “aku kini senantiasa berjuntai kaki” dan “menenun jemari sepuluh membilang waktu”. Larik ini menggambarklan betapa sedihnya dia sepeninggal bidadari. Kalu dulu yang bejuntai kaki di telaga itu adalah bidadarinya, kini justru dia yang berjuntai kaki. Sambil menghitung-hitung waktu dengan jari-jemarinya .
Akhirnya puisi ini ditutup dengan baris [15] dengan larik: “aku menjadi ibu bagi sepi, menunggu” Kalau Jaka Tarub menjadi singleparents bagi anak hasil perkawinannya dengan Nawang Wulan, di sini Reski menjadi ibu bagi sepi menunggu.
Puisi ini sepertinya menyajikan tayang ulang kisah Jaka Tarub dan Nawang Wulan versi Reski. Tapi sebenarnya bukan itu yang terjadi. Bidadari di sini hanyalah ungkapan, seseorang yang dianggapnya bidadari yang telah pergi meningalkannya. Atau setidaknya dia mengungkapkan kisah cinta yang tak jauh beda dengan cerita tsb. Bisa jadi ini adalah kisah diriya sendiri atau bisa juga orang lain.
Mengingat bahwa puisi itu ambiguitas yang maknanya bisa melebar ke mana-mana, maka puisi ini juga bisa dimaknai berlapis-lapis. Boleh jadi ini ungkapan perasaan bahwa sesuatu yang tadinya ditemukan secara tak terduga, sebuah harapan baru yang datang tiba-tiba, Harapan barus tsb boleh jadi seseorang yang sangat dicintainya kini telah pergi. Bisa juga rekan dalam dunia bisnis yang kini juga telah pergi bergabung ke kelompok basinis lain. Atau harapan pada seseorang caleg atau calon kepala daerah yang telah menjanjikan perubahan ke arah yang lebih baik, ternyata kini ia telah melupakan janji-janjinya. Dia kembali berbuat sama, atau bahkan lebih gila dari sosok yang terdahulu.
Kini harapan itu telah hilang menyisakan sebuah kedukaan, penderitaan yang teramat dalam, bahkan nyaris keputus asaan. Seperti juga halnya Jaka Tarub yang secara tak sengaja menemukan sekumpulan bidadari yang tengah mandi dan bermain-main di telaga air terjun. Kemudian kawin dengan salah serang bidadari itu, hingga melahirkan seorang bayi yang mungil. Tapi akhirnya mereka berpisah menyisakan penderitaan rindu yang mendalam.

***
[2]

KABAR

Puisi: Wahyu Agustiono Catur Sasono

sudah sampai manakah kisah gigil kita
dikabarkan kenyataan..?
batu-batu dikikis alir air sungai waktu
bisu tak berjawab
kita hanyut
dimuarakan pada musim kering

lantas rindu kita meranggas
luruh
berguguran
lenyap diterpa
kesiur cemburu
yang egois

Jember, Minggu, 9 Mei 2010

***

Tipografi puisi ‘Kabar” karya Wahyu Agustiono Catur Sasono [Wahyu] ini terdiri dari 2 bait, masing-masing terdiri atas 6 baris larik. Dalam puisi ini nampaknya Wahyu sama sekali tidak terpengaruh dengan adanya kekuatan rima. Wahyu hanya fokus pada diksi atau pemilihan kata. Kata-kata yang dipilihnya juga sebagian besar kata-kata yang biasa digunakan sehari-hari. Meski demikian, kata-kata sehari-hari ini ditangan Wahyu mampu menjadi kata-kata bersayap, menjadi ungkapan-ungkapan yang harus dimaknai secara konotatif. Lihatlah di baris [1] ada kata [gigil] maksudnya menggigil, di baris [3] ada [batu-batu] dan frase [sungai waktu], dibaris [4] ada klausa [bisu tak berjawab], di baris [5] ada kata [hanyut], dan di baris [6] ada kata [dimuarakan] varian dari klausa [dibawa ke muara]. Selanjutnya di baris [7] ada kataa [meranggas], di baris [8] ada kata [luruh], di baris [9] ada kata [bergururan], di baris [10] ada kata [lenyap] dan kata [diterpa], di baris [11] ada kata [kesiur] varian dari kata [kesimpang-siuran], atau bisa juga [kesiur cemburu] maksudnya terhembus cemburu. Cemburu disini bisa bermakna kecemburuan sosial.

Selain rima. Wahyu juga tidak terpengaruh dengan kekuatan ritme atau irama dalam puisinya ini. Hal ini dapat dilihat pada puisi ini tidak ada sama sekali pengulangan kata, frase, klausa, apalagi pengulangan baris secara utuh. Padahal rima dan ritme adalah dua diantara unsur intrinsik yang mampu meningkatkan rasa keindahan dan nilai puitis sebuah puisi. Walaupun demikian, bukan berarti puisi ini menjadi kering, hambar, tidak puitis. Karena Wahyu sudah berhasil merakit kata-kata biasa tsb menjadi kata-kata yang luar biasa, menjadi ungkapan yang memukau, dan harus dimaknai secara khusus.
Meskipun demikian, di dalam puisi ini aku merasa ada rima terselubung dalam satu baris. Apakah itu asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vocal [a,i,u,e,o] dan bunyi sengau [m,n,ny,ng]. Apakah itu rima atau majas aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan. Pengulangan bunyi tsb. membentuk ritme atau irama yang mampu meningkatkan puisi ini menjadi lebih indah dan lebih berasa.

Pada bait [1] di baris [1] ada aliterasi dan sekaligus majas Sigmatisme yang ditandai dengan pengulangan bunyi [s] dalam larik: “sudah sampai manakah kisah gigil kita”,pada kata [sudah] dan [sampai]. Di baris [1] dan [2] juga ada aliterasi dalam larik “dikabarkan kenyataan…?” yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [k] pada kata [manakah], [kisah], [kita], [dikabarkan] dan kata [kenyataan]. Berikutnya di baris [3] juga ada aliterasi konsonan [b] dalam larik: “batu-batu dikikis alir air sungai waktu” yang ditandai dengan pengulangan bunyi [batu-batu]. konsonan [b] pada kata [batu]. Dan di baris [4] pada kata [bisu] dan kata [berjawab]. Di baris [5] ada aliterasi konsonan [t] pada kata [kita] dan kata [hanyut]. Terakhir di baris [6] ada asonansi bunyi sengau [m, n, ng] pada kata [dimuarakan], [musim] dan kata [kering].
Pada bait [2] di baris [7] ada aliterasi konsonan [t] pada kata [lantas] dan [kita], ada aliterasi konsonan [s] pada [lantas] dan [meranggas]. Di baris [8] dan [9] ada asonanasi vocal [u] pada kata [luruh] dan [berguguran]. Kemudian pada baris [9], [10] dan [11] ada asonansi vocal [e] pada kata [berguguran], lenyap], [diterpa], [kesiur], dan [cemburu]. Pada baris-bars ini juga ada aliterasi konsonan [r] pada kata [berguguran], [diterpa], [kesiur] dan [cemburu].

***
Bait [1] ini diperkuat dengan imaji taktil, pembaca turut merasa dingin menggigil. Ada juga imaji visual. Pembaca larut seakan bebar-benar melihat batu-batu yang dikikis aliran air sungai. Sebuah imaji yang begitu dahsyat: pembaca membayangkan batu-batu kali yang keras itu hanyut di bawa ke muara. Kata [musim kering] bermakna musim kemarau, membuat pembaca membayangkan pemandangan tanah kering kerontang, air sungai surut, debu-debu beterbangan, sampai kabut asap pembakaran hutan yang mneyesakkan dada. Di bait [1] ini juga ada imaji auditif, pembaca seakan mendengar berita yang bisu tak berjawab.
Bait [2] ini juga diperkuat dengan imaji visual yang abstrak. Ada penggambaran rindu, yang dirasakan pembaca secara abstrak. Pembaca dalam imajinansinya merasa melihat rindu yang meranggas, karena udara panas dan musim kering itu, rindu pun luruh, lalu bergguran, lalu lenyap diterpa hembusan angin cemburu yang berlebihan. Sungguh, ini adalah gambaran imaji abstrak yang begitu dahsyat, yang membuat puisi ini semakin berasa untuk dinikmati.

***
Puisi Wahyu ini berjudul ”Kabar”. Membaca judul puisi ini dapat dipastikan bahwa ada sesuatu yang mengusik pikirannya berkaitan dengan berita yang diberitakan akhir-akhir ini. Sehingga Wahyu menganggap penting mengungkapkannya dalam sebuah puisi.
Puisi ini dibuka dengan majas Erotesis yang ditandai dengan tanda tanya [?] di akhir baris [2]. Secara lengkap larik pembuka tsb tertulis di baris [1] dan [2] “sudah sampai manakah kisah gigil kita dikabarkan kenyataan …?” Dalam larik ini ada frase [kisah gigil]. Kata [gigil] ini mengingatkan kita dengan rasa dingin sekujur tubuh ketika demam, atau ketika kecebur di sungai yang airnya begitu dingin, atau ketika kehujanan. Kisah gigil yang dikabarkan inilah kenyataan yang mengganggu pikiran penulis dalam puisi ini.
Di baris [3] ada larik: “batu-batu dikikis alir air sungai waktu”. Di sini diberitakan ada sungai waktu yang mengalir mengikis batu-batu. Bayangkan batu-batu kali yang keras itupun kini telah terkikis. Larik ini mengungkapkan bahwa sesuatu yang dulunya keras, kuat memegang prinsip, kokoh pada pendirian, tegap tak tergoyahkan berani menentang arus. Kini telah terkikis oleh alir sungai waktu. Ini bermakna sesuai dengan situasi dan kondisi zaman beredar, waktu pun berganti. Yang dulu “begitu kuat”, kini sudah “ikut jadi begini.” Dalam keadaan sudah tak berkutik, sebagaimana tertulis di baris [4] pada larik” bisu tak berjawab”. Baris ini dapat dimaknai bahwa kini hanya bisa membisu , tak bisa menjawab. Kenapa? Jawabnya ialah seperti pengakuannya di baris [5] dalam lariknya: “kita hanyut”. Itulah yang mengganggu pikiran Wahyu. Hal ini digambarkannya dalam baris [6] pada larik: “dimuarakan pada musim kering”. Musim kering bisa berarti musim serba susah. Susah mencari uang, susah mendapatkan pekerjaan yang layak, susah mendapatkan posisi yang tepat, susah mencari panutan, susah mencari pemimpin yang amanah.
Berikutnya di bait [2] dapat kita cermati bahwa: bait [2] ini nampaknya adalah akibat dari bait [1]. Lihtlah di baris [7] ada larik: “lantas rindu kita meranggas”, baris [8] ada kata [luruh], baris [9] ada kata [berguguran], baris [10] ada klausa [lenyap diterpa], baris [11] ada klausa [kesiur cemburu] dan akhirnya di baris [12] ada klausa [yang egois].

Karena semua sudah hanyut terbawa arus ke muara, maka beliau-beliau yang biasa jadi panutan sudah tidak bisa diikuti lagi. Beliau-beliau itu sudah melenceng dari berpendirian awal, sudah mulai menjual prinsip. Hidupnya pun juga dikendalikan oleh pihak lain. Semua jadi membisu tak bisa bebuat apa-apa. Kenapa? Karena sudah hanyut ke muara. Akibatnya rindu pun kian meranggas, semua harapan jadi luruh berguguran, semua harapan telah lenyap diterpa kesimpang siuran cemburu yang egois. Saling curiga mencurigai antara sesama teman seiring. Ke arah mana mereka hanyut? Ke kelompok mana mereka bergabung? Bagaimana mungkin mereka bisa tergoda dengan rayuan sesaat? Semuanya sudah tidak berarti lagi, walau tetap bersikukuh bertahan dengan egonya masing-masing. Tapi inilah kenyataan. Inilah kabar yang ingin diketahui. inilah kabar yang merisaukan itu.

***
[3]

Topeng sang penyair

Jack Slawi
Aku
bisa juga aku kamu atau dia
baik buruk jahat pendusta
itu aku

aku
didampingi dunia semu
kemunafikan palsu
aku itu munafik
dengan kata aku sihir jadi baik
dan aku itu munafik
dengan sajak aku buat jadi menarik
jadi jangan percaya kalau aku apik.

Jakarta,31 mei '10

Pada awalnya puisi karya Jack Slawi [Jack] yang berjudul ”Topeng sang penyair” ini nampak biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa, kata-kata yang digunakannya juga kata-kata biasa. Tetapi begitu aku baca, aku cermati, aku hayati, aku merasa ada greget pada puisi ini. Membuatku penasaran dan membuatku lebih tertarik untuk mencermatinya lebih dalam lagi.
Dimulai dengan mencermati tipografi atau tata wajah puisi. Tipografi puisi Jack ini terdiri atas 2 bait. Meskipun hanya 2 bait, tetapi kedua bait itu begitu variatif. Bait [1] terdiri atas 4 baris larik dan bait [2] terdiri atas [8] baris larik. Larik-lariknya pun bervariasi. Ada yang hanya terdiri atas 1 kata, yaitu larik [1] dan larik [5], yang terdiri dari 2 kata yaitu larik [4] dan larik [7], yang juga terdiri dari 3 kata yaitu larik [6] dan larik [8], yang terdiri dari 4 kata yaitu larik [3] dan larik [10], dan ada juga yang terdiri dari 6 kata yaitu larik 2[], larik [9], larik [11], dan larik [12].
Selain itu puisi Jack ini dibangun dengan rima atau persajakan yang tertata rapi. Ini dapat dilihat di baris [1] ada kata [aku] yang bersajak mutlak dengan kata [aku] di baris [4]. Di baris [2] ada kata [dia] yang membentuk rima tidak sempurna dengan kata [pendusta] di baris [3]. Selanjutnya juga ada rima tak sempurna di bait [2] di baris [5], baris [6], dan di baris [7] yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] pada kata [aku], [semu] dan [palsu]. Di akhir baris [8] ada kata [munafik], baris [9] ada kata [baik], baris [10] kembali ada kata [munafik], di baris [11] ada kata [menarik], dan terakhir di akhir baris [12] ada kata [apik]. Semua kata tsb membentuk rima yang sama-sama diakhiri dengan bunyi [ik]. Dengan demikian di bait [1] ada rima peluk di akhir baris dengan pola persajakan [a,b,b,a], dan di bait [2] ada rima akhir dengan pola persajakan [a,a,a,b,b,b,b,b]
Puisi Jack ini juga dibangun dengan ritme yang juga tertata rapi, yang ditandai dengan adanya pengulangan kata [aku] hampir di semua baris kecuali baris [3], [6] dan [7]. Selain itu ada juga pengulangan larik [aku itu munafik] di baris [8] dan di baris [10]. Selain itu di baris [9] dan baris [11] ada larik: ”dengan kata aku sihir jadi baik”, ”dengan sajak aku buat jadi menarik”. Dengan adanya pengulangan kata [dengan], [aku] dan [jadi] bagi aku kedua larik tsb membentuk irama yang indah dan menarik. Demikian pula dengan klausa [aku sihir jadi baik] dan klausa [aku buat jadi menarik], kedua klausa itu juga turut memperkuat irama pada larik ini.
Selain dibangun dengan rima dan ritme yang tertata rapi, pusi ini juga dperkuat dengan majas Antitesis pada bait [1] baris [3] yang ditandai dengan kata [buruk baik] pada larik: ”buruk baik jahat pendusta”. Pada larik ini juga sekaligus ada majas Paralelisme yang ditanda dengan kata [buruk], [jahat] dan [pendusta]. Selain itu pada baik [2] di baris [8] dan baris [9] ada majas Metapora pada larik ”aku itu munafik” Klausa aslinya adalah: aku ini seperti orang munafik”, atau ”aku ini bagaikan sudah kadi otang munafik”
Membaca judulnya ”Topeng sang penyair” Kata [topeng] mengingatkan kita pada wajah yang ada dibalik topeng itu. Topeng adalah sesuatu alat untuk melindung wajah yang sebenarnya. Lalu apa hubungannya dengan sang penyair? Untuk menjawabnya kita memerlukan pemahaman ekstra.
Dalam puisi ini sepintas lalu nampaknya Jack menyatakan bahwa penyair itu termasuk dalam kelompok orang-orang yang bisa baik, bisa buruk, bisa jahat, dan bisa juga jadi pendusta. Ini jelas tertulis pada bait [1] di baris [3] Lebih banyak negatifnya [buruk, jahat, pendusta] dari pada positifnya [baik]. Tidak itu saja, malah Jack juga menyatakan bahwa penyair itu: ”didampingi dunia semu”, ”munafik”. Karena dengan kata penyair bisa menyihir yang buruk, jahat, dan pendusta bisa menjadi baik. Dengan sajak dia juga membuat jadi menarik. Karena penyair itu munafik. Jadi jangan percaya kalau penyair itu apik.
Jika hanya berpegang pada untaian yang tersurat dalam puisi ini, maka kesimpulannya adalah bahwa penyair itu adalah pribadi munafik. Buruk benar citra seorang penyair itu dimata Jack Slawi. Tapi kita yakin TENTU BUKAN ITU maksud Jack Slawi yang sebenarnya. Bukankah motif dasar penulisan sebuah puisi adalah mengungkapkan perasaan? Perasaan senang atau tidak senang, memuja atau membenci, jeritan, sindiran atau perasaan apa saja. Semua perasaan itu tumpah ruah dalam sebuah puisi. Dengan kata lain Jack Slawi mengungkapkan perasaannya melalui puisi ini dengan cara yang tidak biasa. Jack melampiaskan dengan penuh kekesalan. Karena hanya orang yang sangat kesal yang menggunakan kata [itu aku]. “Ya, itu aku, akulah yang melakukannya. Mau apa lagi? puas!” Padahal perbuatan itu yang sama sekali tidak pernah dilakukannya. Untuk itu kita juga harus mencermati makna yang tersirat dibalik yang tersurat. Mengingat bahwa puisi itu bersifat ambiguitas yang maknanya bisa melebar ke mana-mana, maka puisi ini juga bisa dimaknai berlapis-lapis.
Pada lapis pertama puisi ini mengungkapkan bahwa penyair juga manusia. Sebagai manusia maka penyair itu juga bisa baik, bisa juga buruk, jahat dan pendusta. Tapi pasti bukan itu maksudnya. Pada lapis ke dua puisi ini adalah puisi satire yang berisi sindiran halus tapi tajam, berisi kritik yang pedas kepada seseorang atau sekelompok orang. Yang dengan rangkaian kata-kata, bagaikan penyair dengan kata-kata puitisnya telah berhasil menipunya.
Pada skala kecil orang tsb bisa jadi kekasihnya, atau teman dekatnya sendiri, atau kerabat dekat handai taulan, atau mungkin juga orang lain. Dan pada skala yang lebih luas, orang itu bisa saja sekelompok calon legislatif, calon eksekutif yang mengobral janji pada waktu berkampanye. Pada saat berorasi bagaikan seorang penyair menggunakan bahasa puitis indah dan mempesona. Dengan kata ia bisa menyihir yang jahat jadi baik. Dengan sajak ia bisa membuat yang buruk jadi menarik. Bagaikan tukang sihir Dia mampu mempengaruhi, menggugah dan membakar semangat pendengarnya. Akhirnya puisi ini ditutup dengan amanat atau pesan agar jangan percaya bahwa orang-orang yang bagaikan penyair itu benar-benar baik. Karena seperti biasanya, setelah tercapai apa yang diinginkannya mereka mulai lupa janji-janjinya. Ya, begitulah kira-kira,-

Banjarmasin, 25 Juni 2010